A.
Pendahuluan
Upaya penghampiran manusia terhadap Al-Qur’an merupakan sesuatu yang belum matang, atau bahkan mungkin tidak
dapat pernah untuk dimatangkan. Entah karena ide yang terkandung di dalamnya
memang bersifat universal dan global atau mungkin ia senantiasa dapat terkait
dengan isu-isu kontemporer dari fenomena yang muncul. Karena itulah klaim
adanya suatu kebenaran islam yang ideal, esensial dan terus bertahan sepanjang
sejarah bahkan hingga sekarang adalah mitos belaka yang tidak ada hubungannya
dengan realitas yang ada. Hal ini barangkali salah satu faktor yang menyebabkan
ia senantiasa menarik untuk dibicarakan, tidak hanya oleh kalangan internal
muslim namun juga non-muslim, tidak hanya oksidentalis namun juga orientalis.
Konsep tafsir
dan ta’wil yang senantiasa mengiringi kajian-kajian al-Qur’an hingga
kini merupakan materi diskusi para ahli tafsir yang senantiasa berbeda pendapat
dalam menyikapinya. Dalam hal ini penulis mencoba melakukan penelusuran konsep
al-Qur’an, tafsir dan ta’wil dari berbagai karya al-Maududi yang
terkait dengan kajian al-Qur’an. Dengan harapan akan diperoleh sebuah ide
konseptual permikiran tentang al-Qur’an, tafsir dan ta’wil.
B.
Mengenal al-Maududi
Abu al-A’la
(Munawwir Sjadzali, 1993 : 158) al-Maududi merupakan keturunan Maudud —seorang
perawi Hadits Rasulullah S.A.W —dari sinilah gelar al-Maududi mengiringi
namanya. Abu al-A’la al-Maududi, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Maududi,
adalah seorang tokoh pembaharuan pemikiran Islam modern kelahiran Aurangabad
pada tanggal 25 September 1908 M/03 Rajab 1321 H, kota Kesultanan Hyderabad
(Deccan), yang sekarang dikenal dengan nama Andhra Prades di India. Ayahnya
bernama Hasan al-Maududi (L. 1855 M) dan Ibunya bernama Ruqayyah.
Dalam
perjalanan studinya, sejak awal al-Maududi telah mengenyam lewat pendidikan
non-formal orang tuanya. Dan dari pendidikan klasik ini menjadikannya tidak
mengenal bahasa Inggris, namun ia menguasai bahasa Arab, Persia dan Urdu. Baru
di usia 11 tahun, ia duduk di bangku pendidikan formal, belajar di Sekolah
Modern, Madrasah Fauqaniyah di Aurangabad, yang memadukan sistem pendidikan
modern Barat dan Islam. Tamat dari pendidikan Madrasah tersebut, ia melanjutkan
pendidikan ke Pergururan Tinggi Dar
al-‘Ulum Deoband di Hyderabad, sebuah lembaga pendidikan yang paling
berpengaruh dan terkenal di India saat itu (Azyumardi Azra, 1996 : 153).
Sulit,
mungkin inilah kata yang cocok jika kita hendak mengklasifikasikan bidang yang
menjadi konsentrasi al-Maududi. Ia bukanlah seorang spesialis, yang
mengkonsentarasikan diri pada satu bidang kajian keilmua saja, akan tetapi ia
adalah seorang generalis yang mempunyai kekuatan-kekuatan ilmu utama. Kekuatan
al-Maududi adalah pada bidang tafsir al-Qur’an, berbagai cabang etika dan
studi-studi sosial.
Di usianya
yang ke 26 tahun, ia telah menerbitkan sebuah karya ilmiah yang besar, yang
tidak ada taranya, dengan judul “al-Jihad fi al-Islam”. Dan Tafhim al-Qur’an, karya monumentalnya
dalam bidang tafsir al-Quran, selain masih banyak lagi tafsir-tafsir tematik
lainnya (Osman Raliby, 1967 : 7)
Al-Maududi,
dalam karir kerjanya adalah sebagai seorang jurnalis yang banyak bergelut di
dunia jurnalistik. Namun sebenarnya melalui media massa ini pula ia juga banyak
memunculkan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam modern, seperti melalui majalah
bulanan Tarjuman al-Quran di India.
Ia banyak memberikan sumbangannya pada perkembangan pemikiran Islam modern bagi
dunia Islam dan India-Pakistan khususnya.
Khusus dalam bidang tafsir al-Qur’an, al-Maududi lebih
banyak melahirkan tafsir dengan pendekatan metode tematik (maudhu’i) antara lain seperti al-Khilafah
wa al-Mulk dan al-Riba fi al-Qur’an (M. Quraish Shihab, 1996) Sementara kitab yang secara spesifik sebagai upaya al-Maududi untuk
menafsirkan al-Qur’an dari awal hingga akhir surat dalam al-Qur’an adalah kitab
“Tafhim al-Qur’an” (Abu al-A’la
al-Maududi, 1984 : iv)—sayang penulis tidak dapat menemukan manuskrip tersebut
secara utuh, kecuali buku terjemahan yang hanya merupakan muqaddimah-nya, dengan judul “Pedoman Dasar Untuk Memahami
al-Qur’an”dan buku “The Meaning of The Qur’an”, yang juga merupakan
bagian dari “Tafhim al-Qur’an”.
Seiring
dengan perkembangan dunia interpretasi al-Qur’an, tafsir tematik—sebagaimana
diungkap Quraisy Shihab—adalah salah satu metode baru, hasil inspirasi ulama
tafsir dengan cara menetapkan satu topik tertentu, kemudian menghimpun seluruh
atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik
tersebut. Untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya
diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an.
Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid
al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar
sampai tahun 1981.
Adapun
beberapa dosen Tafsir di Universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak
karya ilmiah dengan menggunakan metode tematik ini antara lain adalah Prof. Dr.
al-Husaini Abu Farhah menulis al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-Tafsir
al-Mawdhu'i li al-Ayat al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih
banyak topik yang dibicarakan al-Qur’an.
Dalam
menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara tematik tersebut, al-Husaini
tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali
menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana
tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah
sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang
ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan (M. Quraish Shihab,1996)
Terlepas
dari itu semua, namun, meskipun al-Maududi tidak pernah menulis konsep-konsep
yang secara spesifik terkait dengan Ulum al-Qu’ran, dari tafsir-tafsir
tematik dan potongan kitab tafsir al-Maududi penulis mencoba untuk tetap
menelusuri perspektif al-Maududi tentang al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil
C.
Perspektif al-Maududi
tentang Metodologi Kajian Al-Qur’an
1.
Al-Qur’an
Ada
beberapa pemetaan pandangan al-Maududi tentang al-Qur’an yang coba penulis
simpulkan berdasarkan dari hasil penulusuran yang telah dilakukan;
a. Kedudukan dan Fungsi al-Qur’an
1) Al-Qur’an Memiliki Kekhasan
Bahasa
Menurut
al-Maududi, al-Qur’an bukanlah buku yang memuat perincian-perincian, tetapi al-Qur’an
adalah sebuah buku yang mengemukakan dasar-dasar persoalan secara umum dan
global (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 29-30), karena itu menghadapi al-Qur’an
tidaklah dapat disamapersiskan dengan di saat menghadapi buku-buku teks
lainnya, meskipun notabene ia juga merupakan teks tertulis.
Al-Maududi
mengakui, bahwa al-Qur’an memang ditulis dengan bahasa manusia, bahasa Arab,
namun secara esensial ia merupakan wahyu Tuhan, firman Tuhan dan bahkan
sistematika penulisan ayat-perayat—sebagaimana yang diakui oleh mayoritas
keimanan umat Islam—ditulis berdasarkan wahyu dari Tuhan. Al-Qur’an, tambahnya,
tidak ditulis bab-perbab sebagaimana buku-buku yang umum kita temui, tetapi ia
adalah kitab yang sangat berbeda. Al-Qur’an memiliki gaya bahasa tersendiri dan
mengandung masalah-masalah aqidah, akhlaq, hukum, seruan, nasehat, teladan,
kritik, larangan, ancaman, anjuran, sejarah, dan petunjuk-petunjuk atas
kekuasaan Allah swt (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 1)
Karena itu
pulalah untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang pesan-pesan yang termuat
dalam al-Qur’an, seorang interpreter (mufassir) tambah al-Maududi, tidak
dapat mengeneralisasikannya sebagaimana di saat ia akan memahami teks-teks
biasa. Ini bukanlah justru menjadikan al-Quran sebagai benda alien yang jarang ditemui dan bahkan
jauh dari atmosfir kehidupan manusia. Namun dengan keunikan dan kekhasan bahasa
dan sistematikanya, menjadikannya sebagai buku teks yang penuh dengan
pesan-pesan rahasia yang justru malah menjadi pemicu rasa keingintahuan kita untuk
mengkajinya. Tentu, perlu ditegaskan kembali, dalam mengkajinya pun tidak dapat
disamakan dengan buku teks biasa—sebab ia memang bukan buku biasa,—karena itu
menurut al-Maududi, orang yang terbiasa bergelut memahami buku-buku biasa
kemudian cara itu diterapkan pada al-Qur’an, pastilah ia akan mengalami
kesulitan untuk mengenali topik, tujuan dan atau pembahasan utamanya. Bahkan ia
juga akan merasa asing dengan ketidaktahuannya tentang relatifitas-relatifitas
kalimat-kalimat al-Qur’an (Abu al-A’la al-Maududi, 1972: 5)
2) Al-Qur’an Sebagai Buku Pedoman
dan Metode Dakwah
Al-Qur’an
dalam perjalanan sejarah keberadaannya senantiasa beriringan dan sesuai dengan
perkembangan dakwah. Ada 3 (tiga) tahap
kronologis penurunan al-Qur’an yang coba dipilah al-Maududi, seiring dengan
fungsinya sebagai penjawab fenomena yang terjadi, pedoman dan metode dakwah:
Tahap
Pertama; al-Qur’an turun sebagai pijakan awal bagi Rasul, Muhammad saw., dalam
menyampaikan dakwah beliau, yang berwal dengan pengayaan ilmu pengetahuan dan
kemudian disusul ajakan berdakwah dengan startingpoint-nya
adalah keluarga dekat beliau sendiri (Quraisy).
Tahap Kedua; setelah Rasulullah mengalami sedikit kemajuan
dakwah beliau, yang sementara di lain pihak, ancaman, cacian dan penyiksaan
mengiringi kesuksesan awal ini, wahyu turun dengan memberikan semangat dan
siraman-siraman ketenangan batin serta tasliyah atau pelipur lara
terhadap tantangan dan perjuangan dakwah beliau dan para sahabat.
Tahap
Ketiga; setelah
perpindahan Rasul dari Mekkah ke Madinah (hijrah),
dengan semakin bertambahnya pengikut beliau dan semakin kuatnya keimanan para
pengikut, dengan al-Qur’an Islam lalu menyerukan kepada seluruh umatnya untuk
membentuk sistem kemasyarakatan yang berdiri sendiri dan berpusat pada satu
pemerintahan dengan kota Madinah yang dipilih sebagai Ibu Kota pemerintahan.
Karena
itulah dengan cara turunnya yang gradual, berangsur-angsur dengan topik yang
berbeda-beda sebagai respon atas fenomena sosial saat itu, menjadikan al-Qur’an
selalu up to date dan berpotensi untuk dipahami sebagai penjawab
berbagai fenomena saat itu, sekarang
maupun yang akan datang..
3) Al-Qur’an Tidak meruang dan
mewaktu
Al-Maududi
mengakui, secara sederhana dan sekilas, al-Qur’an memang memberikan kesan bahwa
ia adalah kitab yang diperuntukkan bagi orang-orang Arab. Ini tampak sekali
dari cover yang menyelubunginya
dengan bahasa, berita, cerita maupun
kejadian-kejadian yang mengiringinya senantiasa benuansa Arab.
Kesan itu,tambah
al-Maududi, tidak dapat dibenarkan. Sebab itu semua adalah memang bersifat
lokalitas dan temporal. Namun secara fenomenologis sebenarnya yang ingin
disampaikan oleh al-Qur’an adalah menjawab fenomena-fenomena tersebut. Hingga
dengan fenomena serupa atau yang mendekatinya akan terjawabkan oleh al-Qur’an.
Sebagai contoh, larangan syirik, dhalim,
riba dan sebagainya tidak hanya berlaku bagi orang Arab dan di tanah Arab,
namum berlaku untuk seluruh manusia dan bahkan kapan pun.dan dimanapun
Sebauh
sistem yang bersifat nasional/lokal, akan senantiasa mengedepankan dan
mengutamakan kepentingan bangsa itu sendiri dan menuntut kewajiban khusus yang
tidak dapat diaplikasikan kepada bangsa lain. Sementara yang bersifat
internasional/global, akan senantiasa terbentuk dalam sebuah sistem yang
menganut kebersamaan bagi seluruh umat manusia dengan kewajiban-kewajiban yang
sama pula tentunya (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 27-28).
2.
Metodologi Kajian al-Qur’an
Al-Maududi
secara khusus tidak berbicara tentang ulum al-Qur’an—apalagi terjebak
mempersoalkan secara spesifik definisi tafsir dan ta’wil—karena itu setelah
berbicara tentang kedudukan dan fungsi al-Qur’an dalam optik al-Maududi perlu
pula dibicarakan tentang metodologi kajian al-Qur’an dalam optiknya hingga dari
kedua bahasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan rumusan al-Maududi tentang
tafsir dan ta’wil dalam al-Qur’an.
Menurut
al-Maududi, dalam memahami al-Qur’an seorang interpreter harus seorang yang
benar-benar berkompeten dengan tema kajiannya. Sebab al-Qur’an bukanlah buku
biasa yang dengan serta merta dan mudah untuk ditangkap maknanya, bahkan buku
biasa saja antara penulis dan pembaca bisa terdapat kontroversi pemahaman.
Mungkin karena itu pula, barangkali, al-Maududi yang seorang jurnalis serta
mantan politikus, lebih banyak menghasilkan karya-karya tafsir yang secara
tematik berbicara tentang politik (Abu al-A’la al-Maududi, 1992 : 71).
Berasarkan realitas ini, al-Maududi,
sebagaimana ahli tafsir al-Qur’an modern lainnya lebih cendrung menggunakan
metode tematik (maudu’i) dalam
karya-karya tafsirnya. Sebagai contoh tafsiran al-Maududi tentang konsep alam
semesta yang dilihatnya dari sudut pandang politik, menurutnya ada empat (Abu
al-A’la al-Maududi, 1992 : 84-86)
a. Bahwa Allah adalah
Pencipta dari seluruh alam semesta ini, termasuk manusia dan segala sesuatu yang
dapat dimanfaatkan untuk keperluannya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam
Q.S. al-Baqarah: 4, Q.S. al-Nisa: 1, Q.S. al-An’am: 73, Q.S. al-Ra’d: 16, Q.S.
Fathir: 3 dan Q.S. al-Waqi’ah: 58-72.
b. Bahwa Allah adalah
Penguasa Tunggal, Pemerintah, Pemimpin dan Pengurus semua ciptaan-Nya. Ini
sesuai dengan firman Allah yang terdapat dalam Q.S. al-A’raf: 54, Q.S. Thaha:
8, Q.S. al-Rum: 26 dan Q.S. al-Sajadah: 5.
c. Bahwa pada hakekatnya
kedaulatan di atas dunia ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali Allah. Ini sesuai
dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah : 107, Q.S. Ali ‘Imran : 154, Q.S.
al-An’am : 57, Q.S. al-Hijr : 16, Q.S. al-Nahl : 17, Q.S. al-Kahfi : 26, Q.S.
al-Furqan : 2, Q.S. al-Qashash : 70, Q.S. al-Rum : 4, Q.S. Fathir : 40-41 dan
Q.S. al-Hadid : 5.
d. Bahwa semua sifat dan
kekuasaan kedaulatan adalah semata-mata hak istimewa Allah swt.
Berdasarkan konsep alam semesta di dalam al-Quran,
al-Maududi ingin menegaskan bahwa penguasa sejati manusia sama dengan penguasa
seluruh alam semesta. Kepunyaan Allah-lah hak untuk berkuasa atas semua urusan
manusia sebagaimana juga atas urusan penciptaan. Oleh karena itu, ketaatan dan
kepatuhan atas segala aturan dan hukum yang telah ditetapkan Allah adalah suatu
kemutlakan. Patuh kepada hukum-hukum lain atau mengikuti kehendak sendiri yang
bertentangan dengan ketetapan yang telah Allah buat adalah perbuatan sesat,
sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-A’raf: 3, Q.S. al-Ra’d: 37, Q.S. al-Nahl:
36, Q.S. al-Zumar: 2, 11-12 dan Q.S. al-Mu’min: 18 dan 98.
Demikianlah
metode beserta contohnya yang dipergunakan oleh al-Maududi dalam kajian-kajian
tafsir al-Qurannya. Dan dari kedua sub-bahasan di atas—kedudukan dan fungsi
al-Quran dan metodologi kajian al-Quran— termasuk juga hal-hal lain yang
terdapat dalam bahasan berikut, secara eksplisit tentu dapat ditarik sebuah
pemahaman tentang konsepsi tafsir dan ta’wil menurut al-Maududi.
3.
Tafsir dan Ta’wil
Istilah tafsir menurut Taufiq Adnan
Amal (2001 : 353)-- berasal dari kata fassara yang berarti
‘menjelaskan’, ‘menerangkan’, ‘menyingkap’ atau ‘menampakkan’ – secara khusus
bermakna penjelasan atas al-Qur’an atau ilmu tentang penafsiran kitab suci
tersebut. Sinonim untuk untuk kata ini adalah syarh atau ta’wil.
Istilah syarh tidak digunakan dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki
makna senada, karena telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits
untuk komentar atas hadits. Sementara kata ta’wil – berasal dari kata ‘awl’,
“kembali ke asal”, di dalam al-Qur’an bermakna ‘akibat’, ‘kesudahan’ (7:53,
10:39) – masih tetap eksis dalam perbendaharaan kajian-kajian al-Qur’an. Pada
awalnya, kata ini digunakan sebagai sinonim untuk tafsir dan tetap
seperti itu setidak-tidaknya hingga ke masa al-Thabari. Mufassir agung dalam
jajaran tradisional ini masih menggunakan kata ta’wil sebagai sinonim
untuk tafsir dalam magnum opus-nya. Bahkan judul karya agungnya, Jami’
al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, dengan jelas merefleksikan sinonim antara
kata tafsir dan ta’wil.
Selanjutnya,
Taufiq Adnan Amal (2001 : 353) menjelaskanBelakangan kata ta’wil berubah
menjadi istilah teknis untuk penjelasan internal atas material atau kandungan
al-Qur’an, sedangkan tafsir diterapkan untuk penjelasan filologis yang
bersifat eksternal terhadap al-Qur’an. Tafsir mencakup penjelasan
tentang sebab pewahyuan suatu bagian al-Qur’an, kedudukan bagian tersebut dalam
surat termaktub, dan kisah sejarahnya. Penjelasan ini juga menyangkut penentuan
masa pewahyuan (Makiyyah-Madaniyyah), muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh,
‘am-khashsh, dan lainnya. Sementara ta’wil mencakup penjelasan makna
umum maupun khusus kata-kata al-Qur’an, atau istilah teknis untuk penjelasan
alegoris dan metaforis terhadap al-Qur’an. Karena itu, ta’wil tidak
begitu disukai kalangan ortodoksi Islam. Pembedaan ini tampaknya dilakukan
untuk menghantam berbagai kecenderungan liar dalam penafsiran yang, lewat
penjelasan alegoris, telah memaksakan gagasan-gagasan “aneh” ke dalam teks
literal al-Qur’an.
Al-Maududi,
sebagaimana penafsir-penafsir al-Qur’an lainnya, secara spesifik ia tidak
memilah isu kontroversial seputar perbedaan definitif antara tafsir dan ta’wil
ini. Namun dengan tidak menafikan
berdasarkan referensi yang penulis gunakan, al-Maududi juga menyebut- istilah tafsir dan ta’wil, namun
tidak dimaksudkan secara spesifik untuk membedakan tafsir dan ta’wil
secara definitif. Sebagaimana ungkapannya, yang diterjemahkan oleh Ahmad
Sythibi; “Terjadinya perbedaan paham dalam menafsiran dan mena’wilkan al-Qu’ran
bukan saja di masa-masa sekarangakan tetapi sejak masa tabi’in bahkan di masa
sahabat sendiri” (Abu al-A’la al-Maududi, 1984 : 30)
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan di atas dan perbandingan berbagai konsepsi para ahli
yang memperdebatkan kedua term ini—jika
dicoba untuk di tarik kesimpulan—berarti pada dasarnya al-Maududi tidak terlalu
merisaukan perbedaan kadua terma tersebut, ini jelas dari istilah yang
senantiasa dipergunakan olehnya dalam penyebutan upaya pemahaman al-Quran yang
ia lakukan dengan menggunakan terma tafsir. Namun, meskipun demikian antara
kedua istilah tersebut diakuinya berbeda secara subtansial, karena itu dalam
pernyataannya di atas—sebagaimana ditulis oleh Ahmad Syathibi dalam
terjemahannya—ia membedakan dan memilahkanya. Karena itu secara konseptual ia
mengikuti pembedaan umum yang berlaku di kalangan ulama tafsir dalam membedakan
kedua terma tersebut.
Pergeseran
antara redaksi teks kepada pemahaman yang lebih luas dan universal yang telah
dilakukan oleh al-Maududi dalam menafsirkan al-Quran itulah yang disebut tafsir.
Sementara ta’wil berarti upaya mengeksplorasi makna tersembunyi dari ayat-ayat
al-Qur’an untuk diperoleh pemahaman yang memadai. Hal tersebut dapat dilihat
dari upaya al-Maududi dalam menafsirkan al-Quran yang senantiasa tidak hanya
mengacu pada teks al-Qur’an semata. Namun ia senantiasa mengelaborasikannya
dengan berbagai pendekatan pemahaman dan beberapa hasil kajian dan teori-teori
modern yang terkait dengan bahasan yang ia angkat. Sebagai contoh di saat ia
hendak mengkaji konsep khilafah dan kerajaan, selain mencoba mengkaji teks-teks
al-Quran yang secara eksplisit dan implisit berbicara tentang kedua hal
tersebut, ia juga melakukan komparasi historitas dari perjalanan kepemerintahan
Islam masa lalu. Melalui analisa tersebut dan didukung pandangan-pandangan
pemikir pendahulunya, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa sistem khilfah adalah sistem pemerintahan yang
diakui dalam Islam (Abu al-A’la al-Maududi,1996 : 135-266)
Demikian
pula dalam menyikapi masalah riba, lewat karyanya, al-Riba, dalam buku ini ia tidak secara serta merta berbicara
tentang riba dengan melandaskan argumentasi pada al-Quran semata. Namun ia
mencoba membangun pemahaman dengan mengakomodir beberapa pendapat dan
teori-teori umum dari sistem perekonomian yang berlangsung saat ini kemudian
menghubungkannya dengan fenomena sosial yang berlangsung di masa Rasul dari
teori-teori sistem perekonomian yang dibangun dan dibenarkan Rasul. Barulah ia
membuat sebuah kesimpulan mana yang pantas berlaku dan mana yang tidak (Abu
al-A’la al-Maududi, t.th : 79-115). Langkah ini tampaknya juga di ikuti oleh
mufassir Indonesia kontemporer, M. Quraish
Shihab. Menurutnya al-Qur’an harus diberi interpretasi sesuai dengan
watak, kepribadian’budaya bangsa dan perkembangan positifnya, sehingga
al-Qur’an dapat berfungsi dalam kehidupan kontemporer (M. Quraish Shihab, 1997
: 88). Dengan cara demikian, pemahaman terhadap al-Qur’an akan dapat bersifat
dialogis, antara wahyu di satu pihak dengan realitas di pihak lain sehingga
eksistensinya lebih fungsional (Muhammad Rasyid Rida, t.th : 4)
Namun sebagai catatan, dari
idealitas tafsir yang ia lakukan dan bahkan syarat-syarat yang dibuatnya[1],
di lain sisi al-Maududi juga mengakui tidak dapat disangkal bahwa manusia,
dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah,
menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna al-Quran.
Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami al-Quran melebihi
pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut
dari Nabi saw. Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah
"murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari
Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di
antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat al-Quran. 'Adi ibn Hatim,
misalnya, memahami arti al-khaith
al-abyadh min al-khaith al-aswad (Q.S. al-Baqarah:187), dengan arti hakiki
(benang), padahal informasi yang ingin disampaikan oleh al-Quran adalah tentang
tempo waktu berpuasa[2].
Kalau
pendapat al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat mufassir
semacam Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami al-Quran adalah ayat
ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi
anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu
mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah al-Quran
mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang
menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna
simbolis. Al-Quran menurutnya, memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara
metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran al-Quran.
D. Muhkam dan Mutasyabih dalam dan Pasca
Al-Qur’an
Dalam
pemakaian al-Qur’an terma mutasyabih atau mutasyabihat yang
dikaitkan dengan wahyu al-kitab yang diterima Muhammad saw. menurut Syamsu
Rizal Panggabean (1990 : 52-53) merujuk kepada kisah-kisah pengazaban kaum para
Nabi terdahulu yang menolak mereka dan ajaran yang mereka sampaikan.
Kisah-kisah semacam ini menempati bagian yang besar sekali dalam keseluruhan
al-Qur’an, diulang-ulang dengan variasi, dan mirip dalam skema kisah maupun
dalam bentuk kata atau kalimat yang digunakan. Tanpa kecuali, terma matsani
dan mutasyabih/mutasyabihat muncul dalam konteks penolakan para penentang
Muhammad terhadap wahyu yang ia terima dari Allah. Sedangkan muhkamat merujuk
pada bagian wahyu selain mutasyabihat, yaitu ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan yang diberikantuhan demi kebaikan dan keselamatan umat manusia.
Dalam
periode pasca al-Qur’an, terma muhkam dan mutasyabih dicoba untuk
dijadikan sebagai istilah teknis dalam kajian-kajian al-Qur’an. Ini terkait
dengan usaha-usaha untuk merinci kandungan kitab suci, yang hasilnya
digolongkan kepada muhkamat atau mutasyabihat. Dengan kata lain,
kedua terma ini dijadikan sebagai istilah induk untuk beberapa unsur yang
dianggap terkandung dalam al-Qur’an. Penggunaan kedua terma sebagai kata teknis
juga terkait dengan perkembangan dan kristalisasi doktrin nasikh-mansukh,
khususnya dalam ilmu fiqh, serta usaha-usaha lain dalam menciptakan kosep atau
patokan dalam menafsirkan al-Qur’an. Gejala ini, sesungguhnya, adalah bagian
dari kecenderungan umum dalam tradisi tafsir umat Islam, yakni adanya
usaha-usaha untuk mencari dan menciptakanistilah teknis penafsiran dari
perbendaharaan kata al-Qur’an.
Akan tetapi
seperti ditunjukkan di atas, kecenderungan semacam ini memiliki beberapa
implikasi yang cukup berbahaya. Salah satu diantaranya ialah pengabaian atas
hak-hak teks kitab suci yang paling mendasar, seperti hak untuk dipahami
berdasarkan konteks yang tersedia dalam kitab suci tersebut. Dalam penafsiran,
praktek semacam ini dapat digolongkan ke dalam bentuk “kronologi terbalik”,
yakni seseorang berangkat dari anggapan dan keyakinan kontemporer, lalu memaksakannya
ke dalam terma-terma kitab suci setelah terma-terma tersebut dicomot dari
konteksnya. Jelas makna semacam ini tidak dapat disebut sebagai makna historis
terma terkat dalam al-kitab, melainkan makna pasca al-Qur’an yang dituangkan ke
dalamnya dalam rangka memperoleh pembenaran. Meminjam kata-kata al-Suyuthi,
yang ia kutip dari Ibnu Taymiyah, ini merupakan praktek penafsiran di mana
“orang-orang menyakini makna-makna, lalu membawanya ke dalam kitab suci” –qawmun
i’taqadu ma’ani; tsumma aradu hamla al-fazh al-Qur’an ‘alayha. Atau
meminjam kata-kata Thabathaba’i “menjadikan (opini) madzhab sebagai prinsip,
dan tafsir sebagai pengikutnya”, -ja’al madzhab ashlan; wa al-tafsir
taba’an.
Implikasi
berbahaya lainnya juga akan muncul manakala makna-makna pasca atau luar
al-Qur’an tersebut- yang, seperti tampak dalam kasus muhkamat-mutasyabihat,
banyak dan bervariasi- terus direporduksi dan mengkristal dalam persepsi umat.
Makna-makna tersebut dalam menjadi hambatan dalam memahami al-Qur’an. Yang
dilakukan tulisan ini ialah berusaha menemukan makna muhkamat dan mutasyabihat
dengan berangkat dari teks al-Qur’an itu sendiri. Ini dilakukan dengan
memeriksa konteks terma dalam ayat, surat, dan keseluruhan al-Qur’an; seta
konteks historis berupa kronologi turunnya al-Qur’an dan suasana zaman Nabi dan
para pengikutnya yang mula-mula. Adapun makna-makna pasca al-Qur’an, betapa pun
populernya, tidak boleh menentukan hasil penafsiran.
E. Catatan Akhir
Sebagaimana,
para ahli tafsir lainnya al-Maududi memandang bahwa al-Quran adalah kitab yang
sangat istimewa yang tidak dapat disama persiskan dengan kitab atau buku
lainnya dalam menginterpretasikan kandungan pesannya. Dan sebab kompleksitas
yang berlaku pada al-Quran menjadikannya senantiasa mengalami varian
interpretatif.
Sejalan
dengan itu, tafsir dan ta’wil yang merupakan bagian tererat dalam proyek
interpretasi al-Quran juga mengalami hal tersebut. Hanya saja bagi al-Maududi
meskipun kedua terma itu tidak ia bedakan secara konseptual, namun dari
penggunaan ungkapan yang dipergunakannya, ia membedakannya dan mengikuti
pembedaam umum yang ada di kalangan ahli tafsir.
Demikianlah
konsepsi al-Maududi tentang al-Quran, tafsir dan ta’wil. Akhirnya,
penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang berkompeten
dengan kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta :
FkBA. 2001
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik
Islam: Dari Fundamentalisme, modernisme hingga Post-modernisme. Jakarta:
Paramadina. 1996.
al-Hamidi Kholil Ahmad. dalam pengantar Pedoman
Dasar Untuk Memahami al-Quran, terj. Abu al-A’la al-Maududi. Jakarta :
Gunung Jati. 1984.
al-Maududi, Abu al-A’la. al-Riba.
Baerut : Dar al-Fikr. tth.
____________________, dkk. Esensi al-Quran.Bandung : Mizan. 1992.
____________________Khilafah dan
Kerajaan. Terj. Bandung : Mizan. 1996.
____________________Pedoman Dasar
Untuk Memahami al-Quran. Jakarta: Gunung Jati. 1984.
____________________The Meaning of The Quran. Delhi : Markazi
Maktaba Jamaat-E-Islami Hind. 1972.
Panggabean, Syamsu Rizal. Makna
Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan “Ulumul
Qur’an” Vol. II. Tahun 1990 M/1411 H
Raliby, Osman. Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim. Terj. Jakarta :
Bulan Bintang. 1967.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-manar. Jilid I. Beirut : Dar
al-Ma’arif, t.th
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran. Bandung : Mizan. Cet. 13, Rajab 1417/November 1996.
Sjadzali, Munawir. Islam Realitas
Baru dan Orientasi Masa Depan. Jakarta : UI Press. 1993.
Golden Nugget Casino & Resort - Mapyro
BalasHapusInformation and 포항 출장마사지 reviews for Golden Nugget Casino & 영천 출장샵 Resort 화성 출장마사지 in Las Vegas, NV. Gold Nugget Hotel 성남 출장샵 & Casino, located in Hotel 강원도 출장안마 and Spa,