Sabtu, 16 November 2013

AL-QURAN, TAFSIR DAN TA’WIL MENURUT SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI

A.    Pendahuluan
Upaya penghampiran manusia  terhadap Al-Qur’an merupakan sesuatu yang belum matang, atau bahkan mungkin tidak dapat pernah untuk dimatangkan. Entah karena ide yang terkandung di dalamnya memang bersifat universal dan global atau mungkin ia senantiasa dapat terkait dengan isu-isu kontemporer dari fenomena yang muncul. Karena itulah klaim adanya suatu kebenaran islam yang ideal, esensial dan terus bertahan sepanjang sejarah bahkan hingga sekarang adalah mitos belaka yang tidak ada hubungannya dengan realitas yang ada. Hal ini barangkali salah satu faktor yang menyebabkan ia senantiasa menarik untuk dibicarakan, tidak hanya oleh kalangan internal muslim namun juga non-muslim, tidak hanya oksidentalis namun juga orientalis.
Konsep tafsir dan ta’wil yang senantiasa mengiringi kajian-kajian al-Qur’an hingga kini merupakan materi diskusi para ahli tafsir yang senantiasa berbeda pendapat dalam menyikapinya. Dalam hal ini penulis mencoba melakukan penelusuran konsep al-Qur’an, tafsir dan ta’wil dari berbagai karya al-Maududi yang terkait dengan kajian al-Qur’an. Dengan harapan akan diperoleh sebuah ide konseptual permikiran tentang al-Qur’an, tafsir dan ta’wil.

B.     Mengenal al-Maududi
Abu al-A’la (Munawwir Sjadzali, 1993 : 158) al-Maududi merupakan keturunan Maudud —seorang perawi Hadits Rasulullah S.A.W —dari sinilah gelar al-Maududi mengiringi namanya. Abu al-A’la al-Maududi, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Maududi, adalah seorang tokoh pembaharuan pemikiran Islam modern kelahiran Aurangabad pada tanggal 25 September 1908 M/03 Rajab 1321 H, kota Kesultanan Hyderabad (Deccan), yang sekarang dikenal dengan nama Andhra Prades di India. Ayahnya bernama Hasan al-Maududi (L. 1855 M) dan Ibunya bernama Ruqayyah.
Dalam perjalanan studinya, sejak awal al-Maududi telah mengenyam lewat pendidikan non-formal orang tuanya. Dan dari pendidikan klasik ini menjadikannya tidak mengenal bahasa Inggris, namun ia menguasai bahasa Arab, Persia dan Urdu. Baru di usia 11 tahun, ia duduk di bangku pendidikan formal, belajar di Sekolah Modern, Madrasah Fauqaniyah di Aurangabad, yang memadukan sistem pendidikan modern Barat dan Islam. Tamat dari pendidikan Madrasah tersebut, ia melanjutkan pendidikan ke Pergururan Tinggi Dar al-‘Ulum Deoband di Hyderabad, sebuah lembaga pendidikan yang paling berpengaruh dan terkenal di India saat itu (Azyumardi Azra, 1996 : 153).
Sulit, mungkin inilah kata yang cocok jika kita hendak mengklasifikasikan bidang yang menjadi konsentrasi al-Maududi. Ia bukanlah seorang spesialis, yang mengkonsentarasikan diri pada satu bidang kajian keilmua saja, akan tetapi ia adalah seorang generalis yang mempunyai kekuatan-kekuatan ilmu utama. Kekuatan al-Maududi adalah pada bidang tafsir al-Qur’an, berbagai cabang etika dan studi-studi sosial.
Di usianya yang ke 26 tahun, ia telah menerbitkan sebuah karya ilmiah yang besar, yang tidak ada taranya, dengan judul “al-Jihad fi al-Islam”. Dan Tafhim al-Qur’an, karya monumentalnya dalam bidang tafsir al-Quran, selain masih banyak lagi tafsir-tafsir tematik lainnya (Osman Raliby, 1967 : 7)
Al-Maududi, dalam karir kerjanya adalah sebagai seorang jurnalis yang banyak bergelut di dunia jurnalistik. Namun sebenarnya melalui media massa ini pula ia juga banyak memunculkan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam modern, seperti melalui majalah bulanan Tarjuman al-Quran di India. Ia banyak memberikan sumbangannya pada perkembangan pemikiran Islam modern bagi dunia Islam dan India-Pakistan khususnya.
Khusus dalam  bidang tafsir al-Qur’an, al-Maududi lebih banyak melahirkan tafsir dengan pendekatan metode tematik (maudhu’i) antara lain seperti al-Khilafah wa al-Mulk dan al-Riba fi al-Qur’an (M. Quraish Shihab, 1996)  Sementara kitab yang secara  spesifik sebagai upaya al-Maududi untuk menafsirkan al-Qur’an dari awal hingga akhir surat dalam al-Qur’an adalah kitab “Tafhim al-Qur’an” (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : iv)—sayang penulis tidak dapat menemukan manuskrip tersebut secara utuh, kecuali buku terjemahan yang hanya merupakan muqaddimah-nya, dengan judul “Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Qur’an”dan buku “The Meaning of The Qur’an”, yang juga merupakan bagian dari “Tafhim al-Qur’an”.
Seiring dengan perkembangan dunia interpretasi al-Qur’an, tafsir tematik—sebagaimana diungkap Quraisy Shihab—adalah salah satu metode baru, hasil inspirasi ulama tafsir dengan cara menetapkan satu topik tertentu, kemudian menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut. Untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar sampai tahun 1981.
Adapun beberapa dosen Tafsir di Universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tematik ini antara lain adalah Prof. Dr. al-Husaini Abu Farhah menulis al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-Tafsir al-Mawdhu'i li al-Ayat al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-Qur’an.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara tematik tersebut, al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan (M. Quraish Shihab,1996)
Terlepas dari itu semua, namun, meskipun al-Maududi tidak pernah menulis konsep-konsep yang secara spesifik terkait dengan Ulum al-Qu’ran, dari tafsir-tafsir tematik dan potongan kitab tafsir al-Maududi penulis mencoba untuk tetap menelusuri perspektif al-Maududi tentang al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil

C.    Perspektif al-Maududi tentang Metodologi Kajian Al-Qur’an
1.      Al-Qur’an
Ada beberapa pemetaan pandangan al-Maududi tentang al-Qur’an yang coba penulis simpulkan berdasarkan dari hasil penulusuran yang telah dilakukan;
a.   Kedudukan dan Fungsi al-Qur’an
1)   Al-Qur’an Memiliki Kekhasan Bahasa
Menurut al-Maududi, al-Qur’an bukanlah buku yang memuat perincian-perincian, tetapi al-Qur’an adalah sebuah buku yang mengemukakan dasar-dasar persoalan secara umum dan global (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 29-30), karena itu menghadapi al-Qur’an tidaklah dapat disamapersiskan dengan di saat menghadapi buku-buku teks lainnya, meskipun notabene ia juga merupakan teks tertulis.
Al-Maududi mengakui, bahwa al-Qur’an memang ditulis dengan bahasa manusia, bahasa Arab, namun secara esensial ia merupakan wahyu Tuhan, firman Tuhan dan bahkan sistematika penulisan ayat-perayat—sebagaimana yang diakui oleh mayoritas keimanan umat Islam—ditulis berdasarkan wahyu dari Tuhan. Al-Qur’an, tambahnya, tidak ditulis bab-perbab sebagaimana buku-buku yang umum kita temui, tetapi ia adalah kitab yang sangat berbeda. Al-Qur’an memiliki gaya bahasa tersendiri dan mengandung masalah-masalah aqidah, akhlaq, hukum, seruan, nasehat, teladan, kritik, larangan, ancaman, anjuran, sejarah, dan petunjuk-petunjuk atas kekuasaan Allah swt (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 1)  
Karena itu pulalah untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang pesan-pesan yang termuat dalam al-Qur’an, seorang interpreter (mufassir) tambah al-Maududi, tidak dapat mengeneralisasikannya sebagaimana di saat ia akan memahami teks-teks biasa. Ini bukanlah justru menjadikan al-Quran sebagai benda alien yang jarang ditemui dan bahkan jauh dari atmosfir kehidupan manusia. Namun dengan keunikan dan kekhasan bahasa dan sistematikanya, menjadikannya sebagai buku teks yang penuh dengan pesan-pesan rahasia yang justru malah menjadi pemicu rasa keingintahuan kita untuk mengkajinya. Tentu, perlu ditegaskan kembali, dalam mengkajinya pun tidak dapat disamakan dengan buku teks biasa—sebab ia memang bukan buku biasa,—karena itu menurut al-Maududi, orang yang terbiasa bergelut memahami buku-buku biasa kemudian cara itu diterapkan pada al-Qur’an, pastilah ia akan mengalami kesulitan untuk mengenali topik, tujuan dan atau pembahasan utamanya. Bahkan ia juga akan merasa asing dengan ketidaktahuannya tentang relatifitas-relatifitas kalimat-kalimat al-Qur’an (Abu al-A’la al-Maududi, 1972: 5)
2)   Al-Qur’an Sebagai Buku Pedoman dan Metode Dakwah
Al-Qur’an dalam perjalanan sejarah keberadaannya senantiasa beriringan dan sesuai dengan perkembangan dakwah.  Ada 3 (tiga) tahap kronologis penurunan al-Qur’an yang coba dipilah al-Maududi, seiring dengan fungsinya sebagai penjawab fenomena yang terjadi, pedoman dan metode dakwah:
Tahap Pertama; al-Qur’an turun sebagai pijakan awal bagi Rasul, Muhammad saw., dalam menyampaikan dakwah beliau, yang berwal dengan pengayaan ilmu pengetahuan dan kemudian disusul ajakan berdakwah dengan startingpoint-nya adalah keluarga dekat beliau sendiri (Quraisy).
Tahap  Kedua; setelah Rasulullah mengalami sedikit kemajuan dakwah beliau, yang sementara di lain pihak, ancaman, cacian dan penyiksaan mengiringi kesuksesan awal ini, wahyu turun dengan memberikan semangat dan siraman-siraman ketenangan batin serta tasliyah atau pelipur lara terhadap tantangan dan perjuangan dakwah beliau dan para sahabat.
Tahap Ketiga; setelah perpindahan Rasul dari Mekkah ke Madinah (hijrah), dengan semakin bertambahnya pengikut beliau dan semakin kuatnya keimanan para pengikut, dengan al-Qur’an Islam lalu menyerukan kepada seluruh umatnya untuk membentuk sistem kemasyarakatan yang berdiri sendiri dan berpusat pada satu pemerintahan dengan kota Madinah yang dipilih sebagai Ibu Kota pemerintahan.
Karena itulah dengan cara turunnya yang gradual, berangsur-angsur dengan topik yang berbeda-beda sebagai respon atas fenomena sosial saat itu, menjadikan al-Qur’an selalu up to date dan berpotensi untuk dipahami sebagai penjawab berbagai fenomena saat itu, sekarang  maupun yang akan datang..
3)   Al-Qur’an Tidak meruang dan mewaktu
Al-Maududi mengakui, secara sederhana dan sekilas, al-Qur’an memang memberikan kesan bahwa ia adalah kitab yang diperuntukkan bagi orang-orang Arab. Ini tampak sekali dari cover yang menyelubunginya dengan bahasa, berita, cerita  maupun kejadian-kejadian yang mengiringinya senantiasa benuansa Arab.
Kesan itu,tambah al-Maududi, tidak dapat dibenarkan. Sebab itu semua adalah memang bersifat lokalitas dan temporal. Namun secara fenomenologis sebenarnya yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an adalah menjawab fenomena-fenomena tersebut. Hingga dengan fenomena serupa atau yang mendekatinya akan terjawabkan oleh al-Qur’an. Sebagai contoh, larangan  syirik, dhalim, riba dan sebagainya tidak hanya berlaku bagi orang Arab dan di tanah Arab, namum berlaku untuk seluruh manusia dan bahkan kapan pun.dan dimanapun
Sebauh sistem yang bersifat nasional/lokal, akan senantiasa mengedepankan dan mengutamakan kepentingan bangsa itu sendiri dan menuntut kewajiban khusus yang tidak dapat diaplikasikan kepada bangsa lain. Sementara yang bersifat internasional/global, akan senantiasa terbentuk dalam sebuah sistem yang menganut kebersamaan bagi seluruh umat manusia dengan kewajiban-kewajiban yang sama pula tentunya (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 27-28).
2.      Metodologi Kajian al-Qur’an
Al-Maududi secara khusus tidak berbicara tentang ulum al-Qur’an—apalagi terjebak mempersoalkan secara spesifik definisi tafsir dan ta’wil—karena itu setelah berbicara tentang kedudukan dan fungsi al-Qur’an dalam optik al-Maududi perlu pula dibicarakan tentang metodologi kajian al-Qur’an dalam optiknya hingga dari kedua bahasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan rumusan al-Maududi tentang tafsir dan ta’wil dalam al-Qur’an.
Menurut al-Maududi, dalam memahami al-Qur’an seorang interpreter harus seorang yang benar-benar berkompeten dengan tema kajiannya. Sebab al-Qur’an bukanlah buku biasa yang dengan serta merta dan mudah untuk ditangkap maknanya, bahkan buku biasa saja antara penulis dan pembaca bisa terdapat kontroversi pemahaman. Mungkin karena itu pula, barangkali, al-Maududi yang seorang jurnalis serta mantan politikus, lebih banyak menghasilkan karya-karya tafsir yang secara tematik berbicara tentang politik (Abu al-A’la al-Maududi, 1992 : 71).
 Berasarkan realitas ini, al-Maududi, sebagaimana ahli tafsir al-Qur’an modern lainnya lebih cendrung menggunakan metode  tematik (maudu’i) dalam karya-karya tafsirnya. Sebagai contoh tafsiran al-Maududi tentang konsep alam semesta yang dilihatnya dari sudut pandang politik, menurutnya ada empat (Abu al-A’la al-Maududi, 1992 : 84-86)
a.       Bahwa Allah adalah Pencipta dari seluruh alam semesta ini, termasuk manusia dan segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk keperluannya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 4, Q.S. al-Nisa: 1, Q.S. al-An’am: 73, Q.S. al-Ra’d: 16, Q.S. Fathir: 3 dan Q.S. al-Waqi’ah: 58-72.
b.      Bahwa Allah adalah Penguasa Tunggal, Pemerintah, Pemimpin dan Pengurus semua ciptaan-Nya. Ini sesuai dengan firman Allah yang terdapat dalam Q.S. al-A’raf: 54, Q.S. Thaha: 8, Q.S. al-Rum: 26 dan Q.S. al-Sajadah: 5.
c.       Bahwa pada hakekatnya kedaulatan di atas dunia ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali Allah. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah : 107, Q.S. Ali ‘Imran : 154, Q.S. al-An’am : 57, Q.S. al-Hijr : 16, Q.S. al-Nahl : 17, Q.S. al-Kahfi : 26, Q.S. al-Furqan : 2, Q.S. al-Qashash : 70, Q.S. al-Rum : 4, Q.S. Fathir : 40-41 dan Q.S. al-Hadid : 5.
d.      Bahwa semua sifat dan kekuasaan kedaulatan adalah semata-mata hak istimewa Allah swt.
 Berdasarkan konsep alam semesta di dalam al-Quran, al-Maududi ingin menegaskan bahwa penguasa sejati manusia sama dengan penguasa seluruh alam semesta. Kepunyaan Allah-lah hak untuk berkuasa atas semua urusan manusia sebagaimana juga atas urusan penciptaan. Oleh karena itu, ketaatan dan kepatuhan atas segala aturan dan hukum yang telah ditetapkan Allah adalah suatu kemutlakan. Patuh kepada hukum-hukum lain atau mengikuti kehendak sendiri yang bertentangan dengan ketetapan yang telah Allah buat adalah perbuatan sesat, sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-A’raf: 3, Q.S. al-Ra’d: 37, Q.S. al-Nahl: 36, Q.S. al-Zumar: 2, 11-12 dan Q.S. al-Mu’min: 18 dan 98.
Demikianlah metode beserta contohnya yang dipergunakan oleh al-Maududi dalam kajian-kajian tafsir al-Qurannya. Dan dari kedua sub-bahasan di atas—kedudukan dan fungsi al-Quran dan metodologi kajian al-Quran— termasuk juga hal-hal lain yang terdapat dalam bahasan berikut, secara eksplisit tentu dapat ditarik sebuah pemahaman tentang konsepsi tafsir dan ta’wil menurut al-Maududi.
3.      Tafsir dan Ta’wil
 Istilah tafsir menurut Taufiq Adnan Amal (2001 : 353)-- berasal dari kata fassara yang berarti ‘menjelaskan’, ‘menerangkan’, ‘menyingkap’ atau ‘menampakkan’ – secara khusus bermakna penjelasan atas al-Qur’an atau ilmu tentang penafsiran kitab suci tersebut. Sinonim untuk untuk kata ini adalah syarh atau ta’wil. Istilah syarh tidak digunakan dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada, karena telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits untuk komentar atas hadits. Sementara kata ta’wil – berasal dari kata ‘awl’, “kembali ke asal”, di dalam al-Qur’an bermakna ‘akibat’, ‘kesudahan’ (7:53, 10:39) – masih tetap eksis dalam perbendaharaan kajian-kajian al-Qur’an. Pada awalnya, kata ini digunakan sebagai sinonim untuk tafsir dan tetap seperti itu setidak-tidaknya hingga ke masa al-Thabari. Mufassir agung dalam jajaran tradisional ini masih menggunakan kata ta’wil sebagai sinonim untuk tafsir dalam magnum opus-nya. Bahkan judul karya agungnya, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, dengan jelas merefleksikan sinonim antara kata tafsir dan ta’wil.
Selanjutnya, Taufiq Adnan Amal (2001 : 353) menjelaskanBelakangan kata ta’wil berubah menjadi istilah teknis untuk penjelasan internal atas material atau kandungan al-Qur’an, sedangkan tafsir diterapkan untuk penjelasan filologis yang bersifat eksternal terhadap al-Qur’an. Tafsir mencakup penjelasan tentang sebab pewahyuan suatu bagian al-Qur’an, kedudukan bagian tersebut dalam surat termaktub, dan kisah sejarahnya. Penjelasan ini juga menyangkut penentuan masa pewahyuan (Makiyyah-Madaniyyah), muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh, ‘am-khashsh, dan lainnya. Sementara ta’wil mencakup penjelasan makna umum maupun khusus kata-kata al-Qur’an, atau istilah teknis untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Qur’an. Karena itu, ta’wil tidak begitu disukai kalangan ortodoksi Islam. Pembedaan ini tampaknya dilakukan untuk menghantam berbagai kecenderungan liar dalam penafsiran yang, lewat penjelasan alegoris, telah memaksakan gagasan-gagasan “aneh” ke dalam teks literal al-Qur’an.
Al-Maududi, sebagaimana penafsir-penafsir al-Qur’an lainnya, secara spesifik ia tidak memilah isu kontroversial seputar perbedaan definitif antara tafsir dan ta’wil ini.  Namun dengan tidak menafikan berdasarkan referensi yang penulis gunakan, al-Maududi juga   menyebut-  istilah tafsir dan ta’wil, namun tidak dimaksudkan secara spesifik untuk membedakan tafsir dan ta’wil secara definitif. Sebagaimana ungkapannya, yang diterjemahkan oleh Ahmad Sythibi; “Terjadinya perbedaan paham dalam menafsiran dan mena’wilkan al-Qu’ran bukan saja di masa-masa sekarangakan tetapi sejak masa tabi’in bahkan di masa sahabat sendiri” (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 30)
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dan perbandingan berbagai konsepsi para ahli yang memperdebatkan kedua term ini—jika dicoba untuk di tarik kesimpulan—berarti pada dasarnya al-Maududi tidak terlalu merisaukan perbedaan kadua terma tersebut, ini jelas dari istilah yang senantiasa dipergunakan olehnya dalam penyebutan upaya pemahaman al-Quran yang ia lakukan dengan menggunakan terma tafsir. Namun, meskipun demikian antara kedua istilah tersebut diakuinya berbeda secara subtansial, karena itu dalam pernyataannya di atas—sebagaimana ditulis oleh Ahmad Syathibi dalam terjemahannya—ia membedakan dan memilahkanya. Karena itu secara konseptual ia mengikuti pembedaan umum yang berlaku di kalangan ulama tafsir dalam membedakan kedua terma tersebut.
Pergeseran antara redaksi teks kepada pemahaman yang lebih luas dan universal yang telah dilakukan oleh al-Maududi dalam menafsirkan al-Quran itulah yang disebut tafsir. Sementara ta’wil berarti upaya mengeksplorasi makna tersembunyi dari ayat-ayat al-Qur’an untuk diperoleh pemahaman yang memadai. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya al-Maududi dalam menafsirkan al-Quran yang senantiasa tidak hanya mengacu pada teks al-Qur’an semata. Namun ia senantiasa mengelaborasikannya dengan berbagai pendekatan pemahaman dan beberapa hasil kajian dan teori-teori modern yang terkait dengan bahasan yang ia angkat. Sebagai contoh di saat ia hendak mengkaji konsep khilafah dan kerajaan, selain mencoba mengkaji teks-teks al-Quran yang secara eksplisit dan implisit berbicara tentang kedua hal tersebut, ia juga melakukan komparasi historitas dari perjalanan kepemerintahan Islam masa lalu. Melalui analisa tersebut dan didukung pandangan-pandangan pemikir pendahulunya, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa sistem khilfah adalah sistem pemerintahan yang diakui dalam Islam (Abu al-A’la al-Maududi,1996 : 135-266)
Demikian pula dalam menyikapi masalah riba, lewat karyanya, al-Riba, dalam buku ini ia tidak secara serta merta berbicara tentang riba dengan melandaskan argumentasi pada al-Quran semata. Namun ia mencoba membangun pemahaman dengan mengakomodir beberapa pendapat dan teori-teori umum dari sistem perekonomian yang berlangsung saat ini kemudian menghubungkannya dengan fenomena sosial yang berlangsung di masa Rasul dari teori-teori sistem perekonomian yang dibangun dan dibenarkan Rasul. Barulah ia membuat sebuah kesimpulan mana yang pantas berlaku dan mana yang tidak (Abu al-A’la al-Maududi, t.th : 79-115). Langkah ini tampaknya juga di ikuti oleh mufassir Indonesia kontemporer, M. Quraish  Shihab. Menurutnya al-Qur’an harus diberi interpretasi sesuai dengan watak, kepribadian’budaya bangsa dan perkembangan positifnya, sehingga al-Qur’an dapat berfungsi dalam kehidupan kontemporer (M. Quraish Shihab, 1997 : 88). Dengan cara demikian, pemahaman terhadap al-Qur’an akan dapat bersifat dialogis, antara wahyu di satu pihak dengan realitas di pihak lain sehingga eksistensinya lebih fungsional (Muhammad Rasyid Rida, t.th : 4)
Namun sebagai catatan, dari idealitas tafsir yang ia lakukan dan bahkan syarat-syarat yang dibuatnya[1], di lain sisi al-Maududi juga mengakui tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw. Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah "murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat al-Quran. 'Adi ibn Hatim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (Q.S. al-Baqarah:187), dengan arti hakiki (benang), padahal informasi yang ingin disampaikan oleh al-Quran adalah tentang tempo waktu berpuasa[2].
Kalau pendapat al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat mufassir semacam Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran menurutnya, memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran al-Quran.

D.    Muhkam dan Mutasyabih dalam dan Pasca Al-Qur’an
Dalam pemakaian al-Qur’an terma mutasyabih atau mutasyabihat yang dikaitkan dengan wahyu al-kitab yang diterima Muhammad saw. menurut Syamsu Rizal Panggabean (1990 : 52-53) merujuk kepada kisah-kisah pengazaban kaum para Nabi terdahulu yang menolak mereka dan ajaran yang mereka sampaikan. Kisah-kisah semacam ini menempati bagian yang besar sekali dalam keseluruhan al-Qur’an, diulang-ulang dengan variasi, dan mirip dalam skema kisah maupun dalam bentuk kata atau kalimat yang digunakan. Tanpa kecuali, terma matsani dan mutasyabih/mutasyabihat muncul dalam konteks penolakan para penentang Muhammad terhadap wahyu yang ia terima dari Allah. Sedangkan muhkamat merujuk pada bagian wahyu selain mutasyabihat, yaitu ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang diberikantuhan demi kebaikan dan keselamatan umat manusia.
Dalam periode pasca al-Qur’an, terma muhkam dan mutasyabih dicoba untuk dijadikan sebagai istilah teknis dalam kajian-kajian al-Qur’an. Ini terkait dengan usaha-usaha untuk merinci kandungan kitab suci, yang hasilnya digolongkan kepada muhkamat atau mutasyabihat. Dengan kata lain, kedua terma ini dijadikan sebagai istilah induk untuk beberapa unsur yang dianggap terkandung dalam al-Qur’an. Penggunaan kedua terma sebagai kata teknis juga terkait dengan perkembangan dan kristalisasi doktrin nasikh-mansukh, khususnya dalam ilmu fiqh, serta usaha-usaha lain dalam menciptakan kosep atau patokan dalam menafsirkan al-Qur’an. Gejala ini, sesungguhnya, adalah bagian dari kecenderungan umum dalam tradisi tafsir umat Islam, yakni adanya usaha-usaha untuk mencari dan menciptakanistilah teknis penafsiran dari perbendaharaan kata al-Qur’an.
Akan tetapi seperti ditunjukkan di atas, kecenderungan semacam ini memiliki beberapa implikasi yang cukup berbahaya. Salah satu diantaranya ialah pengabaian atas hak-hak teks kitab suci yang paling mendasar, seperti hak untuk dipahami berdasarkan konteks yang tersedia dalam kitab suci tersebut. Dalam penafsiran, praktek semacam ini dapat digolongkan ke dalam bentuk “kronologi terbalik”, yakni seseorang berangkat dari anggapan dan keyakinan kontemporer, lalu memaksakannya ke dalam terma-terma kitab suci setelah terma-terma tersebut dicomot dari konteksnya. Jelas makna semacam ini tidak dapat disebut sebagai makna historis terma terkat dalam al-kitab, melainkan makna pasca al-Qur’an yang dituangkan ke dalamnya dalam rangka memperoleh pembenaran. Meminjam kata-kata al-Suyuthi, yang ia kutip dari Ibnu Taymiyah, ini merupakan praktek penafsiran di mana “orang-orang menyakini makna-makna, lalu membawanya ke dalam kitab suci” –qawmun i’taqadu ma’ani; tsumma aradu hamla al-fazh al-Qur’an ‘alayha. Atau meminjam kata-kata Thabathaba’i “menjadikan (opini) madzhab sebagai prinsip, dan tafsir sebagai pengikutnya”, -ja’al madzhab ashlan; wa al-tafsir taba’an.
Implikasi berbahaya lainnya juga akan muncul manakala makna-makna pasca atau luar al-Qur’an tersebut- yang, seperti tampak dalam kasus muhkamat-mutasyabihat, banyak dan bervariasi- terus direporduksi dan mengkristal dalam persepsi umat. Makna-makna tersebut dalam menjadi hambatan dalam memahami al-Qur’an. Yang dilakukan tulisan ini ialah berusaha menemukan makna muhkamat dan mutasyabihat dengan berangkat dari teks al-Qur’an itu sendiri. Ini dilakukan dengan memeriksa konteks terma dalam ayat, surat, dan keseluruhan al-Qur’an; seta konteks historis berupa kronologi turunnya al-Qur’an dan suasana zaman Nabi dan para pengikutnya yang mula-mula. Adapun makna-makna pasca al-Qur’an, betapa pun populernya, tidak boleh menentukan hasil penafsiran.

E.     Catatan Akhir

Sebagaimana, para ahli tafsir lainnya al-Maududi memandang bahwa al-Quran adalah kitab yang sangat istimewa yang tidak dapat disama persiskan dengan kitab atau buku lainnya dalam menginterpretasikan kandungan pesannya. Dan sebab kompleksitas yang berlaku pada al-Quran menjadikannya senantiasa mengalami varian interpretatif.
Sejalan dengan itu, tafsir dan ta’wil yang merupakan bagian tererat dalam proyek interpretasi al-Quran juga mengalami hal tersebut. Hanya saja bagi al-Maududi meskipun kedua terma itu tidak ia bedakan secara konseptual, namun dari penggunaan ungkapan yang dipergunakannya, ia membedakannya dan mengikuti pembedaam umum yang ada di kalangan ahli tafsir.
Demikianlah konsepsi al-Maududi tentang al-Quran, tafsir dan ta’wil. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang berkompeten dengan kajian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta : FkBA. 2001

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, modernisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996.

al-Hamidi Kholil Ahmad. dalam pengantar Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Quran, terj. Abu al-A’la al-Maududi. Jakarta : Gunung Jati. 1984.

al-Maududi, Abu al-A’la. al-Riba. Baerut : Dar al-Fikr. tth.

____________________, dkk. Esensi al-Quran.Bandung : Mizan. 1992.

____________________Khilafah dan Kerajaan. Terj. Bandung : Mizan. 1996.

____________________Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Quran. Jakarta: Gunung Jati. 1984.

____________________The Meaning of The Quran. Delhi : Markazi Maktaba Jamaat-E-Islami Hind. 1972.

Panggabean, Syamsu Rizal. Makna Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan “Ulumul Qur’an” Vol. II. Tahun 1990 M/1411 H

Raliby, Osman. Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim. Terj. Jakarta : Bulan Bintang. 1967.

Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-manar. Jilid I. Beirut : Dar al-Ma’arif, t.th

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran. Bandung : Mizan. Cet. 13, Rajab 1417/November 1996.
 
Sjadzali, Munawir. Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan. Jakarta : UI Press. 1993.







1 komentar:

  1. Golden Nugget Casino & Resort - Mapyro
    Information and 포항 출장마사지 reviews for Golden Nugget Casino & 영천 출장샵 Resort 화성 출장마사지 in Las Vegas, NV. Gold Nugget Hotel 성남 출장샵 & Casino, located in Hotel 강원도 출장안마 and Spa,

    BalasHapus