Minggu, 05 Mei 2013

Nalar Etika Abid al-Jabiri


Al-Jabiri memulai mengkesplorasi konsep-konsep etika yang berkembang dari zaman ke zaman di dunia Arab Islam, bahan atau lahan eksplorasi tersebut adalah teks-teks yang selama ini kita kategorikan sebagai teks-teks keislaman. Eksplorasi pertama adalah menyangkut konsep utama dari etika yaitu nilai (al-qimah), adab (al-adab), dan etika (al-ahlaq). Untuk menelusuri ketiga konsep tersebut, al-Jabiri menggunakan rujukan-rujukan kamus, kitab-kitab ensklopedis, dan juga sumber-sumber dari syair Arab pra Islam. al-Jabiri menjelaskan bahwa konsep adab merupakan sebuah konsep yang diwariskan kepada tradisi Arab. Konsep ini banyak ditemukan dalam wacana sufsitik, tradisi Persia, dan sebagian dalam wacana fiqh, Sementara konsep akhlaq berkembang dari tradisi keislaman hanya terbatas dalam ruang lingkup akhlaq sebagai sebuah attitude, bukan akhlaq sebagai konsep nilai. Padahal, persoalan utama diskursus etika adalah persoalan nilai itu sendiri. Ketika diskursus etika Arab-Islam dikaitakan dengan persoalan nilai maka satu hal yang menjadi titik tekan al-Jabiri adalah proses eksplorasi sejarah teks secara meyeluruh.
Eksplorasi sejarah teks yang dikehendaki oleh al-Jabiri berangkat dari dua asumsi dasar yang ia gunakan. Pertama bahwa wacana etika Arab-Islam sebagai sebuah diskurus adalah wacana etika yang berkembang pada masa dimana diskursus tersebut berkembang bukan dengan tata lisan (al-tsaqafah al-syafawiyyah) namun dengan tata-tulis (al-tsaqafah al-maktubah). Kedua, perkembangan diskursus dalam tata tulis tersebut memiliki kurun waktu yang jelas. Kurun waktu tersebut adalah pada era atau masa al-tadwin yang berlangung sekitar tahun 140 H. sampai kira-kira abad ke-6 hijriah.
Peradaban tata tulis tidak tumbuh tanpa latar sebelumnya. Faktor mekanisme pengetahuan menjadi salah satu peran penting yang menumbuh kembangkan tradisi tulis. Bahkan, diskursus sosial dan keagamaan muncul seiring perkembangan Islam. Fenomena ini dapat dibaca dalam karya al-Jabiri sebelumnya. Takwin al-‘aql al-Siyasi, dimana al-Jabiri sendiri menggunakan data tersebut untuk menopang atau menjadikan sebagai latar bagi proses awal terbentuknya suatu tata nilai (al-qiyam) yang tidak disadari sepenuhnya oleh pemerhati etika Arab-Islam yang hidup pada masa al-tadwin. Untuk itu, yang perlu diperhatikan dalam mengamati proses pembentuk struktur tata nilai yang menjustifikasi suatu tindakan apakah itu baik atau buruk ‎‎(akhlaq dalam arti teknis) dalam peradaban Islam, menurut al-Jabiri, adalah sejarah perkembangan wacana yang menyatu dengan wacana sosial-keagamaan baik dalam konteks politik mapun teologis.
Dari wacana di atas, al-Jabiri menyimpulkan bahwa persoalan mendasar yang menjadi sumber munculnya justifikasi-justifikasi baik dalam konteks fiqh maupun teologis adalah persoalan kebebasan manusia. Persoalan kebebasan manusia substansinya adalah persoalan etika atau tata nilai. Namun, pada akhirnya persoalan ini mengambil porsi terbesar dalam diskurus teologis dan terdokumentasi dalam karya-karya klasik tentang Kalam. Persoalannya adalah mengapa terjadi alih wacana dari yang sebelumnya diidentifikasi sebagai persoalan etika menjadi persoalan metafisika dan/atau persoalan teologis metafisis?
 Jawaban atas persoalan di atas mesti dikembalikan kepada fakta historis yang menunjukkan bahwa ujung persoalan kebebasan manusia terdapat pada diskursus kapasitas syara’ dan akal yang menjadi tolok ukur dan referensinya. Contoh sederhana terdapat dalam buku ajar tentang teologi Islam. Harun Nasution, misalnya, dalam bukunya Teologi Islam terdapat bab yang menjelaskan tentang Akal dan Wahyu dalam kaitannya dengan kapasitas manusia untuk mengetahui hal yang baik dan hal yang buruk.‎ ‎ Perdebatan atas peran dan fungsi akal dan wahyu selalu berujung pada “perebutan wilayah” otoritas agama dan otoritas manusia, di sisi sisi dan fakta masuknya tradisi pemikiran Yunani, di sisi lain. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa sesungguhnya persentuhan suatu pemikiran dengan pemikiran lain dapat menimbulkan resistensi baik dalam bentuk alienasi maupun dalam bentuk konfrontatif dan dapat pula menimbulkan reformasi.
Yang jelas, menurut al-Jabiri perdebatan di atas masih menyisakan persoalan bahwa apa yang disebut sebagai ilm al-akhlaq, mashadir al-akhlaq, asas al-akhlaq susah ditemukan padanannya dalam konteks diskurus etika Islam. Yang ada mungkin hukm al-akhlaq, namun konsep ini kembali pada wacana induknya yaitu fiqh. Untuk itu, al-Jabiri berusaha mencari jawaban di atas dengan mengambil konsep al-dhamir konsep ini sepadan dengan istilah conscience dalam bahasa Inggris. Tentu konsep ini dipertanyakan kapasitasnya. Namun konsep ini menurut al-Jabiri tepat untuk merumuskan manba’ al-akhlaq sebagaimana pengetahuan membutuhkan rasio. Persoalan awal kembali muncul, bagaimana menemukan manba’ al-akhlaq tersebut yang disebut sebagai al-dhamir .
Nalar Etika I: Etika Persia : akhlaq al-tha’ah.
 Usaha yang dilakukan oleh al-Jabiri untuk menemukan pola-pola yang membentuk tata nilai dalam nalar etika Arab-Islam, sesuai dengan ancangan metodologi di atas, adalah dengan menelaah dokuman tertulis klasik dalam khazanah peradaban Islam yaitu: dokumen-dokumen dalam bentuk risalah (surat-surat) dan teks-teks orasi pada era Mua’wiyah, khususnya pada era kepemimpinan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H.). Simpulan al-Jabiri menunjukkan bahwa konsep adab (al-adab), kepasrahan (al-Jabr), dan kepatuhan secara politik (al-Tha’ah) menjadi kosakata-kosaka etis-politis yang sedang menemukan momentumnya. ‎ ‎ ‎konsep-konsep di atas, menurut al-Jabiri, muncul oleh karena pengaruh tradisi Persia. Fakta demikian, menurut al-Jabiri terus berlangsung ketika kekhalifahan Islam dipegang oleh Abbasiyah. Jika di era Muawiyah, banyak sekretaris negara, seperti Salim dan Abd al-Hamid, berpendidikan dengan tradisi pendidikan Persia, di era Abbasiyah berlangsung proses penerjemahan teks-teks Persia ke dalam bahasa arab dan kemudian menjadi rujukan bagi tata nilai yang mendasari etika sosial dan politik. penerjemahan dokumen-dokumen kerajaan Sasania , khususnya raja Ardsyira (w. ‎‎241 M.) pada abad ke-3 M. dan penerjemahaman kitab kalilah wa dimnah oleh Ibn al-Muqaffa’, dan karya-karya Ibn al-Muqaffa’ sendiri menjadi referensi utama pembentukan tata nilai di atas. ‎ ‎
Fakta di atas lebih tepat jika ditempatkan pada etika sosial dalam arti makro, etika sosial dalam arti yang sempit seperti etiket-etiket yang berlaku untuk kehidupan sehari-hari baik untuk perorangan maupun sosial juga berkembang. Etika dalam arti etiket ini justru banyak ditemukan dalam hadits-hadits nabawi yang juga menjadi acuan di istana maupun di masyarakat. Tidak adanya pergesekan ide-ide yang berarti antara etika dalam arti etiket dengan sumber-sumber hadits nabawi dengan etika politik yang bersumber dari tradisi Persia di atas oleh karena memang wilayahnya yang berbeda.
Sepeninggal Ibn al-Muqaffa, tradisi tulis di era Abbasyiah mulai benar-benar tumbuh. Pada era ini, intelektual ensiklopedis Ibn Qutaibah merupakan pioneer bagi perumusan tata nilai etika Islam. Di samping merujuk pada karya-karya Ibn al-Muqaffa’ dan tradisi Persia yang melatarinya, Ibn Qutaibah mumpuni dalam berbagai keilmuan Islam yang dikategorikan asli oleh al-Jabiri., seperti al-Qur’an, al-hadits, dan al-fiqh. Tentu bukan hanya Ibn Qutaibah, sosok yang merepresenatasikan fiqh, seperti al-Syafi’I ‎‎(w. 150 H.), kalam, seperti al-Jahid (w.255 H.), filsafat, seperti al-Kindi (w.252), hadits, seperti al-Bukhari (w. 256 H.), tasawwuf, seperti al-Karkhi (w. 200 H.), sejarah, seperti al-Thabari (w. 310), dan tokoh lainnya memberikan kontribusi bagi membanjirnya wacana berbagai keilmuan yang berbasis islami. Kondisi di atas tentu memberikan kontribusi penting bagi proses perkembangan tolok ukur tata nilai (al-qiyam) yang mendasari nalar etika Arab-Islam yang berlangsung mulai abad kedua hijri.
Dari karya Ibn Qutaibah (‘uyun al-akhbar) dan Ibn Abdi Rabbah (al-‘aqd al-farid)‎ ‎, al-Jabiri dengan jelas menyimpulkan bahwa tata nilai yang dapat dibaca dari kedua tokoh tersebut adalah tata nilai yang mendasari munculnya akhlaq kepatuhan (al-akhlaq al-tha’ah). Akhlaq kepatuhan ada dua; (1) politis (akhlaq al-lisan) dan (2) biologis (akhlaq al-nafs) (makanan dan perempuan). Intinya, kedua karya tesebut sangat kental dengan tradisi Persia.
Di samping kedua karya di atas, sosok intelektual lain seperti al-Mawardi (w. 450 H). dalam al-ahkam al-sulthaniyyah, al-Ibsyihi/al-Absyaihi (w. 850 H.) dalam al-mustathrif , dan al-Qalqasyandi (w. 821 H.) dalam shubh al-‘a’sya fi shina’ah al-insya tidak bisa dikesampingkan karena dapat diposisikan sebagai ‎‎“pembanding” dari dua karya di atas. Baik al-Mawardi maupun al-Absyihi dapat dikatakan lebih “islami” dalam merumuskan tata nilai meskipun untuk referensi yang sama sebagai pijakan bagi akhlaq kepatuhan.
Nalar etika kepatuhan berangkat dari asumsi kepatuhan kolektif untuk kekuatan individu (Sulthan). Etika kepatuhan mensyaratkan tidak adanya konsep nilai yang bersifat individual ‎‎(al-qimah al-fardiah). Nilai-nilai individual justru berkembang dari warisan Yunani dengan konsep al-sa’adah.
Nalar Etika II: Etika Yunani : akhlaq al-sa’adah/al-khuluq al-fadil.
 Penjelasan di atas selalu berasumsi bahwa konsep kepatuhan yang diorientasikan pada penguasa akan membawa kebahagiaan bagi rakyatnya. Dalam tradisi Yunani justru sebaliknya. Konsep kepatuhan selalu diorientasikan pada rakyat. Oleh karena itu yang dicita-citakan oleh tradisi filsafat Yunani bukanlah al-Sulthan/ the King tapi justru republic (Plato), The Polity ‎‎(Aristoteles), dan al-madinah al-fadilah (al-Farabi).
Untuk menelusuri labirin pemikiran filsafat di era ini kiranya cukup dengan memahami pola dikotomis yang memang menjadi pola nalar tradisi ini. Salah satu karakter dikotomis yang sering didengar sampai hari ini adalah konsep jiwa (soul) dan badan ‎‎(physic). Dalam jiwa terdapat intelligence (al-nafs/al-quwwah al-‎‎‘aqilah) dan emotion (al-nafs/al-quwwah al-syahwaniyyah). Konsep al-Sa’adah tidak saja bersifat psikis (non-fisik/immaterial) namun juga bersifat fisis (fisik/materiil). Olah karena itu, al-Sa’adah hanya didapatkan dengan menggunakan keduanya dan untuk keduanya.
 Tradisi filsafat Yunani secara nyata ikut serta dalam mempengaruhi konstruksi wacana etika Arab-Islam. Hal itu dapat dilihat dari pengaruh Galen pada sosok al-Kindi (w. 252 H.) di mana Galen sendiri sesungguhnya mendapat banyak inspirasi dari filsafat Plato terutama dalam konteks kajian fisika atau kedokteranya. Oleh karena itu tidak aneh jika kemudian al-Kindi merumuskan apa yang ia sebut sebagai al-tibb al-ruhani. Hal yang sama juga ditulis oleh al-Razi (w. 320 H.) dengan judul yang sama meskipun ia tidak secara langsung merujuk pada Galen, sebagaiamana dilakukan oleh al-Kindi. Di samping kedua filosof di atas nama lain yang juga banyak mewarnai corak ini adalah Tsabit bin Sinan (w. 380-an H.) dalam karyanya tahdzib al-akhlaq.
 Simpulan sementara dari pemikiran etika Arab-Islam ketiga tokoh di atas adalah bahwa tata nilai yang membangun karakteristik manusia bermoral adalah interaksi aktif antara kekuatan fisik dan mental. Keduanya saling berinteraksi secara moderat (al-fadilah) dalam membentuk keperibadian sehingga sampai pada orientasi yang dituju: al-sa’adah.
Tentang tahdzib al-akhlaq dalam tradisi intelektual klasik memang menjadi nama favorit sehingga muncul nama kitab dengan isi yang sama namun nama pengarangnya masih dipersoalkan sampai sekarang. Di samping karya Tsabit, kitab dengan judul yang sama juga ditulis Ibn Miskawaih. Ada kitab tahdzib al-akhalq lain yang ditulis al-Jahidh namun di lain percetakan kitab tersebut disebutkan ditulis oleh Yahya bin Adi, kebetulan yang penulis memiliki adalah karya al-Jahid. Oleh al-Jabiri justru karya al-Jahid itu sebenarnya ditulis oleh Ibn al-Haitsam (w. 432 H.), sebagaimana juga diakui oleh para filolog orientalis.
Lepas dari perbedaan pendapat yang ada, kitab ini secara umum masih corak yang sama dalam kategiri di atas, kategori ethic-scientific . Bagaimana tentang karya Ibn Miskawaih? Ternyata al-Jabiri tidak menyinggung sama sekali tokoh yang satu ini dalam satu ruang kategori ethic-scientific. Al-Jabiri justru menempatkan Miskawaih dalam kategori ethic-eclectic. Sebelum menjelaskan kategori ethic-eclectic ada kategori yang lain yaitu philosophical ethic (falsafah al-akhlaq).
Inti kategori ethic-scientific adalah bahwa etika itu berbasis individual. Oleh karena orientasi pembangunan etika terletak pada setiap individu. Individu-individu ada yang sehat dan ada yang sakit baik secara fisik maupun psikis. Mereka yang sehata secara fisik dan psikis adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk keseimbangban (al-fadilah/ al-khuluq al-fadil) di antara batas atas dan batas bawah. Bagaimana dengan katgoeri philosophical ethic?
Etika yang berbasis filosofis pada dasarnya sama memelikii genealogi keilmuan dari tradisi filsafat Yunani. Bedanya ethic-scientific dari Galen, sedangkan philosophical ethic dari Plato ‎‎(427-347 SM) dan Aristoteles. Representasi wacana etika Arab-Islam dengan kategori philosophical ethic adalah sosok filosof al-Farabi, Ibn Bajah, dan Ibn Sina. Ethic-scientific sama sekali tidak menyinggung etika kepatuhan sementara philosophical ethic berusaha membongkar etika kepatuhan sampai keakar-akarnya. Untuk itulah al-Farabi menulis al-madinah al-fadilah. Sebuah karya yang merepresantasikan kesatuan antara Plato (al-madinah) dan Aristoteles (al-fadilah).
Selain al-Farabi, filosof Ibn Bajah (w. 533 H.) juga menggunakan kerangka metodologi yang sama (Philosophical ethic). Menurut Ibn Bajah kekuatan psikis (al-quwah al-nafsiah) dan kekuatan fisik (al-quwwah al-thabi’iyyah) harus disatukan oleh karena keduanya memang bekerja dalam ketergantungan satu sama sama lainnya. Untuk itulah Ibn Bajah merumuskan apa yang ia sebut sebagai Tadbir al-Mutawwahid (united empowering). Suatu rumusan yang nampaknya susah untuk ditemukan dalam al-Najat-nya Ibn Sina yang lebih menitikberatkan pada dimensi psikis meskpun berangkat dari kondisi fisik. Juga susah untuk diemukan dalam Mukhtasar Jumhuriyyah-nya Ibn Rushd. Bahkan ada kemungkinan, menurut hemat penulis, bahwa upaya Ibn Rushd untuk meringkas Republic-nya Plato itu lebih dititikberatkan pada realitas Andalusia yang sedang menuju kemundurannya. Ataukah ending dari philosophical ethic itu justru kembali pada Republic versi Ibn Rushd itu? wa allahu ‘a’lam..
Bolak-balik dalam pola nalar dikotomis yang mewarnai diskursus di atas (mungkin, menurut penulis) mengilhami banyak intelektual muslim pada era-era berikutnya untuk mengambil yang terbaik darimanapun asal pijaknya. Itulah yang oleh al-Jabiri diistilahkan dengan eclectic ethic. Dalam satu hal eclectic ethic mungkin diasumsikan sebagai suatu sikap yang dianggap negative. Namun dalam suatu alasan tertentu sikap eklektik dapat dimaklumi, termasuk di antaranya dalam konteks keilmuan.
Secara umum karakter eklektik ini menjadi label bagi beberapa karya intelektual Muslim di bidang etika oleh karena keputusan penulis dalam mengambil berbagai sumber pandangan dan sekaligus menjadi mainstream dalam karyanya sehingga konstruk etika yang mereka bangun tidak mencerminkan satu karakter tertentu. Meski demikian, kelompok ini oleh al-Jabiri digolongkan sebagai philosophical ethic.
 Salah satu referensi etika Arab-Islam yang mencerminkan karakter eclectic ethic adalah kitab al-sa’adah wa is’ad karya al-‎‎‘Amiri dan tahdzib al-akhlaq karya Ibn Miskawaih. al-Sa’adah masuk dalam kategori tersebut oleh karena judul karya tersebut mencerminkan dua konsep yang mencerminkan dua konsep yang memiliki perbedaan basis tradisi. Sebagaimana diketahui bahwa etika Aristoteles (Nichomachean ethics) berujung pada konsep happiness. Kebahagiaan (al-sa’adah) menurut Aristoteles bersifat otonom dalam diri manusia (teoritik/ ‘ilmi). Artinya, manusia sendirilah yang mampu menemukan kebahagiaan tersebut dengan kekuatan rasionalnya. Akan tetapi pada saat yang sama al-‘Amiri menyandingkannya dengan konsep al-is’ad, is’ad al-ghair au is’ad al-sulthan (politik dan praksis/’amali).
Karakter eklektik ini berkembang oleh karena berbagai faktor. Faktor utama adalah realitas adanya “sauq al-mashadir wa al-qiyam” baik dari karya-karya terjemahan, forum-forum pengkajian, karya-karya asli dari intelektual muslim pada waktu itu. Faktor lain adalah kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkarya yang diusung oleh para penguasa Abasiyyah pada waktu itu dengan catatan karya-karya tersebut tidak menyinggung atau mengusik rezim yang berkuasa.
 Al-‘Amiri dalam menulis al-sa’adah tidak saja menggunakan referensi dari filosof Yunani tapi juga dari rujukan-rujukan dari Persia. Sumber-sumber dari al-Qur’an dan hadits serta pendapat-pendapat ulama juga digunakan. Itulah yang mencerminkan sikap eklektik al-Amiri. Di samping itu, sebagaimana telah disinggung di atas polarisasi antara Aristotelian yang individual dan Platonian yang komunal merupakan unsur lain yang membikin karakter tersebut.
Tokoh lain yang juga mencerminka karakter eklektik adalah Ibn Miskawaih (w. 421 H.), sosok yang juga merupakan murid al-‎‎‘Amiri ini menulis kitab tahzdib al-ahlaq dan al-hikmah al-khalidah. Kitab kedua ini menurut beberapa sumber ditulis dalam bahasa Persia dengan judul Javidan Khiraj (artinya al-hikmah al-khalidah). Kitab ini menurut al-Jabiri sangat Persian oriented dengan mengikuti pola nalar yang dikembangkan oleh Ibn Qutaibah dalam ‎‎‘uyun al-akhbar. Sementara dalam kitab yang pertama terdapat dua konstruksi pemikiran yaitu Platonian dan Aristotelian yang diambil secara tertib tanpa ada keterangan yang memadai. Terlepas dari eklektisme yang diasumsikan kepada tokoh-tokoh di atas, pola sinkretis (al-talfif) sebenarnya lebih tepat dalam konteks sosial pada waktu itu, atau dalam bahasa sekarang sebagai integrasi-interkoneksi (sinkretisme abad 21).
  Yang jelas, jika ditelusuri lebih dalam konsep al-sa’adah al-‎‎‘udhma, sebagaimana dicita-citakan oleh para filosof Yunani yang kemudian ditransfer oleh para penerjemah dan intelektual ke dalam diskursus etika Arab-Islam, belum lah selesai. Di katakan belum selesai oleh karena al-sa’adah (al-‘udhma) bukan merupakan kata akhir dalam khazanah etika Arab-Islam. Yang terakhir justru adalah hilangnya rasa bahagia itu sendiri oleh karena kebersartuan manusia dengan sumber dari segala sumber kebahagiaan, Tuhan. Itulah al-akhlaq al-fana’ ‘(perishable ethic).
Nalar Etika III: Etika Sufistik : min al-akhlaq al-fana ila fana’ al-akhlaq.
Al-Jabiri berpendapat bahwa konsep fana tidak ditemukan dalam warisan Islam dan Arab “asli”. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa konsep fana itu berasal dari tradisi Yunani atau Persia. Pandangan al-Jabiri ini merupakan pendahuluan dari apa yang ia kehendaki sebagai awal penelusuran atas konsep di atas. Yang jelas untuk menelusuri konsep di atas ada baiknya jika pembaca terlebih dahulu karya al-Jabiri sebelumnya (al-binyah al-‎‎‘Aql al-‘Arabi) khususnya dalam bab al-irfan.
 Secara historis al-Jabiri menyimpulkan bahwa diskursus tasawwuf pada awalnya merupakan aktifitas individual untuk menanggalkan sikap berlebih-lebihan, kekuasaan, dan melaksanakan sikap zuhud yang secara konseptual terinspirasi dari tradisi Persia.‎ ‎ Sikap seperti di atas tercermin dalam sosok Ibrahim bin Adham (w. 161 H.), sosok yang secara kultural sangat dengan Persia, ia dilahirkan di Khurasan. Namun, adapula tokoh Hasan al-Basri (w. 110 H.) yang memiliki genealogi budaya dan pengetahuan yang asli Arab-Islam. Sosok Hasan al-Basri ini nampaknya sangat tepat dijadikan sebagai tokoh utama oleh kelompok-kelompok kontra syi’ah. Dari awal Syi’ah memiliki ikatan kultural kuat dengan tradisi sufistik, bahkan tradisi tasawwuf dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari peran ulama-ulama syi’ah-persia seperrti Jabir bin Khayyan al-Shufi dan Abu Hasyim al-Shufi, keduanya juga dari Khurasan. Meskipun para punggawa Syi’ah, seperti Ja’far al-Shadiq, mencela sikap berlebihan mereka.
Pasca Hasan al-Basri (di pihak Sunni) maupun Ibrahim bin Adham, tradisi sufistik mulai masuk pada ke dalam tradisi tulis. Artinya muncul tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tasawwuf. Hal ini terjadi mulai abad ketiga hijri. Al-Jabiri menjelaskan bahwa pada era ini ada peralihan konsep tasawwuf dari yang secara literal sangat bathini menuju ke arah yang bersifat etis (adab).‎ ‎ ‎Hal itu terjadi baik di kalangan sunni maupun syi’i. al-Hujwairi, penulis kasyf al-mahjub, menguatkan hal itu dengan mengambil pandangan Abu al-Khasan al-Nuri (w. 295 H.). al-Qusyairi (w. 465 H.) dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah bahkan menyimpulkan bahwa konsep adab merupakan kata kunci pada diskurus tasawwuf pasca generasi pertama tersebut.
Jika adab merupakan kata kunci maka persoalannya adalah oleh siapa dan kepada siapa adab ini diterapkan? Ketika yang dimaksud dengan adab adalah adab seorang hamba kepada Tuhannya maka dalam konteks Islam tentu sudah memiliki wacana tersendiri yaitu fiqh. Oleh karena itu, bisa jadi adab yang dimaksud adalah suatu kriteria tertentu yang dirumuskan oleh seorang sufi dalam konteks beribadah secara individual dan kriteria tertentu yang dirumuskan untuk seorang murid dalam konteks hubunganya dengan al-syaikh/al-mursyid dalam konteks yang sama. Dengan prasyarat-prasyarat itulah konsep al-wali ‎‎(sunni) dan al-wilayah (syi’i) mulai menemukan momentumnya untuk berkembang.
 ‎ ‎Dalam ranah itulah sesungguhnya etika sufistik menunjukkan suatu orientasi agar manusia sampai pada derajatnya yang paling tinggi yaitu bersatu berama sang khaliq itulah akhlaq al-fana. Namun demikian, kefanaan diri bukanlah suatu tujuan utama tasawwuf. Kefanaan hanya sebuah metode untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh karena itu pada akhirnya konstruksi al-akhlaq al-fana menjadi fana’ al-akhlaq. Kefanaan kriteria etis tertentu ini muncul dalam diri seorang sufi dalam kondisi tertentu. Di situlah konsep maqam, hal, dzauq, atau dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah zadab menemukan peran dan posisinya.
Nalar Etika IV: Etika Arab: al-akhlaq al-muru’ah.
  Al-Jabiri menyadari bahwa merumuskan sebuah konsep etik yang bersumber dari Arab bukanlah perkara mudah. Kesulitan muncul oleh karena sebagai sebuah sumber etika Arab atau etika yang bersumber dari gagasan-gagasan orisinil bangsa atau masyarakat Arab tanpa terpengaruh atau masuk dalam latar agama apapun ternyata tidak memiliki referensi yang memadai. Data yang dapat ditemukan dari sumber etika Arab hanyalah berupa sya’ir atau maqalah-maqalah yang terekam dan terabadikan dalam tulisan-tulisan yang berpayung Islam atau tradisi lain seperti al-‘aqd al-farid karya Ibn Abd Rabbah. Salah satu rujukan sya’ir-sya’ir Arab yang cukup terkenal adalah sya’ir-sya’ir karya al-Mutanbbi. Sementara dari maqalah-maqalah yang cukup terkenal adalah maqalahnya Aktsam bin Shaifi. Maqalah-maqalah dari Aktsam tersebut kemudian dikenal dengan istilah al-hikmah al-nadzari, sementara dari al-Akhaf bin Qais dikenal dengan al-hikmah al-‘amali..
Konsep muru’ah atau harga diri dalam bahasa sederhana sesungguhnya terkait dengan realitas kultural dan politis bangsa Arab dengan struktur sosial bersuku-suku (qabilah). Kondisi demikian memberikan pengaruh pada munculnya tolok ukur tertentu yang berfungsi untuk memperkuat, mempertahankan, atau mengembangkan qabilah atau klan yang dimilikinya. Itulah yang kemudian diwarisi oleh kekhalifahan Umayyah maupun Abasiyyah sebagai moralitas artsitokrat yang melulu beriorentasi pada moralitas dalam kehidupan. Konsep ini kemudian ditransormasikan ke dalam konsep keagamaan oleh Hasan al-Basri seperti tercemin dalam statemennya “la dina illa bi muru’atin”.
 Sebagai konsep untuk membangun harga diri dengan mengupayakan secara maksimal dalam melaksanakan apa yang baik atau terpuji dan menjauhi seluruh yang tercela, muru’ah sesungguhnya masih debatable. Pemahaman di atas mungkin sama dengan konsep kemuliaan, sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an (innahu la qur’an karim fi kitab maknun). Akan tetapi konsep muru’ah lebih dari sekedar watak kemuliaan. Orang yang lemah secara fisik dan kemudian dihina dan tanpa mampu mempertahankan harga dirinya ia mungkin disebut tidak memiliki muru’ah. Artinya dimensi jasmani juga masuk dalam konsep muru’ah. Atau justru sebaliknya bahwa konsep karim merupakan kesatuan konsep muru’ah secara fisik maupun nonfisik? Yang jelas konsep muru’ah memiliki varian makna yang sangat banyak baik yang bersumber dari khazanah Arab pra Islam, Islam maupun tradisi lain.
Konsep muru’ah ini kemudian dijelaskan secara panjang oleh al-Mawaradi dalam adab al-dunya wa al-din. Secara ringkas al-Jabiri menyimpulkan bahwa penjelasan al-Mawardi dan beberapa referensi lain menunjukkan bahwa konsep muru’ah merupakan rumusan moralitas dalam konteks kemasyarakatan. Oleh karena itu ukurannya bukan dengan dasar-dasar rasonlitas semata melainkan juga tolok ukur yang mengatasnamakan kebenaran dan kuasa bi al-jama’ah.. Berangkat dari hipotesis inilah al-Jabiri menegaskan bahwa konsep etika yang berbasis harga diri tidak berasal dari konsep keagamaan (Islam). Kalau demikian halnya konsep etika apa saja yang murni berasal dari agama (Islam)?
Nalar Etika V: Etika Islam: akhlaq al-dini li maslahat al-dunya wa al-akhirah.
Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, Islam dengan tegas menyebutkan bahwa etika keagamaan yang ia suguhkan untuk manusia adalah etika Qur’ani atau etika profetik. Kedua konsep di atas tentu terlalu longgar karena menyangkut konsep-konsep keagamaan secara umum. Untuk itu, al-Jabiri berpendapat bahwa konsep etika yang murni berasal dari wacana keislaman adalah konsep yang muncul dan merupakan reperesentasi dari realitas sosial Islam. Konsep ini muncul di tangan al-Kharis al-Muhasabi (w. 243 H.), sosok yang begitu perihatin atas kondisi umat Islam pada waktu dan sekaligus prihatin atas jauhnya dimensi-dimensi etik dalam dinamika diskurus keilmuan Islam.
 Al-Jabiri menggunakan Haris al-Muhasabi sebagai permulaan tolok ukur lahirnya nalar etika Islam sesungguhnya menimbulkan tanda tanya besar bagi pembaca. Namun, sosok yang oleh al-Ghazali disebut sebagai aliran yang telah ia hapus ‎‎(naskh) dengan kitab Ihya Ulum al-Din ini memiliki penilaian tersendiri di mata al-Jabiri. Menurut al-Jabiri kritik pedas al-Muhasabi terhadap diskurus keilmuan Islam pada abad ketiga hijri disebabkan oleh keringnya dimensi akhlak religius (al-akhlaq al-dini). Adapun yang dimaksud dengan etika religius, menurut al-Muhasabi, adalah ilmu tentang hukum-hukum ukhrawi atau al-‘ilm al-bathin yang memayungi ibadah al-dhahirah yang mendasarkan pada fiqh dan ilmu pendukungnya. Lebih lanjut al-Muhasabi merumuskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu al-bathin bukan lah ilmu dengan basis epistemologis irfani, sebagaimana terdapat dalam wacana sufistik. Ilm al-bathin bagi al-Muhasabi tetapi memiliki anasir-anasir rasionalitas yaitu dengan mengambil konsep-konsep pemahaman yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Yang jelas, bagi al-Jabiri, sosok al-Muhasabi benar-benar merupakan sosok pioneer bagi konsep etika Islam orisinil. Konsep etika Islam orisinil ini terbagi menjadi dua kajian pokok. Pertama, akhlaq al-din sebagaimana dirumuskan oleh al-Muhasabi dalam ri’ayah huquqillah . Kedua, akhlaq al-dunya, sebagaimana dirumuskan oleh al-Mawardi dalam adab al-dunya wa al-din. Kedua kajian tersebut kemudian dipertajam oleh al-Ragib al-Isfahani (w. ‎‎502 H.) lewat al-dari’ah ila makarim al-akhlaq. Bahkan dapat dikatakan bahwa al-Isfahani telah melakukan islamisasi etika Yunani dengan cara memberikan referensi keagamaan atas nalar-nalar etika Yunani sehingga benar-benar menjadi sebuah etika Islami.
Namun demikian, secara konseptual etika dengan basis kegamaan ini sesungguhnya dirumuskan oleh al-Ghazali (w. 505 H.) lewat karya besarnya ihya ulum al-din. Karya al-Ghazali tentang etika, di samping al-ihya, adalah mizan al-‘amal. Karya kedua ini secara metodologis dan epistemologis sesungguhnya masih menggunakan kerangka filosofis. Sementara untuk kitab yang pertama di atas, al-Ghazali benar-benar merumuskan konsep-konsep dasar bagi etika Islam. Intinya, membaca al-ihya sama dengan al-mustasfa. Artinya keduanya berfungsi sama yaitu sebagai al-ushul . Ada indikasi bahwa al-Ghazali banyak terinspirasi dari al-Isfahani. Namun, perbedaan dalam epistemik bagi keduanya cukup tajam. Epistemologi al-Isfahani berbasis bayani, sementara epistemologi al-Ghazali berbasis ‘irfani.
Konsep etika Islam ini lebih lanjut dikembangkan oleh Izz al-din bin Abd al-Salam (w.639), seorang ahl fiqh generasi ketiga dari madzhab Syafi’i. Bagaimanapun latar al-‘izz sebagai seorang faqih tidak bisa diabaikan. Dengan latar itu ia merumuskan bahwa dasar pijak etika keagamaan (Islam) adalah al-maslahah. Hal itu sebagaimana tercermin dalam karya-karya etiknya yang berjudul qawa’id al-ahkam fi masalih al-anam dan syajarah al-ma’arif wa al-ahwal wa salih al-aqwal wa al-af’al. dalam telaah atas kedua kitab tersebut, al-Jabiri menyimpulkan bahwa al-Izz sama sekali tidak memahami konsep etika Yunani maupun Persia. Oleh karena itu, rumusan etika keagamaan al-Izz benar-benar bersumber dari referensi keagamaan.
Konsep maslaha hampir tidak ada bedanya dengan konsep konsekwensionalisme dalam diskursus etik modern. Artinya sebuah tindakan selalu diukur dengan akibat-akibat yang akan terjadi. Maslaha tidak bersandar masa lampau tapi berorentasi ke depan. Dalam wacana fiqh, basis orientasi ke depan itu dikenal dengan maqasid al-syari’ah. Al-Jabiri menempatkan al-Izz sebagai kelompok al-maqasid pertama yang kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi sebagai generasi kedua. Namun demikian, konsep maslaha sebenarnya bukan konsep akhir. Al-Izz menegaskan bahwa dalam maslaha terdapat spirit al-ihsan, sebuah spirit yang selalu integral dalam tindakan untuk lebih baik (kaifiah al-akhsan). Gagasan al-Izz ini memberikan inspirasi banyak bagi sosok Ibn Taimiah (w. 728 H.) meskipun di kemudian hari Ibn Taimiah banyak menemui tantangan karena usahanya mencerabut dimensi-dimensi irfani dalam tradisi keilmuan dan kemasyarakatan Islam pada waktu.
Catatan atas Nalar Etik al-Jabiri
Kiranya patut untuk diakui bahwa proyek kritik nalar Arab al-Jabiri adalah proyek presitisus dalam diskursus pemikiran Islam modern. Kritik nalar etika Arab yang merupakan proyek ke empat ini, menurut hemat penulis, lebih tepat jika ditempatkan sebagai proyek penjelajahan untuk membikin “peta jalan” (road map) yang sangat membantu bagi para pembacanya untuk menggunakan peta tersebut meski untuk tujuan yang berbeda. Road map karya al-Jabiri di atas berhasil dibuat dengan dukungan basis epistemologi dan metodologi yang kuat. Namun, dari basis itu pula letak keringkihan “bangunanan” nalar etika Arab al-jabiri.
Secara epistemologis persoalan mendasar yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah distingsi dan sekaligus konsep “nalar teks” di satu pihak dan “nalar konteks” (nalar sejarah), di pihak lain. Artinya, Kedua wilayah itu nampaknya belum dipahami dan diposisikan secara jelas oleh al-Jabiri. Nalar teks tidak secara otomatis merupakan reperesentasi dari nalar konteks, atau sebaliknya. Persoalan ini sesungguhnya bisa di atasi jika al-Jabiri tidak menggunakan metodologi sistematika teks, sebagaimana yang telah gunakan dalam menulis nalar etika arab, tetapi justru menggunakan pendekatan sejarah penalaran secara lebih memadai sebagaimana dikembangkan oleh Foucault. Dikatakan lebih memadai oleh karena al-Jabiri sendiri menggunakan al-tahlil al-tarikhi namun dalam prakteknya simpulan-simpulan al-Jabiri lebih banyak didapatkan dari pembacaan atas sistematika teks-teks di atas.
Solusi di atas memang belum menyelesaikan persoalan mendasar di atas. Untuk itu, pandangan Hisyam Gushaib di bawah ini mungkin dapat membantu. Persoalan nalar teks dan nalar konteks di atas, dalam bahasa Hisyam, mestinya dikembalikan kepada persoalan kesadaran (al-syu’uri/al-wa’y/consciousness) dan ketidaksadaran (al-la syu’uri/al-la wa’yu/ unconsciusness), atau dalam bahasa Najib Mahfud sebagai al-ma’qul wa al-la ma’qul. Konteks sosial berkembang kadang tanpa ada kesadaran apapun (bahkan oleh Marx ketidaksadaran ini terus dipelihara untuk kepentingan sosial tertentu; borjuis/pemilik modal).‎ ‎ Etika dalam masyarakat bersumber dari kesadaran dan penalaran sosial. Sementara konsep-konsep etika dalam nalar teks dibangun di atas meja tulis. Kondisi ini memungkinkan terjadinya kesalahpahaman antara persepsi penulis dan persepsi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, persoalannya apa nalar etika yang dipaparkan al-Jabiri di atas merupakan repersentasi dari nalar etika sosial yang berkembang di masyarakat Arab-Islam? Kalau memang betul bagaimana membuktikannya? Kalau memang tidak terus nalar etika yang dipaparkan al-jabiri di atas mewakili nalar etika siapa?
Kiranya pemikiran Hegel dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan persoalan di atas. Bagi Hegel, sejarah selalu berjalan dalam proses dialektik antara dimensi being yang merupakan absolute idea or truth itself dan dimensi becoming yang merupakan determinate being dan memiliki karakteristik temporal.‎ ‎ Teks-teks etika Islam adalah konseptualisasi being yang berposisi sebagai becoming. Teks bukanlah being tapi merupakan usaha tertinggi yang dicapai untuk sampai ke drajat being . Namun pada saat yang sama, teks kembali menjadi determinate being. Hal yang sama juga terjadi pada fakta sosial kesejarahan etika manusia. Rumusan-rumusan konsep nilai dan tindakan bagi sebuah peradaban adalah proses becoming yang selalu menuju ke arah being. Dengan mengambil gagasan Hegel di atas nampaknya kedua-duanya baik “nalar teks” maupun “nalar konteks” sama menempati posisi dan usaha yang sama untuk sampai pada absolute idea meskipun tidak akan pernah sampai.
Kant, sang inspirator Hegel, justru lebih membumi dalam memahami absolute idea. Bagi Kant, idea atau concept of reason adalah “a concept formed from nations and transcending the possibility of experience”.‎ ‎ Idea-idea itu bersifat transenden dan berasal dari diri, dunia, dan Tuhan (melalui agama?) Persoalannya, bagaimana menyatukan ketiga transcendental ideas tersebut? Di situlah makna dan peran akal mulai muncul. Menurut Kant, “just as understanding unifies the manifold in the object of concepts by means of concept, so reason unifies the manifold of concept by means of ideas”.‎ ‎ Oleh karena peran akal yang demikian itu, kinerja pada awalnya merupakan kerja subjetif. Ia baru menjadi kekuatan objektif ketika ia menggunakan sebuah logika (baca: metodologi) untuk membentuk sebuah sajian pengetahuan.
 Dalam konteks nalar-nalar etika yang dipresentasikan oleh pemikir etika Arab-Islam pada awalnya merupakan pemikiran subjektif. Ia kemudian menjadi kekuatan objektif atau bahkan kebenaran objektif bukan oleh kerangka logika yang mapan tetapi lebih oleh karena justifkasi sosialnya. Oleh karena itu, bagi penulis, nalar etika Arab akan jatuh pada subjektivitasnya jika tidak dikaji dari dimensi logika atau metodologinya. Artinya, untuk konteks sekarang warisan nalar etika di atas perlu untuk dirumus ulang secara logis dengan kerangka metodologi yang jelas sehingga menjadi sebuah pengetahuan tentang etika Islam baik secara teoritik maupun untuk kepentingan-kepentingan praksis.
 Bicara tentang transcendental ideas di atas, persolan atas Arab dan Islam juga masih problematik. Kenapa al-Jabiri menggunakan al-aql al-arabi bukan al-aql al-Islami. Arab bukan sekedar konsep demografis, sosiologis, politis, antropologis tapi juga historis. Aneka konsep ini ditambah lagi dengan al-‘arabi al-muashir dan al-arabi al-madhi nampaknya menjadi titik persoalan yang belum terpecahkan secara tuntas oleh al-Jabiri dalam proyek naqd al-aql al-‘arabi-nya. Untuk itu, al-Jabiri berusaha merumuskan secara tuntas persoalan di atas dalam wijhah nadhr: nahwu I’adah bina qadhaya al-fikr al-arabi al-mu’ashir. Menurut al-Jabiri persoalan arab dan Islam memang akan selalu ditemukan dimensi-dimensi kontradiktifnya namun yang menjadi titik persoalan bukanlah atas keduanya dijadikan sebagai suatu perspektif atau sudut pandang (wijhah nadhr). Baik arab maupun Islam hendakanya ditempatkan sebagai titik tolak pandang (I’adah al-nadhri). Untuk itu, menurutnya, dalam konteks penyelesaian segela persoalan yang ada sekarang ini, tidak pada tempatnya untuk membedakan atau membandingkan antara arab dan Islam. Keduanya merupakan dasar pijak bagi kepentingan keduanya. Namun, al-Jabiri juga mengingatkan bahwa Islam dan Arab adalah dua hal yang berbeda.
Namun, fakta perbedaan tentu bukan sekedar dari sisi Islam dan arab semata, batasan-batasan atas nudhum al-qiyam untuk konteks yang berbeda juga merupakan fakta lain atas perbedaan tersebut. Sebagai contoh ukuran muru’ah bagi masyarakat muslim Arab tentu akan berbeda dengan ukuran muru’ah muslim Jawa. Begitu juga dengan yang lain. Fakta demikian (konsep universal value untuk seluruh umat manusia) itu belum penulis temukan solusinya dalam pemkiran al-Jabiri karena memang bukan itu yang dicari oleh al-Jabiri. Yang dipresentasikan oleh al-Jabiri adalah value construction peradaban Arab-Islam era lampau untuk kepentingan value reconstruction demi kemajuan bangsa Arab sekarang ini, dan mungkin Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu tugas kita sekarang adalah belajar dari al-Jabiri dan belajar dari bagaimana al-Jabiri mempelajari etika suatu masyarakat dan/atau agama tertentu.

Anjuran Daftar Bacaan Pokok
Al-Jabiri, Muhammad Abid. al-turats wa al-hadatsah, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1994.
——————–. takwin al-‘aql al-‘arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1989.
——————–. bunyah al-‘aql al-arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1993.
——————–. al-‘aql al-siyasi al-arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1991.
——————–. Arab-Islamic Philosophy: A Contemporary Critique, Austin: The University of Texas Press, 1996.
——————–. al-‘aql al-akhlaqi al-‘arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 2001.
——————–. wijhah nadhr: nahwu I’adah bina qadhaya al-fikr al-arabi al-mu’ashir (Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1994.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar