Selasa, 12 November 2013

RELEVANSI DOA DENGAN KETENANGAN BATIN

A.    Pendahuluan
Dalam mengarungi kehidupan dunia, manusia betapa pun kuasa dan kuatnya, pasti suatu ketika mengalami ketakutan, kecemasan, dan kebutuhan. Memang pada saat kekuasaan dan kekuatan itu menyertainya, banyak yang tidak merasakan sedikit kebutuhan pun, tetapi ketika kekuasaan dan kekuatan meninggalkannya, ia merasa takut atau cemas, dan pada saat itu ia membutuhkan “sesuatu” yang mampu menghilangkan ketakutan dan kecemasannya itu. Boleh jadi pada tahap awal ia mencari “sesuatu” itu pada makhluk, tetapi jika kebutuhannya tidak terpenuhi, pastilah pada akhirnya ia akan mencari dan bertemu dengan kekuatan yang berada di luar alam raya. Itulah Tuhan. Dialah yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan manusia, menutupi kekurangannya, menghilangkan kecemasannya, dan sebagainya yang merupakan kebutuhan makhluk.
Realitas di Indonesia, saat ini dunia usaha sedang menghadapi badai yang luar biasa dahsyat, tingkat inflasi yang tinggi, nilai rupiah yang tidak menentu, daya beli masyarakat yang merosot tajam, harga-harga yang menjulang tinggi, dan tidak adanya kepastian hukum. Semua itu adalah pukulan yang sangat mematikan bagi dunia usaha. Banyak perusahaan yang gulung tikar atau mati suri. Korban PHK di mana-mana. Sebagian besar korban merasa putus asa.
Prinsip menaruh harapan dari Tuhan melalui doa itu kekal, mempunyai nilai yang cukup signifikan, tidak peduli apa pun yang terjadi, tidak akan goyah meskipun kehilangan jabatan, harta, orang yang disayangi, kawan, ataupun penghargaan, bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah.

B.     Mengenal Do’a
Doa merupakan bagian dari dzikir. Ia adalah permohonan. Setiap dzikir kendati dalam redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa butuh kepada Allah SWT yang selalu menghiasi pendzikir, menjadikan dzikir mengandung do’a.
Do’a pada mulanya berarti permintaan yang ditujukan kepada siapa yang dinilai oleh si peminta mempunyai kedudukan dan kemampuan yang melebihi kedudukan dan kemampuannya. Karena itu, ia bukan permintaan yang ditujukan kepada siapa yang setingkat dengan si pemohon. Konteksnya berseberangan dengan perintah. Sebab, walaupun perintah pada hakikatnya merupakan permintaan, tetapi ia ditujukan kepada siapa yang kedudukannya lebih rendah dari yang meminta (Waahbah Azzuhail jilid 1 th. 1986….. hal…218-219)
Do’a dalam istilah agamawan adalah permohonan hamba kepada Tuhan agar memperoleh anugerah pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si pemohon maupun untuk pihak lain. Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati yang terdalam disertai dengan ketundukan dan pengagungan kepada-Nya. Bahkan Islam mengajarkan kita untuk tidak egois dalam berdo’a. Hal ini di tunjukkan dalam bacaan do’a tahiyyat yang tidak berhenti pada assalamu’alaika ayyuha an-nabiyyu, namun di lanjutkan dengan assalamu ’alaina  wa’ala ’ibadillahisshalihin
Dalam al Qur’an Allah menegaskan kepada manusia bahwa diri-Nya dekat : “Dia dekat.” Boleh jadi, ketika itu ada yang bertanya tentang “tempat Tuhan.” Karena menduga Tuhan sama dengan makhluk. Jawaban bahwa “Dia dekat” tidaklah keliru. Seakan-akan jawaban ini memberitahu si penanya bahwa yang penting diketahui dan disadari adalah bahwa “Dia dekat.” Boleh jadi juga pertanyaan mereka adalah : “Apakah Tuhan mendengar do’a kami?” Pertanyaan semacam ini juga dapat dijawab dengan “Dia dekat.” Karena siapa yang dekat, biasanya mendengar. Kalau yang mereka tanyakan adalah “Bagaimana berdo’a, apakah dengan suara keras atau lembut?” Atau ”Apakah Allah mengabulkan do’a siapa yang berdo’a?” Maka jawaban itupun sangat sesuai, karena dengan “Dekat-Nya”, maka seseorang tidak perlu berteriak, dan dengan “Dekat-Nya.” Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, Dia akan mengasihi dan mengabulkan do’a mereka. Begitu juga kalau pertanyaan itu adalah “Apakah Allah meneria taubat kami, jika kami bertaubat?” dengan “Allah dekat” berarti Allah menerimanya. Demikian, terlihat betapa jawaban di atas memuaskan semua penanya yang bermaksud melangkah mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Quraish Shihab, 2006 :  177-178)

C.    Manfaat Do’a
Dahulu - dan boleh jadi hingga kini - ada yang berpendapat do’a tidak berguna. Mereka berkata bahwa : “Kalau yang diharapkan oleh yang berdo’a telah diketahui Allah, dengan pengetahuan-Nya yang menyeluruh itu, bahwa harapan tersebut akan terjadi, maka ada gunanya berdo’a? Bukankan ia pasti terjadi? Sedangkan kalau dalam pengetahuan-Nya harapan si pemohon tidak akan terkbulkan, maka do’a pun hanya akan sia-sia.” Ada lagi yang berkata bahwa sebenarnya segala sesuatu telah ditetapkan Allah dan tertulis di Lauh al-mahfuzh. Bukankan Rasululllah saw. bersabda :  ”Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah terlipat, yakni tak ada lagi yang dapat diubah”. Jika demikian apa gunanya berdo’a?
Pandangan-pandangan di atas tidaklah tepat. Bukan saja karena manusia tidak mengetahui pengetahuan Allah yang menyangkut permintaan-Nya, sehingga dia tetap dituntut berusaha, dan salah satu usaha itu adalah do’a. Disamping itu, manusia juga dituntut oleh agama untuk hidup dalam harapan, salah satu wujud dari kondisi kejiwaan seperti itu tercermin oleh doa. Dengan do’a, seseorang yang beriman akan merasa lega, puas hati, dan tenang karena merasa bersama Allah yang maha kuasa. Dan dengan demikan, dia merasakan ketenangan, dan hal tersebut memberinya kekuatan batin dalam menghadapi penyakit, rasa takut dan kecemasanya. Dan sangat membantu dalam penyembuhan dan keseimbangan jiwa.
Alexis Carrel, salah soerang ahli bedah Perancis (1873-1941) dan peraih hadiah Nobel dalam bidang kedokteran, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab menulis dalam bukunya Pray (do’a) tentang pengalaman-pengalamannya dalam mengobati pasien. Tulisnya “Banyak diantara mereka memperoleh kesembuhan dengan jalan berdo’a” Menurutnya, doa adalah suatu gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada saat itu, jiwa manusia terbang menuju Tuhannya (Qurais shihab, 206 :181).
Kehidupan manusia, suka atau tidak, mengandung penderitaan, kesedihan, dan kegagalan, disamping kegembiraan, prestasi, dan keberhasilan. Memang, banyak kepedihan yang dapat dicegah melalui usaha yang sungguh-sungguh serta ketabahan. Tetapi, tidak sedikit juga yang tidak dapat dicegah, seperti kematian, oleh upaya apapun., di sinilah semakin terasa manfaat doa. Dan harus diingat bahwa kalau pun apa yang dimohonkan tidak sepenuhnya tercapai, namun dengan do’a tersebut seseorang telah hidup dalam suasana optimisme, harapan, dan hal ini tidak diragukan lagi akan memberikan dampak yang sangat baik dalam kehidupannya. Karena itu, jika do’a tidak menghasilkan apa yang dipinta, maka paling tidak manfaatnya adalah ketenangan batin si pendo’a karena dia telah hidup dalam harapan.
Bahwa takdir telah ditentukan Allah, memang benar, tetapi kita tidak harus memahami takdir dalam pengertian segala sesuatu telah ditetapkan rincian kejadiannya oleh Allah, sehingga manusia tidak dapat mengelak. Takdir adalah ketentuan terhadap sesuatu berdasar sistem yang ditetapkan-Nya. Siapa yang bersandar di tembok yang rapuh maka akan ditimpa reruntuhannya, dan siapa yang menjauh dari tembok itu akan terhindar. Kedua dampak di atas adalah takdir-Nya, namun demikian, manusia berpotensi untuk memilih dan berusaha menghindar. Salah satu usaha tersebut adalah do’a. Oleh karena itu, kita dapat berkata bahwa ada ketetapan-Nya yang telah pasti dan ada pula yang bersyarat. Ada taqdir mubrom, ada  pula yang mu’allaq. Siapa tahu salah satu syarat itu adalah do’a, sehingga apa yang diperoleh oleh yang berdo’a, dapat berbeda dengan apa yang dialami oleh mereka yang tidak berdo’a. disamping itu, harus juga diingat bahwa pengetahuan yang dimiliki satu pihak, sama sekali tidak menjadikan ia terlibat dalam terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Pengetahuan seseorang menyangkut tergelincirnya siapa yang menginjak kulit pisang, misalnya, bukanlah pengetahuan itu yang menyebabkan si penginjak tergelincir (Khusnul hamidiyyah, th….hal…..)
Ada lagi yang berkata bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Dermawan sehingga kita tidak perlu berdo’a, dan kita serahkan saja kepada kasih dan kerdermawanan-Nya. Memang benar, Allah Maha Pengasih dan Maha Dermawan. Banyak sekali yang telah Dia anugerahkan sebelum, bahkan tanpa diminta oleh hamba-hambaNya. Tetapi dalam saat yang sama, Dia memerintahkan kita berdo’a. bertebaran ayat al Qur’an dan hadist nabi yang berbicara tentang perintah tersebut.
Allah Maha Mengetahui tentang kebutuhan seseorang. Jika demikian, apa gunanya memohon? Demikian dalih yang lain. Ini bisa ditampik dengan mengatakan bahwa do’a bukanlah untuk menyampaikan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, karena segala sesuatu diketahui-Nya, tetapi do’a antara lain bertujuan menampakkan ketundukan, kepatuhan, dan kerendahan diri manusia di hadapan-Nya. Sementara ulama’ berkata : Do’a yang dimaksud untuk menampakkan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah adalah sesuatu yang amat terpuji. Soal dikabulkan atau tidak bukanlah urusan si pendo’a tetapi hak mutlak Allah. Jika seseorang mengukur dirinya menyangkut terpenuhinya harapannya, maka sungguh itu jauh dari memadai, karena seseorang biasanya tidak berdo’a/ meminta pertolongan kecuali setelah sadar bahwa dia sebagai individu memiliki kelemahan, hingga akhirnya dia meminta kepada siapa yang dinilainya mampu memenuhi permintaannya. Seseorang tidak akan meminta segelas air kepada bayi, karena ia sadar bahwa dia tak akan mampu memenuhi herapanya
Karena itu, yang berdo’a mestinya, selalu ridlo kepada Allah, baik permohonannya dikabulkan maupun tidak. Dan karena itu pula al-Qur’an melukiskan bahwa orang-orang yang shaleh menjadikan ucapan alhamdulillah sebagai akhir dari do’a mereka.
Agama menjadikan do’a sebagai salah satu bentuk yang sangat jelas dari penghambaan diri kepada tuhan, karena itu Al-qur’an menyatakan bahwa Allah murka bila hamba-Nya tidak memohon kepada-Nya.
Allah menghendaki dari yang berkelimang dosa pun agar memohon kepadanya. Karena itu siksa yang dijatuhkan Allah antara lain, bertujuan mendorong orang-orang yang durhaka agar bertaubat dengan tulus dan berdo’a dengan rendah hati, karena ampunan Allah jauh lebih luas dibanding dosa hamba. Hai ini dapat disimak pada kisah umat terdahulu
Sejarah menginformasikan tentang kisah umat terdahulu, dimana ada diantara mereka orang yang yang berlumuran dosa. Ya’ni  ia telah menghabisi 99 jiwa, meski demikian ia tidak putus asa sehingga ia bermaksud untuk bertaubat. Dan ketika maksud taubat ini disampaikan kepada seorang rahib, ia menegaskan bahwa dosa sebesar itu tidak bisa diampuni Allah. Lantaran ia kecewa dengan jawaban  tersebut, ia justru membunuh rahib tersebut.sehingga genap 100 jiwa yang ia habisi. Namun tampaknya keinginan dia untuk bertaubat tidak padam sehingga maksud taubat ini di sampaikan kepada orang ‘alim dan rupanya inilah jawaban yang ia nantikan. Orang ‘alim tersebut menegaskan bahwa Allah berkenan menerima taubat hamba-Nya sebesar apapun selama ia mau kembali bertaubat kepada-Nya. Kemudian ia di suruh untuk meninggalkan kampung halamannya yang tidak baik guna menuju daerah yang lebih religi dengan harapan ia bisa rajin ibadah bersama-sama penduduk setemat
Namun disaat ia menuju daerah yang religi ini ia wafat di tengah perjalanan. Kematian ini menjadi pro konta antara malaikat ‘azab dan malaikat rahmat. Singkat cerita akhirnya ada malaikat yang menjelma sebagai manusia dan ia menyarankan agar mengukur perjalanan sang pentaubat tadi. Ternyata setelah pengukuran dilaksanakan ia lebih dekat dengan daerah yang ia tuju. Sehingga malaikat rahmatlah yang menang dan akhirnya surgalah tempat tinggalnya. Demikianlah pengembaraan sang pentaubat dalam mencari ampunan-Nya (Musthofa sa’id Khon 1993 jilid 1 hal 80-81).
Karena kalau tidak, siksa yang lebih besar dapat menimpa mereka. Jatuhnya siksa Allah yang lebih besar akibat keengganan memohon, menunjukkan bahwa yang maha kuasa itu murka. Keengganan berdo’a mengandung makna ketiadaan kebutuhan kepada-Nya, dan ini bertentangan dengan sifat al-khalik yang selalu dibutuhkan dan sifat makhluk yang selalu butuh kepada Allah. Rasa ketidakbutuhan itu menunjukkan keangkuhan manusia. Hal ini juga tampak pada penuturan kisah Bani Israil sebagai berikut :
Rasulullah menuturkan bahwa pada komunitas Bani Israil terdapat 3 orang yang masing-masing di samping perekonomiannya lemah juga menderita penyakit.  Diantara mereka ada yang sakit kulit, bekepala butak dan lainya buta, sehingga ketiga tiganya terisolir dan dikucilkan oleh anggota masyarakat. Kemudian malaikat mendatangi mereka sembari menanyakan hal apa yang  paling mereka idam- idamkan. Tentu saja mereka ingin bebas dan sembuh dari penyakitnya serta kembali normal sebagaimana layaknya orang lain sehingga mereka tidak lagi dikucilkan. Kemudian malaikat menanyakan harta benda apa yang mereka sukai? Diantara mereka  ada yang menjawab ingin unta, sapi, dan lainya suka kambing. Dan atas izin Allah  mereka bertiga mendapatkan harta sesuai yang mereka harapkan, dan akhirnya ternak mereka berkembang biak banyak sekali.
Kemudian dalam kesempatan lain malaikat tersebut mendatangi mereka, dengan menjelma menjadi orang miskan yang kehabisan bekal dalam perjalanan, oleh karenaya malaikat “yang miskin“ ini minta bantuan kapada mereka agar dapat melanjutkan perjalananya. Namun apa jawab mereka? ”Kebutuhanku banyak, aku tidak bisa membantumu!” Kemudian malaikat ini berkomentar, ”Tampaknya aku mengenalimu. Bukankah kamu dulu miskin dan berpenyakit sehingga dikucilkan masyarakat? Kemudian Allah memberimu harta yang melimpah!” Orang yang pertama dan yang kedua membantah, ”Tidak! Harta ini kami warisi dari orang tua kami.” Kemudian sang malaikat berucap, ”Kalau kalian bohong niscaya Allah akan mengembalikan kalian kekeadaan kondisi semula.”
Sikap orang ketiga ini lain responnya kapada sang malaikat. Ia justru mempersilahkan malaikat tersebut untuk mengambil hartanya sebanyak-banyaknya. Melihat respon positif ini akhirnya malaikat menegaskan bahwa saya hanya menguji kalian. Allah meridhoimu dan murka kepada kedua temanmu (Musthofa sa’id khon dkk, 1993 : jilid 1 hal 35-36)
Allah maha mengetahui tentang keinginan dan kebutuhan manusia, namun dalam saat yang sama Dia menghendaki agar manusia menampakkan kebutuhan itu kepada-Nya dan tidak mengandalkan pengetahuan-Nya atas kebutuhan manusia.
Bahkan sekian banyak anjuran agar manusia dalam berdo’a merengek dan mendesak bagaiakan anak kecil yang merengek kepada orang tua meminta sesuatu.
Do’a adalah mukh al-Ibadah, yakni saripati ibadah (HR at-Tirmidzi melalui  Anas bin Malik). Dalam riwayat lain, doa adalah ibadah (HR. at-Tirmidzi dan Abu Daud melalui an-Nu’man bin Basyir). Ini karena setiap ibadah mengandung permohonan, sedang permohonan yang sebenarnya adalah yang tulus ditujukan kepada Allah swt. setelah mengakui keesaan-Nya. Di sisi lain, kata ibadah sering kali digunakan al-Qur’an dalam arti doa, demikian juga sebaliknya. Perhatikanlah firman Allah dalam QS. Ghafir [40] :60 yang bagaikan menyatakan bahwa: “Dan Tuhan (yang selama ini memlihara)  kamu”, telah berfirman (sejak dahulu atau melalui ayat-ayat al-Qur’an yang telah turun sebelum ayat ini bahwa): Berdoalah (dan beribadahlah) kepada-Ku (yakni murnikanlah ketaatan kepada-Ku perkenankanlah tuntutan-Ku) niscaya Kuerkenankan(secara mantap) bagi kamu (apa yang kamu harapkan. Jangan sekali-kali merasa angkuh sehingga enggan berdoa dan beribadah karena) sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri (yakni enggan berdoa serta menghindar untuk) beribedah kepada-Ku (dan memperkenankan tuntutan-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina (yakni tersiksa lahir dan batin).
Perintah-Nya untuk berdoa/beribadah dengan janji mengabulkan/menerimanya - selama manusia memparkenankan tuntutan-Nya - harus menyadarkan manusia bahwa Allah menjanjikan pengabulan yang dibutuhkan manusia padahal Allah tidak membutuhkan doa tersebut. Karena itu, manusia harus berdoa sambil memperkenankan tuntutan-Nya karena dialah yang butuh kepada-Nya.
Ayat-ayat di atas antara lain menunjukkan bahwa Allah swt. sangat yakin menyukai hamba-hamba-Nya yang memohon kepada-Nya, dan karena itu doa dianjurkan setiap saat, khususnya pada malam hari.
Di tempat lain ditemukan bahwa Allah memerintahkan manusia agar memohon dengan firman-Nya :”Mohonlah kepada Allah sebagian anugerah-Nya” (QS.an-Nisa’[4]:32). Benar, hanya “sebagian”, karena banyaknya pun yang meminta dan betapapun banyaknya yang mereka semua minta, kalau semua diberi sesuai permintaannya, maka itu hanya sebagian kecil, bahkan setetes dari anugerah-Nya.
Sabda Rasul saw. menunjukkan betapa besar nilai doa sekaligus merupakan anjuran memanjatkan doa: ”Tiada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah melebihi doa”(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah , melalui Abu Hurairah ra.).
Adalah sangat tercela seseorng yang berlaku seperti kaum musyrik, yang hanya berdoa ketika dalam kesulitan. Sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang sikap buruk ini. Antara lain firman-Nya dalam QS. Yunus [10]:12.QS al Furqon[25]:13,QS al ’Ankabut [29] :65, QS Arrum [30] :33’ QS luqman [31] :32...........TOLONG  Msg2 tulis artinya.
Ayat tersebti menunjukkan bahwa manusia, saat mengalami kesulitan akan terus berdoa kepada Allah swt. dalam keadaan apapun, hingga kesulitannya teratasi, tetapi yang durhaka dan tidak bermoral segera melupakan Allah ketika kesulitannya berlalu, bahkan sebagian mereka bersikp lebih buruk, sebagaimana dilukiskan oleh firman-Nya dalam QS. az-Zumar [39]:49.
Orang-orang semacam ini tidak sedikit. Mereka tidak menyadari bahwa setiap manusia membutuhkan bantuan Allah swt. Salah satu doa Rasul saw. yang sering beliau ucapkan adalah Rabbi la takilni ila nafsi ‘ain (Tuhanku, Janganlah Engkau membiarkan aku dengan diriku [tanpa bantuan-Mu] walau sekejap matapun)
Kita juga tidak jarang menemukan seseorang atau sekelompok orang berkumpul sambil mengangkat tangan dan menengadah ke langit, tetapi apa yang mereka lakukan tidak dapat dinamai doa. Itu dapat diketehui dari cara atau kalimat-kalimat yang terdengar dari mereka. Dalam buku Pelita Hati, Quraish shihab mengemukakan bahwa: ”Di Negara kita, upacara-upacara resmi,sebagaimana halnya upacara-upacara keagamaan, sering kali diakhiri dengan doa. Hanya saja sebagian dari permohonan kita itu, mungkin tidak memenuhi syarat untuk dinamai doa karena tidak jarang terasa bahwa permohonan yang kita panjatkan bagaikan laporan kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar. Kita bagaikan berpidato di hadapan-Nya, padahal kita diperintahkan memohon dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut”.karenaitu kita harus bisa membedaakan antara sikap al jaaz’u yang berarti menggerutu dan sikap tadhorru’ yang berarti memohon pertolongan Allah dengan segala kerendahan hati[ Al Ghozali minhajul ’abidin juz 1 alhidayah surabaya tt hal 84]
Sikap berbangga dalam “berdoa” adalah sikap yang bertentangan dengan hakikkat doa. Itulah salah satu yang diingatkan oleh Rasul saw. dengan sabda beliau: “Akan ada orang-orang yang melampaui batas dalam berdoa.” Pelampauan batas itu, antara lain bersuara keras yang memekakkan ketika berdoa, memohon yang tidak wajar dimohonkan, dan berbangga-bangga dengan doa yang dipanjatkan.
Manusia, betapapun kuatnya, tetap saja adalah makhluk yang lemah yang memiliki ketergantungan. Makhluk ini memiliki naluri cemas dan mengharap. Naluri itu tidak dapat dielakkannya. Kenyatan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar kepada makhluk, betapapun kuat dan berkuasanya, sering tidak membuahkan hasil. Setelah terbukti ketidakmampuan makhluk yang diandalkan untuk memenuhi harapan atau menangkal kecemasan, naluri tersebut tidak pupus, karena ketika itu-diakui sebelumnya atau tidak-manusia tadi menengadah kepada sumber yang dirasakannya pada lubuk hati yang terdalam; dia menengadah ke “langit” mengharap kiranya Yang Maha Kuasa     memenuhi harapan dan menghilangkan kecemasannya.
Manusia telah dating ke hadirat Tuhan sebelum mereka mengenal-Nya dengan nalar. Karena itu-tulis sebagian filosof-Anda bisa saja dimasa lampau atau masa kini masuk ke satu lokasi  pemukiman, dan disana tidak menemukan bioskop, atau pasar, tetapi pasti Anda menemukan orang-orang yang memanjatkan harapan kepada Tuhan.
Allah swt. mmbuka pintu selebar-lebarnya bagi manusia untuk memohon kepada-Nya, bahkan Dia marah terhadap mereka yang enggan berdoa. Agaknya kemarahan itu disebabkan karena keengganan itu mengisyaratkan bahwa manusia tidak mengakui kelemahannya dan kebutuhannya kepada Allah, padahal sebagaimana ayat di atas menyebutkan, semua manusia terlebih dahulu kebutuhan manusia kepada Allah harus merasa membutuhkan-Nya karena memang semua membutuhkan-Nya.

D.    Cara dan Etika Berdo’a
Dalam berinteraksi dengan manusia, ada etika, sopan santun, dan adab. Menjaga pola interaksi dan komunikasi yang baik, akan menjamin hubungan yang baik dengan sesama. Begitupun sebaliknya. Tanpa etika, sopan santun dan adab, hubungan sesama manusia akan sulit menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Ilustrasi ini, akan mengawali, bagaimana kita menjalin hubungan, komunikasi dan interaksi yang baik dengan Allah SWT melalui do’a.
Tentu ada beberapa langkah yang diajarkan Allah, Rasulullah dan para salafushalih agar kita bisa berdo’a dengan baik.
Pertama, pilihlah waktu-waktu yang tepat untuk berdo’a. Sebenarnya berdo’a itu tidak terikat dengan waktu, tetapi Islam memang mengajarkan ada waktu yang paling baik dan istimewa untuk berdo’a. Beberapa waktu istimewa untuk dikabulkannya do’a antara lain di malam ”asyrul awakhir”(sepuluh malam terakhir dalam bulan Ramadhan), di hari Arafah (9  Zulhijjah di kala jemaah haji wukuf di Arafah), di bulan Ramadhan, di hari Jum’at, di sepertiga malam yang terakhir (sesudah jam 2 malam), pada waktu sahur (sebelum fajar), sesudah berwudhu, usai azan sebelum iqamat, ketika sedang berpuasa, ketika dalam medan jihad, di setiap selesai shalat fardu, pada waktu sedang sujud (dalam sholat atau di luar sholat), ketika sedang musafir atau bepergian, dan sebagainya. Termasuk di sini, adalah tidak menyia-nyiakan untuk berdo’a di tempat-tempat yang istimewa, seperti di Masjidil Haram, misalnya.

Kedua, gunakan keberadaan diri kita untuk meraih kesempatan berdo’a. Rasulullah menjelaskan, di antara do’a yang mustajab adalah do’a orang tua untuk anaknya, atau do’a anak yang berbakti dengan baik kepada orang tuanya, dan do’a seorang muslim  untuk saudaranya yang muslim, tanpa diketahui oleh saudara yang dido’akan itu. Maka, bila kita menjadi orang tua, perbanyaklah do’a untuk anak-anak. Bila kita menjadi anak, berusahalah untuk berbakti kepada orang tua, agar do’a kita terkabulkan. Dan, jangan lupa seringlah berdo’a untuk saudara dengan diam-diam. Karena Allah berjanji akan memberi untuk kita, apa yang kita mintakan untuk saudara kita itu. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendo’akan saudaranya secara diam-diam, kecuali malaikat berkata, ‘dan untukmu seperti apa yang engkau mintakan untuknya.” (HR. Muslim). 
Ketiga, mulailah berdo’a dengan memperbanyak puji-pujian kepada Allah. Memulai dengan tahmid (pujian terhadap Allah) dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu berdo’a, hendaknya memulai dengan memuji dan menyanjung Rabbnya, dan bershalawat kepada Nabi, kemudian berdo’a apa yang dia kehendaki." (HR.Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani). Ibnu Mas’ud ra pernah berdo’a, ia memulai dengan tahmid, kemudian bershalawat, kemudian diteruskan dengan do’a untuk kebaikan dirinya. Maka Rasulullah yang ketika itu mendengarnya mengatakan, "Mintalah pasti kamu diberi, mintalah pasti kamu diberi.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih, dan Abdul Qadir Al-Arnauth berkata, sanadnya hasan).
Keempat, mengangkat kedua tangan. Ini adalah salah satu sikap yang menunjukkan kebutuhan seorang hamba dalam berdo’a. Perhatikanlah sabda Rasulullah yang berbunyi, "Sesungguhnya Rabbmu itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, malu dari hamba-Nya jika ia mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya kemudian menariknya kembali dalam keadaan hampa kedua tangannya." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Albani). 
Kelima, jangan mengeraskan suara. Cukup berdo’a dengan suara samar. Menghinakan diri di hadapan-Nya dan menampakkan kebutuhan yang sangat. Cukup denqan kata-kata yang sederhana, jelas. Utamakan materi do’a yang berasal daripada Rasulullah SAW, sahabat atau salafushalih. Allah berfirman, “Berdo’alah kepada Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara pelan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-A’raf: 55).
Keenam, sebelum berdo’a, ucapkan istighfar dan mohon ampun kepada Allah atas seluruh kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Mintalah dengan penuh kesungguhan ampunan (maghfirah) Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahuinya, baik yang diingat maupun yang terlupa. Sebab bagi Allah, tak ada sesuatu yang tersembunyi. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan apa yang ada diantara keduanya. Dia juga mengetahui apa yang kita rahasiakan dari urusan kita, dan apa yang kita nyatakan. Allah berfirman: “Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (Qs. Al Baqarah: 284). “Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(QS. Al-Mukmin: 19). Memohon ampun disertai dengan taubat yang benar dan niat yang ikhlas demi Allah akan menyucikan jiwa dan membersihkannya dari dosa-dosa. 
Ketujuh, konsentrasi dan khusyu’. Pahami dan resapi benar-benar apa yang kita minta. Berdo’a tidaklah sekadar melafadzkan bait-bait yang dihafal tanpa mengerti maknanya, tetapi harus benar-benar memahami dan menginginkan dikabulkannya do’a itu. Rasulullah bersabda: “Mohonlah kepada Allah sementara kamu sangat yakin untuk dikabulkan, dan ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan bermain-main.”(HR. At-Tirmidzi, di hasankan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani). Ketidaksesuaian sikap sewaktu berdo’a turut mempengaruhi kesempurnaan berdo’a. Jangan sampai kita berdo’a, sementara hati kita ngelayap entah ke mana. Ingat, perbuatan manusia hanya bermakna jika disertai kesadaran hati, oleh karena itu Allah hanya menilai perbuatan manusia yang berpijak pada kesadaran hati. Demikian juga do’a kepada Allah, yang didengar bukan bunyi kata-kata, tetapi kesadaran hati orang yang berdo’a. Menurut Hadist Riwayat Tirmizi, Allah tidak mendengarkan dan tidak mengabulkan do’a dari orang yang hatinya lalai (min qalbi ghafilin lahin).
Kedelapan, hindari berdo’a untuk keburukan. Seorang muslim dilarang keras mendo ‘akan kemusnahan dan kehancuran sesama muslim, karena Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya (seagama) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Rasulullah tidak pernah mengajukan permohonan yang buruk untuk siapa pun. Bahkan pernah, ketika malaikat gunung menawarkannya untuk membalas perilaku keji penduduk Thaif, Rasul tetap menolak dan berharap agar keturunan mereka yang beriman. Rasulullah ketika itu malah berdo’a, "Ya Allah, berilah hidayah dan petunjuk-Mu kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.
Kesembilan, tidak tergesa-gesa agar do’a itu dikabulkan. Rasulullah bersabda: “Akan dikabulkan bagi seseorang di antara kamu selagi tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata, ’Saya telah berdo’a tetapi tidak dikabulkan’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk penyakit yang menghalangi terkabulnya do’a adalah tergesa-gesa, menganggap lambat pengabulan do’anya sehingga ia malas untuk berdo’a lagi." Padahal bisa jadi antara do’a dan jawabannya memerlukan waktu 40 tahun, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. (Abu Lairs As-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin). Ibnul Jauzi berkata: “Ketahuilah bahwa do’a orang mukmin itu tidak akan ditolak, hanya saja terkadang yang lebih utama baginya itu diundur jawabannya atau diganti dengan yang lebih baik dari permintaannya, cepat atau lambat." (Fathul Bari, 11/141).
Kesepuluh, berdo’alah kepada Allah di segala kondisi dan keadaan. Jangan hanya berdo’a di saat-saat sempit dan membutuhkan pertolongan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT banyak menyinggung sikap orang-orang yang hanya berdo’a dalam situasi kepepet. “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan." (Qs. Yunus: 12).
Selain hal-hal di atas, tentu, soal terpenting lainnya adalah ikhlas dan hati yang bersih. Murnikan harapan dan keinginan dalam do’a untuk kebaikan mencapai ridha Allah. Ingat, kehadiran kita di muka bumi ini membawa misi ibadah dan untuk tunduk kepada Allah saja. Itulah tujuan akhir hidup seseorang yang sebenarnya. Maka, permohonan apa pun yang kita sampaikan, harus selalu dikaitkan dengan keridhaan Allah SWT.
Al-Qur’an dan al-Hadits menginformasikan tentang cara dan etika berdo’a yang baik sebagai berikut (M. Quraish Shihab, 1998 : 195-197) :
1.      Do’a hendaknya dimulai dengan memuji Allah atas segala nikmat yang telah dianugerahkann-Nya, misalnya dengan mengucapkan alhamdulillah. Ini sebagai pengakuan tentang kasih sayang-Nya. Sehingga kalaupun apa yang akan diminta tidak atau belum terpenuhi, maka tidak mengantar kepada kekesalan atau rasa ketidakadilan Ilahi. Setelah itu;
2.      Mengucapkan shalawat, dalam arti permohonan kepada-Nya agar Nabi Muhammad saw. Dilimpahi oleh-Nya rahmat dan kasih sayang. Ini dinilai sebagai kunci pembuka pintu pengabulan do’a. Karena Nabi Muhammad saw adalah kekasih Allah dan melalui beliau kita, umatnya, memperoleh petunjuk. Shalawat ini membuktikan rasa terima kasih kita kepada beliau yang dengan mengucapkannya kita berharap memperoleh pula percikan kasih sayang-Nya. Setelah itu;
3.      Ajukanlah permohonan. Tetapi jangan lupa bemohon pula untuk orang lain. Karena seperti dalam sebuah riwayat, jika seseorang berdo’a untuk orang lain, malaikat akan berdo’a, ”Ya Allah, anugerahkanlah yang berdo’a ini seperti apa yang dimintakannya untuk orang lain”.
4.      Khusuk dan ikhlas memohon kepada Allah dengan suara yang tidak keras sehingga tidak memekakkan telinga serta tidak bertele-tele agar tidak membosankan dan terasa dibuat-buat. Setelah itu;
5.      Akhirilah do’a dengan mengucapkan subhanallah, yakni mensucikan Allah dari segala kekurangan, antara lain sifat kikir atau tidak adil, dan presepsi-presepsi negatif lainnya kepada Allah. Penyucian itu hendaknya digandengkan dengan ujian kepada-Nya atas segala nikmat yang selama ini telah diperolehnya,yakni bacaan alhadulillahi rabbil ’alamin. Hal ini mengandung makna bahwa si pemohon penuh dengan sikap optimisme bahwa do’anya tidak akan disia-siakan oleh Allah

6.      Dan setelah selesai berdo’a hendaklah mengusap wajah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar