A.
PENDAHULUAN
Multikulturalisme dan pluralisme
agama belakangan ini menjadi isu sentral dalam mengembangkan teologi inklusif
dan pluralis. Munculnya isu ini disebabkan oleh semakin kaburnya kesadaran
masyarakat tentang pluralisme yang meniscayakan multietnik dan agama, yang
tumbuh dalam masyarakat plural. Pada aras ini, toleransi etnik dan agama di
Indonesia menjadi agenda penting sejak maraknya kekerasan etnik dan agama yang
meledak seiring dengan pergeseran politik mutakhir. Itu sebabnya, Islam sebagai
agama mayoritas memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan teologi inklusif dan
pluralis sehingga memberikan pencerahan bagi umat akan arti pentingnya
kehadiran etnik dan agama yang beraneka ragam. Tanpa ini semua, Islam akan
berwajah ekslusif yang rentan terhadap konflik, entah agama maupun etnik[1].
Untuk mewujudkan hal di atas, pluralisme
tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good),
hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep
fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”, bahkan pluralisme adalah juga suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme
pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru
disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara
sesama manusia guna mememlihara keutahuan bumi, dan merupakan salah satu wujud
kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.[2]
“Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang
lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah
kepada seluruh alam (Al-Qur’an, s. al-Baqarah/2:251).
Dalam makalah ini penulis akan
berusaha mensinkronkan antara tuntutan realitas masyarakat plural sebagaimana
dalam kutipan di atas dengan tindakan Rasulullah Saw sendiri dalam kapasitasnya
sebagai pelaku “akhlak al-Qur’an” sejati, yang mana telah diketahui bahwa
Beliau juga hidup dalam nuansa plural sebagaimana yang kita alami sekarang ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an
Islam meyakini
bahwa Nabi Muhammad diutus ke pusaran bumi ini adalah untuk membangun moralitas
di antara sesama (innamâ bu’itstu liutammima makârimal akhlak).
Pernyataan ini dipertegas lagi dalam firman-Nya: Dan tiadalah Kami mengutus
kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Q.S. 21: 107)
Syafii
Anwar, Direktur Eksekutif The International Center for Islam and Pluralism
(ICIP), dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan yang dianut oleh setiap anggota
masyarakat termasuk Islam, mengakui adanya pluralisme. Maka, merupakan
kewajiban esensial dan mendasar bagi umat beragama untuk memahami pluralisme
yang sering disebut sebagai global ethic.[3]
Berangkat
dari pemahaman di atas, maka membicarakan wacana pluralisme agama dalam
al-Qur'an tidak serta merta dihadapkan pada satu perspektif teologis semata, dimensi sosial dan politik
juga akan sangat membantu memperluas horizon pemahaman terhadap kandungannya.
Pluralisme Agama
|
Keragaman agama yang dipeluk
oleh suatu bangsa sudah ada sejak bangsa itu tumbuh. Artinya ini sudah
menjadi sunnatullah:
وَقُلِ
الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
|
Terbentuknya
sikap penerimaan dan pengakuan terhadap pemeluk agama lain dapat menjadi
legitimasi bagi terwujudnya kerukunan antar umat beragama:لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِين ِ
|
Semua agama dapat menjadi jalan
keselamatan bagi setiap pemeluknya:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ
هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ
|
Secara sosial,
sudah jelas bahwa fenomena pluralisme merupakan sunnatullah. Terkait dengan hal
ini, Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhidnya menegaskan bahwa dalam Q.S.
Yunus: 99 tersirat pemahaman jika Tuhan menghendaki penduduk bumi semuanya
beriman, tentulah tidaklah sulit bagi-Nya menghunjamkan rasa iman ke dalam
lubuk hati mereka, sehingga kondisi mereka laksana malaikat tanpa ada
penyediaan pada fitrahnya untuk selain beriman,[4]tapi
hal ini bukan menjadi bagian dari KehendakNya.
Secara
politik, terlihat jelas bahwa dalam sejarahnya, Islam selalu mengakui fakta
adanya pluralisme. Terbukti pada saat Nabi Muhammad telah membentuk masyarakat
Islam di Madinah. Umat Islam kala itu, telah memberikan teladan untuk mengakui
keberadaan umat lain. Mereka bisa hidup berdampingan dengan umat Yahudi maupun
Nasrani. Berkaca dari fakta sejarah itu, umat Islam mestinya merespon
pluralisme secara positif, karena pluralisme merupakan sebuah kenyataan yang
tak bisa dielakkan.
Dan
secara teologis, al-Qur'an juga mengakui dengan tegas bahwa kehadirannya adalah
sebagai mushaddiq (pembenar) bagi ajaran yang datang sebelumnya.
Artinya, umat manusia yang masih berpedoman pada kitab ilahiyah memiliki jalan
yang sama untuk mencapai keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Dengan
demikian, idealnya pluralisme agama tidak diasumsikan sebagai pluralisme yang
diposisikan secara berlawanan, melainkan sebagai pemersatu yang dapat menjadi
perekat hubungan antar komponen di dalam masyarakat.
Dalam
al-Qur’an surat Ali ‘Imron:113-115, Allah berfirman;
لَيْسُوا
سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ
ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ.
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ.
وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ
يُكْفَرُوهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ.
“Mereka
itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus,
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka
juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan
mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera
kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang
saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka
tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang bertakwa.”
Ayat serupa juga terdapat dalam surat al-Syura’ :15;
فَلِذَلِكَ
فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ
وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ
يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ.
“Maka
karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan
Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada
pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita)"
Dan ayat yang paling tegas agar kita tidak boleh mengklaim bahwa
diri kita lebih baik ketaqwaannya dari orang lain dikatakan dalam surat an-Najm
:32;
فَلَا تُزَكُّوا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى.
“Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.”
Ayat ini melarang menganggap diri kita paling suci, paling benar
atau paling taqwa, karena yang mengetahui hal itu semua hanya Allah semata dan
kita semua akan tahu balasannya bersama-sama di akhirat kelak.
2.
Pluralisme Agama dalam Perspektif Hadis
Setelah
al-Qur’an memberikan penjelasan mengenai pluralisme, maka sunnah datang untuk
memberikan bentuk-bentuk detail dan aplikasi dari ajaran-ajaran dasar al-Qur’an
itu. Diceritakan oleh Abu Dawud dalam kitab Adab (4292) sebuah hadis dari Ibnu
Umar:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ السَّرْحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ ابْنِ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
يَرْوِيهِ قَالَ ابْنُ السَّرْحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا
فَلَيْسَ مِنَّا.
Nabi
bersabda :
“Barang
siapa tidak menyayangi kepada anak kecil dan tidak memuliakan orang yang lebih
tua maka orang tersebut bukan termasuk dari golongan kita”
Dalam
menyikapi Hadis tersebut, sahabat Ali bin Abi Thalib pernah suatu saat keluar
rumah untuk berjamaah subuh dengan Nabi Saw, tiba-tiba di depan Ali ada orang
tua yang berjalan sangat lambat karena tuanya, Ali terpaksa berjalan lambat
mengikuti di belakang orang itu dan tidak berani mendahului. Setelah sampai di
depan masjid Ali tahu bahwa orang itu bukan muslim melainkan orang Yahudi yang
akan datang ke gereja. Ali mengira bahwa dia sudah ketinggalan jama’ah, tetapi
ternyata Nabi masih dalam keadaan ruku’ yang telah lama tidak bangkit
beri’tidal, maka segera Ali bertakbir. Setelah Nabi salam para sahabat bertanya
kepada Rasulullah, mengapa melakukan ruku’ begitu lama? Nabi menjawab bahwa
pada saat beliau ruku’ beliau di tekan oleh Jibril untuk menunggu Ali yang
menghormati orang tua Yahudi yang sukar berjalan supaya Ali bisa mendapatkan
pahala jama’ah subuh.[5]
Dengan
melihat hadis di atas, berarti saling hormat-menghormati dan sayang menyayangi
tidak memandang apa agama yang dianutnya.
Imam
Bukhari meriwayatkan dalam kitab janazah (1229):
حَدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ كَانَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ وَقَيْسُ بْنُ
سَعْدٍ قَاعِدَيْنِ بِالْقَادِسِيَّةِ فَمَرُّوا عَلَيْهِمَا بِجَنَازَةٍ فَقَامَا
فَقِيلَ لَهُمَا إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ أَيْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ
فَقَالَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ
جِنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ
نَفْسًا وَقَالَ أَبُو حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَمْرٍو عَنْ ابْنِ أَبِي
لَيْلَى قَالَ كُنْتُ مَعَ قَيْسٍ وَسَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ زَكَرِيَّاءُ
عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى كَانَ أَبُو مَسْعُودٍ وَقَيْسٌ
يَقُومَانِ لِلْجَنَازَةِ
Artinya :
“ Pada
suatu saat telah dibawa seorang jenazah,
kemudian Nabi berdiri, lalu ada yang mengatakan kepada Nabi bahwa jenazah
tersebut adalah seorang Yahudi, maka Nabi bersabda; bukankah dia juga jiwa?, “
Ini berarti bahwa jiwa manusia mempunyai kehormatan dan kedudukan,
apapun agama yang dianutnya.
Dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas berkata: “ balaslah salam kepada
siapa saja, baik Yahudi, Nasrani, atau Majusi, hal itu karena Alla berfirman :
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan
itu dengah lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa” (surat al-Nisa’ : 86).
Diceritakan pula bahwa suatu hari ada seorang Majusi bersalam kepada Nabi, lalu
Nabi menjawab salamnya seraya berkata; “ Dan bagimu keselamatan dan rahmat
Allah”. Sebagian orang yang ikut bersama beliau bertanya; “Engkau mengucapkan
“dan ramat Allah bagimu”? “Nabi menjawab: “Bukankah dalam rahmat Allah ia dapat
hidup ?”.[6]
Pada awal kedatangan Rasulullah Saw di Madinah, beliau mengadakan
perjanjian dengan tiga klan Yahudi di Madinah, untuk saling menjaga integritas
wilyah Madinah. Kesepakatan ini terkenal dengan Piagam Madinah (misaq
al-Madinah). Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Kitab
Al-Jihad (2818)
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي
عَمْرُو بْنُ أَبِي سُفْيَانَ بْنِ أَسِيدِ بْنِ جَارِيَةَ الثَّقَفِيُّ وَهُوَ
حَلِيفٌ لِبَنِي زُهْرَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشَرَةَ رَهْطٍ سَرِيَّةً عَيْنًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ
عَاصِمَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ جَدَّ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
فَانْطَلَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْهَدَأَةِ وَهُوَ بَيْنَ عُسْفَانَ
وَمَكَّةَ ذُكِرُوا لِحَيٍّ مِنْ هُذَيْلٍ يُقَالُ لَهُمْ بَنُو لَحْيَانَ
فَنَفَرُوا لَهُمْ قَرِيبًا مِنْ مِائَتَيْ رَجُلٍ كُلُّهُمْ رَامٍ فَاقْتَصُّوا
آثَارَهُمْ حَتَّى وَجَدُوا مَأْكَلَهُمْ تَمْرًا تَزَوَّدُوهُ مِنْ الْمَدِينَةِ
فَقَالُوا هَذَا تَمْرُ يَثْرِبَ فَاقْتَصُّوا آثَارَهُمْ فَلَمَّا رَآهُمْ
عَاصِمٌ وَأَصْحَابُهُ لَجَئُوا إِلَى فَدْفَدٍ وَأَحَاطَ بِهِمْ الْقَوْمُ فَقَالُوا
لَهُمْ انْزِلُوا وَأَعْطُونَا بِأَيْدِيكُمْ وَلَكُمْ الْعَهْدُ وَالْمِيثَاقُ
وَلَا نَقْتُلُ مِنْكُمْ أَحَدًا قَالَ عَاصِمُ بْنُ ثَابِتٍ أَمِيرُ السَّرِيَّةِ
أَمَّا أَنَا فَوَاللَّهِ لَا أَنْزِلُ الْيَوْمَ فِي ذِمَّةِ كَافِرٍ اللَّهُمَّ
أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ فَرَمَوْهُمْ بِالنَّبْلِ فَقَتَلُوا عَاصِمًا فِي سَبْعَةٍ
فَنَزَلَ إِلَيْهِمْ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ بِالْعَهْدِ وَالْمِيثَاقِ مِنْهُمْ
خُبَيْبٌ الْأَنْصَارِيُّ وَابْنُ دَثِنَةَ وَرَجُلٌ آخَرُ فَلَمَّا اسْتَمْكَنُوا
مِنْهُمْ أَطْلَقُوا أَوْتَارَ قِسِيِّهِمْ فَأَوْثَقُوهُمْ فَقَالَ الرَّجُلُ
الثَّالِثُ هَذَا أَوَّلُ الْغَدْرِ وَاللَّهِ لَا أَصْحَبُكُمْ إِنَّ لِي فِي
هَؤُلَاءِ لَأُسْوَةً يُرِيدُ الْقَتْلَى فَجَرَّرُوهُ وَعَالَجُوهُ عَلَى أَنْ
يَصْحَبَهُمْ فَأَبَى فَقَتَلُوهُ فَانْطَلَقُوا بِخُبَيْبٍ وَابْنِ دَثِنَةَ
حَتَّى بَاعُوهُمَا بِمَكَّةَ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ فَابْتَاعَ خُبَيْبًا بَنُو
الْحَارِثِ بْنِ عَامِرِ بْنِ نَوْفَلِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ
قَتَلَ الْحَارِثَ بْنَ عَامِرٍ يَوْمَ بَدْرٍ فَلَبِثَ خُبَيْبٌ عِنْدَهُمْ
أَسِيرًا فَأَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عِيَاضٍ أَنَّ بِنْتَ الْحَارِثِ
أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُمْ حِينَ اجْتَمَعُوا اسْتَعَارَ مِنْهَا مُوسَى يَسْتَحِدُّ
بِهَا فَأَعَارَتْهُ فَأَخَذَ ابْنًا لِي وَأَنَا غَافِلَةٌ حِينَ أَتَاهُ قَالَتْ
فَوَجَدْتُهُ مُجْلِسَهُ عَلَى فَخِذِهِ وَالْمُوسَى بِيَدِهِ فَفَزِعْتُ فَزْعَةً
عَرَفَهَا خُبَيْبٌ فِي وَجْهِي فَقَالَ تَخْشَيْنَ أَنْ أَقْتُلَهُ مَا كُنْتُ
لِأَفْعَلَ ذَلِكَ وَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ أَسِيرًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ خُبَيْبٍ
وَاللَّهِ لَقَدْ وَجَدْتُهُ يَوْمًا يَأْكُلُ مِنْ قِطْفِ عِنَبٍ فِي يَدِهِ
وَإِنَّهُ لَمُوثَقٌ فِي الْحَدِيدِ وَمَا بِمَكَّةَ مِنْ ثَمَرٍ وَكَانَتْ
تَقُولُ إِنَّهُ لَرِزْقٌ مِنْ اللَّهِ رَزَقَهُ خُبَيْبًا فَلَمَّا خَرَجُوا مِنْ
الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ ذَرُونِي أَرْكَعْ
رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ لَوْلَا أَنْ
تَظُنُّوا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَطَوَّلْتُهَا اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا مَا
أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَيِّ شِقٍّ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي
وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الْإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ
مُمَزَّعِ فَقَتَلَهُ ابْنُ الْحَارِثِ فَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ
الرَّكْعَتَيْنِ لِكُلِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا فَاسْتَجَابَ اللَّهُ
لِعَاصِمِ بْنِ ثَابِتٍ يَوْمَ أُصِيبَ فَأَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ خَبَرَهُمْ وَمَا أُصِيبُوا وَبَعَثَ نَاسٌ مِنْ
كُفَّارِ قُرَيْشٍ إِلَى عَاصِمٍ حِينَ حُدِّثُوا أَنَّهُ قُتِلَ لِيُؤْتَوْا
بِشَيْءٍ مِنْهُ يُعْرَفُ وَكَانَ قَدْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ عُظَمَائِهِمْ يَوْمَ
بَدْرٍ فَبُعِثَ عَلَى عَاصِمٍ مِثْلُ الظُّلَّةِ مِنْ الدَّبْرِ فَحَمَتْهُ مِنْ رَسُولِهِمْ
فَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى أَنْ يَقْطَعَ مِنْ لَحْمِهِ شَيْئًا
C.
ANALISIS
Meskipun secara teologis ayat-ayat
yang memposisikan ahlu al-kitab masih diperdebatkan penafsirannya, namun
itu semua hanya akan kembali kepada keselamatan individual semata, dalam arti
jika kita bersikeras kepada pendapat kita bahwa agama Islam sajalah yang benar
sementara agama yang lain salah, maka hal tersebut hanya akan menjanjikan
kebenaran dan keselamatan hanya untuk orang islam sendiri, sementara kita
sebagai umat Islam yang rahmatan lil ‘alamain seharusnya mampu
“meyelamatkan seluruh alam” yang ada dilingkungan kita tanpa membedakan agama
dan etnik tertentu.
Menurut hemat penulis, dalam level
kehidupan individual, orang boleh saja menggaris bawahi perlunya setuju dalam
perbedaan, tetapi dalam level kehidupan sosial publik, bukan pola tersebut yang
diperlukan, melainkan model kontrak sosial, karena dari sinilah sebuah asumsi dan keyakinan bahwa kita
semua sejak semula memang berbeda dalam
banyak hal, lebih-lebih dalam bidang aqidah, iman, mulai dipikiran. Akan tetapi
demi untuk menjaga keharmonisan keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama
dan kelompok, mau tidak mau kita harus rela untuk menjalin kerjasama dalam
bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok dan warga masyarakat, yang sejak
semula memang berbeda ditinjau dari segi apapun.
D.
PENUTUP
Dengan menelaah fenomena pluralisme agama dari beberapa
sudut pandang dalam al-Qur'an dan al-Hadis maka tidak ada alasan lain kecuali harus
menerima pluralisme agama sebagai sebuah fenomena alamiah. Dengan demikian,
guna mendinamiskan iklim kebersamaan dalam kebhinekaan agama yang dianut umat
masing-masing menuju suasana hidup berdampingan (rukun), perlu diintensifkan
upaya moderasi pemahaman umat terhadap ajaran agamanya masing-masing dan
pengembangan sikap toleransi (al-tasamuh al-diniy). Toleransi keagamaan
dimaksud berintikan :
- Mengakui
keberadaan agama-agama dan menghormati hak umat beragama dalam menghayati
serta menunaikan tradisi keagamaan masing-masing.
- Mentolerir
perbedaan paham keagamaan, termasuk sikap keberatan terhadap hal-hal yang
tidak sesuai dengan paham keagamaan yang dianut.
- Memperlihatkan
sikap solidaritas sosial atas kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah).
- Mengupayakan
agar tidak terjadi konversi agama yang terkesan dipaksakan.
- Kesamaan
warga negara di depan hukum dan undang-undang tanpa membedakan latar
belakang agama yang dipeluk.
Demikianlah sekelumit pembahasan sederhana ini, semoga menjadi
tulisan yang bermanfaat. Amien.
DAFTAR PUTAKA
Al-Qur’anul Karim
CD Kitab Hadis
Hamami Zada, Memebebaskan Pendidikan Islam dari
Ekslusivme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jakarta, Jurnal Taswirul Afkar, Cet .11, 2001
Budhy Munawar, Islam
Pluralis, Jakarta, Paramadina, 2001
Syafii Anwar," Pluralisme Ubah Mindset Demi
Damai", dalam Republika,
Jum'at, 3 Desember 2004
Syekh Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid, alih bahasa Firdaus A.N. Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Misbah Mustofa, Shibghat
Allah, Tuban, Majlis ta’lif wa al-Khattat,tt
Yusuf al-Qardawi, Al-Sunnah Masdaran lil-Ma’rifah
wa al-Hadlarah, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Terj. Abad
Badruzzaman hlm.430.
[1] Hamami Zada, Memebebaskan Pendidikan Islam
dari Ekslusivme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme, (Jakarta, Jurnal
Taswirul Afkar, Cet .11, 2001), hlm. 2.
[3] Syafii Anwar," Pluralisme Ubah Mindset
Demi Damai",
dalam Republika, Jum'at, 3 Desember 2004, hlm. 6.
[4] Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,
alih bahasa Firdaus A.N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 68.
[6] Yusuf al-Qardawi, Al-Sunnah Masdaran
lil-Ma’rifah wa al-Hadlarah, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,
Terj. Abad Badruzzaman (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001), hlm.430.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar