Sabtu, 16 November 2013

STUDI KRITIK ATAS KITAB MUSNAD AHMAD BIN HANBAL

A.    Sekilas tentang Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap Ahmad bin Hanbal adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn 'Abdillah asy-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad tepatnya di kota Maru pada bulan Rabi'ul Awal tahun 164 H.[1]
Merujuk masa hidup Imam Ahmad yang berkisar antara 164 H – 241 H, maka dapat dikatakan bahwa beliau hidup pada fase perkembangan hadis memasuki periode keempat dan kelima, yakni pada abad II dan III H.
Pada awal abad III H para ulama melakukan tadwin al-hadis dengan memisahkan antara sabda Nabi dengan fatwa sahabat dan tabi'in, meski masih mencampur antara hadis-hadis yang berkualitas shahih, hasan, dan dha'if. Di antara sistem tadwin (penyusunan) yang digunakan adalah tashnid, yakni menyusun hadis dalam kitab-kitab berdasarkan nama sahabat prawi hadis. Sedang dalam menertibkan nama sahabat ada yang menertibkan menurut tertib kabilah, ada yang menurut  masa memeluk agama Islm, dan ada pula yang tidak memperhatikan sistematika ini. Sistem tashnid atau musnad ini kelemahannya adalah sulit dalam mencari atau mengerti hukum-hukum syara' sebab hadis-hadisnya tidak dikumpul dalam satu tema.[2]
Kitab hadis yang disusun dengan sistem ini dinamakan musnad. Banyak sekali hadis-hadis yang disusun dengan sistem musnad ini, misal Musnad Ubaidillah Ibn Musa (123 H), Musnad Hanafi (150 H), Musnad al-Syafi'i (204 H), dan musnad-musnad lain termasuk juga Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H). Di antara kitab-kitab musnad itu, yang paling menonjol adalah Musnad Ahmad bin Hanbal. Musnad ini berisi sekitar 40.000 hadis dengan berulang-ulang atau sekitar 30.000 hadis dengan tanpa diulang.[3]
Sebenarnya hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal tidak semua bersumber dari riwayat beliau, karena ada beberapa tambahan yang dibubuhkan leh anaknya Abdullah. Bila hadis-hadis dalam Musnad ini diklasifikasi maka dapat dibagi ke dalam enam kategori: (1) Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah dari Ahmad bin Hanbal sendiri secara sima'i. Porsi hadis-hadis ini sangat dominan sekali hingga mencapai 3/4 dalam Musnad Ahmad bin Hanbal; (2) Hadis-hadis yang diterima Abdullah dari ayahnya sendiri dan juga dari ulama lain. Jumlah hadis ini sangat minim; (3) hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah dari selain ayahnya. Hadis-hadis ini disebut juga zawa'id Abdullah; (4) Hadis-hadis yang dibaca Abdullah di hadapan ayahnya tapi ia sendiri tidak mendengar dari ayahnya; (5) hadis-hadis yang tidak dibaca dan tidak didengar langsung oleh Abdullah dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, hanya saja ia menjupai hadis tersebut dalam kitab ayahnya dalam bentuk manuskrip; dan (6) hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Qathi'i dari selain Abdullah dan Ahmad bin Hanbal, namun jumlahnya paling sedikit di antara kategori lainnya.[4]
Jadi dari keenam kategori tersebut semua masuk dalam musnad kecuali yang nomor 3 yakni tambahan dari Abdullah dan nomor 6 tambahan dari Abu Bakar al-Qathi’i.
Yang mendengar langsung mengenai Musnad dari Ahmad adalah ketiga anaknya sendiri, yaitu Saleh, Abdullah, dan Hanbal. Utsman bin Subbak berkata: Hanbal bercerita kepada kami,”suatu hari Ahmad bin Hanbal mengumpulkan kami, saya sendiri, Saleh, dan Abdullah, kemudian beliau membacakan Musnad kepada kami dan tak ada seorang pun yang mendengar hal tersebut selain kami. Beliau berkata,”Kitab ini telah saya himpun dan saya seleksi dari sekitar 750.000 hadis. Apabila nanti kaum muslimin berselisih mengenai hadis Rasulullah, maka merujuklah pada kitab ini bila ia menjumpainya, dan bila tidak maka tidak bisa dijadikan hujjah.
Pernah sekali waktu Syaikh Imam Hafidz Ali bin al-Hafidz al-Faqih Muhammad al-Yunaini ditanya,”Apakah Syaikh hafal Kutub al-Sittah? Syaikh menjawab,”Saya menghafalnya dan tidak menghafalnya.” Sang penanya tidak mengerti,”Mengapa bisa begitu Syaikh? Sang Syaikh menjelaskan,”Saya hafal Musnad Ahmad, dan hadis-hadis yang ada dalam Kutub al-Sittah tak ada yang terlewatkan dalam Musnad Ahmad kecuali hanya sedikit. Kalau begitu, bukankah berarti saya hafal Kutub al-Sittah?

B.     Sikap Ahmad bin Hanbal terhadap Hadis
Ahmad bin Hanbal termasuk salah seorang tokoh hadis yang tidak canggung mengamalkan hadis yang bersanad dha'if sekalipun sepanjang tidak ada indikasi maudhu'. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w. 597 H), sikap penerimaan Imam Ahmad terhadap hadis dha'if sanadnya tidak sampai menjangkau hadis munkar, bukan pula riwayat orang yang diduga pendusta.[5] Sikap kecenderungan ini berdasar pada pengakuannya bahwa kalam nubuwwah (pemegang mandat risalah) sangat potensial dan lebih terjamin validitas konsep doktrinalnya bila dibandingkan dengan yang dihasilkan nalar rasio misal seperti penerapan qiyas yang cenderung spekulatif. Imam Ahmad sendiri secara tegas menyatakan:
ضعيف الحديث أحب إلبنا من الرأي و ضعيف الحديث أقوى من الرأي
Hadis berkualitas dha'if [pada segi sanadnya] lebih aku sukai dan lebih kuat statusnya daripada ra'yu.[6]
Prinsip ini tidak hanya membentuk pribadi Ahmad bin Hanbal di bidang hadis, bahkan dalam bidang politik pun beliau lebih rela mendekam di penjara dengan perlakuan sangat tidak manusiawi daripada harus menerima ra'yu Khalifah al-Mu'tasim untuk mengakui keber-makhluk-an al-Qur'an.[7]

C.    Studi Kritik atas Musnad Ahmad bin Hanbal
Di antara hadis dha'if yang terdapat dalam kitab Musnad bin Hanbal adalah masalah boleh tidaknya perempuan mengimami laki-laki atau menjadi khatib Jum’at.
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَدَّتِي عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَتْ قَدْ جَمَعَتْ الْقُرْآنَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ وَكَانَتْ تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا
Dari Abu Nu’ayim dari al-Walid, dari nenekku, dari Ummu Waraqah binti Abdillah ibn al-Hrtis al-Anshari, seorang wanita yang banyak menghafal al-Qur’an. Nabi saw pernah memerintahkan beliau untuk mengimami keluarga serumahnya, beliau mempunyai seorang “mu’azzin” dan beliau mengimami keluarganya.[8]
Kajian sanad hadis
Terdapat lima syarat yang hampir disepakati oleh semua ahli hadis untuk menentukan kreteria hadis sahih. Yaitu:
1.Kesinambungan sanad,
2. Keadilan (jujuran dan lurus aqidah) perawinya,
3. Ke-dhabit-an (kuat hapalan) perawi,
4. Tidak adanya pertentangan dengan riwayat yang lebih kuat,
5. Tidak ada cacat yang tersembunyi.
Sebelum menguji validitas riwayat hadis di atas sesuai kriteria di atas, maka dapat digambarkan terlebih dahulu jalur periwayatan hadis ini secara utuh.
A. Jalur Periwayatan
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Nu’aim al-Fadh ibn Dukayn dan oleh Abu Dawud dari Utsman ibn Abi Syaibah dari Waki’ ibn Jarrah, juga dari al-Hasan ibn Hammad al-Hadrami, dari Muhammad ibn Fudayl, Ketiga perawi ini (Abu Nu’aim, Waki’, Muhammad ibn Fudayl) sama-sama meriwayatkan dari al-Walid ibn Abdillah ibn Jumay’i’ yang meriwayatkannya dari dua orang, yaitu neneknya sendiri dan Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ansari, kedua-duanya meriwayatkan dari Ummu Waraqah.
B. Identitas dan Kredibilatas Perawi
Dari gambaran sanad (jalur periwayatan) di atas, nampak bahwa kedua riwayat bertemu di al-Walid ibn Abdillah ibn Jumayi’. Abu Dawud yang meriwayatkannya dari Ustman dari Waki’ juga dari al-Hasan dari Muhammad, dan Ahmad dari Abu Nu’ayim, kelima-lima perawi ini tidak mempunyai catatan negatif. Ibn Hajar menilai Utsman sebagai tsiqat hafiz (dipercaya dan penghafal hadis), Waki’ sebagai tsiqat hafiz ‘abid (dipercaya, penghafal hadis dan ahli ibadah), al-Hasan sebagai saduq (jujur) dan Muhammad sebagai saduq ‘arif rumiya bittasyayyu’ (jujur, berilmu, dituduh sebagai pengikut syi’ah) dan Abu Nu’ayim sebagai tsiqah tsabat (dapat dipercaya dan hafalannya kuat).
Sedangkan al-Walid yang merupakan muara periwayatan hadis ini dan karenanya kedudukan hadis ini tergantung pada periwayatannya, mempunyai kredibilitas sebagai berikut: Ibn Ma’in dan Ibn Hibban berpendapat: Tsiqah (dipercaya). Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud berkata: Laysa bihi ba’sun (tidak masalah). Abu Zur’ah: La ba’sa bihi (tidak apa). Abu Hatim: Salih al-hadis (dapat meriwayatkan hadis). Ibn Hajar menyimpulkannya dengan: Saduq yahim, wa rumiya bi al-tasyayyu’ (jujur, namun sering mengkira-kira, dituduh sebagai pengikut syi’ah).

Sedangkan sumber periwayatan bagi al-Walid adalah Abdurrahman ibn Khalid dan neneknya.
Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ansari tidak diketahui kredibilitasnya, bahkan hanya satu orang yang meriwayatkan dari beliau yaitu al-Walid saja. Karena itu Ibn Hajar berkata majhul al-hal (tidak diketahui kredibilitasnya). Betul, Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitab al-Tsiqah (jil.5, hal. 317), namun para kritikus hadis sering menyoroti kemudahan penilaian Ibn Hibban seperti ini dan kurang dapat menerimanya. Demikian halnya dengan neneknya al-Walid yang tidak dikenal dan diketahui kredibilitasnya.
Dalam riwayat Ibn Mandah dan Abu Nu’ayim, al-Walid meriwayatkannya dari Laila binti Malik yang meriwayatkannya dari Ibunya, dari Ummu Waraqah. Dalam riwayat lain antara Abdurrahman dan Ummu Waraqah perawi lain. Hal ini mendukung dugaan kekurang hafalannya al-Walid sebagaimana dikatakan Ibn Hajar sebagai Yahim. Hal ini paling tidak, akan menambah kelemahan riwayat hadis ini.



[1] Muhammad ibn 'Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadis asy-Syarif, (Jeddah: Mathabi' al-Sahr, 1982), hlm. 269.
[2] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bhakti Press, 1997), hlm. 63.
[3] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, t.t.), hlm. 370. Mengenai alasan pengulangan ini antara lain: (1) Boleh jadi hadis tersebut sudah diriwayatkan oleh salah seorang sahabat dan diriwayatkan lagi oleh sahabat lain; (2) hadis-hadis tersebut memiliki penekanan makna yang berbeda sehingga perlu dicantumkan dalam bab yang berbeda pula; (3) hadis-hadis tersebut diriwayatkan dengan metode yang berbeda, misal di satu tempat dengan metode sima'i dan di tempat lain dengan metode mu'an 'an; (4) Pada hadis-hadis tersebut, ada sanad yang ditambahkan dan ada yang dikurangi; (5) hadis tersebut mendapat penilaian ganda, misal ada yang mengatakan berstatus marfu' dan ada yang mengatakan berstatus mauquf sehingga perlu diulang. Lihat: Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa'id at-Tahditz min Qununi Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t.), hlm. 226-227.
[4] Ibid., hlm. 370-371.
[5] M. Abu Zahrah, Fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Kairo: maktabah al-Madani, 1971), II: 357.
[6] Muhammad 'Awwamah, Atsar al-Hadis al-Syarif, (Jeddah: Dar al-Qiblah, 1940), hlm. 27.
[7] W.M. Patton,  Ahmad ibn Hanbal and the Mihnah, Leiden, Brill, 1897, hlm. 171.
[8] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1969), no. hadis 26022, hlm. 321.  

1 komentar: