A.
Pendahuluan
Dalam mengarungi kehidupan dunia, manusia betapa pun
kuasa dan kuatnya, pasti suatu ketika mengalami ketakutan, kecemasan, dan
kebutuhan. Memang pada saat kekuasaan dan kekuatan itu menyertainya, banyak yang
tidak merasakan sedikit kebutuhan pun, tetapi ketika kekuasaan dan kekuatan
meninggalkannya, ia merasa takut atau cemas, dan pada saat itu ia membutuhkan
“sesuatu” yang mampu menghilangkan ketakutan dan kecemasannya itu. Boleh jadi
pada tahap awal ia mencari “sesuatu” itu pada makhluk, tetapi jika kebutuhannya
tidak terpenuhi, pastilah pada akhirnya ia akan mencari dan bertemu dengan
kekuatan yang berada di luar alam raya. Itulah Tuhan. Dialah yang diyakini
dapat memenuhi kebutuhan manusia, menutupi kekurangannya, menghilangkan
kecemasannya, dan sebagainya yang merupakan kebutuhan makhluk.
Realitas di Indonesia, saat ini dunia usaha sedang
menghadapi badai yang luar biasa dahsyat, tingkat inflasi yang tinggi, nilai
rupiah yang tidak menentu, daya beli masyarakat yang merosot tajam, harga-harga
yang menjulang tinggi, dan tidak adanya kepastian hukum. Semua itu adalah pukulan yang sangat mematikan
bagi dunia usaha. Banyak perusahaan yang gulung tikar atau mati suri. Korban
PHK di mana-mana. Sebagian besar korban merasa putus asa.
Prinsip
menaruh harapan dari Tuhan melalui doa itu kekal, mempunyai nilai yang cukup
signifikan, tidak peduli apa pun yang terjadi, tidak akan goyah meskipun
kehilangan jabatan, harta, orang yang disayangi, kawan, ataupun penghargaan,
bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh Bilal bin Rabah.
B. Mengenal Do’a
Doa
merupakan bagian dari dzikir. Ia adalah permohonan. Setiap dzikir kendati dalam
redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa butuh
kepada Allah SWT yang selalu menghiasi pendzikir, menjadikan dzikir mengandung
do’a.
Do’a pada
mulanya berarti permintaan yang ditujukan kepada siapa yang dinilai oleh si
peminta mempunyai kedudukan dan kemampuan yang melebihi kedudukan dan
kemampuannya. Karena itu, ia bukan permintaan yang ditujukan kepada siapa yang
setingkat dengan si pemohon. Konteksnya berseberangan dengan perintah. Sebab,
walaupun perintah pada hakikatnya merupakan permintaan, tetapi ia ditujukan
kepada siapa yang kedudukannya lebih rendah dari yang meminta (Waahbah Azzuhail
jilid 1 th. 1986….. hal…218-219)
Do’a dalam
istilah agamawan adalah permohonan hamba kepada Tuhan agar memperoleh anugerah
pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si pemohon maupun untuk pihak lain.
Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati yang terdalam disertai dengan
ketundukan dan pengagungan kepada-Nya. Bahkan Islam mengajarkan kita untuk
tidak egois dalam berdo’a. Hal ini di tunjukkan dalam bacaan do’a tahiyyat yang
tidak berhenti pada assalamu’alaika ayyuha an-nabiyyu, namun di
lanjutkan dengan assalamu ’alaina
wa’ala ’ibadillahisshalihin
Dalam al
Qur’an Allah menegaskan kepada manusia bahwa diri-Nya dekat : “Dia dekat.”
Boleh jadi, ketika itu ada yang bertanya tentang “tempat Tuhan.” Karena menduga
Tuhan sama dengan makhluk. Jawaban bahwa “Dia dekat” tidaklah keliru. Seakan-akan
jawaban ini memberitahu si penanya bahwa yang penting diketahui dan disadari
adalah bahwa “Dia dekat.” Boleh jadi juga pertanyaan mereka adalah : “Apakah
Tuhan mendengar do’a kami?” Pertanyaan semacam ini juga dapat dijawab dengan
“Dia dekat.” Karena siapa yang dekat, biasanya mendengar. Kalau yang mereka
tanyakan adalah “Bagaimana berdo’a, apakah dengan suara keras atau lembut?”
Atau ”Apakah Allah mengabulkan do’a siapa yang berdo’a?” Maka jawaban itupun
sangat sesuai, karena dengan “Dekat-Nya”, maka seseorang tidak perlu berteriak,
dan dengan “Dekat-Nya.” Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, Dia akan mengasihi
dan mengabulkan do’a mereka. Begitu juga kalau pertanyaan itu adalah “Apakah
Allah meneria taubat kami, jika kami bertaubat?” dengan “Allah dekat” berarti
Allah menerimanya. Demikian, terlihat betapa jawaban di atas memuaskan semua
penanya yang bermaksud melangkah mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Quraish
Shihab, 2006 : 177-178)
C. Manfaat Do’a
Dahulu - dan
boleh jadi hingga kini - ada yang berpendapat do’a tidak berguna. Mereka
berkata bahwa : “Kalau yang diharapkan oleh yang berdo’a telah diketahui Allah,
dengan pengetahuan-Nya yang menyeluruh itu, bahwa harapan tersebut akan
terjadi, maka ada gunanya berdo’a? Bukankan ia pasti terjadi? Sedangkan kalau
dalam pengetahuan-Nya harapan si pemohon tidak akan terkbulkan, maka do’a pun
hanya akan sia-sia.” Ada lagi yang berkata bahwa sebenarnya segala sesuatu
telah ditetapkan Allah dan tertulis di Lauh al-mahfuzh. Bukankan Rasululllah
saw. bersabda : ”Pena telah diangkat dan
lembaran-lembaran telah terlipat, yakni tak ada lagi yang dapat diubah”. Jika
demikian apa gunanya berdo’a?
Pandangan-pandangan
di atas tidaklah tepat. Bukan saja karena manusia tidak mengetahui pengetahuan
Allah yang menyangkut permintaan-Nya, sehingga dia tetap dituntut berusaha, dan
salah satu usaha itu adalah do’a. Disamping itu, manusia juga dituntut oleh
agama untuk hidup dalam harapan, salah satu wujud dari kondisi kejiwaan seperti
itu tercermin oleh doa. Dengan do’a, seseorang yang beriman akan merasa lega,
puas hati, dan tenang karena merasa bersama Allah yang maha kuasa. Dan dengan
demikan, dia merasakan ketenangan, dan hal tersebut memberinya kekuatan batin
dalam menghadapi penyakit, rasa takut dan kecemasanya. Dan sangat membantu
dalam penyembuhan dan keseimbangan jiwa.
Alexis
Carrel, salah soerang ahli bedah Perancis (1873-1941) dan peraih hadiah Nobel
dalam bidang kedokteran, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab menulis dalam
bukunya Pray (do’a) tentang pengalaman-pengalamannya dalam mengobati pasien.
Tulisnya “Banyak diantara mereka memperoleh kesembuhan dengan jalan berdo’a” Menurutnya,
doa adalah suatu gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada
saat itu, jiwa manusia terbang menuju Tuhannya (Qurais shihab, 206 :181).
Kehidupan
manusia, suka atau tidak, mengandung penderitaan, kesedihan, dan kegagalan,
disamping kegembiraan, prestasi, dan keberhasilan. Memang, banyak kepedihan
yang dapat dicegah melalui usaha yang sungguh-sungguh serta ketabahan. Tetapi,
tidak sedikit juga yang tidak dapat dicegah, seperti kematian, oleh upaya
apapun., di sinilah semakin terasa manfaat doa. Dan harus diingat bahwa kalau
pun apa yang dimohonkan tidak sepenuhnya tercapai, namun dengan do’a tersebut
seseorang telah hidup dalam suasana optimisme, harapan, dan hal ini tidak
diragukan lagi akan memberikan dampak yang sangat baik dalam kehidupannya.
Karena itu, jika do’a tidak menghasilkan apa yang dipinta, maka paling tidak
manfaatnya adalah ketenangan batin si pendo’a karena dia telah hidup dalam
harapan.
Bahwa
takdir telah ditentukan Allah, memang benar, tetapi kita tidak harus memahami
takdir dalam pengertian segala sesuatu telah ditetapkan rincian kejadiannya
oleh Allah, sehingga manusia tidak dapat mengelak. Takdir adalah ketentuan
terhadap sesuatu berdasar sistem yang ditetapkan-Nya. Siapa yang bersandar di
tembok yang rapuh maka akan ditimpa reruntuhannya, dan siapa yang menjauh dari
tembok itu akan terhindar. Kedua dampak di atas adalah takdir-Nya, namun
demikian, manusia berpotensi untuk memilih dan berusaha menghindar. Salah satu
usaha tersebut adalah do’a. Oleh karena itu, kita dapat berkata bahwa ada
ketetapan-Nya yang telah pasti dan ada pula yang bersyarat. Ada taqdir
mubrom, ada pula yang mu’allaq.
Siapa tahu salah satu syarat itu adalah do’a, sehingga apa yang diperoleh oleh
yang berdo’a, dapat berbeda dengan apa yang dialami oleh mereka yang tidak
berdo’a. disamping itu, harus juga diingat bahwa pengetahuan yang dimiliki satu
pihak, sama sekali tidak menjadikan ia terlibat dalam terjadi atau tidak
terjadinya sesuatu. Pengetahuan seseorang menyangkut tergelincirnya siapa yang
menginjak kulit pisang, misalnya, bukanlah pengetahuan itu yang menyebabkan si
penginjak tergelincir (Khusnul hamidiyyah,
th….hal…..)
Ada lagi
yang berkata bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Dermawan sehingga kita tidak
perlu berdo’a, dan kita serahkan saja kepada kasih dan kerdermawanan-Nya.
Memang benar, Allah Maha Pengasih dan Maha Dermawan. Banyak sekali yang telah
Dia anugerahkan sebelum, bahkan tanpa diminta oleh hamba-hambaNya. Tetapi dalam
saat yang sama, Dia memerintahkan kita berdo’a. bertebaran ayat al Qur’an dan
hadist nabi yang berbicara tentang perintah tersebut.
Allah Maha Mengetahui
tentang kebutuhan seseorang. Jika demikian, apa gunanya memohon? Demikian dalih
yang lain. Ini bisa ditampik dengan mengatakan bahwa do’a bukanlah untuk
menyampaikan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, karena segala sesuatu
diketahui-Nya, tetapi do’a antara lain bertujuan menampakkan ketundukan,
kepatuhan, dan kerendahan diri manusia di hadapan-Nya. Sementara ulama’ berkata
: Do’a yang dimaksud untuk menampakkan ketundukan dan penghambaan diri kepada
Allah adalah sesuatu yang amat terpuji. Soal dikabulkan atau tidak bukanlah
urusan si pendo’a tetapi hak mutlak Allah. Jika seseorang mengukur dirinya
menyangkut terpenuhinya harapannya, maka sungguh itu jauh dari memadai, karena
seseorang biasanya tidak berdo’a/ meminta pertolongan kecuali setelah sadar
bahwa dia sebagai individu memiliki kelemahan, hingga akhirnya dia meminta
kepada siapa yang dinilainya mampu memenuhi permintaannya. Seseorang tidak akan
meminta segelas air kepada bayi, karena ia sadar bahwa dia tak akan mampu memenuhi
herapanya
Karena itu,
yang berdo’a mestinya, selalu ridlo kepada Allah, baik permohonannya dikabulkan
maupun tidak. Dan karena itu pula al-Qur’an melukiskan bahwa orang-orang yang
shaleh menjadikan ucapan alhamdulillah sebagai akhir dari do’a mereka.
Agama menjadikan
do’a sebagai salah satu bentuk yang sangat jelas dari penghambaan diri kepada
tuhan, karena itu Al-qur’an menyatakan bahwa Allah murka bila hamba-Nya tidak
memohon kepada-Nya.
Allah
menghendaki dari yang berkelimang dosa pun agar memohon kepadanya. Karena itu
siksa yang dijatuhkan Allah antara lain, bertujuan mendorong orang-orang yang
durhaka agar bertaubat dengan tulus dan berdo’a dengan rendah hati, karena
ampunan Allah jauh lebih luas dibanding dosa hamba. Hai ini dapat disimak pada
kisah umat terdahulu
Sejarah
menginformasikan tentang kisah umat terdahulu, dimana ada diantara mereka orang
yang yang berlumuran dosa. Ya’ni ia
telah menghabisi 99 jiwa, meski demikian ia tidak putus asa sehingga ia
bermaksud untuk bertaubat. Dan ketika maksud taubat ini disampaikan kepada
seorang rahib, ia menegaskan bahwa dosa sebesar itu tidak bisa diampuni Allah.
Lantaran ia kecewa dengan jawaban
tersebut, ia justru membunuh rahib tersebut.sehingga genap 100 jiwa yang
ia habisi. Namun tampaknya keinginan dia untuk bertaubat tidak padam sehingga
maksud taubat ini di sampaikan kepada orang ‘alim dan rupanya inilah jawaban
yang ia nantikan. Orang ‘alim tersebut menegaskan bahwa Allah berkenan menerima
taubat hamba-Nya sebesar apapun selama ia mau kembali bertaubat kepada-Nya.
Kemudian ia di suruh untuk meninggalkan kampung halamannya yang tidak baik guna
menuju daerah yang lebih religi dengan harapan ia bisa rajin ibadah
bersama-sama penduduk setemat
Namun
disaat ia menuju daerah yang religi ini ia wafat di tengah perjalanan. Kematian
ini menjadi pro konta antara malaikat ‘azab dan malaikat rahmat. Singkat cerita
akhirnya ada malaikat yang menjelma sebagai manusia dan ia menyarankan agar
mengukur perjalanan sang pentaubat tadi. Ternyata setelah pengukuran dilaksanakan
ia lebih dekat dengan daerah yang ia tuju. Sehingga malaikat rahmatlah yang
menang dan akhirnya surgalah tempat tinggalnya. Demikianlah pengembaraan sang
pentaubat dalam mencari ampunan-Nya (Musthofa sa’id Khon 1993 jilid 1 hal 80-81).
Karena
kalau tidak, siksa yang lebih besar dapat menimpa mereka. Jatuhnya siksa Allah
yang lebih besar akibat keengganan memohon, menunjukkan bahwa yang maha kuasa
itu murka. Keengganan berdo’a mengandung makna ketiadaan kebutuhan kepada-Nya,
dan ini bertentangan dengan sifat al-khalik yang selalu dibutuhkan dan sifat
makhluk yang selalu butuh kepada Allah. Rasa ketidakbutuhan itu menunjukkan
keangkuhan manusia. Hal ini juga tampak pada penuturan kisah Bani Israil sebagai
berikut :
Rasulullah
menuturkan bahwa pada komunitas Bani Israil terdapat 3 orang yang masing-masing
di samping perekonomiannya lemah juga menderita penyakit. Diantara mereka ada yang sakit kulit,
bekepala butak dan lainya buta, sehingga ketiga tiganya terisolir dan
dikucilkan oleh anggota masyarakat. Kemudian malaikat mendatangi mereka sembari
menanyakan hal apa yang paling mereka
idam- idamkan. Tentu saja mereka ingin bebas dan sembuh dari penyakitnya serta
kembali normal sebagaimana layaknya orang lain sehingga mereka tidak lagi
dikucilkan. Kemudian malaikat menanyakan harta benda apa yang mereka sukai? Diantara
mereka ada yang menjawab ingin unta,
sapi, dan lainya suka kambing. Dan atas izin Allah mereka bertiga mendapatkan harta sesuai yang
mereka harapkan, dan akhirnya ternak mereka berkembang biak banyak sekali.
Kemudian
dalam kesempatan lain malaikat tersebut mendatangi mereka, dengan menjelma
menjadi orang miskan yang kehabisan bekal dalam perjalanan, oleh karenaya
malaikat “yang miskin“ ini minta bantuan kapada mereka agar dapat melanjutkan
perjalananya. Namun apa jawab mereka? ”Kebutuhanku banyak, aku tidak bisa
membantumu!” Kemudian malaikat ini berkomentar, ”Tampaknya aku mengenalimu. Bukankah
kamu dulu miskin dan berpenyakit sehingga dikucilkan masyarakat? Kemudian Allah
memberimu harta yang melimpah!” Orang yang pertama dan yang kedua membantah,
”Tidak! Harta ini kami warisi dari orang tua kami.” Kemudian sang malaikat berucap,
”Kalau kalian bohong niscaya Allah akan mengembalikan kalian kekeadaan kondisi
semula.”
Sikap orang
ketiga ini lain responnya kapada sang malaikat. Ia justru mempersilahkan
malaikat tersebut untuk mengambil hartanya sebanyak-banyaknya. Melihat respon
positif ini akhirnya malaikat menegaskan bahwa saya hanya menguji kalian. Allah
meridhoimu dan murka kepada kedua temanmu (Musthofa sa’id khon dkk, 1993 : jilid
1 hal 35-36)
Allah maha
mengetahui tentang keinginan dan kebutuhan manusia, namun dalam saat yang sama
Dia menghendaki agar manusia menampakkan kebutuhan itu kepada-Nya dan tidak
mengandalkan pengetahuan-Nya atas kebutuhan manusia.
Bahkan
sekian banyak anjuran agar manusia dalam berdo’a merengek dan mendesak
bagaiakan anak kecil yang merengek kepada orang tua meminta sesuatu.
Do’a adalah
mukh al-Ibadah, yakni saripati ibadah (HR at-Tirmidzi melalui Anas bin Malik). Dalam riwayat lain, doa
adalah ibadah (HR. at-Tirmidzi dan Abu Daud melalui an-Nu’man bin Basyir). Ini
karena setiap ibadah mengandung permohonan, sedang permohonan yang sebenarnya
adalah yang tulus ditujukan kepada Allah swt. setelah mengakui keesaan-Nya. Di
sisi lain, kata ibadah sering kali digunakan al-Qur’an dalam arti doa, demikian
juga sebaliknya. Perhatikanlah firman Allah dalam QS. Ghafir [40] :60 yang
bagaikan menyatakan bahwa: “Dan Tuhan (yang selama ini memlihara) kamu”, telah berfirman (sejak dahulu atau
melalui ayat-ayat al-Qur’an yang telah turun sebelum ayat ini bahwa): Berdoalah
(dan beribadahlah) kepada-Ku (yakni murnikanlah ketaatan kepada-Ku
perkenankanlah tuntutan-Ku) niscaya Kuerkenankan(secara mantap) bagi kamu (apa
yang kamu harapkan. Jangan sekali-kali merasa angkuh sehingga enggan berdoa dan
beribadah karena) sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri (yakni
enggan berdoa serta menghindar untuk) beribedah kepada-Ku (dan memperkenankan
tuntutan-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina (yakni tersiksa
lahir dan batin).
Perintah-Nya
untuk berdoa/beribadah dengan janji mengabulkan/menerimanya - selama manusia
memparkenankan tuntutan-Nya - harus menyadarkan manusia bahwa Allah menjanjikan
pengabulan yang dibutuhkan manusia padahal Allah tidak membutuhkan doa
tersebut. Karena itu, manusia harus berdoa sambil memperkenankan tuntutan-Nya
karena dialah yang butuh kepada-Nya.
Ayat-ayat
di atas antara lain menunjukkan bahwa Allah swt. sangat yakin menyukai
hamba-hamba-Nya yang memohon kepada-Nya, dan karena itu doa dianjurkan setiap
saat, khususnya pada malam hari.
Di tempat
lain ditemukan bahwa Allah memerintahkan manusia agar memohon dengan firman-Nya
:”Mohonlah kepada Allah sebagian anugerah-Nya” (QS.an-Nisa’[4]:32). Benar,
hanya “sebagian”, karena banyaknya pun yang meminta dan betapapun banyaknya
yang mereka semua minta, kalau semua diberi sesuai permintaannya, maka itu
hanya sebagian kecil, bahkan setetes dari anugerah-Nya.
Sabda Rasul
saw. menunjukkan betapa besar nilai doa sekaligus merupakan anjuran memanjatkan
doa: ”Tiada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah melebihi doa”(HR.
at-Tirmidzi, Ibnu Majah , melalui Abu Hurairah ra.).
Adalah
sangat tercela seseorng yang berlaku seperti kaum musyrik, yang hanya berdoa
ketika dalam kesulitan. Sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang
sikap buruk ini. Antara lain firman-Nya dalam QS. Yunus [10]:12.QS al
Furqon[25]:13,QS al ’Ankabut [29] :65, QS Arrum [30] :33’ QS luqman [31]
:32...........TOLONG Msg2 tulis artinya.
Ayat
tersebti menunjukkan bahwa manusia, saat mengalami kesulitan akan terus berdoa
kepada Allah swt. dalam keadaan apapun, hingga kesulitannya teratasi, tetapi
yang durhaka dan tidak bermoral segera melupakan Allah ketika kesulitannya
berlalu, bahkan sebagian mereka bersikp lebih buruk, sebagaimana dilukiskan
oleh firman-Nya dalam QS. az-Zumar [39]:49.
Orang-orang
semacam ini tidak sedikit. Mereka tidak menyadari bahwa setiap manusia
membutuhkan bantuan Allah swt. Salah satu doa Rasul saw. yang sering beliau
ucapkan adalah Rabbi la takilni ila nafsi ‘ain (Tuhanku, Janganlah
Engkau membiarkan aku dengan diriku [tanpa bantuan-Mu] walau sekejap matapun)
Kita juga
tidak jarang menemukan seseorang atau sekelompok orang berkumpul sambil
mengangkat tangan dan menengadah ke langit, tetapi apa yang mereka lakukan
tidak dapat dinamai doa. Itu dapat diketehui dari cara atau kalimat-kalimat
yang terdengar dari mereka. Dalam buku Pelita Hati, Quraish shihab mengemukakan
bahwa: ”Di Negara kita, upacara-upacara resmi,sebagaimana halnya
upacara-upacara keagamaan, sering kali diakhiri dengan doa. Hanya saja sebagian
dari permohonan kita itu, mungkin tidak memenuhi syarat untuk dinamai doa
karena tidak jarang terasa bahwa permohonan yang kita panjatkan bagaikan
laporan kepada Tuhan yang disampaikan dengan bangga dan panjang lebar. Kita
bagaikan berpidato di hadapan-Nya, padahal kita diperintahkan memohon dengan rendah
hati dan dengan suara yang lembut”.karenaitu kita harus bisa membedaakan antara
sikap al jaaz’u yang berarti menggerutu dan sikap tadhorru’ yang berarti memohon
pertolongan Allah dengan segala kerendahan hati[ Al Ghozali minhajul ’abidin
juz 1 alhidayah surabaya tt hal 84]
Sikap
berbangga dalam “berdoa” adalah sikap yang bertentangan dengan hakikkat doa.
Itulah salah satu yang diingatkan oleh Rasul saw. dengan sabda beliau: “Akan
ada orang-orang yang melampaui batas dalam berdoa.” Pelampauan batas itu,
antara lain bersuara keras yang memekakkan ketika berdoa, memohon yang tidak
wajar dimohonkan, dan berbangga-bangga dengan doa yang dipanjatkan.
Manusia,
betapapun kuatnya, tetap saja adalah makhluk yang lemah yang memiliki
ketergantungan. Makhluk ini memiliki naluri cemas dan mengharap. Naluri itu
tidak dapat dielakkannya. Kenyatan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar
kepada makhluk, betapapun kuat dan berkuasanya, sering tidak membuahkan hasil.
Setelah terbukti ketidakmampuan makhluk yang diandalkan untuk memenuhi harapan
atau menangkal kecemasan, naluri tersebut tidak pupus, karena ketika itu-diakui
sebelumnya atau tidak-manusia tadi menengadah kepada sumber yang dirasakannya
pada lubuk hati yang terdalam; dia menengadah ke “langit” mengharap kiranya
Yang Maha Kuasa memenuhi harapan dan
menghilangkan kecemasannya.
Manusia
telah dating ke hadirat Tuhan sebelum mereka mengenal-Nya dengan nalar. Karena
itu-tulis sebagian filosof-Anda bisa saja dimasa lampau atau masa kini masuk ke
satu lokasi pemukiman, dan disana tidak
menemukan bioskop, atau pasar, tetapi pasti Anda menemukan orang-orang yang
memanjatkan harapan kepada Tuhan.
Allah swt.
mmbuka pintu selebar-lebarnya bagi manusia untuk memohon kepada-Nya, bahkan Dia
marah terhadap mereka yang enggan berdoa. Agaknya kemarahan itu disebabkan
karena keengganan itu mengisyaratkan bahwa manusia tidak mengakui kelemahannya
dan kebutuhannya kepada Allah, padahal sebagaimana ayat di atas menyebutkan, semua
manusia terlebih dahulu kebutuhan manusia kepada Allah harus merasa
membutuhkan-Nya karena memang semua membutuhkan-Nya.
D.
Cara dan Etika Berdo’a
Dalam berinteraksi dengan
manusia, ada etika, sopan santun, dan adab. Menjaga pola interaksi dan
komunikasi yang baik, akan menjamin hubungan yang baik dengan sesama. Begitupun
sebaliknya. Tanpa etika, sopan santun dan adab,
hubungan sesama manusia akan sulit menghasilkan sesuatu yang diharapkan.
Ilustrasi ini, akan mengawali, bagaimana kita menjalin hubungan, komunikasi dan
interaksi yang baik dengan Allah SWT melalui do’a.
Tentu ada beberapa langkah
yang diajarkan Allah, Rasulullah dan para salafushalih agar kita bisa berdo’a dengan
baik.
Pertama, pilihlah waktu-waktu yang tepat untuk berdo’a.
Sebenarnya berdo’a itu tidak terikat dengan waktu, tetapi Islam memang
mengajarkan ada waktu yang paling baik dan istimewa untuk berdo’a. Beberapa
waktu istimewa untuk dikabulkannya do’a antara lain di malam ”asyrul awakhir”(sepuluh
malam terakhir dalam bulan Ramadhan), di hari Arafah (9 Zulhijjah di kala
jemaah haji wukuf di Arafah), di bulan Ramadhan, di hari Jum’at, di sepertiga
malam yang terakhir (sesudah jam 2 malam), pada waktu sahur (sebelum fajar),
sesudah berwudhu, usai azan sebelum iqamat, ketika sedang berpuasa, ketika
dalam medan jihad, di setiap selesai shalat fardu, pada waktu sedang sujud
(dalam sholat atau di luar sholat), ketika sedang musafir atau bepergian, dan
sebagainya. Termasuk di sini, adalah tidak menyia-nyiakan untuk berdo’a di
tempat-tempat yang istimewa, seperti di Masjidil Haram, misalnya.
Kedua, gunakan keberadaan diri kita untuk meraih
kesempatan berdo’a. Rasulullah menjelaskan, di antara do’a yang mustajab adalah
do’a orang tua untuk anaknya, atau do’a anak yang berbakti dengan baik kepada
orang tuanya, dan do’a seorang muslim untuk saudaranya yang muslim, tanpa
diketahui oleh saudara yang dido’akan itu. Maka, bila kita menjadi orang tua,
perbanyaklah do’a untuk anak-anak. Bila kita menjadi anak, berusahalah untuk
berbakti kepada orang tua, agar do’a kita terkabulkan. Dan, jangan lupa
seringlah berdo’a untuk saudara dengan diam-diam. Karena Allah berjanji akan
memberi untuk kita, apa yang kita mintakan untuk saudara kita itu. Rasulullah
SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendo’akan saudaranya secara
diam-diam, kecuali malaikat berkata, ‘dan untukmu seperti apa yang engkau
mintakan untuknya.” (HR. Muslim).
Ketiga, mulailah berdo’a dengan memperbanyak puji-pujian
kepada Allah. Memulai dengan tahmid (pujian terhadap Allah) dan
shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah bersabda, “Jika
salah seorang di antara kamu berdo’a, hendaknya memulai dengan memuji dan
menyanjung Rabbnya, dan bershalawat kepada Nabi, kemudian berdo’a apa yang dia
kehendaki." (HR.Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad,
dishahihkan oleh Al-Albani). Ibnu Mas’ud ra pernah berdo’a, ia memulai dengan
tahmid, kemudian bershalawat, kemudian diteruskan dengan do’a untuk kebaikan
dirinya. Maka Rasulullah yang ketika
itu mendengarnya mengatakan, "Mintalah pasti kamu diberi, mintalah
pasti kamu diberi.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih, dan Abdul
Qadir Al-Arnauth berkata, sanadnya hasan).
Keempat, mengangkat kedua tangan. Ini adalah salah satu
sikap yang menunjukkan kebutuhan seorang hamba dalam berdo’a. Perhatikanlah
sabda Rasulullah yang berbunyi, "Sesungguhnya Rabbmu itu Maha Pemalu
dan Maha Mulia, malu dari hamba-Nya jika ia mengangkat kedua tangannya (memohon)
kepada-Nya kemudian menariknya kembali dalam keadaan hampa kedua tangannya."
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan
Al-Albani).
Kelima, jangan mengeraskan suara. Cukup berdo’a dengan
suara samar. Menghinakan diri di hadapan-Nya dan menampakkan kebutuhan yang
sangat. Cukup denqan kata-kata yang sederhana, jelas. Utamakan materi do’a yang
berasal daripada Rasulullah SAW, sahabat atau salafushalih. Allah berfirman, “Berdo’alah
kepada Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara pelan. Sesungguhnya Dia
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-A’raf: 55).
Keenam, sebelum berdo’a, ucapkan istighfar dan mohon
ampun kepada Allah atas seluruh kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Mintalah
dengan penuh kesungguhan ampunan (maghfirah) Allah atas dosa-dosa yang
telah dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, baik yang
diketahui maupun yang tidak diketahuinya, baik yang diingat maupun yang
terlupa. Sebab bagi Allah, tak ada sesuatu yang tersembunyi. Dia mengetahui apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan apa yang ada diantara
keduanya. Dia juga mengetahui apa yang kita rahasiakan dari urusan kita, dan
apa yang kita nyatakan. Allah berfirman: “Dan jika kamu melahirkan apa yang
ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (Qs. Al Baqarah: 284). “Dia
mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(QS.
Al-Mukmin: 19). Memohon ampun disertai dengan taubat yang benar dan niat yang
ikhlas demi Allah akan menyucikan jiwa dan membersihkannya dari
dosa-dosa.
Ketujuh, konsentrasi dan khusyu’. Pahami dan resapi
benar-benar apa yang kita minta. Berdo’a tidaklah sekadar melafadzkan bait-bait
yang dihafal tanpa mengerti maknanya, tetapi harus benar-benar memahami dan
menginginkan dikabulkannya do’a itu. Rasulullah bersabda: “Mohonlah kepada
Allah sementara kamu sangat yakin untuk dikabulkan, dan ketahuilah bahwasanya
Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan bermain-main.”(HR.
At-Tirmidzi, di hasankan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani). Ketidaksesuaian sikap
sewaktu berdo’a turut mempengaruhi kesempurnaan berdo’a. Jangan sampai kita
berdo’a, sementara hati kita ngelayap entah ke mana. Ingat, perbuatan
manusia hanya bermakna jika disertai kesadaran hati, oleh karena itu Allah
hanya menilai perbuatan manusia yang berpijak pada kesadaran hati. Demikian
juga do’a kepada Allah, yang didengar bukan bunyi kata-kata, tetapi kesadaran
hati orang yang berdo’a. Menurut Hadist Riwayat Tirmizi, Allah tidak
mendengarkan dan tidak mengabulkan do’a dari orang yang hatinya lalai (min
qalbi ghafilin lahin).
Kedelapan, hindari berdo’a untuk keburukan. Seorang muslim
dilarang keras mendo ‘akan kemusnahan dan kehancuran sesama muslim, karena
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia
mencintai saudaranya (seagama) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Rasulullah tidak pernah mengajukan permohonan yang buruk untuk siapa pun. Bahkan
pernah, ketika malaikat gunung menawarkannya untuk membalas perilaku keji
penduduk Thaif, Rasul tetap menolak dan berharap agar keturunan mereka yang
beriman. Rasulullah ketika itu malah berdo’a, "Ya Allah, berilah
hidayah dan petunjuk-Mu kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Kesembilan, tidak tergesa-gesa agar do’a itu dikabulkan.
Rasulullah bersabda: “Akan dikabulkan bagi seseorang di antara kamu selagi
tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata, ’Saya telah berdo’a tetapi tidak
dikabulkan’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk
penyakit yang menghalangi terkabulnya do’a adalah tergesa-gesa, menganggap
lambat pengabulan do’anya sehingga ia malas untuk berdo’a lagi."
Padahal bisa jadi antara do’a dan jawabannya memerlukan waktu 40 tahun, seperti
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. (Abu Lairs As-Samarqandi dalam Tanbihul
Ghafilin). Ibnul Jauzi berkata: “Ketahuilah bahwa do’a orang mukmin itu tidak
akan ditolak, hanya saja terkadang yang lebih utama baginya itu diundur
jawabannya atau diganti dengan yang lebih baik dari permintaannya, cepat atau
lambat." (Fathul Bari, 11/141).
Kesepuluh, berdo’alah kepada Allah di segala kondisi dan
keadaan. Jangan hanya berdo’a di saat-saat sempit dan membutuhkan pertolongan.
Dalam Al Qur’an, Allah SWT banyak menyinggung sikap orang-orang yang hanya
berdo’a dalam situasi kepepet. “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia
berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah
Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang
sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan)
bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan." (Qs. Yunus: 12).
Selain hal-hal di atas, tentu, soal
terpenting lainnya adalah ikhlas dan hati yang bersih. Murnikan harapan dan
keinginan dalam do’a untuk kebaikan mencapai ridha Allah. Ingat, kehadiran kita
di muka bumi ini membawa misi ibadah dan untuk tunduk kepada Allah saja. Itulah
tujuan akhir hidup seseorang yang sebenarnya. Maka, permohonan apa pun yang
kita sampaikan, harus selalu dikaitkan dengan keridhaan Allah SWT.
Al-Qur’an
dan al-Hadits menginformasikan tentang cara dan etika berdo’a yang baik sebagai
berikut (M. Quraish Shihab, 1998 : 195-197) :
1.
Do’a hendaknya dimulai dengan
memuji Allah atas segala nikmat yang telah dianugerahkann-Nya, misalnya dengan
mengucapkan alhamdulillah. Ini sebagai pengakuan tentang kasih
sayang-Nya. Sehingga kalaupun apa yang akan diminta tidak atau belum terpenuhi,
maka tidak mengantar kepada kekesalan atau rasa ketidakadilan Ilahi. Setelah
itu;
2. Mengucapkan shalawat,
dalam arti permohonan kepada-Nya agar Nabi Muhammad saw. Dilimpahi oleh-Nya
rahmat dan kasih sayang. Ini dinilai sebagai kunci pembuka pintu pengabulan
do’a. Karena Nabi Muhammad saw adalah kekasih Allah dan melalui beliau kita,
umatnya, memperoleh petunjuk. Shalawat ini membuktikan rasa terima kasih kita
kepada beliau yang dengan mengucapkannya kita berharap memperoleh pula percikan
kasih sayang-Nya. Setelah itu;
3. Ajukanlah permohonan.
Tetapi jangan lupa bemohon pula untuk orang lain. Karena seperti dalam sebuah
riwayat, jika seseorang berdo’a untuk orang lain, malaikat akan berdo’a, ”Ya
Allah, anugerahkanlah yang berdo’a ini seperti apa yang dimintakannya untuk
orang lain”.
4. Khusuk dan ikhlas
memohon kepada Allah dengan suara yang tidak keras sehingga tidak memekakkan
telinga serta tidak bertele-tele agar tidak membosankan dan terasa dibuat-buat.
Setelah itu;
5. Akhirilah do’a dengan
mengucapkan subhanallah, yakni mensucikan Allah dari segala kekurangan,
antara lain sifat kikir atau tidak adil, dan presepsi-presepsi negatif lainnya
kepada Allah. Penyucian itu hendaknya digandengkan dengan ujian kepada-Nya atas
segala nikmat yang selama ini telah diperolehnya,yakni bacaan alhadulillahi
rabbil ’alamin. Hal ini mengandung makna bahwa si pemohon penuh dengan
sikap optimisme bahwa do’anya tidak akan disia-siakan oleh Allah
6. Dan setelah selesai
berdo’a hendaklah mengusap wajah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar