Sabtu, 16 November 2013

KAFAAH, SEBUAH ALTERNATIF MENUJU KELUARGA SAKINAH

Latar Belakang
Islam memandang perkawinan sebagai ميثاقا غليظا , yaitu sebuah perjanjian yang kokoh (QS. al-Nisa [4] : 21). Karena kokohnya perjanjian itu, sampai-sampai dinyatakan bahwa perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam Islam, tetapi sangat dibenci Allah (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah). Selanjutnya, konsep pernikahan dalam Islam memposisikan isteri sebagai ”pakaian suami” dan suami sebagai ”pakaian isteri”, هن لباس لكم وانتم لباس لهن. Berarti secara hukum posisi suami-isteri harus setara, sejajar, atau semitra.
Pernikahan memang merupakan persoalan untuk senantiasa dibahas dan dibicarakan, mengingat pernikahan merupakan pilar utama dari pintu gerbang terbentuknya sebuah keluarga yang darinya akan melahirkan tatanan kehidupan yang baik di masa yang akan datang dengan lahirnya generasi-generasi yang tangguh di dalam memperjuangkan agama Allah. Salah satu problematika yang menarik untuk senantiasa dibahas ketika membicarakan masalah pernikahan adalah konsep kafaah (kesetaraan).
Sebenarnya, kafaah tidak termasuk syarat sah pernikahan tetapi merupakan hak bagi seorang calon mempelai perempuan atau walinya. Tetapi dalam kondisi tertentu, kafaah juga bisa dikatakan sebagai syarat sah pernikahan. Dengan kata lain, dalam kondisi normal kafaah tidak termasuk syarat sah pernikahan tetapi hanya sebagai penyempurna.
Walaupun hanya sebagai penyempurna, pernikahan yang terjadi tanpa mengindahkan unsur-unsur kafaah akan mengakibatkan berbagai macam problematika dalam pernikahan, bahkan bisa mengarah ke perceraian. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas konsep kafaah dalam pernikahan menurut Islam beserta unsur-unsurnya sekaligus mencari berbagai solusi yang mampu mengurangi tingkat problematika bahkan perceraian yang marak terjadi dalam suatu pernikahan.
Pengertian Kafaah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata kafi-a yang artinya adalah sama atau setara. Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Kafa’ah secara etimologi berarti al-mumasalah dan al-musawah. Sedangkan para fuqaha mendefinisikan kafa’ah adalah sebandingnya antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dinikahinya dalam beberapa hal tertentu.
Dasar Hukum Kafaah
Berikut beberapa dalil yang menjadi dasar hukum kafaah,antara lain :
1.      Hadits riwayat Abu Hurairah, ra., bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.
2.      Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya”.
3.       Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
4.      Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”. [Fathul Qadiir J II hal. 417]
Perbedaan Pendapat Ulama Terkait Kriteria Kafaah
Berdasarkan beragamnya petunjuk wahyu tentang kafa’ah, maka muncul beberapa pendapat yang berbeda di kalangan fuqaha. Namun di dalam literatur hukum Islam tidak ada penjelasan tentang munculnya perbedaan di kalangan ulama tentang kemestian adanya kesetaraan laki-laki dan wanita yang akan dinikahi di luar faktor agama. Hal ini menekankan bahwa yang terpenting adalah sekufu dalam agama, dan semua ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah batal. Namun mereka ikhtilaf dalam menetapkan beberapa kriteria lain di luar sekufu dalam agama, yaitu dalam hal keturunan, status merdeka, kekayaan, profesi, dan tidak cacat fisik.
Berikut kriteria atau unsur kafaah yang dijadikan dasar oleh para Imam Madzhab :
1.      Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah : (a) nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan, (b) bapak dan kakek-kakeknya muslim, (c) status sosial dan pangkat/profesi, (d) merdeka atau budak, (e) din, dan (f) kekayaan.
Adapun ketampanan tidaklah termasuk kafaah. Jika si wanita cantik tetapi suaminya buruk rupa, maka wanita itu dan walinya tidak berhak untuk mem-fasakh pernikahan.
2.      Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah diyanah dan terbebas dari cacat fisik, sehingga dalam hal harta, status merdeka, nasab, dan status social atau pangkat atau profesi, maka tidak harus ada kafaah.
3.      Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah : (a) nasab, (b) diyanah, (c) bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan, (d) status merdeka atau budak, dan (e) status sosial dan pangkat/profesi keluarga
Atas Siapa Kafaah Dipersyaratkan?
Kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang wanita tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya. Dalilnya adalah : Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memiliki jariyah, kemudian mengajarinya dengan pengajaran yang baik, dan bersikap baik kepadanya, kemudian memerdekakannya lalu menikahinya, maka dia mendapatkan dua pahala”. [HR Al-Bukhari dan Muslim]
Kapan Kafaah Perlu Dipertimbangkan
Kafaah dipertimbangkan pada saat akad nikah. Jika saat akad nikah sang suami merupakan seorang yang terhormat, kuat memberikan nafkah, atau shalih, tetapi kemudian keadaan berubah, ia menjadi tidak terhormat, tidak lagi kuat memberikan nafkah, atau menjadi fasiq, maka akad nikah tetap sah sebagaimana awalnya. Dalam hal ini hendaknya sang isteri menerima kenyataan, bersabar, dan bertaqwa, karena yang demikian itu termasuk keutamaan.
Kafaah Bukan Syarat Sah Pernikahan
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum”. Sementara Imam Ahmad mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan sehingga pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu dianggap belum sah.
Kafa’ah dalam Sejarah Sosial Hukum Islam
Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan tertindas. Di zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi wanita ‘ajam (non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah), wanita kalangan kekaisaran dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih memilih menikah sedarah demi menjaga kemuliaan tersebut.
Ketika Islam datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun mengenai pernikahan tidak menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi terkait agama sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada seorang lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran kawinnya…”
Sejarah mencatat beberapa pernikahan berikut: Zaid bin Haritsah (bekas budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan Quraisy); Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah binti Qais (bangsawan Quraisy); Bilal (sahabat berkebangsaan Ethiopia) menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy).
Hikmah Pensyariatan Kafaah
Berikut hikmah kafaah dalam pernikahan yang di antaranya adalah sebagai berikut :
1.      Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya  Target paling minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq, dan bertanggungjawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
2.      Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
Konsekuensi dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar. Seorang istri bisa saja tidak kehilangan totalitas ketaatan kepada suaminya, meski (secara pendidikan dan kekayaan misalnya) dia lebih tinggi dari suaminya.
3.      Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.
Eksistensi serta urgensi kafaah dalam pernikahan
Adanya kafa’ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang lainnya.
Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidakcocokan. Selain itu, secara psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga, yaitu keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Pengaruh Kafa’ah terhadap Tercapainya Tujuan Pernikahan
Telah disebutkan pada pembahasan di atas tentang beberapa faktor yang ditetapkan oleh Fuqaha.  Faktor-faktor tersebut merupakan syarat yang ideal, sebab faktor-faktor tersebut adalah sebagai jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga.
Namun keadaan manusia itu tidak selalu sesempurna yang diidealkan dan selalu saja ada kekurangannya, sehingga jarang sekali didapati seorang calon suami atau calon istri yang memiliki faktor-faktor tersebut secara menyeluruh. Apabila faktor-faktor tersebut tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus diutamakan adalah faktor agama. Sebab perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama mempunyai kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang seagama. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat M. Quraisy Syihab di dalam bukunya, Wawasan al-Qur’an, bahwa perbedaan tingkat pendidikan, budaya dan agama antara suami istri seringkali memicu konflik yang mengarah pada kegagalan.
Dengan demikian, jika dilihat dari tujuan pernikahan tersebut, kafa’ah dalam pernikahan dapat mendukung tercapainya tujuan pernikahan. Latar belakang diterapkannya konsep kafa’ah dalam pernikahan bertujuan untuk menghindari terjadinya krisis yang dapat melanda kehidupan rumah tangga. Tujuan pernikahan dapat tercapai apabila kerjasama antara suami dan istri berjalan dengan baik sehingga tercipta suasana damai, aman dan sejahtera.
Tercapainya tujuan pernikahan memang tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan semata, tetapi hal tersebut bisa menjadi penunjang yang utama. Dan faktor agama serta akhlaklah yang lebih penting dan harus diutamakan.     
Pendapat Ulama Terkait Pernikahan Tanpa Mempertimbangkan Unsur-unsur Kafaah
Sudah dimengerti bahwa kafaah bukanlah syariat yang wajib dipenuhi dalam pernikahan. Selain itu, kafaah juga merupakan satu aturan hidup manusia untuk menjamin kemaslahatan hidup mereka. Oleh kerana itulah terdapat perselisihan ulama tentang masalah kafaah ini. Ada sebahagian ulama yang mendukung konsep kafaah ini dengan menjadikan kafaah ini sebagai satu syarat untuk berumah tangga dan ada yang berpendapat tidak perlunya kafaah untuk mendirikan rumahtangga kecuali dari segi agama dan akhlaknya saja. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dan hujah yang diyakini oleh masing-masing pihak.
Berikut beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut :
1.    Pendapat pertama, yaitu mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa kafaah adalah syarat pernikahan bagi pihak perempuan. Terkait dengan hal ini, wali berhak meluluskan atau memfasakhkan pernikahan tersebut jika dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu.
2.    Pendapat kedua, yakni pendapat mazhab Maliki dan satu riwayat dari Imam Ahmad yang menyatakan bahwa kafaah adalah syarat untuk mengesahkan akad pernikahan. Setiap akad pernikahan yang tidak mengindahkan unsur-unsur kafaah perkawinan itu dinyatakan tidak sah.
3.     Pendapat ketiga, yaitu mazhab Syafie dan satu riwayat daripada Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa kafaah atau persamaan bukanlah sebagai syarat untuk mengesahkan akad perkahwinan. Kafaah hanya diambil menghindari aib bagi keluarga perempuan. Kafaah adalah menjadi hak wali dan perempuan dan mereka berhak mengugurkan hak mereka.
4.    Pendapat keempat, yaitu Ibnu Hazm tokoh mazhab Al-Zahiri menolak adanya kafaah dalam perkawinan.
Problematika yang Timbul serta Solusinya
Maksud kufu dalam perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat social, dan sederajat dalam akhlak dan kekayaan, kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu pernikahan yang tidak seimbang, setaraf atau serasi, akan meniumbulkan problem berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu boleh dibatalkan.
Tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding merupakan faktor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Namun secara umum sudut pandang yang membenarkan adanya stratifikasi di bidang perkawinan tetap memprioritaskan aspek keagamaan, artinya dalam soal agama itu sangat penting untuk dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan suatu keputusan yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya larangan keras wanita muslim dengan pria kafir atau Non muslim, larangan demikian menunjukkan adanaya idealitas kesetaraan dibidang agama yang tidak boleh diabaikan.
Orang Islam yang kawin dengan orang non muslim dianggap bukan sekufu yakni tidak sepadan seperti yang ada dalam al-Qur’an, seperti dalam firman Allah yang artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari pada wanita yang musyrik walaupun ia memikat hatimu. Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik meskipun menarik hatimu” (al-Baqoroh :221) . bahkan perkawinan tersebut dianggap batal atau tidak syah dan orang yang melakukan perkawinan tersebut dianggap berzina selamanya.
Selanjutnya, sekedar sebagai penegas, kafa’ah dapat mempersiapkan pribadi seorang laki-laki maupun wanita untuk lebih matang dan bertanggung jawab dalam memasuki dan menjalankan kehidupan berkeluarga (perkawinan). Dan ini tinggal bagaimana masing-masing pihak dapat memposisikan kafa’ah sebagai ajaran luhur yang melindungi hak-hak asasinya dan hak asasi pihak lainnya.
Lalu, bagaimana jika pernikahan telah terjadi tetapi unsur-unsur kafaah yang telah ditetapkan oleh para ulama tidak diindahkan? Jawabannya adalah, jika memang pernikahan tersebut membawa kebahagiaan dan manfaat bagi kedua belah pihak bahkan merembet kepada masing-masing keluarga mereka maka hal tersebut tidak masalah toh pernikahan mereka memang sah walau tanpa kafaah. Kalau dalam mengarungi biduk rumah tangga terdapat beberapa problematika, hal tersebut adalah sesuatu yang wajar karena menyatukan dua hati bahkan dua karekter yang berbeda memang sangatlah sulit. Terkait dengan keniscayaan adanya problematika yang timbul dalam sebuah pernikahan, maka dalam hal ini kedua belah pihak haruslah menyadari bahwa mereka dari awal telah mempunyai jurang perbedaan yang cukup signifikan karena pernikahan yang mereka lakukan tanpa mengindahkan unsur-unsur kafaah.
Namun jika pernikahan tersebut telah mengindikasikan adanya problematika yang sulit untuk dipecahkan maka mereka, terutama pihak perempuan yang mempunyai hak kafaah, boleh mengajukan perceraian demi kebaikan masing-masing pihak. Demikian sedikit ulasan terkait dengan kafaah dalam pernikahan.
Penutup
Kafaah bukan merupakan syarat sah pernikahan namun keberadaannya sangatlah penting guna mencapai tujuan pernikahan. Terkait dengan adanya pernikahan yang tidak mengindahkan unsur-unsur kafaah, para pelaku pernikahan tersebut haruslah sadar dan menyadari bahwa mereka berangkat untuk membina keluarga dari jurang perbedaan yang sangat lebar. Oleh karena itu, mereka harus menanggung resikonya demi tercipta keluarga yang mereka impikan. Demikian uraian ini dapat bermanfaat.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Hamdani, 2002.Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta.
Amir Syarifuddin, 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta.
Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, Haramain: Singapura.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung,
Ibnu Rusyd, 2005. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, Darul Fikri: Beirut.
Mutawalli Sya’rawi, 2005. Fiqh Perempuan, Amzah: tt.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, Darul Fikri, Beirut.

Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar