A.
Sekilas tentang Kitab
Musnad Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap Ahmad bin Hanbal adalah Ahmad ibn Muhammad ibn
Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn 'Abdillah asy-Syaibani. Beliau
dilahirkan di Baghdad
tepatnya di kota
Maru pada bulan Rabi'ul Awal tahun 164 H.[1]
Merujuk masa hidup Imam Ahmad yang berkisar antara 164 H –
241 H, maka dapat dikatakan bahwa beliau hidup pada fase perkembangan hadis
memasuki periode keempat dan kelima, yakni pada abad II dan III H.
Pada awal abad III H para ulama melakukan tadwin
al-hadis dengan memisahkan antara sabda Nabi dengan fatwa sahabat dan
tabi'in, meski masih mencampur antara hadis-hadis yang berkualitas shahih,
hasan, dan dha'if. Di antara sistem tadwin (penyusunan)
yang digunakan adalah tashnid, yakni menyusun hadis dalam kitab-kitab
berdasarkan nama sahabat prawi hadis. Sedang dalam menertibkan nama sahabat ada
yang menertibkan menurut tertib kabilah, ada yang menurut masa memeluk agama Islm, dan ada pula yang
tidak memperhatikan sistematika ini. Sistem tashnid atau musnad
ini kelemahannya adalah sulit dalam mencari atau mengerti hukum-hukum syara'
sebab hadis-hadisnya tidak dikumpul dalam satu tema.[2]
Kitab hadis yang disusun dengan sistem ini dinamakan musnad.
Banyak sekali hadis-hadis yang disusun dengan sistem musnad ini, misal
Musnad Ubaidillah Ibn Musa (123 H), Musnad Hanafi (150 H), Musnad al-Syafi'i
(204 H), dan musnad-musnad lain termasuk juga Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H).
Di antara kitab-kitab musnad itu, yang paling menonjol adalah Musnad Ahmad
bin Hanbal. Musnad ini berisi sekitar 40.000 hadis dengan berulang-ulang
atau sekitar 30.000 hadis dengan tanpa diulang.[3]
Sebenarnya hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin
Hanbal tidak semua bersumber dari riwayat beliau, karena ada beberapa tambahan
yang dibubuhkan leh anaknya Abdullah. Bila hadis-hadis dalam Musnad ini
diklasifikasi maka dapat dibagi ke dalam enam kategori: (1) Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Abdullah dari Ahmad bin Hanbal sendiri secara sima'i. Porsi
hadis-hadis ini sangat dominan sekali hingga mencapai 3/4 dalam Musnad Ahmad
bin Hanbal; (2) Hadis-hadis yang diterima Abdullah dari ayahnya sendiri dan
juga dari ulama lain. Jumlah hadis ini sangat minim; (3) hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Abdullah dari selain ayahnya. Hadis-hadis ini disebut juga zawa'id
Abdullah; (4) Hadis-hadis yang dibaca Abdullah di hadapan ayahnya tapi ia
sendiri tidak mendengar dari ayahnya; (5) hadis-hadis yang tidak dibaca dan
tidak didengar langsung oleh Abdullah dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, hanya
saja ia menjupai hadis tersebut dalam kitab ayahnya dalam bentuk manuskrip; dan
(6) hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Qathi'i dari selain
Abdullah dan Ahmad bin Hanbal, namun jumlahnya paling sedikit di antara kategori
lainnya.[4]
Jadi dari keenam kategori tersebut semua masuk dalam musnad
kecuali yang nomor 3 yakni tambahan dari Abdullah dan nomor 6 tambahan dari Abu
Bakar al-Qathi’i.
Yang mendengar langsung mengenai Musnad dari Ahmad adalah
ketiga anaknya sendiri, yaitu Saleh, Abdullah, dan Hanbal. Utsman bin Subbak
berkata: Hanbal bercerita kepada kami,”suatu hari Ahmad bin Hanbal mengumpulkan
kami, saya sendiri, Saleh, dan Abdullah, kemudian beliau membacakan Musnad
kepada kami dan tak ada seorang pun yang mendengar hal tersebut selain kami.
Beliau berkata,”Kitab ini telah saya himpun dan saya seleksi dari sekitar
750.000 hadis. Apabila nanti kaum muslimin berselisih mengenai hadis
Rasulullah, maka merujuklah pada kitab ini bila ia menjumpainya, dan bila tidak
maka tidak bisa dijadikan hujjah.
Pernah sekali waktu Syaikh Imam Hafidz Ali bin al-Hafidz
al-Faqih Muhammad al-Yunaini ditanya,”Apakah Syaikh hafal Kutub al-Sittah?
Syaikh menjawab,”Saya menghafalnya dan tidak menghafalnya.” Sang penanya tidak
mengerti,”Mengapa bisa begitu Syaikh? Sang Syaikh menjelaskan,”Saya hafal
Musnad Ahmad, dan hadis-hadis yang ada dalam Kutub al-Sittah tak ada yang
terlewatkan dalam Musnad Ahmad kecuali hanya sedikit. Kalau begitu, bukankah
berarti saya hafal Kutub al-Sittah?
B.
Sikap Ahmad bin Hanbal
terhadap Hadis
Ahmad bin Hanbal termasuk salah seorang tokoh hadis yang
tidak canggung mengamalkan hadis yang bersanad dha'if sekalipun
sepanjang tidak ada indikasi maudhu'. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.
597 H), sikap penerimaan Imam Ahmad terhadap hadis dha'if sanadnya tidak sampai
menjangkau hadis munkar, bukan pula riwayat orang yang diduga pendusta.[5]
Sikap kecenderungan ini berdasar pada pengakuannya bahwa kalam nubuwwah
(pemegang mandat risalah) sangat potensial dan lebih terjamin validitas konsep
doktrinalnya bila dibandingkan dengan yang dihasilkan nalar rasio misal seperti
penerapan qiyas yang cenderung spekulatif. Imam Ahmad sendiri secara tegas
menyatakan:
ضعيف الحديث أحب
إلبنا من الرأي و ضعيف الحديث أقوى من الرأي
Hadis berkualitas dha'if [pada segi sanadnya] lebih
aku sukai dan lebih kuat statusnya daripada ra'yu.[6]
Prinsip ini tidak hanya membentuk pribadi Ahmad bin Hanbal
di bidang hadis, bahkan dalam bidang politik pun beliau lebih rela mendekam di
penjara dengan perlakuan sangat tidak manusiawi daripada harus menerima ra'yu
Khalifah al-Mu'tasim untuk mengakui keber-makhluk-an al-Qur'an.[7]
C.
Studi Kritik atas Musnad
Ahmad bin Hanbal
Di antara hadis
dha'if yang terdapat dalam kitab Musnad bin Hanbal adalah masalah boleh
tidaknya perempuan mengimami laki-laki atau menjadi khatib Jum’at.
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَدَّتِي عَنْ
أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَتْ
قَدْ جَمَعَتْ الْقُرْآنَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ وَكَانَتْ
تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا
Dari Abu Nu’ayim
dari al-Walid, dari nenekku, dari Ummu Waraqah binti Abdillah ibn al-Hrtis
al-Anshari, seorang wanita yang banyak menghafal al-Qur’an. Nabi saw pernah
memerintahkan beliau untuk mengimami keluarga serumahnya, beliau mempunyai
seorang “mu’azzin” dan beliau mengimami keluarganya.[8]
Kajian sanad
hadis
Terdapat lima syarat yang hampir
disepakati oleh semua ahli hadis untuk menentukan kreteria hadis sahih. Yaitu:
1.Kesinambungan sanad,
2. Keadilan (jujuran dan lurus aqidah)
perawinya,
3. Ke-dhabit-an (kuat hapalan) perawi,
4. Tidak adanya pertentangan dengan
riwayat yang lebih kuat,
5. Tidak ada cacat yang tersembunyi.
Sebelum menguji
validitas riwayat hadis di atas sesuai kriteria di atas, maka dapat digambarkan
terlebih dahulu jalur periwayatan hadis ini secara utuh.
A. Jalur Periwayatan
Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Nu’aim al-Fadh ibn Dukayn dan oleh Abu
Dawud dari Utsman ibn Abi Syaibah dari Waki’ ibn Jarrah, juga dari al-Hasan ibn
Hammad al-Hadrami, dari Muhammad ibn Fudayl, Ketiga perawi ini (Abu Nu’aim,
Waki’, Muhammad ibn Fudayl) sama-sama meriwayatkan dari al-Walid ibn Abdillah
ibn Jumay’i’ yang meriwayatkannya dari dua orang, yaitu neneknya sendiri dan
Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ansari, kedua-duanya meriwayatkan dari Ummu
Waraqah.
B. Identitas dan
Kredibilatas Perawi
Dari gambaran sanad
(jalur periwayatan) di atas, nampak bahwa kedua riwayat bertemu di al-Walid ibn
Abdillah ibn Jumayi’. Abu Dawud yang meriwayatkannya dari Ustman dari Waki’
juga dari al-Hasan dari Muhammad, dan Ahmad dari Abu Nu’ayim, kelima-lima
perawi ini tidak mempunyai catatan negatif. Ibn Hajar menilai Utsman sebagai
tsiqat hafiz (dipercaya dan penghafal hadis), Waki’ sebagai tsiqat hafiz ‘abid
(dipercaya, penghafal hadis dan ahli ibadah), al-Hasan sebagai saduq (jujur)
dan Muhammad sebagai saduq ‘arif rumiya bittasyayyu’ (jujur, berilmu, dituduh
sebagai pengikut syi’ah) dan Abu Nu’ayim sebagai tsiqah tsabat (dapat dipercaya
dan hafalannya kuat).
Sedangkan al-Walid
yang merupakan muara periwayatan hadis ini dan karenanya kedudukan hadis ini
tergantung pada periwayatannya, mempunyai kredibilitas sebagai berikut: Ibn
Ma’in dan Ibn Hibban berpendapat: Tsiqah (dipercaya). Ahmad bin Hanbal dan Abu
Dawud berkata: Laysa bihi ba’sun (tidak masalah). Abu Zur’ah: La ba’sa bihi
(tidak apa). Abu Hatim: Salih al-hadis (dapat meriwayatkan hadis). Ibn Hajar
menyimpulkannya dengan: Saduq yahim, wa rumiya bi al-tasyayyu’ (jujur, namun
sering mengkira-kira, dituduh sebagai pengikut syi’ah).
Sedangkan sumber
periwayatan bagi al-Walid adalah Abdurrahman ibn Khalid dan neneknya.
Abd al-Rahman ibn
Khallad al-Ansari tidak diketahui kredibilitasnya, bahkan hanya satu orang yang
meriwayatkan dari beliau yaitu al-Walid saja. Karena itu Ibn Hajar berkata
majhul al-hal (tidak diketahui kredibilitasnya). Betul, Ibn Hibban
menyebutkannya dalam kitab al-Tsiqah (jil.5, hal. 317), namun para kritikus
hadis sering menyoroti kemudahan penilaian Ibn Hibban seperti ini dan kurang
dapat menerimanya. Demikian halnya dengan neneknya al-Walid yang tidak dikenal
dan diketahui kredibilitasnya.
Dalam riwayat Ibn
Mandah dan Abu Nu’ayim, al-Walid meriwayatkannya dari Laila binti Malik yang
meriwayatkannya dari Ibunya, dari Ummu Waraqah. Dalam riwayat lain antara
Abdurrahman dan Ummu Waraqah perawi lain. Hal ini mendukung dugaan kekurang
hafalannya al-Walid sebagaimana dikatakan Ibn Hajar sebagai Yahim. Hal ini
paling tidak, akan menambah kelemahan riwayat hadis ini.
[1] Muhammad ibn 'Alawi
al-Maliki, al-Minhal al-Latif fi Usul al-Hadis asy-Syarif, (Jeddah:
Mathabi' al-Sahr, 1982), hlm. 269.
[3] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis
wa al-Muhaddisun, (Beirut :
Dar al-Fikr al-'Arabi, t.t.), hlm. 370. Mengenai alasan pengulangan ini antara
lain: (1) Boleh jadi hadis tersebut sudah diriwayatkan oleh salah seorang sahabat
dan diriwayatkan lagi oleh sahabat lain; (2) hadis-hadis tersebut memiliki
penekanan makna yang berbeda sehingga perlu dicantumkan dalam bab yang berbeda
pula; (3) hadis-hadis tersebut diriwayatkan dengan metode yang berbeda, misal
di satu tempat dengan metode sima'i dan di tempat lain dengan metode mu'an
'an; (4) Pada hadis-hadis tersebut, ada sanad yang ditambahkan dan ada yang
dikurangi; (5) hadis tersebut mendapat penilaian ganda, misal ada yang
mengatakan berstatus marfu' dan ada yang mengatakan berstatus mauquf sehingga
perlu diulang. Lihat: Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa'id at-Tahditz min
Qununi Musthalah al-Hadis, (Beirut :
Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t.), hlm. 226-227.
[6]
Muhammad 'Awwamah, Atsar al-Hadis al-Syarif, (Jeddah: Dar al-Qiblah,
1940), hlm. 27.
maaf. apakah ini bener tulisan karya anda ?
BalasHapus