Latar Belakang
Islam memandang perkawinan sebagai ميثاقا غليظا ,
yaitu sebuah perjanjian yang kokoh (QS. al-Nisa [4] : 21). Karena kokohnya
perjanjian itu, sampai-sampai dinyatakan bahwa perceraian adalah satu-satunya
perkara halal dalam Islam, tetapi sangat dibenci Allah (HR Abu Dawud dan Ibnu
Majah). Selanjutnya, konsep pernikahan dalam Islam memposisikan isteri sebagai
”pakaian suami” dan suami sebagai ”pakaian isteri”, هن لباس لكم وانتم لباس لهن. Berarti secara hukum
posisi suami-isteri harus setara, sejajar, atau semitra.
Pernikahan memang merupakan persoalan untuk senantiasa
dibahas dan dibicarakan, mengingat pernikahan merupakan pilar utama dari pintu
gerbang terbentuknya sebuah keluarga yang darinya akan melahirkan tatanan
kehidupan yang baik di masa yang akan datang dengan lahirnya generasi-generasi
yang tangguh di dalam memperjuangkan agama Allah. Salah satu problematika yang
menarik untuk senantiasa dibahas ketika membicarakan masalah pernikahan adalah
konsep kafaah (kesetaraan).
Sebenarnya, kafaah tidak termasuk syarat sah
pernikahan tetapi merupakan hak bagi seorang calon mempelai perempuan atau
walinya. Tetapi dalam kondisi tertentu, kafaah juga bisa dikatakan sebagai syarat
sah pernikahan. Dengan kata lain, dalam kondisi normal kafaah tidak termasuk
syarat sah pernikahan tetapi hanya sebagai penyempurna.
Walaupun hanya sebagai penyempurna, pernikahan yang
terjadi tanpa mengindahkan unsur-unsur kafaah akan mengakibatkan berbagai macam
problematika dalam pernikahan, bahkan bisa mengarah ke perceraian. Oleh karena
itu, artikel ini akan membahas konsep kafaah dalam pernikahan menurut Islam
beserta unsur-unsurnya sekaligus mencari berbagai solusi yang mampu mengurangi
tingkat problematika bahkan perceraian yang marak terjadi dalam suatu
pernikahan.
Pengertian
Kafaah
Kafa’ah
berasal dari bahasa Arab, dari kata kafi-a yang artinya adalah sama atau
setara. Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti
bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki.
Kafa’ah secara etimologi berarti al-mumasalah
dan al-musawah. Sedangkan para fuqaha mendefinisikan kafa’ah
adalah sebandingnya antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang
dinikahinya dalam beberapa hal tertentu.
Dasar Hukum
Kafaah
Berikut beberapa dalil yang menjadi dasar hukum
kafaah,antara lain :
1. Hadits riwayat Abu
Hurairah, ra., bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan
itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan
agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.
2. Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda
kepadanya, “Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan
(menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah
hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap
menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya”.
3.
Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pilih-pilihlah
untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah
orang-orang yang sekufu”.
4.
Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra. Beliau berkata, “Sungguh aku
melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali
dengan orang-orang yang sekufu”. [Fathul Qadiir J II hal. 417]
Perbedaan
Pendapat Ulama Terkait Kriteria Kafaah
Berdasarkan
beragamnya petunjuk wahyu tentang kafa’ah, maka muncul beberapa pendapat yang
berbeda di kalangan fuqaha. Namun di dalam literatur hukum Islam tidak
ada penjelasan tentang munculnya perbedaan di kalangan ulama tentang kemestian
adanya kesetaraan laki-laki dan wanita yang akan dinikahi di luar faktor agama.
Hal ini menekankan bahwa yang terpenting adalah sekufu dalam agama, dan semua
ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah batal. Namun mereka
ikhtilaf dalam menetapkan beberapa kriteria lain di luar sekufu dalam agama,
yaitu dalam hal keturunan, status merdeka, kekayaan, profesi, dan tidak cacat
fisik.
Berikut
kriteria atau unsur kafaah yang dijadikan dasar oleh para Imam Madzhab :
1.
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah : (a) nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan, (b) bapak
dan kakek-kakeknya muslim, (c) status sosial dan pangkat/profesi, (d) merdeka atau budak, (e) din, dan (f) kekayaan.
Adapun
ketampanan tidaklah termasuk kafaah. Jika si wanita cantik tetapi suaminya
buruk rupa, maka wanita itu dan walinya tidak berhak untuk mem-fasakh
pernikahan.
2. Menurut ulama
malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah diyanah dan terbebas
dari cacat fisik, sehingga dalam
hal harta, status merdeka, nasab, dan status social atau pangkat atau profesi,
maka tidak harus ada kafaah.
3. Menurut ulama
Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah : (a) nasab,
(b) diyanah, (c) bapak dan kakek-kakeknya
muslim atau bukan, (d) status merdeka atau budak, dan (e) status sosial dan
pangkat/profesi keluarga
Atas Siapa Kafaah Dipersyaratkan?
Kafaah
dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang wanita
tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya. Dalilnya adalah : Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya
dengan pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian
memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua pahala”. [HR
Al-Bukhari dan Muslim]
Kapan Kafaah
Perlu Dipertimbangkan
Kafaah
dipertimbangkan pada saat akad nikah. Jika saat akad nikah sang suami merupakan
seorang yang terhormat, kuat memberikan nafkah, atau shalih, tetapi kemudian
keadaan berubah, ia menjadi tidak terhormat, tidak lagi kuat memberikan nafkah,
atau menjadi fasiq, maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya. Dalam hal
ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan, bersabar, dan bertaqwa, karena
yang demikian itu termasuk keutamaan.
Kafaah Bukan
Syarat Sah Pernikahan
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah,
Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu
tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak
se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah
dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil
mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”. Sementara Imam Ahmad mengatakan bahwa kafa’ah itu
termasuk syarat perkawinan sehingga pernikahan yang dilakukan oleh kedua
mempelai yang tidak se-kufu dianggap belum sah.
Kafa’ah dalam
Sejarah Sosial Hukum Islam
Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan tertindas. Di
zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi wanita ‘ajam
(non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah), wanita kalangan kekaisaran
dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih memilih menikah sedarah demi
menjaga kemuliaan tersebut.
Ketika Islam datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun
mengenai pernikahan tidak menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi
terkait agama sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada
seorang lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran
kawinnya…”
Sejarah mencatat beberapa pernikahan berikut: Zaid bin
Haritsah (bekas budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan
Quraisy); Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah
binti Qais (bangsawan Quraisy); Bilal (sahabat berkebangsaan Ethiopia) menikah
dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy).
Hikmah
Pensyariatan Kafaah
Berikut hikmah kafaah dalam pernikahan yang di antaranya
adalah sebagai berikut :
1. Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan
yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Islam telah
memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh
sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya
dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap
perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum
proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap
perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif
mungkin dalam memilih calon suaminya Target paling minimal adalah,
perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq,
dan bertanggungjawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
2. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah
tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
Konsekuensi dari
relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari
pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar
apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau
sekurang-kurangnya sejajar. Seorang istri bisa saja tidak kehilangan totalitas
ketaatan kepada suaminya, meski (secara pendidikan dan kekayaan misalnya) dia
lebih tinggi dari suaminya.
3. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh
derajat suaminya.
Seorang perempuan
‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang
memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat
keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit
kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.
Eksistensi
serta urgensi kafaah dalam pernikahan
Adanya kafa’ah dalam perkawinan
dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah tangga.
Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan.
Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon
mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep kafa’ah,
seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan
mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang
lainnya.
Adanya berbagai pertimbangan terhadap
masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar supaya dalam kehidupan berumah tangga
tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidakcocokan. Selain itu, secara
psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya
akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan
keluarga, yaitu keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Pengaruh Kafa’ah
terhadap Tercapainya Tujuan Pernikahan
Telah disebutkan pada pembahasan di atas
tentang beberapa faktor yang ditetapkan oleh Fuqaha. Faktor-faktor
tersebut merupakan syarat yang ideal, sebab faktor-faktor tersebut adalah
sebagai jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga.
Namun keadaan manusia itu tidak selalu
sesempurna yang diidealkan dan selalu saja ada kekurangannya, sehingga jarang
sekali didapati seorang calon suami atau calon istri yang memiliki
faktor-faktor tersebut secara menyeluruh. Apabila faktor-faktor tersebut tidak
dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus diutamakan adalah faktor
agama. Sebab perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama mempunyai
kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang seagama. Pendapat ini
dikuatkan oleh pendapat M. Quraisy Syihab di dalam bukunya, Wawasan
al-Qur’an, bahwa perbedaan tingkat pendidikan, budaya dan agama antara suami
istri seringkali memicu konflik yang mengarah pada kegagalan.
Dengan demikian, jika dilihat dari
tujuan pernikahan tersebut, kafa’ah dalam pernikahan dapat mendukung
tercapainya tujuan pernikahan. Latar belakang diterapkannya konsep kafa’ah
dalam pernikahan bertujuan untuk menghindari terjadinya krisis yang dapat
melanda kehidupan rumah tangga. Tujuan pernikahan dapat tercapai apabila
kerjasama antara suami dan istri berjalan dengan baik sehingga tercipta suasana
damai, aman dan sejahtera.
Tercapainya tujuan pernikahan memang
tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan semata, tetapi hal tersebut
bisa menjadi penunjang yang utama. Dan faktor agama serta akhlaklah yang lebih
penting dan harus diutamakan.
Pendapat Ulama
Terkait Pernikahan Tanpa Mempertimbangkan Unsur-unsur Kafaah
Sudah dimengerti bahwa kafaah bukanlah syariat
yang wajib dipenuhi dalam pernikahan. Selain itu, kafaah juga merupakan satu
aturan hidup manusia untuk menjamin kemaslahatan hidup mereka. Oleh kerana
itulah terdapat perselisihan ulama tentang masalah kafaah ini. Ada sebahagian
ulama yang mendukung konsep kafaah ini dengan menjadikan kafaah ini sebagai
satu syarat untuk berumah tangga dan ada yang berpendapat tidak perlunya kafaah
untuk mendirikan rumahtangga kecuali dari segi agama dan akhlaknya saja. Hal
ini berdasarkan dalil-dalil dan hujah yang diyakini oleh masing-masing pihak.
Berikut beberapa pendapat ulama terkait
hal tersebut :
1. Pendapat pertama, yaitu mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa kafaah
adalah syarat pernikahan bagi pihak perempuan. Terkait dengan hal ini, wali
berhak meluluskan atau memfasakhkan pernikahan tersebut jika dilakukan dengan
lelaki yang tidak sekufu.
2. Pendapat kedua, yakni pendapat mazhab Maliki dan satu riwayat
dari Imam Ahmad yang menyatakan bahwa kafaah adalah syarat untuk mengesahkan
akad pernikahan. Setiap akad pernikahan yang tidak mengindahkan unsur-unsur
kafaah perkawinan itu dinyatakan tidak sah.
3.
Pendapat ketiga, yaitu mazhab Syafie dan satu
riwayat daripada Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa kafaah atau persamaan
bukanlah sebagai syarat untuk mengesahkan akad perkahwinan. Kafaah hanya
diambil menghindari aib bagi keluarga perempuan. Kafaah adalah menjadi hak wali
dan perempuan dan mereka berhak mengugurkan hak mereka.
4.
Pendapat keempat, yaitu Ibnu
Hazm tokoh mazhab Al-Zahiri menolak adanya kafaah dalam perkawinan.
Problematika yang
Timbul serta Solusinya
Maksud
kufu dalam perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama
dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat social, dan sederajat dalam akhlak dan
kekayaan, kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu pernikahan
yang tidak seimbang, setaraf atau serasi, akan meniumbulkan problem
berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena
itu boleh dibatalkan.
Tidak
diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding merupakan faktor
kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari
kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Namun secara umum sudut pandang yang
membenarkan adanya stratifikasi di bidang perkawinan tetap memprioritaskan
aspek keagamaan, artinya dalam soal agama itu sangat penting untuk dijadikan
sebagai tolak ukur dalam menentukan suatu keputusan yang berkaitan dengan perkawinan.
Misalnya larangan keras wanita muslim dengan pria kafir atau Non muslim,
larangan demikian menunjukkan adanaya idealitas kesetaraan dibidang agama yang
tidak boleh diabaikan.
Orang
Islam yang kawin dengan orang non muslim dianggap bukan sekufu yakni tidak
sepadan seperti yang ada dalam al-Qur’an, seperti dalam firman Allah yang artinya:
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman,
sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari pada wanita yang musyrik
walaupun ia memikat hatimu. Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari pada orang musyrik meskipun menarik hatimu” (al-Baqoroh
:221) . bahkan perkawinan tersebut dianggap batal atau tidak syah dan orang
yang melakukan perkawinan tersebut dianggap berzina selamanya.
Selanjutnya,
sekedar sebagai penegas, kafa’ah dapat mempersiapkan pribadi seorang laki-laki
maupun wanita untuk lebih matang dan bertanggung jawab dalam memasuki dan
menjalankan kehidupan berkeluarga (perkawinan). Dan ini tinggal bagaimana
masing-masing pihak dapat memposisikan kafa’ah sebagai ajaran luhur yang
melindungi hak-hak asasinya dan hak asasi pihak lainnya.
Lalu,
bagaimana jika pernikahan telah terjadi tetapi unsur-unsur kafaah yang telah
ditetapkan oleh para ulama tidak diindahkan? Jawabannya adalah, jika memang
pernikahan tersebut membawa kebahagiaan dan manfaat bagi kedua belah pihak
bahkan merembet kepada masing-masing keluarga mereka maka hal tersebut tidak
masalah toh pernikahan mereka memang sah walau tanpa kafaah. Kalau dalam
mengarungi biduk rumah tangga terdapat beberapa problematika, hal tersebut
adalah sesuatu yang wajar karena menyatukan dua hati bahkan dua karekter yang
berbeda memang sangatlah sulit. Terkait dengan keniscayaan adanya problematika
yang timbul dalam sebuah pernikahan, maka dalam hal ini kedua belah pihak
haruslah menyadari bahwa mereka dari awal telah mempunyai jurang perbedaan yang
cukup signifikan karena pernikahan yang mereka lakukan tanpa mengindahkan
unsur-unsur kafaah.
Namun
jika pernikahan tersebut telah mengindikasikan adanya problematika yang sulit
untuk dipecahkan maka mereka, terutama pihak perempuan yang mempunyai hak
kafaah, boleh mengajukan perceraian demi kebaikan masing-masing pihak. Demikian
sedikit ulasan terkait dengan kafaah dalam pernikahan.
Penutup
Kafaah bukan merupakan syarat sah pernikahan namun keberadaannya sangatlah
penting guna mencapai tujuan pernikahan. Terkait dengan adanya pernikahan yang
tidak mengindahkan unsur-unsur kafaah, para pelaku pernikahan tersebut haruslah
sadar dan menyadari bahwa mereka berangkat untuk membina keluarga dari jurang
perbedaan yang sangat lebar. Oleh karena itu, mereka harus menanggung resikonya
demi tercipta keluarga yang mereka impikan. Demikian uraian ini dapat
bermanfaat.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Hamdani, 2002.Risalah
an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta.
Amir Syarifuddin,
2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta.
Ibnu Hajar
al-Asqolani, Bulughul Maram, Haramain: Singapura.
Ibnu Mas’ud dan
Zainal Abidin, 2007. Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
Ibnu Rusyd, 2005. Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, Darul Fikri: Beirut.
Mutawalli
Sya’rawi, 2005. Fiqh Perempuan, Amzah: tt.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, Darul Fikri, Beirut.
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar