Senin, 18 November 2013

Pandangan Beberapa Cendekiawan Muslim tentang Al-Quran dan Analisis Pendapatnya

1.      Mohammed Arkoun
Arkoun membagi wahyu dalam dua peringkat. Peringkat pertama adalah apa yang disebut al-Quran se­bagai Umm al-Kitab (Induk Kitab). Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gos­pel, dan al-Quran. Pada peringkat pertama (Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran ter­tinggi. Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan "edisi dunia" (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.[1]
Mengenai sejarah al-Quran, Arkoun membaginya men­jadi tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewah­yuan (610-632 H); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632 - 936 M) dan periode berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M).[2] Arkoun menamakan periode pertama sebagai Prophetic Discourse (Diskursus Kenabian) dan periode kedua sebagai Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup). [3]Berdasarkan pada kedua periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Quran sebagai "sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diung­kapkan dalam bahasa Arab, dimana kita tidak dapat meng­akses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4H/ 1 0 M.” [4]
Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Quran lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Quran terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status al­-Quran dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-kitab al-muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab 'adi). Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.[5]
Analisis Penulis:
Pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal telah mem­buat paradigma baru tentang hakikat teks al-Quran. Pen­dekatan historisitas Mohammed Arkoun justru menggiring­nya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebe­naran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui .kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-Quran, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada sesuatu yang ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Mus­limin. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Quran Mushaf `Uthmani. 
2.      Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid mengunakan metode analisis teks bahasa ­sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Quran. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Isam. Nasr Hamid menyatakan: "Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.”[6]
Metodologi kritik sastra (literary criticism) yang diterap­kan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori herme­neutika. Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980.[7] Ia mengakui hermeneutika telah mem­buka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: "Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.[8] Sekembali dari Ame­rika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul Falsafah al-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Quran `inda Muhy al-Din ibn `Arabi (Filsafat Herme­neutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur'an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu'dilat Tafsir al-Nas (Her­meneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. [9]
Setelah akrab dengan literatur hermeneutika Barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. Menu­rut Nasr Hamid, Kalam Ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka Kalam Ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu alasan pemikiran Islam itu menjadi stagnan, menurut Nasr Hamid, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension).[10] Padahal al-Quran adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan adalah Kalam ilahi.[11] Nasr Hamid menyatakan: "Bagaima­napun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri-dan menjadi manusiawi-karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manu­sia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. Jadi, dalam pandangan Nasr Hamid, al-Quran adalah bahasa manusia (the Qur'an is hu­man language).[12]
Menurut Nasr Hamid, teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Nasr Hamid menya­takan: "Teks sejak awal diturunkan - ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi -, ia berubah dari sebuah teks Ilahi (nas ilahl) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nas insa­m), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan.tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia."[13]
Dalam pandangan Nasr Hamid, teks al-Quran terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, al-Quran adalah `produk budaya' (muntaj thaqat). Ia juga menjadi `produsen budaya' (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.[14] Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap al-Quran sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, al-Quran adalah teks historis (a historical text).[15] Histo­risitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjuk­kan bahwa al-Quran adalah teks manu-siawi (nas insani).[16]
Dengan berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuk­nya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya.[17] Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun Nasr Hamid, sebagaimana Schleiermacher, berpendapat studi al-Quran tidak rnemerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memaha­minya. Manusia biasa akan tertutup untuk memahami teks­teks agama. Nasr Hamid menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang selalu menafsir­kan al-Quran dengan muatan metafisis Islam. Dalam pan­dangan Nasr Hamid, metodologi seperti itu tidak akan mela­hirkan sikap ilmiah. Nasr Hamid menyatakan: "Sesungguh­nya, kepercayaan atas wujud metafisik teks (al-Quran) akan menghapuskan-upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks.[18] Dengan menyamakan status al-Quran dengan teks-­teks yang lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji al-Quran. Nasr Hamid menyatakan: "Saya mengkaji al-Quran sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen maupun Ateis."[19]
Analisis Penulis:
Kesimpulan Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah produk budaya tidaklah tepat. Ketika diturunkan secara gradual, al-­Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Ketika menyampaikan agama Islam, Rasulullah Saw. ditentang dengan menuduh Rasulullah sebagai orang gila. Al­lah berfirman yang artinya: "Mereka berkata: Hai orang-orang yang diturunkan al-Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila,"[20] sebagai penyair gila[21] dan tukang tenun.[22] al-Quran juga menentang budaya jahiliyah yang bangga dengan kemampuan puisi mereka dengan menyatakan: "Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin 'berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, nis­caya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi seba­gian yang lain.[23]
Ibn Ishaq (150 H/767 M) menyatakan orang-orang Qurai­sy menganggap al-Quran adalah sesuatu yang sangat asing dengar budaya mereka. Ibn Ishaq meriwayatkan: "Maka dia (al-Nadr ibn Harith) mengatakan Wahai orang­orang Quraisy, Demi Tuhan, sesungguhnya Dia telah menu­runkan kepadamu suatu perkara yang tidak datang kepadamu trik sebagai berikut, Muhammad adalah anak muda yang pal­ing luwes, paling benar dalam budi bicara, paling tinggi keju­jurannya di antara kamu, seandainya pun rambutnya beruban, dan dia membawa kepadamu apa yang ada padamu, maka kamu mengatakan (Muhammad) adalah penyihir (sahir). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang penyihir karena kita telah melihat komat-kamit dan mantera sihir. Maka kamu mengatakan ia adalah seorang tukan tenung (kahin). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang tukang tenung karena kita telah melihat gemetaran dan telah mendengar prosa dalam tenung. Maka kamu mengatakan ia adalah penyair (sya'ir). Tidak, demi Tuhan, dia bukan penyair. Kita telah melihat syair dan dan telah mendengar segala jenis jenisnya: bait dan ukurannya. Maka kamu mengatakan ia adalah orang gila (majnun). Tidak, demi Tuhan, ia bukan seorang yang gila. Kita telah melihat orang gila sedangkan ia tidak terkurung, terganggu dengan ketidak warasan. Wahai orang-orang Qurai­sy, lihatlah keadaanmu. Sesungguhnya Allah telah menurun­kan kepadamu suatu perkara yang besar (amr `azim)."[24]
Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-­Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan Jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw. adalah produk dari al-Quran, bukan sebaliknya.
Al-Quran juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagai­mana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah diislamkan maknanya. Al-­Quran mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang­bidang semantik dan kosa kata. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksi­kan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam. Al-­Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab seperti kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikh­wah). Kata penghormatan (muruwwah), dan kemuliaan (karim) termasuk kata-kata yang penting dalam pandangan hidup Jahiliyyah. Kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian. al-Quran mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, ke­takwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan: "Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa." Lebih lanjut, orang-orang Arab sebelum lslam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat meng­hargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. al-Quran menghasilkan perubahan semantik yang mendasar ketika kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci al-Quran: kitab karim, atau dengan perkataan yang baik kepada oiang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga kepada kata persau­daraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesom­bongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak meru­juk kepada makna yang lain. al-Quran lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.[25]
Jika al-Quran produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn 'Abbas tidak mengetahui makna fatir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim.[26] Selain itu, al-Quran memuat berbagai macam dialek bahasa Arab. Abu Bakr al-Wasitiyy menye­butkan 50 ragam dialek bahasa Arab di dalam Al-Qur'an.[27] Al-Suyuti menyebutkan berbagai kosa kata asing di dalam al-­Quran seperti kosa kata Persia, Romawi, Nabatean, Ethiopia Barbar, Syiriak, Ibrani, Koptik dan lain-lain.[28] Selain itu, terdapat juga al-ahrufal-muqata`ah di dalam al-Quran yang semuanya tidak sesuai dengan perkembangan budaya sastra Arab saat itu. Jadi, al-Quran bukan produk budaya sastra arab: Ia adalah suatu "budaya" baru. (istilah budaya sebenar­nya tidak begitu sesuai digunakan untuk al-Quran, karena budaya mengandung makna hasil kreasi manusia, padahal al-­Quran adalah wahyu dari Allah).
            Jika al-Quran teks bahasa biasa, maka logikanya, Rasu­lullah saw. ahli di bidang tulisan dan bacaan, yang karena keahliaannya itu bisa membawa perubahan sangat mendasar pada masyarakat Arab waktu itu. Padahal, Rasulullah Saw. itu ummi. Jadi, sekalipun al-Quran disampaikan oleh Rasu­lullah Saw. kepada umatnya pada abad ke-7 Masehi, namun ini . tak serta merta mengindikasikan bahwa al-Quran terbentuk dalam situasi dan budaya yang ada pada abad ke-7 Masehi. Al-Quran melampaui historisitasnya sendiri karena al­-Quran dan ajarannya adalah transhistoris. Kebenarannya sepanjang zaman.
            Al-Quran juga bukan teks manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan kata-kata Muhammad. Allah berfirman yang artinya: "Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar­benar Kami potong urat tali jantungnya."[29] Allah juga ber­firman yang artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[30]
Selain itu, pendapat Nasr Hamid yang mengenyamping­kan keimanan seseorang untuk mengkaji al-Quran tidaklah tepat. Diantara syarat-syarat para mufasir adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa syarat utama se­orang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen meng­ikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! من شرطه صحة الاعتقاد أولا لزوم سنة الدين، فإن من كان مغموصاً عليه في دينه لا يؤتمن على الدنيا فكيف على الدين؟.[31] Senada dengan al-Tabari, al-Suyuti mengata­kan bahwa sikap sombong, cenderung kepada bid'ah, tidak te­tap iman dan mudah goyah dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa bisa menjadi hi­jab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.[32]
Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Quran sangat penting bagi seorang mufasir al-Qur'an. Ini disebab­kan status al-Quran tidaklah sama dengan teks-teks yang lain. Al-Quran bersumber dari Allah. Sembarang metodologi tidak bisa begitu saja diterapkan kepada al-Quran. Metodo­logi sekular akan menggiring kepada kesimpulan yang sekular.
Selain itu, hermeneutika Nasr Hamid akan membawa kepada konsep bahwa tafsir itu relatif. Padahal para mufasir terkemuka bersepakat dalam berbagai perkara. Tidak ada seorangpun mufasir muslim terkemuka dari 1400 tahun yang lalu hingga sekarang, berpendapat bahwa Nabi Isa as. mati di tiang salib dan wanita muslimah boleh nikah dengan laki-laki kafir. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relatif adalah sebuah kekeliruan, sekalipun terdapat ribuan buku tafsir.
Ilmu tafsir yang telah diformulasikan oleh para ulama yang berwibawa telah mengakar dalam tradisi Islam. Ilmu tafsir itu muncul karena bahasa al-Quran memiliki struktur. Ilmu tafsir tidak sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen atau ilmu interpretasi kitab suci yang lain dari agama dan budaya apapun.
Wallahu a’lamu bi al-shawab.




[1] Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach, 195-196.
[2]  Mohammed Arkoun, "Introduction: An Assessment ofand Perspectives on the Study of the Qur'an," dalam The Qur'an: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Aldershoot: Ashgate, 2001), 307.
[3]  Mohammed Arkoun, The Unthought, 45; 57.
[4]  Mohammed Arkoun, Islam, 237.
[5] Mohammed Arkoun, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqal: Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Mu`asir (Beirut: Dar al-Saqi, edisi kedua, 1995), 59.
[6]  Nasr Hamid Abu Zayd, Mathum al-Nas: Dirasah ti 'Ulum AI-Qur'an (Bei­rut: al-Markaz al-Thaqafi al-'Arabi, edisi II, 1994), 27, selanjutnya diringkas Mathum al-Nas.
[7] Nasr Abu Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam (London: Westport, Connecticut, 2004), 57, selanjutnya diringkas Voice of an Exile.
[8]  Ibid., 95.
[9]  Ibid, 59.
[10]  Nasr Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice ofan Exile, 57.
[11]  Ibid., 96
[12]  Ibid, 97
[13]  Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Kairo: Sina li al­ Nashr, edisi pertama, 1992), 93, selanjutnya diringkas Naqd al-Khitab al-Dini.
[14]  Nasr Hamid Abu Zayd, Mathum al-Nas, 24.
[15]  Nasr Hamid Abu Zayd, `"The modernization of Islam or the Islamization of modernity" dalam Cosmopolitanism, ldentity and Authenticity in the Middle East, editor Roel Meijer (Surrey: Curzon Press, edisi pertama, 1999), 74.
[16]  Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, 93.
[17]  Ibid., 97
[18]  Nasr Hamid Abu Zayd, Mathum al-Nas, 24.
[19]  Dikutip dari Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis AI-Qur'an: Teori Hermeneutika AI-Qur'an (Jakarta: Teraju, 2003), 66-67.
[20]  Surah al-Hijr ( I 5: 6); Surah al-Qalam (68: 2); Surah al-Takwir (81: 22).
[21]  Surah al-Saffat (37: 36); Surah al-Qalam (68: 51).
[22]  Surah al-Tur (52: 29).
[23] Surah al-Isra' (17: 88).
[24]  Ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyyah, 4 jil. (Beirut: al-Maktabah aI­'asriyyah, 2004), l: 218-219.
[25]  Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 318, selanjutnya diringkas The Edu­cational Philosophy.
[26]  Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `ulum aI-Quran (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 2003), 286-87, selanjutnya diringkas al-ltqan
[27] Ibid., hlm. 332.
[28]  Jalal al-Din al-Suyuti, al-Muhadzdzab fima waqa`a fi AI-Qur'an min al-mu`arrab, editor al-Tahami al-Raji al-Hashimi (Sunduq Ihya' al­Turath al-Islamiyy al-Mushtarak bayn al-Mamlakah al-Maghribiyyah wa al-Daulah al-Imarat al-`Arabiyyah al-Muttahidah, tt), 65-178, selanjutnya diringkas al­ Muhadzdzab.
[29]  Surah al-Haqqah (69: 44-46).
[30]  Surah al-Najm (53: 3-4).
[31]  Dikutip dari Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan, 854.
[32]  Ibid., 854-855.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar