Senin, 18 November 2013

ISLAM PLURALIS DALAM PERSPEKTIF HADIS

A.    PENDAHULUAN

Multikulturalisme dan pluralisme agama belakangan ini menjadi isu sentral dalam mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Munculnya isu ini disebabkan oleh semakin kaburnya kesadaran masyarakat tentang pluralisme yang meniscayakan multietnik dan agama, yang tumbuh dalam masyarakat plural. Pada aras ini, toleransi etnik dan agama di Indonesia menjadi agenda penting sejak maraknya kekerasan etnik dan agama yang meledak seiring dengan pergeseran politik mutakhir. Itu sebabnya, Islam sebagai agama mayoritas memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan teologi inklusif dan pluralis sehingga memberikan pencerahan bagi umat akan arti pentingnya kehadiran etnik dan agama yang beraneka ragam. Tanpa ini semua, Islam akan berwajah ekslusif yang rentan terhadap konflik, entah agama maupun etnik[1].
Untuk mewujudkan hal di atas, pluralisme tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”, bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna mememlihara keutahuan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.[2] “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam (Al-Qur’an, s. al-Baqarah/2:251).
Dalam makalah ini penulis akan berusaha mensinkronkan antara tuntutan realitas masyarakat plural sebagaimana dalam kutipan di atas dengan tindakan Rasulullah Saw sendiri dalam kapasitasnya sebagai pelaku “akhlak al-Qur’an” sejati, yang mana telah diketahui bahwa Beliau juga hidup dalam nuansa plural sebagaimana yang kita alami sekarang ini.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an
Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad diutus ke pusaran bumi ini adalah untuk membangun moralitas di antara sesama (innamâ bu’itstu liutammima makârimal akhlak). Pernyataan ini dipertegas lagi dalam firman-Nya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Q.S. 21: 107)
Syafii Anwar, Direktur Eksekutif The International Center for Islam and Pluralism (ICIP), dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan yang dianut oleh setiap anggota masyarakat termasuk Islam, mengakui adanya pluralisme. Maka, merupakan kewajiban esensial dan mendasar bagi umat beragama untuk memahami pluralisme yang sering disebut sebagai global ethic.[3]
Berangkat dari pemahaman di atas, maka membicarakan wacana pluralisme agama dalam al-Qur'an tidak serta merta dihadapkan pada satu perspektif  teologis semata, dimensi sosial dan politik juga akan sangat membantu memperluas horizon pemahaman terhadap kandungannya.
Pluralisme Agama
Secara garis besar, al-Qur'an membicarakan wacana pluralisme agama dalam tiga ranah, yaitu ranah sosial, politik, dan teologis. Untuk lebih mempermudah, penjelasan tersebut dapat disajikan dalam skema berikut:                         
 


          Sosial                                     Politik                                   Teologis


Keragaman agama yang dipeluk oleh suatu bangsa sudah ada sejak bangsa itu tumbuh. Artinya ini sudah menjadi sunnatullah:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ
Terbentuknya sikap penerimaan dan pengakuan terhadap pemeluk agama lain dapat menjadi legitimasi bagi terwujudnya kerukunan antar umat beragama:لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِين ِ
Semua agama dapat menjadi jalan keselamatan bagi setiap pemeluknya:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ
 






Secara sosial, sudah jelas bahwa fenomena pluralisme merupakan sunnatullah. Terkait dengan hal ini, Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhidnya menegaskan bahwa dalam Q.S. Yunus: 99 tersirat pemahaman jika Tuhan menghendaki penduduk bumi semuanya beriman, tentulah tidaklah sulit bagi-Nya menghunjamkan rasa iman ke dalam lubuk hati mereka, sehingga kondisi mereka laksana malaikat tanpa ada penyediaan pada fitrahnya untuk selain beriman,[4]tapi hal ini bukan menjadi bagian dari KehendakNya.
Secara politik, terlihat jelas bahwa dalam sejarahnya, Islam selalu mengakui fakta adanya pluralisme. Terbukti pada saat Nabi Muhammad telah membentuk masyarakat Islam di Madinah. Umat Islam kala itu, telah memberikan teladan untuk mengakui keberadaan umat lain. Mereka bisa hidup berdampingan dengan umat Yahudi maupun Nasrani. Berkaca dari fakta sejarah itu, umat Islam mestinya merespon pluralisme secara positif, karena pluralisme merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa dielakkan.
Dan secara teologis, al-Qur'an juga mengakui dengan tegas bahwa kehadirannya adalah sebagai mushaddiq (pembenar) bagi ajaran yang datang sebelumnya. Artinya, umat manusia yang masih berpedoman pada kitab ilahiyah memiliki jalan yang sama untuk mencapai keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, idealnya pluralisme agama tidak diasumsikan sebagai pluralisme yang diposisikan secara berlawanan, melainkan sebagai pemersatu yang dapat menjadi perekat hubungan antar komponen di dalam masyarakat.
Dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imron:113-115, Allah berfirman;
لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ.
 يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ.
 وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ يُكْفَرُوهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ.

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.”
Ayat serupa juga terdapat dalam surat al-Syura’ :15;

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ.

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)"
Dan ayat yang paling tegas agar kita tidak boleh mengklaim bahwa diri kita lebih baik ketaqwaannya dari orang lain dikatakan dalam surat an-Najm :32;
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
Ayat ini melarang menganggap diri kita paling suci, paling benar atau paling taqwa, karena yang mengetahui hal itu semua hanya Allah semata dan kita semua akan tahu balasannya bersama-sama di akhirat kelak.



2.      Pluralisme Agama dalam Perspektif Hadis
Setelah al-Qur’an memberikan penjelasan mengenai pluralisme, maka sunnah datang untuk memberikan bentuk-bentuk detail dan aplikasi dari ajaran-ajaran dasar al-Qur’an itu. Diceritakan oleh Abu Dawud dalam kitab Adab (4292) sebuah hadis dari Ibnu Umar:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ السَّرْحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ ابْنِ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو يَرْوِيهِ قَالَ ابْنُ السَّرْحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا.

Nabi bersabda :
“Barang siapa tidak menyayangi kepada anak kecil dan tidak memuliakan orang yang lebih tua maka orang tersebut bukan termasuk dari golongan kita”

Dalam menyikapi Hadis tersebut, sahabat Ali bin Abi Thalib pernah suatu saat keluar rumah untuk berjamaah subuh dengan Nabi Saw, tiba-tiba di depan Ali ada orang tua yang berjalan sangat lambat karena tuanya, Ali terpaksa berjalan lambat mengikuti di belakang orang itu dan tidak berani mendahului. Setelah sampai di depan masjid Ali tahu bahwa orang itu bukan muslim melainkan orang Yahudi yang akan datang ke gereja. Ali mengira bahwa dia sudah ketinggalan jama’ah, tetapi ternyata Nabi masih dalam keadaan ruku’ yang telah lama tidak bangkit beri’tidal, maka segera Ali bertakbir. Setelah Nabi salam para sahabat bertanya kepada Rasulullah, mengapa melakukan ruku’ begitu lama? Nabi menjawab bahwa pada saat beliau ruku’ beliau di tekan oleh Jibril untuk menunggu Ali yang menghormati orang tua Yahudi yang sukar berjalan supaya Ali bisa mendapatkan pahala jama’ah subuh.[5]
Dengan melihat hadis di atas, berarti saling hormat-menghormati dan sayang menyayangi tidak memandang apa agama yang dianutnya.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab janazah (1229):
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ كَانَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ وَقَيْسُ بْنُ سَعْدٍ قَاعِدَيْنِ بِالْقَادِسِيَّةِ فَمَرُّوا عَلَيْهِمَا بِجَنَازَةٍ فَقَامَا فَقِيلَ لَهُمَا إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ أَيْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَقَالَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا وَقَالَ أَبُو حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَمْرٍو عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ كُنْتُ مَعَ قَيْسٍ وَسَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى كَانَ أَبُو مَسْعُودٍ وَقَيْسٌ يَقُومَانِ لِلْجَنَازَةِ

Artinya :
“ Pada suatu saat  telah dibawa seorang jenazah, kemudian Nabi berdiri, lalu ada yang mengatakan kepada Nabi bahwa jenazah tersebut adalah seorang Yahudi, maka Nabi bersabda; bukankah dia juga jiwa?, “

Ini berarti bahwa jiwa manusia mempunyai kehormatan dan kedudukan, apapun agama yang dianutnya.
Dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas berkata: “ balaslah salam kepada siapa saja, baik Yahudi, Nasrani, atau Majusi, hal itu karena Alla berfirman : “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengah lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa” (surat al-Nisa’ : 86). Diceritakan pula bahwa suatu hari ada seorang Majusi bersalam kepada Nabi, lalu Nabi menjawab salamnya seraya berkata; “ Dan bagimu keselamatan dan rahmat Allah”. Sebagian orang yang ikut bersama beliau bertanya; “Engkau mengucapkan “dan ramat Allah bagimu”? “Nabi menjawab: “Bukankah dalam rahmat Allah ia dapat hidup ?”.[6]
Pada awal kedatangan Rasulullah Saw di Madinah, beliau mengadakan perjanjian dengan tiga klan Yahudi di Madinah, untuk saling menjaga integritas wilyah Madinah. Kesepakatan ini terkenal dengan Piagam Madinah (misaq al-Madinah). Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Kitab Al-Jihad (2818)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ أَبِي سُفْيَانَ بْنِ أَسِيدِ بْنِ جَارِيَةَ الثَّقَفِيُّ وَهُوَ حَلِيفٌ لِبَنِي زُهْرَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشَرَةَ رَهْطٍ سَرِيَّةً عَيْنًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَاصِمَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ جَدَّ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَانْطَلَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْهَدَأَةِ وَهُوَ بَيْنَ عُسْفَانَ وَمَكَّةَ ذُكِرُوا لِحَيٍّ مِنْ هُذَيْلٍ يُقَالُ لَهُمْ بَنُو لَحْيَانَ فَنَفَرُوا لَهُمْ قَرِيبًا مِنْ مِائَتَيْ رَجُلٍ كُلُّهُمْ رَامٍ فَاقْتَصُّوا آثَارَهُمْ حَتَّى وَجَدُوا مَأْكَلَهُمْ تَمْرًا تَزَوَّدُوهُ مِنْ الْمَدِينَةِ فَقَالُوا هَذَا تَمْرُ يَثْرِبَ فَاقْتَصُّوا آثَارَهُمْ فَلَمَّا رَآهُمْ عَاصِمٌ وَأَصْحَابُهُ لَجَئُوا إِلَى فَدْفَدٍ وَأَحَاطَ بِهِمْ الْقَوْمُ فَقَالُوا لَهُمْ انْزِلُوا وَأَعْطُونَا بِأَيْدِيكُمْ وَلَكُمْ الْعَهْدُ وَالْمِيثَاقُ وَلَا نَقْتُلُ مِنْكُمْ أَحَدًا قَالَ عَاصِمُ بْنُ ثَابِتٍ أَمِيرُ السَّرِيَّةِ أَمَّا أَنَا فَوَاللَّهِ لَا أَنْزِلُ الْيَوْمَ فِي ذِمَّةِ كَافِرٍ اللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ فَرَمَوْهُمْ بِالنَّبْلِ فَقَتَلُوا عَاصِمًا فِي سَبْعَةٍ فَنَزَلَ إِلَيْهِمْ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ بِالْعَهْدِ وَالْمِيثَاقِ مِنْهُمْ خُبَيْبٌ الْأَنْصَارِيُّ وَابْنُ دَثِنَةَ وَرَجُلٌ آخَرُ فَلَمَّا اسْتَمْكَنُوا مِنْهُمْ أَطْلَقُوا أَوْتَارَ قِسِيِّهِمْ فَأَوْثَقُوهُمْ فَقَالَ الرَّجُلُ الثَّالِثُ هَذَا أَوَّلُ الْغَدْرِ وَاللَّهِ لَا أَصْحَبُكُمْ إِنَّ لِي فِي هَؤُلَاءِ لَأُسْوَةً يُرِيدُ الْقَتْلَى فَجَرَّرُوهُ وَعَالَجُوهُ عَلَى أَنْ يَصْحَبَهُمْ فَأَبَى فَقَتَلُوهُ فَانْطَلَقُوا بِخُبَيْبٍ وَابْنِ دَثِنَةَ حَتَّى بَاعُوهُمَا بِمَكَّةَ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ فَابْتَاعَ خُبَيْبًا بَنُو الْحَارِثِ بْنِ عَامِرِ بْنِ نَوْفَلِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ قَتَلَ الْحَارِثَ بْنَ عَامِرٍ يَوْمَ بَدْرٍ فَلَبِثَ خُبَيْبٌ عِنْدَهُمْ أَسِيرًا فَأَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عِيَاضٍ أَنَّ بِنْتَ الْحَارِثِ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُمْ حِينَ اجْتَمَعُوا اسْتَعَارَ مِنْهَا مُوسَى يَسْتَحِدُّ بِهَا فَأَعَارَتْهُ فَأَخَذَ ابْنًا لِي وَأَنَا غَافِلَةٌ حِينَ أَتَاهُ قَالَتْ فَوَجَدْتُهُ مُجْلِسَهُ عَلَى فَخِذِهِ وَالْمُوسَى بِيَدِهِ فَفَزِعْتُ فَزْعَةً عَرَفَهَا خُبَيْبٌ فِي وَجْهِي فَقَالَ تَخْشَيْنَ أَنْ أَقْتُلَهُ مَا كُنْتُ لِأَفْعَلَ ذَلِكَ وَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ أَسِيرًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ خُبَيْبٍ وَاللَّهِ لَقَدْ وَجَدْتُهُ يَوْمًا يَأْكُلُ مِنْ قِطْفِ عِنَبٍ فِي يَدِهِ وَإِنَّهُ لَمُوثَقٌ فِي الْحَدِيدِ وَمَا بِمَكَّةَ مِنْ ثَمَرٍ وَكَانَتْ تَقُولُ إِنَّهُ لَرِزْقٌ مِنْ اللَّهِ رَزَقَهُ خُبَيْبًا فَلَمَّا خَرَجُوا مِنْ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ ذَرُونِي أَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ لَوْلَا أَنْ تَظُنُّوا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَطَوَّلْتُهَا اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا مَا أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَيِّ شِقٍّ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الْإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ فَقَتَلَهُ ابْنُ الْحَارِثِ فَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ لِكُلِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا فَاسْتَجَابَ اللَّهُ لِعَاصِمِ بْنِ ثَابِتٍ يَوْمَ أُصِيبَ فَأَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ خَبَرَهُمْ وَمَا أُصِيبُوا وَبَعَثَ نَاسٌ مِنْ كُفَّارِ قُرَيْشٍ إِلَى عَاصِمٍ حِينَ حُدِّثُوا أَنَّهُ قُتِلَ لِيُؤْتَوْا بِشَيْءٍ مِنْهُ يُعْرَفُ وَكَانَ قَدْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ عُظَمَائِهِمْ يَوْمَ بَدْرٍ فَبُعِثَ عَلَى عَاصِمٍ مِثْلُ الظُّلَّةِ مِنْ الدَّبْرِ فَحَمَتْهُ مِنْ رَسُولِهِمْ فَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى أَنْ يَقْطَعَ مِنْ لَحْمِهِ شَيْئًا



C.     ANALISIS
Meskipun secara teologis ayat-ayat yang memposisikan ahlu al-kitab masih diperdebatkan penafsirannya, namun itu semua hanya akan kembali kepada keselamatan individual semata, dalam arti jika kita bersikeras kepada pendapat kita bahwa agama Islam sajalah yang benar sementara agama yang lain salah, maka hal tersebut hanya akan menjanjikan kebenaran dan keselamatan hanya untuk orang islam sendiri, sementara kita sebagai umat Islam yang rahmatan lil ‘alamain seharusnya mampu “meyelamatkan seluruh alam” yang ada dilingkungan kita tanpa membedakan agama dan etnik tertentu.
Menurut hemat penulis, dalam level kehidupan individual, orang boleh saja menggaris bawahi perlunya setuju dalam perbedaan, tetapi dalam level kehidupan sosial publik, bukan pola tersebut yang diperlukan, melainkan model kontrak sosial, karena dari sinilah  sebuah asumsi dan keyakinan bahwa kita semua  sejak semula memang berbeda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang aqidah, iman, mulai dipikiran. Akan tetapi demi untuk menjaga keharmonisan keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama dan kelompok, mau tidak mau kita harus rela untuk menjalin kerjasama dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok dan warga masyarakat, yang sejak semula memang berbeda ditinjau dari segi apapun.

D.    PENUTUP
Dengan menelaah fenomena pluralisme agama dari beberapa sudut pandang dalam al-Qur'an dan al-Hadis  maka tidak ada alasan lain kecuali harus menerima pluralisme agama sebagai sebuah fenomena alamiah. Dengan demikian, guna mendinamiskan iklim kebersamaan dalam kebhinekaan agama yang dianut umat masing-masing menuju suasana hidup berdampingan (rukun), perlu diintensifkan upaya moderasi pemahaman umat terhadap ajaran agamanya masing-masing dan pengembangan sikap toleransi (al-tasamuh al-diniy). Toleransi keagamaan dimaksud berintikan :
  1. Mengakui keberadaan agama-agama dan menghormati hak umat beragama dalam menghayati serta menunaikan tradisi keagamaan masing-masing.
  2. Mentolerir perbedaan paham keagamaan, termasuk sikap keberatan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan paham keagamaan yang dianut.
  3. Memperlihatkan sikap solidaritas sosial atas kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah).
  4. Mengupayakan agar tidak terjadi konversi agama yang terkesan dipaksakan.
  5. Kesamaan warga negara di depan hukum dan undang-undang tanpa membedakan latar belakang agama yang dipeluk.
Demikianlah sekelumit pembahasan sederhana ini, semoga menjadi tulisan yang bermanfaat. Amien.





DAFTAR PUTAKA


Al-Qur’anul Karim

CD Kitab Hadis

Hamami Zada, Memebebaskan Pendidikan Islam dari Ekslusivme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme,  Jakarta, Jurnal Taswirul Afkar, Cet .11, 2001

Budhy Munawar, Islam Pluralis, Jakarta, Paramadina, 2001
Syafii Anwar," Pluralisme Ubah Mindset Demi Damai", dalam Republika, Jum'at, 3 Desember 2004
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, alih bahasa Firdaus A.N. Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Misbah Mustofa, Shibghat Allah, Tuban, Majlis ta’lif wa al-Khattat,tt

Yusuf al-Qardawi, Al-Sunnah Masdaran lil-Ma’rifah wa al-Hadlarah, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Terj. Abad Badruzzaman hlm.430.



[1] Hamami Zada, Memebebaskan Pendidikan Islam dari Ekslusivme Menuju Inklusivisme dan Pluralisme, (Jakarta, Jurnal Taswirul Afkar, Cet .11, 2001), hlm. 2.
[2] Budhy Munawar, Islam Pluralis,(Jakarta, Paramadina, 2001), hlm.31.
[3] Syafii Anwar," Pluralisme Ubah Mindset Demi Damai", dalam Republika, Jum'at, 3 Desember 2004, hlm. 6.
[4] Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, alih bahasa Firdaus A.N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 68.
[5] Misbah Mustofa, Shibghat Allah,(Tuban, Majlis ta’lif wa al-Khattat,tt), hlm. 27.
[6] Yusuf al-Qardawi, Al-Sunnah Masdaran lil-Ma’rifah wa al-Hadlarah, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Terj. Abad Badruzzaman (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001), hlm.430.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar