1.
Mohammed
Arkoun
Arkoun membagi wahyu dalam dua peringkat.
Peringkat pertama adalah apa yang disebut al-Quran sebagai Umm al-Kitab (Induk Kitab). Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gospel,
dan al-Quran. Pada peringkat pertama (Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta
mengandung kebenaran tertinggi. Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini
di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam
Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan
tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh
manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah
Arkoun dinamakan "edisi dunia" (editions terrestres). Menurutnya,
pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.[1]
Mengenai sejarah al-Quran, Arkoun membaginya menjadi
tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 H);
periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632 -
936 M) dan periode berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M).[2]
Arkoun menamakan periode pertama sebagai Prophetic
Discourse (Diskursus Kenabian) dan periode kedua sebagai Official Closed Corpus (Korpus Resmi
Tertutup). [3]Berdasarkan
pada kedua periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Quran sebagai
"sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa
Arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan
setelah abad ke 4H/ 1 0 M.” [4]
Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode
kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Quran lebih suci,
lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis.
Sebabnya, al-Quran terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak
seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status al-Quran dalam bentuk
tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-kitab al-muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab 'adi). Arkoun berpendapat bahwa
Mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim
ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.[5]
Analisis Penulis:
Pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal telah
membuat paradigma baru tentang hakikat teks al-Quran. Pendekatan historisitas
Mohammed Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang
ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan
manusia. Mohammed Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui
.kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-Quran, tetapi bentuk itu sudah
hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan
historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada sesuatu yang
ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin.
Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak
dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Quran Mushaf
`Uthmani.
2. Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid mengunakan metode analisis teks bahasa sastra
(nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah
al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Quran. Dalam pandangannya, metode
tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Isam. Nasr Hamid
menyatakan: "Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya
metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti
memahami Islam.”[6]
Metodologi
kritik sastra (literary criticism)
yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika.
Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas
Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980.[7]
Ia mengakui hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia
menyatakan: "Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang
filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah
membuka cakrawala dunia baru kepadaku.[8]
Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi
Doktornya pada tahun 1980 dengan judul Falsafah al-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Quran `inda Muhy
al-Din ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap
Hermenutika Al-Qur'an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang
pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan
tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu'dilat
Tafsir al-Nas (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. [9]
Setelah akrab dengan literatur hermeneutika Barat, Nasr
Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan
mendasar dalam hermeneutika. Menurut Nasr Hamid, Kalam Ilahi wujud dalam
bahasa manusia, karena jika tidak, maka Kalam Ilahi tersebut tidak akan
dimengerti. Salah satu alasan pemikiran Islam itu menjadi stagnan, menurut Nasr
Hamid, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension).[10]
Padahal al-Quran adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan
adalah Kalam ilahi.[11]
Nasr Hamid menyatakan: "Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi
diri-dan menjadi manusiawi-karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia.
Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan
mengerti. Jadi, dalam pandangan Nasr Hamid, al-Quran adalah bahasa
manusia (the Qur'an is human language).[12]
Menurut
Nasr Hamid, teks Ilahi (divine text)
berubah menjadi teks manusiawi (human
text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Nasr
Hamid menyatakan: "Teks sejak awal diturunkan - ketika teks diwahyukan
dan dibaca oleh Nabi -, ia berubah dari sebuah teks Ilahi (nas ilahl) menjadi sebuah konsep atau
teks manusiawi (nas insam), karena
ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks
mempresentasikan.tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal
manusia."[13]
Dalam
pandangan Nasr Hamid, teks al-Quran terbentuk dalam realitas dan budaya, selama
lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, al-Quran adalah `produk budaya' (muntaj thaqat). Ia juga menjadi
`produsen budaya' (muntij li al-thaqafah)
karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.[14] Disebabkan
realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid
juga menganggap al-Quran sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan
fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu,
al-Quran adalah teks historis (a
historical text).[15]
Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa
al-Quran adalah teks manu-siawi (nas
insani).[16]
Dengan
berpendapat seperti itu, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah
teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam
budaya.[17] Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan,
namun Nasr Hamid, sebagaimana Schleiermacher, berpendapat studi al-Quran tidak
rnemerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya
sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memahaminya. Manusia
biasa akan tertutup untuk memahami teksteks agama. Nasr Hamid menyalahkan
penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang selalu menafsirkan
al-Quran dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangan Nasr Hamid, metodologi
seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah. Nasr Hamid menyatakan:
"Sesungguhnya, kepercayaan atas wujud metafisik teks (al-Quran) akan
menghapuskan-upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks.[18] Dengan
menyamakan status al-Quran dengan teks-teks yang lain, maka Nasr Hamid
menegaskan siapa saja bisa mengkaji al-Quran. Nasr Hamid menyatakan: "Saya
mengkaji al-Quran sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik
oleh kaum Muslim, Kristen maupun Ateis."[19]
Analisis Penulis:
Kesimpulan Nasr
Hamid bahwa al-Quran adalah produk budaya tidaklah tepat. Ketika diturunkan
secara gradual, al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat
itu. Ketika menyampaikan agama Islam, Rasulullah Saw. ditentang dengan menuduh
Rasulullah sebagai orang gila. Allah berfirman yang artinya: "Mereka
berkata: Hai orang-orang yang diturunkan al-Quran kepadanya, sesungguhnya kamu
benar-benar orang yang gila,"[20] sebagai
penyair gila[21] dan tukang tenun.[22] al-Quran
juga menentang budaya jahiliyah yang bangga dengan kemampuan puisi mereka
dengan menyatakan: "Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin 'berkumpul
untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain.[23]
Ibn Ishaq (150 H/767 M) menyatakan orang-orang Quraisy
menganggap al-Quran adalah sesuatu yang sangat asing dengar budaya mereka. Ibn
Ishaq meriwayatkan: "Maka dia (al-Nadr ibn Harith) mengatakan Wahai orangorang
Quraisy, Demi Tuhan, sesungguhnya Dia telah menurunkan kepadamu suatu perkara
yang tidak datang kepadamu trik sebagai berikut, Muhammad adalah anak muda yang
paling luwes, paling benar dalam budi bicara, paling tinggi kejujurannya di
antara kamu, seandainya pun rambutnya beruban, dan dia membawa kepadamu apa
yang ada padamu, maka kamu mengatakan (Muhammad) adalah penyihir (sahir). Tidak, demi Tuhan, dia bukan
seorang penyihir karena kita telah melihat komat-kamit dan mantera sihir. Maka
kamu mengatakan ia adalah seorang tukan tenung (kahin). Tidak, demi Tuhan, dia bukan seorang tukang tenung
karena kita telah melihat gemetaran dan telah mendengar prosa dalam tenung.
Maka kamu mengatakan ia adalah penyair (sya'ir). Tidak, demi Tuhan, dia
bukan penyair. Kita telah melihat syair dan dan telah mendengar segala jenis
jenisnya: bait dan ukurannya. Maka kamu mengatakan ia adalah orang gila (majnun).
Tidak, demi Tuhan, ia bukan seorang yang gila. Kita telah melihat orang gila
sedangkan ia tidak terkurung, terganggu dengan ketidak warasan. Wahai
orang-orang Quraisy, lihatlah keadaanmu. Sesungguhnya Allah telah menurunkan
kepadamu suatu perkara yang besar (amr `azim)."[24]
Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil
kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan
menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya
Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan Jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman
Rasulullah saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw. adalah produk dari
al-Quran, bukan sebaliknya.
Al-Quran juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra
Arab lainnya. Menurut al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk
baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah diislamkan maknanya. Al-Quran
mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidangbidang semantik dan kosa
kata. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk
memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam. Al-Quran
mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab seperti
kata-kata penghormatan (muruwwah),
kemuliaan (karamah), dan
persaudaraan (ikhwah). Kata
penghormatan (muruwwah), dan
kemuliaan (karim) termasuk
kata-kata yang penting dalam pandangan hidup Jahiliyyah. Kata-kata tersebut
sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan
kelelakian. al-Quran mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar dengan
memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan:
"Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Tuhanmu adalah orang yang paling
bertakwa." Lebih lanjut, orang-orang Arab sebelum lslam tidak pernah
menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai
kemampuan mengarang dan membaca puisi. al-Quran menghasilkan perubahan semantik
yang mendasar ketika kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci al-Quran: kitab
karim, atau dengan perkataan yang baik kepada oiang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga
kepada kata persaudaraan (ikhwah),
yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan
darah, dan tidak merujuk kepada makna yang lain. al-Quran lagi-lagi mengubah
ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar
keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.[25]
Jika al-Quran produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan
mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu
saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di
dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn 'Abbas tidak mengetahui
makna fatir, hananan, ghislin, awwah,
al-raqim.[26]
Selain itu, al-Quran memuat berbagai macam dialek bahasa Arab. Abu Bakr
al-Wasitiyy menyebutkan 50 ragam dialek bahasa Arab di dalam Al-Qur'an.[27] Al-Suyuti
menyebutkan berbagai kosa kata asing di dalam al-Quran seperti kosa kata
Persia, Romawi, Nabatean, Ethiopia Barbar, Syiriak, Ibrani, Koptik dan
lain-lain.[28]
Selain itu, terdapat juga al-ahrufal-muqata`ah
di dalam al-Quran yang semuanya tidak sesuai dengan perkembangan budaya
sastra Arab saat itu. Jadi, al-Quran bukan produk budaya sastra arab: Ia adalah
suatu "budaya" baru. (istilah budaya sebenarnya tidak begitu sesuai
digunakan untuk al-Quran, karena budaya mengandung makna hasil kreasi manusia,
padahal al-Quran adalah wahyu dari Allah).
Jika al-Quran teks bahasa
biasa, maka logikanya, Rasulullah saw. ahli di bidang tulisan dan bacaan, yang
karena keahliaannya itu bisa membawa perubahan sangat mendasar pada masyarakat
Arab waktu itu. Padahal, Rasulullah Saw. itu ummi. Jadi, sekalipun al-Quran disampaikan
oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya pada abad ke-7 Masehi, namun ini . tak
serta merta mengindikasikan bahwa al-Quran terbentuk dalam situasi dan budaya
yang ada pada abad ke-7 Masehi. Al-Quran melampaui historisitasnya sendiri
karena al-Quran dan ajarannya adalah transhistoris. Kebenarannya sepanjang
zaman.
Al-Quran
juga bukan teks manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan
kata-kata Muhammad. Allah berfirman yang artinya: "Seandainya dia
(Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang
dia pada tangan kanannya, kemudian benarbenar Kami potong urat tali
jantungnya."[29] Allah
juga berfirman yang artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).[30]
Selain itu, pendapat Nasr Hamid yang mengenyampingkan keimanan seseorang
untuk mengkaji al-Quran tidaklah tepat. Diantara syarat-syarat para mufasir
adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang
sahih, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Tabari, misalnya,
menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan
komitmen mengikut sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk
mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan
keagamaan! من
شرطه صحة الاعتقاد أولا لزوم سنة الدين، فإن من كان مغموصاً عليه في دينه لا يؤتمن
على الدنيا فكيف على الدين؟.[31] Senada dengan al-Tabari, al-Suyuti mengatakan
bahwa sikap sombong, cenderung kepada bid'ah, tidak tetap iman dan mudah goyah
dengan godaan, cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa
bisa menjadi hijab dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.[32]
Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Quran sangat penting bagi
seorang mufasir al-Qur'an. Ini disebabkan status al-Quran tidaklah sama dengan
teks-teks yang lain. Al-Quran bersumber dari Allah. Sembarang metodologi tidak
bisa begitu saja diterapkan kepada al-Quran. Metodologi sekular akan
menggiring kepada kesimpulan yang sekular.
Selain itu, hermeneutika Nasr Hamid akan membawa kepada konsep bahwa tafsir
itu relatif. Padahal para mufasir terkemuka bersepakat dalam berbagai perkara.
Tidak ada seorangpun mufasir muslim terkemuka dari 1400 tahun yang lalu hingga
sekarang, berpendapat bahwa Nabi Isa as. mati di tiang salib dan wanita
muslimah boleh nikah dengan laki-laki kafir. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu
relatif adalah sebuah kekeliruan, sekalipun terdapat ribuan buku tafsir.
Ilmu tafsir yang telah diformulasikan oleh para ulama yang berwibawa telah
mengakar dalam tradisi Islam. Ilmu tafsir itu muncul karena bahasa al-Quran
memiliki struktur. Ilmu tafsir tidak sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen atau ilmu interpretasi kitab suci yang lain dari
agama dan budaya apapun.
Wallahu a’lamu bi al-shawab.
[2] Mohammed Arkoun, "Introduction: An
Assessment ofand Perspectives on the Study of the Qur'an," dalam The
Qur'an: Style and Contents, editor Andrew Rippin (Aldershoot: Ashgate,
2001), 307.
[5] Mohammed Arkoun, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqal: Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Mu`asir (Beirut: Dar al-Saqi,
edisi kedua, 1995), 59.
[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Mathum al-Nas: Dirasah
ti 'Ulum AI-Qur'an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-'Arabi, edisi II,
1994), 27, selanjutnya diringkas Mathum al-Nas.
[7] Nasr Abu Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam
(London: Westport, Connecticut, 2004), 57, selanjutnya diringkas Voice of an
Exile.
[9]
Ibid, 59.
[12]
Ibid, 97
[13] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini
(Kairo: Sina li al Nashr, edisi pertama, 1992), 93, selanjutnya diringkas Naqd
al-Khitab al-Dini.
[15] Nasr Hamid Abu Zayd, `"The
modernization of Islam or the Islamization of modernity" dalam Cosmopolitanism,
ldentity and Authenticity in the Middle East, editor Roel Meijer (Surrey:
Curzon Press, edisi pertama, 1999), 74.
[17] Ibid., 97
[19]
Dikutip dari Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan
Kritis AI-Qur'an: Teori Hermeneutika AI-Qur'an (Jakarta: Teraju, 2003),
66-67.
[24] Ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyyah, 4
jil. (Beirut: al-Maktabah aI'asriyyah, 2004), l: 218-219.
[25] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the
Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 318,
selanjutnya diringkas The Educational Philosophy.
[26] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `ulum
aI-Quran (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 2003), 286-87, selanjutnya
diringkas al-ltqan
[28] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Muhadzdzab fima
waqa`a fi AI-Qur'an min al-mu`arrab, editor al-Tahami al-Raji al-Hashimi (Sunduq
Ihya' alTurath al-Islamiyy al-Mushtarak bayn al-Mamlakah al-Maghribiyyah wa
al-Daulah al-Imarat al-`Arabiyyah al-Muttahidah, tt), 65-178, selanjutnya
diringkas al Muhadzdzab.