Disusun oleh:
1.
Ahmad Saerozi : 309052

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
USHULUDDIN/TH
2011
Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
(Al-Zamakhsyari)
A.
Pendahuluan
Al-Quran adalah kitab suci
agama Islam. Akan tetapi isi, kandungan, dan pesan yang ada di dalamnya bersifat
universal. Hal ini tentunya menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang
berbeda-beda, antara satu generasi dengan generasi yang berikutnya, kelompok
atau aliran yang satu dengan yang lain. Banyak faktor yang menimbulkan
perbedaan-perbedaan tersebut.
Al-Kasysyaf ’An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
adalah satu kitab karya al-Zamakhsyari yang di dalamnya memperlihatkan
kecenderungan perbedaan penafsiran antar kelompok atau aliran. Terkait cengan
hal itu, pemakalah ingin membahas tentang biografi al-Zamakhsyari dan seputar
kitabnya mulai dari kronologi mengarang kitab, contoh penafsiran,
pertentangannya dengan ahlu al-sunnah sampai penilaian ulama lain terhadap
kitabnya.
B.
Permasalahan
- Siapakah al-Zamakhsyari itu?
- Bagaimana kronologi al-Zamakhsyari mengarang al-Kasysyaf?
- Bagaimana metode dan corak penafsiran kitab al-Kasysyaf?
4.
Bagaimana Perhatian Penafsiran al-Zamakhsyari
Terhadap Aspek Balaghah dan Keutamaan al-Kasysyaf serta Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari?
- Bagaimana sikap al-Zamakhsyari terhadap riwayat israiliyyat dan pertentangannya dengan ahlu al-sunnah?
- Bagaimana Penilaian ulama lain terhadap kitab al-Kasysyaf?
C.
Pembahasan
1. Biografi al-Zamakhsyari
Nama aslinya Abu al-Qasim
Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari, seorang
imam besar di bidang tafsir, hadis, nahwu, lughat, dan ilmu bayan. tak bisa
dipungkiri bahwa dialah imam pada zamannya.[1]
Beliau lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizm.[2]
Al-Zamakhsyari memiliki cacat
fisik yakni kehilangan satu kakinya. Sewaktu ia bertemu paraahli fiqih madzhab
hanafi di Baghdad, ia ditanya “bagaimana kakinya bisa dipotong?” ia menjawab,
“Karena ‘sabdo’ ibuku. Sewaktu aku kecil aku pernah menangkap
seekor burung. Lalu kakinya aku ikat dengan tali dan aku pegangi tali itu.
Ternyata ia mencoba melawan. Lalu talinya ku tarik dan kakinya pun putus. Ibuku
begitu sedih melihatnya dan kemudian berkata ‘Allah sungguh akan memotong
kakimu sebagaimana kamu memotong kakinya!’. Suatu ketika saat usiaku menginjak
usia pelajar aku berangkat ke Bukhara. Di tengah perjalanan, aku terjatuh dari
kendaraan dan kakiku pun retak/patah dan mengharuskanku untuk memotongnya”.[3]
2. Kronologi
al-Zamakhsyari
mengarang kitab al-Kasysyaf
Dalam muqoddimah
kitabnya, al-Zamakhsyari menceritakan latar belakang dia mengarang kitab, dia
mengatakan: "Sesungguhnya aku telah melihat
saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan
dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan
ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang
ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan
seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu.
Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka
penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang
terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku
lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan
kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat
dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang,
mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan
yang panjang".[4]
Selanjutnya al-Zamakhsyari mengatakan bahwa dia
menyelesaikan mengarang kitab selama 3 tahun yaitu dimulai dari tahun 526 H
sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana
untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Dengan ungkapan lain beliau membutuhkan waktu sama dengan
kepemimpinan Abu Bakar dalam mengarang kitabnya.
3. Metode dan Corak Penafsiran
Dalam menafsirkan
al-Quran, al-Zamakhsyari lebih dahulu menuliskan ayat al-Quran yang akan
ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran
rasional yang didukung dengan dalil-dalil riwayat (hadits) atau ayat al-Quran, baik yang berhubungan dengan sabab
al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak
terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada
riwayat yang mendukung penafsirannya ia
akan mengambilnya, dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan
penafsirannya.
Jika diteliti
dengan cermat, maka nampaklah jelas bahwa metode yang digunakan al-Zamakhsyari
dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata-kata dan
kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap
aspek munasabah sesuai dengan tertib susunan surat-surat dalam mushaf Usmani.
Untuk membantu mengungkapkan makna ayat-ayat, ia juga menggunakan
riwayat-riwayat dari para sahabat dan para tabi’in, dan kemudian mengambil
konklusi dengan pandangan atau pemikirannya sendiri. Karena penafsirannya
berorientasi kepada rasio, maka tafsir ini bisa dikategorikan tafsir bi
al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql.[5]
Mengenai corak tafsir al-Kasysyaf, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Al-Zamakhsyari
terkenal sebagai seorang yang ahli bahasa Arab. Oleh karena itu tidak
mengherankan kalau bidang-bidang keahlian itu juga sangat mewarnai hasil
penafsirannya.
b.
Al-Zamakhsyari
adalah seorang teolog sekaligus seorang tokoh muktazilah, sehingga tafsir
tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus lagi corak muktazilah.[6]
4. Perhatian
Penafsiran al-Zamakhsyari Terhadap Aspek Balaghah dan Keutamaan al-Kasysyaf serta Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari
Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Quran sangat
memperhatikan aspek Balaghah, terbukti banyak ayat-ayat yang diurai dari segi
isti’arah, majaz dan bentuk-bentuk balaghah yang lain. Hal ini menunjukkkan bahwa beliau
sangat memerhatikan tafsirnya agar tersusun dengan gaya bahasa yang indah dan
runtut susunannya.
Kontibusi penafsiran
al-Zamakhsyari terhadap segi balaghah sangat besar sekali, terbukti para mufassirin
setelahnya juga banyak yag merujuk kepada penafsirannya dalam segi balaghah tak
terkecuali mufassir ahli as-sunnah. Di samping itu penafsirannya juga
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap negara Timur shingga bisa
melebihi negara Barat dalam segi balaghahnya. [7]
Sementara itu, keutamaan/nilai ilmu dari tafsir al-Kasysyaf adalah tafsir ini merupakan
tafsir bercorak muktazilah yang pertama, tidak ada satupun ulama sebelum
al-Zamakhsyari yang mampu membuka/menerangkan ayat-ayat yang masih global dalam
al-Quran dan menguak segi balaghohnya lebih-lebih yang berhubungan dengan segi
bahasa Arab dan syi’ir-syi’irnya. Keutamaan yang lain yaitu al-Kasysyaf mencakup
beberapa ilmu di antaranya: ilmu balaghoh, bayan, adab, dan i’rob sehingga
beberapa ulama sangat terkesima dan hatinya bergantung pada kitab ini.
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa bagi seorang yang
menafsirkan al-Quran harus paham lebih dahulu mengenai ilmu ma’ani dan bayan
sebelum mengetahui ilmu yang lain. Beliau sendiri menyertakan ilmu tersebut
dalam tafsirnya di samping menyertakan beberapa ilmu yang berfaidah, yang tidak
akan ditemukan kecuali dalam kitab ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila beliau memuji
terhadap karyanya sendiri dengan mengucapkan syi’ir:
Tafsir di dunia ini jumlahnya tidak
terhitung
Namun tidak ada yang seperti
al-Kasysyaf
Jika kamu menginginkan petunjuk maka
bacalah kitab ini
Bodoh itu ibarat penyakit dan
al-Kasysyaflah penawarnya.[8]
Apabila al-Zamakhsyari menemukan kontradiksi antara nash
al-Quran dengan prinsip-prinsip madzhabnya, maka beliau akan mengusahakan
penyesuaian antara keduanya, sekalipun untuk itu beliau harus melakukan
penyimpangan dan manipulasi. Ini adalah prinsip beliau. Prinsip ini dapat
disimpulkan sebagai berikut: apabila beliau menjumpai sebuah ayat yang
berlawanan dengan pandangan madzhabnya dan sebuah ayat lain yang pada lahirnya
menguatkan pandangan madzhabnya itu, maka beliau akan menyatakan bahwa ayat
yang pertama bersifat mutasyabih dan yang kedua muhkam, kemudian
mentolokukurkan ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat.
Mentolokukurkan ayat-ayat yang mutasyabihat kepada
ayat-ayat yang muhkamat memang merupakan prinsip yang shahih, sebagian ulama
Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah yang terkemuka juga melakukan prinsip ini. Namun al-Zamakhsyari pun menerapkan
prinsip ini pada ayat-ayat yang tidak sejalan dengan pandangan-pandangan
madzhabnya. Contohnya adalah ketika beliau dihadapkan pada firman Allah surat
al-A’raf ayat 28:
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا
وَجَدْنَا عَلَيْهَا آَبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:
"Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah
menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak
menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Dan juga firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat
16:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ
قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ
فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika kami hendak membinasakan suatu
negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian
kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Pada kedua ayat di atas, al-Zamakhsyari menerapkan prinsipnya
tersebut dan menetapkan bahwa ayat yang pertama adalah muhkam, sedangkan
yang kedua mutasyabih. Al-Zamakhsyari membela madzhabnya dengan segala kemampuan
penjelasnya dan melancarkan serangan-serangan permusuhan terhadap kaum Ahlu
as-Sunnah.[9]
Beliau sangat fanatik terhadap madzhabnya sendiri, hingga pada tingkat
kefanatikan yang dibenci. Beliau menyerukan sekeras-kerasnya agar mengambil
dari ayat-ayat al-Quran apa yang sesuai dengan kebenaran yang diyakini oleh
madzhabnya dan agar menta’wilkan setiap ayat al-Quran yang nampak bertentangan,
semisal ketika beliau menafsirkan al-Quran surat al-An’am ayat 158:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آَيَاتِ رَبِّكَ
لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آَمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ
فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu,
tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.
Katakanlah: "Tunggulah olehmu Sesungguhnya kamipun menunggu (pula)”.
Beliau berpegang pada ayat ini dan menjadikannya sebagai
dalil bagi salah satu pokok kepercayaan madzhabnya, yaitu al-manzilah baina
al-manzilatain. Dalam
tafsirnya beliau menafsirkan: “Apabila tanda-tanda kiamat itu telah datang,
maka lenyaplah segala ketenangan hati orang yang menghadapinya. Maka ketika itu
tidak ada gunanya iman seseorang bagi dirinya sendiri, jika sebelum datangnya
tanda-tanda tersebut ia tidak beriman atau ia beriman tapi tanpa melakukan
perbuatan yang baik dengan imannya itu. Maka seperti anda lihat, tidak ada
bedanya antara seorang kafir yang beriman setelah terlambat dan seorang yang
beriman pada waktunya, namun tidak melakukan perbuatan yang baik”.[10]
5. Sikap
al-Zamakhsyari terhadap Riwayat Israiliyyat dan Pertentangannya dengan Ahl al-Sunnah
Zamakhsyari cukup sedikit
mencantumkan kisah-kisa Israliyyat di dalam tafsirnya. Salah satu ciri khas
Zamakhsyari ketika menceritakan israliyyat ialah dengan menggunakan kata “ruwiya”
yang mana menunjukkan bahwa kisah itu lemah. Zamakhsyari dalam menanggapi
riwayat israiliyyat ada dua macam:
1) Menyerahkan kebenarannya kepada Allah swt,
biasanya ketika riwayat tersebut tidak ada persinggungannya dengan persoalan
agama.
2) Memberi peringatan tentang derajat riwayat
tersebut baik itu sahih ataupun dlaif, meskipun secara global.
Biasanya ketika riwayat tersebut ada persinggungannya dengan persoalan agama.[11]
Misalnya pada Ayat 35 surat an-Naml berikut ini:
وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ
يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
Dan Sesungguhnya Aku akan mengirim utusan kepada
mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa
kembali oleh utusan-utusan itu".
Zamakhsyari mencantumkan sebuah riwayat israilyyat di
bawah ini:
“Diceritakan bahwasanya Ratu Balqis 500 pemuda yang
memakai pakaian pelayan wanita, gelang, kalung, anting-anting, mengendairi kuda
berkenakan sutera, dengan kekang dan sadel dari emas bertatahkan permata, dan
500 pemudi di atas kuda dengan gaya berbusana layaknya pemuda, dan 1000 batu
bata dari emas dan perak, dan mahkota berhias mutiara, batu mulia, misik, dan
wadah berisi mutiara gadis dan wadah labu. Dia pula mengirim dua orang terbaik
dari kaumnya, yaitu al-Mundzir bin Amr, dan satunya orang yang pandai. Ratu
Balqis berkata, ‘Jika ia benar seorang Nabi tentu bisa membedakan mana pemuda
dan mana pemudi, mampu melubangi permata dengan seimbang, menyusupkan benang ke
tasbih.’ Dia berkata kepada al-Mundzir, ‘Jika ia menatapmu dengan tatapan yang
kurang menyenangkan, maka ia adalah raja, jadi, tidak menakutkan. Namun bila ia
menatapmu dengan tatapan yang lembut, maka ia adalah Nabi.’ Kemudian Hudhud
menghadap Nabi Sulaiman dan memberitahu beliau. Nabi Sulaiman lalu
memerintahkan jin membuat batu bata dari emas dan perak dan membentangkannya
jarak antara depan mata sampai 7 farsakh. Di sekelilingnya ada tanah
lapang yang berandanya dari emas dan perak, dan memerintahkan reptil-reptil
untuk berjajar di sisi kanan dan kiri tanah lapang tadi sehingga menyatukannya
dengan batu bata. Lalu keturunan jin dijajarkan di sisi kanan dan kiri bata
tersebut. Lalu setan-setan mengisi barisan 1 farsakh, manusia, hewan ternak,
hewan buas, hewan kecil, burung juga demikian. Saat delegasi Ratu Balqis sudah
dekat dan melihatnya, mereka terkejut. Mereka melihat hewan reptil membuang
kotoran. Mereka lalu menahan nafas dan melamparkan apa yang ada di sekitar
mereka. Ketika mereka sampai, Nabi Sulaiman menyambutnya dan bertanya, ‘Ada apa
di belakangmu? Dimana wadahmu tadi?’ Jibril sudah memberitahu isinya kepada
Nabi Sulaiman, beliau lalu berkata kepada mereka, ‘Di dalamnya ada begini dan
begini.’ Lalu beliau mengundang cacing kayu, ia mengambil sehelai rambut dan
rizkinya ditentukan di pohon. Dan ulat buah mengambil benang dengan mulutnya
dan ditentukan rizkinya di buah-buahan. Beliau mengambil air, lalu
pemudi-pemudi tadi mengambilnya dan mengusapkannya ke wajahnya, pemuda-pemuda
juga demikian. Kemudian beliau mengembalikan hadiahnya, dan berkata kepada
al-Mundzir, ‘Kembalilah!’ ketika sudah kembali, ratu balqis berkata, ‘Dia
memang benar seorang Nabi, kita tidak mungkin bisa mengalahkannya.’ Lalu ia memandangnya
dalam 12.000 qoil, setiap qoil ada 1000.”[12]
Al-Zamakhsyari adalah ulama yang begitu fanatik terhadap
paham Mu’tazilah. Saking fanatiknya, sampai-sampai ‘hampir’
- kalau tidak
dikatakan ‘memang’ - menganggap Sunni itu keluar dari rel Islam. Berikut adalah
argumen yang beliau paparkan dalam menafsirkan Ali Imran 3:18:
{شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ اله
إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ
اِله إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ}: "فإن قلت: ما المراد بـ
"أُولى العلم" الذين عظَّمهم هذا التعظيم، حيث جمعهم معه ومع الملائكة
فى الشهادة على وحدانيته وعدله؟ قلت: هم الذين يُثبتون وحدانيته وعدله بالحجج
والبراهين القاطعة، وهم علماء العدل والتوحيد - يريد أهل مذهبه - فإن قلت: ما
فائدة هذا التوكيد؟ - يعنى فى قوله: {إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ
الإِسْلاَمُ}..قلت: فائدته أن قوله: {لاَ اله إِلاَّ هُوَ} توحيد. وقوله:
{قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ} تعديل، فإذا أردفه قوله: {إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ
الإِسْلاَمُ} فقد آذن أن الإسلام هو العدل والتوحيد، وهو الدين عند الله، وما عداه
فليس عنده فى شئ من الدين. وفيه أن مَن ذهب إلى تشبيه أو ما يؤدى إليه كإجازة
الرؤية، أو ذهب إلى الجبر الذى هو محض الجَوْر، لم يكن على دين الله الذى هو
الإسلام. وهذا بيَّنٌ جَلِىٌ كما ترى".[13]
6. Penilaian Ulama
a.
Imam
Busykual
Setelah mengadakan penelitian terhadap dua tafsir,
yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir al-Zamakhsyari, Busykual berkesimpulan
bahwa: Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih
luas cakupannya dan lebih bersih. Sedang tafsir al-Zamakhsyari lebih ringkas
dan lebih mendalam. Hanya saja al-Zamakhsyari sering menggunakan kata-kata yang
sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca untuk
memahaminya, dan sering menyerang madzhab lain. Hal ini terjadi karena ia
berusaha membela madzhabnya, madzhab mu’tazilah. Semoga ia mendapat pengampunan
dari Allah swt.[14]
b.
Haidar
al-Harawi
Haidar al-harawi menilai bahwa
tafsir al-Kasysyaf merupakan kitab tafsir yang sangat tinggi nilainya.
Tafsir-tafsir sesudahnya, menurut Haidar, tiada satu pun yang dapat
menandinginya, baik dalam keindahan maupun kedalamannya. Kalaupun ada, maka
penyusunannya hanya mengutip apa adanya, tanpa mengubah sedikitpun baik susunan
kata maupun kalimatnya.
Tafsir al-Kasysyaf sangat
terkenal di berbagai negara dan menaburkan makna dan kandungan al-Quran dalam
setiap kalbu insan, bagaikan matahari di siang hari menyinari seluruh daratan
bahari. Namun bukan berarti bahwa al-Kasysyaf adalah sempurna tanpa kekurangan.
Menurut Haidar, kekurangan yang terdapat pada al-Kasysyaf antara lain:
1)
Sering
melakukan penyimpangan makna lafaz tanpa dipikirkan lebih mendalam; dan
menafsirkan ayat dengan panjang lebar, seakan-akan untuk menutupi kelemahannya,
serta penuh dengan pemikiran Mu’tazilah.
2)
Kurang
menghormati ulama lainnya, sehingga al-Razi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah
(5):54 menunjukkanya pada penyusun al-Kasysyaf, karena al-Zamakhsyari sering
melontarkan celaan kepada para ulama yang dicintai Allah swt.
3)
Terlalu
banyak menghadirkan syair-syair dan peribahasa yang penuh dengan kejenakaan,
yang jauh dari tuntunan syariat.
4)
Sering
menyebut Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dengan sebutan yang tidak sopan. Bahkan
kadang-kadang mengkafirkan mereka dengan sindiran. Ini adalah suatu perilaku
yang tidak layak disandang oleh ulama yang baik.[15]
c.
Ibn
khaldun
Ketika membahas pentingnya lughah, i’rab,
dan balaghah dalam memahami al-Quran, Ibn Khladun mengatakan bahwa di
antara tafsir yang baik dan paling mampu mengungkapkan makna al-Quran dengan
pendekatan bahasa dan balaghah, adalah tafsir al-Kasysyaf. Hanya saja
penyusunnya bermadzhab Mu’tazilah dalam masalah aqidah. Dengan balaghah, ia
membela madzhabnya dalam menafsirkan al-Quran. Karena itu, sebagian ulama
menentangnya dengan balaghah dalam pengertian Ahl al-Sunnah, bukan menurut
pengertian Mu’tazilah.[16]
d.
Al-Taj
al-Subuki
Beliau berpendapat dalam kitabnya “mu’id al-niam
wa mubid al-niqam”, yang dikutip oleh al-Dzahabi, bahwa al-Kasysyaf adalah
kitab yang bagus sekali. Pengarangnya pun memang ulama yang handal di
bidangnya, hanya saja ia adalah pembuat bid’ah yang eksploiter. Ia
banyak sekali merendahkan derajat kenabian, pun juga berperilaku kurang baik
terhadap ahl al-sunnah. Ini semua harus dikritisi. Syeikh Taqiyuddin al-Subki
(ayah dari syeikh al-Taj al-Subki) pernah membaca al-Kasyaf. Namun kemudian
berhenti ketika sampai surat al-Takwir ayat 19. Kemudian beliau berpaling dan
menulis di secarik kertas yang beliau namai “sebab berhenti membacakan
al-Kasyaf”. Dalam kertas tersebut, beliau menyatakan, “menurutku, pendapat
al-Zamakhsyari dalam menafisiri lafal “عفا الله عنك”, pendapat di surat
al-Tahrim, dan lain sebagainya itu termasuk perilaku yang tercela terhadap Rasulullah.
Karena itu aku berhenti membacakannya karena aku merasa malu terhadap
Rasulullah, meskipun termuat berbagi faedah-faedah dan goresan yang indah di
dalam kitab tersebut.[17]
e.
Muhammad
Husain al-Dzahabî
Ia berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab
tafsir yang paling lengkap menyingkap balaghah al-Quran. Karena
al-Zamakhsyari begitu kental dengan aliran mu’tazilah, maka ia cenderung kepada
ayat-ayat yang mendukung madzhabnya atau at least mentakwilnya agar
tidak saling kontradiksi. Namun, implikasi dari aliran mu’tazilahnya itu tidak
seberapa dibandingkan keobyektifitasannya dalam penafsiran. Oleh karena itu,
kita, sebagai sunni, tidak boleh “menutup mata” pada al-kasysyaf hanya karena
pengarangnya seorang mu’tazilah.[18]
f.
Mustafa
al-Sawi al-Juwaini
Fauzan Naif menuliskan pendapat Mustafa al-Sawi
al-Juwaini dalam bukunya “Studi Kitab Tafsir”. Mustafa mengatakan bahwa
al-Zamakhsyari adalah seorang ulama mu’tazilah yang sangat fanatik dalam
membela paham Mu’tazilah, sehingga penafsiran-penafsirannya sangat dipengaruhi
oleh prinsip-prinsip Mu’tazilah. Oleh karena itu, tafsirannya seakan-akan
merupakan pembelaan Madzhab Mu’tazilah.[19]
D.
Simpulan
Al-Zamakhsyari adalah seorang
ulama besar di bidang sastra dan sangat fanatik terhadap paham Mu’tazilah.
Beliau telah menelurkan sebuah kitab tafsir yang diberi nama “Al-Kasysyaf
‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil”. Kitab tersebut
mampu mengungkap rahasia-rahasia al-Quran dari segi sastranya. Meskipun begitu,
di dalamnya terdapat banyak sekali muatan paham Mu’tazilah. Bahkan karena
fanatiknya, beliau sampai menyebut golongan Ahl al-Sunnah dengan
sebutan yang tak layak (sesekali malah menganggap Ahl al-Sunnah sudah
keluar dari Islam).
Para ulama dan pemerhati
tafsir menilai kitab “Al-Kasysyaf” ini sebagai sebuah kitab tafsir yang banyak
memberi kontribusi bagi dunia tafsir itu sendiri. Sebuah kitab yang mampu
mengungkap keindahan al-Quran. Segi sastra adalah keunggulan kitab ini. Akan
tetapi, kitab ini menjadi kontroversial karena begitu kental akan paham-paham
Mu’tazilah, sebagaimana kita ketahui dari background Sang Mu’allif.
Daftar
Pustaka
Abu
al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, wafayat
al-A’yan wa Anba’ al-Zaman, Maktabah Shamela 3,42
Yaqut
al-Hamawi, mu’jam al-Baldan, Maktabah Shamela 3,42
Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa
al-Mufassirun, Maktabah Syamilah 3,42
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jilid IV
Fauzan Naif, Studi Kitab Tafsir
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran
Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka: Bandung
Ibn
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Maktabah Shamela 3,42
[1] Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin
Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman,
Maktabah Shamela 3,42, 5/168
[2] Yaqut al-Hamawi, mu’jam
al-Baldan, Maktabah Shamela 3,42, 2/399
[3] Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin
Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, Op. cit., 5/169-170
[5] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jilid
IV, hlm. 25.
[6] Fauzan
Naif, Studi Kitab Tafsir, Teras: Yogyakarta, 2004, hlm. 43
[7] Ibid, hlm. 108
[9] Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir,
Pustaka: Bandung, hlm. 117.
[13] Muhammad
Husain ad-Dzahabi, op. cit.,
4/117
[16] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,
Maktabah Shamela 3,42, h. 252
[17] Muhammad
Husain ad-Dzahabi, op. cit.,
4/107
[19] Fauzan Naif, op. cit., h. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar