Kamis, 02 Mei 2013

AL-KASYSYAF ‘AN HAQAIQ AL-TANZIL WA ‘UYUN AL-AQAWIL FI WUJUH AL-TA’WIL




Disusun oleh:
1.      Ahmad Saerozi  :  309052




 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
USHULUDDIN/TH
2011
Al-Kasysy
a
f ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
(Al-Zamakhsyari)

A.      Pendahuluan
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam. Akan tetapi isi, kandungan, dan pesan yang ada di dalamnya bersifat universal. Hal ini tentunya menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda, antara satu generasi dengan generasi yang berikutnya, kelompok atau aliran yang satu dengan yang lain. Banyak faktor yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut.
Al-Kasysyaf ’An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil adalah satu kitab karya al-Zamakhsyari yang di dalamnya memperlihatkan kecenderungan perbedaan penafsiran antar kelompok atau aliran. Terkait cengan hal itu, pemakalah ingin membahas tentang biografi al-Zamakhsyari dan seputar kitabnya mulai dari kronologi mengarang kitab, contoh penafsiran, pertentangannya dengan ahlu al-sunnah sampai penilaian ulama lain terhadap kitabnya.

B.       Permasalahan
  1. Siapakah al-Zamakhsyari itu?
  2. Bagaimana kronologi al-Zamakhsyari mengarang al-Kasysyaf?
  3. Bagaimana metode dan corak penafsiran kitab al-Kasysyaf?
4.      Bagaimana Perhatian Penafsiran al-Zamakhsyari Terhadap Aspek Balaghah dan Keutamaan al-Kasysyaf serta Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari?
  1. Bagaimana sikap al-Zamakhsyari terhadap riwayat israiliyyat dan pertentangannya dengan ahlu al-sunnah?
  2. Bagaimana Penilaian ulama lain terhadap kitab al-Kasysyaf?

C.      Pembahasan
1.      Biografi al-Zamakhsyari
Nama aslinya Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari, seorang imam besar di bidang tafsir, hadis, nahwu, lughat, dan ilmu bayan. tak bisa dipungkiri bahwa dialah imam pada zamannya.[1] Beliau lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizm.[2]
Al-Zamakhsyari memiliki cacat fisik yakni kehilangan satu kakinya. Sewaktu ia bertemu paraahli fiqih madzhab hanafi di Baghdad, ia ditanya “bagaimana kakinya bisa dipotong?” ia menjawab, “Karena ‘sabdo ibuku. Sewaktu aku kecil aku pernah menangkap seekor burung. Lalu kakinya aku ikat dengan tali dan aku pegangi tali itu. Ternyata ia mencoba melawan. Lalu talinya ku tarik dan kakinya pun putus. Ibuku begitu sedih melihatnya dan kemudian berkata ‘Allah sungguh akan memotong kakimu sebagaimana kamu memotong kakinya!’. Suatu ketika saat usiaku menginjak usia pelajar aku berangkat ke Bukhara. Di tengah perjalanan, aku terjatuh dari kendaraan dan kakiku pun retak/patah dan mengharuskanku untuk memotongnya”.[3]
2.      Kronologi al-Zamakhsyari mengarang kitab al-Kasysyaf
Dalam muqoddimah kitabnya, al-Zamakhsyari menceritakan latar belakang dia mengarang kitab, dia mengatakan: "Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya.  Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".[4]
Selanjutnya al-Zamakhsyari mengatakan bahwa dia menyelesaikan mengarang kitab selama 3 tahun yaitu dimulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Dengan ungkapan lain beliau membutuhkan waktu sama dengan kepemimpinan Abu Bakar dalam mengarang kitabnya.
3.      Metode dan Corak Penafsiran
Dalam menafsirkan al-Quran, al-Zamakhsyari lebih dahulu menuliskan ayat al-Quran yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil riwayat (hadits) atau ayat  al-Quran, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat  yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya, dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya.
Jika diteliti dengan cermat, maka nampaklah jelas bahwa metode yang digunakan al-Zamakhsyari dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap aspek munasabah sesuai dengan tertib susunan surat-surat dalam mushaf Usmani. Untuk membantu mengungkapkan makna ayat-ayat, ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari para sahabat dan para tabi’in, dan kemudian mengambil konklusi dengan pandangan atau pemikirannya sendiri. Karena penafsirannya berorientasi kepada rasio, maka tafsir ini bisa dikategorikan tafsir bi al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql.[5]
Mengenai corak tafsir al-Kasysyaf, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Al-Zamakhsyari terkenal sebagai seorang yang ahli bahasa Arab. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau bidang-bidang keahlian itu juga sangat mewarnai hasil penafsirannya.
b.      Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog sekaligus seorang tokoh muktazilah, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus lagi corak muktazilah.[6]
4.      Perhatian Penafsiran al-Zamakhsyari Terhadap Aspek Balaghah dan Keutamaan al-Kasysyaf serta Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari
Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Quran sangat memperhatikan aspek Balaghah, terbukti banyak ayat-ayat yang diurai dari segi isti’arah, majaz dan bentuk-bentuk balaghah yang lain. Hal ini menunjukkkan bahwa beliau sangat memerhatikan tafsirnya agar tersusun dengan gaya bahasa yang indah dan runtut susunannya.
Kontibusi penafsiran al-Zamakhsyari terhadap segi balaghah sangat besar sekali, terbukti para mufassirin setelahnya juga banyak yag merujuk kepada penafsirannya dalam segi balaghah tak terkecuali mufassir ahli as-sunnah. Di samping itu penafsirannya juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap negara Timur shingga bisa melebihi negara Barat dalam segi balaghahnya. [7]
Sementara itu, keutamaan/nilai ilmu dari tafsir al-Kasysyaf adalah tafsir ini merupakan tafsir bercorak muktazilah yang pertama, tidak ada satupun ulama sebelum al-Zamakhsyari yang mampu membuka/menerangkan ayat-ayat yang masih global dalam al-Quran dan menguak segi balaghohnya lebih-lebih yang berhubungan dengan segi bahasa Arab dan syi’ir-syi’irnya. Keutamaan yang lain yaitu al-Kasysyaf mencakup beberapa ilmu di antaranya: ilmu balaghoh, bayan, adab, dan i’rob sehingga beberapa ulama sangat terkesima dan hatinya bergantung pada kitab ini.
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa bagi seorang yang menafsirkan al-Quran harus paham lebih dahulu mengenai ilmu ma’ani dan bayan sebelum mengetahui ilmu yang lain. Beliau sendiri menyertakan ilmu tersebut dalam tafsirnya di samping menyertakan beberapa ilmu yang berfaidah, yang tidak akan ditemukan kecuali dalam kitab ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila beliau memuji terhadap karyanya sendiri dengan mengucapkan syi’ir:
Tafsir di dunia ini jumlahnya tidak terhitung
Namun tidak ada yang seperti al-Kasysyaf
Jika kamu menginginkan petunjuk maka bacalah kitab ini
Bodoh itu ibarat penyakit dan al-Kasysyaflah penawarnya.[8]

Apabila al-Zamakhsyari menemukan kontradiksi antara nash al-Quran dengan prinsip-prinsip madzhabnya, maka beliau akan mengusahakan penyesuaian antara keduanya, sekalipun untuk itu beliau harus melakukan penyimpangan dan manipulasi. Ini adalah prinsip beliau. Prinsip ini dapat disimpulkan sebagai berikut: apabila beliau menjumpai sebuah ayat yang berlawanan dengan pandangan madzhabnya dan sebuah ayat lain yang pada lahirnya menguatkan pandangan madzhabnya itu, maka beliau akan menyatakan bahwa ayat yang pertama bersifat mutasyabih dan yang kedua muhkam, kemudian mentolokukurkan ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat.
Mentolokukurkan ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat memang merupakan prinsip yang shahih, sebagian ulama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah yang terkemuka juga melakukan prinsip ini. Namun al-Zamakhsyari pun menerapkan prinsip ini pada ayat-ayat yang tidak sejalan dengan pandangan-pandangan madzhabnya. Contohnya adalah ketika beliau dihadapkan pada firman Allah surat al-A’raf ayat 28:
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آَبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Dan juga firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 16:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Pada kedua ayat di atas, al-Zamakhsyari menerapkan prinsipnya tersebut dan menetapkan bahwa ayat yang pertama adalah muhkam, sedangkan yang kedua mutasyabih. Al-Zamakhsyari membela madzhabnya dengan segala kemampuan penjelasnya dan melancarkan serangan-serangan permusuhan terhadap kaum Ahlu as-Sunnah.[9] Beliau sangat fanatik terhadap madzhabnya sendiri, hingga pada tingkat kefanatikan yang dibenci. Beliau menyerukan sekeras-kerasnya agar mengambil dari ayat-ayat al-Quran apa yang sesuai dengan kebenaran yang diyakini oleh madzhabnya dan agar menta’wilkan setiap ayat al-Quran yang nampak bertentangan, semisal ketika beliau menafsirkan al-Quran surat al-An’am ayat 158:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آَيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آَمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu Sesungguhnya kamipun menunggu (pula)”.
Beliau berpegang pada ayat ini dan menjadikannya sebagai dalil bagi salah satu pokok kepercayaan madzhabnya, yaitu al-manzilah baina al-manzilatain. Dalam tafsirnya beliau menafsirkan: “Apabila tanda-tanda kiamat itu telah datang, maka lenyaplah segala ketenangan hati orang yang menghadapinya. Maka ketika itu tidak ada gunanya iman seseorang bagi dirinya sendiri, jika sebelum datangnya tanda-tanda tersebut ia tidak beriman atau ia beriman tapi tanpa melakukan perbuatan yang baik dengan imannya itu. Maka seperti anda lihat, tidak ada bedanya antara seorang kafir yang beriman setelah terlambat dan seorang yang beriman pada waktunya, namun tidak melakukan perbuatan yang baik”.[10]
5.      Sikap al-Zamakhsyari terhadap Riwayat Israiliyyat dan Pertentangannya dengan Ahl al-Sunnah
Zamakhsyari cukup sedikit mencantumkan kisah-kisa Israliyyat di dalam tafsirnya. Salah satu ciri khas Zamakhsyari ketika menceritakan israliyyat ialah dengan menggunakan kata “ruwiya” yang mana menunjukkan bahwa kisah itu lemah. Zamakhsyari dalam menanggapi riwayat israiliyyat ada dua macam:
1)      Menyerahkan kebenarannya kepada Allah swt, biasanya ketika riwayat tersebut tidak ada persinggungannya dengan persoalan agama.
2)      Memberi peringatan tentang derajat riwayat tersebut baik itu sahih ataupun dlaif, meskipun secara global. Biasanya ketika riwayat tersebut ada persinggungannya dengan persoalan agama.[11]
Misalnya pada Ayat 35 surat an-Naml berikut ini:
وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
Dan Sesungguhnya Aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu".

Zamakhsyari mencantumkan sebuah riwayat israilyyat di bawah ini:
“Diceritakan bahwasanya Ratu Balqis 500 pemuda yang memakai pakaian pelayan wanita, gelang, kalung, anting-anting, mengendairi kuda berkenakan sutera, dengan kekang dan sadel dari emas bertatahkan permata, dan 500 pemudi di atas kuda dengan gaya berbusana layaknya pemuda, dan 1000 batu bata dari emas dan perak, dan mahkota berhias mutiara, batu mulia, misik, dan wadah berisi mutiara gadis dan wadah labu. Dia pula mengirim dua orang terbaik dari kaumnya, yaitu al-Mundzir bin Amr, dan satunya orang yang pandai. Ratu Balqis berkata, ‘Jika ia benar seorang Nabi tentu bisa membedakan mana pemuda dan mana pemudi, mampu melubangi permata dengan seimbang, menyusupkan benang ke tasbih.’ Dia berkata kepada al-Mundzir, ‘Jika ia menatapmu dengan tatapan yang kurang menyenangkan, maka ia adalah raja, jadi, tidak menakutkan. Namun bila ia menatapmu dengan tatapan yang lembut, maka ia adalah Nabi.’ Kemudian Hudhud menghadap Nabi Sulaiman dan memberitahu beliau. Nabi Sulaiman lalu memerintahkan jin membuat batu bata dari emas dan perak dan membentangkannya jarak antara depan mata sampai 7 farsakh. Di sekelilingnya ada tanah lapang yang berandanya dari emas dan perak, dan memerintahkan reptil-reptil untuk berjajar di sisi kanan dan kiri tanah lapang tadi sehingga menyatukannya dengan batu bata. Lalu keturunan jin dijajarkan di sisi kanan dan kiri bata tersebut. Lalu setan-setan mengisi barisan 1 farsakh, manusia, hewan ternak, hewan buas, hewan kecil, burung juga demikian. Saat delegasi Ratu Balqis sudah dekat dan melihatnya, mereka terkejut. Mereka melihat hewan reptil membuang kotoran. Mereka lalu menahan nafas dan melamparkan apa yang ada di sekitar mereka. Ketika mereka sampai, Nabi Sulaiman menyambutnya dan bertanya, ‘Ada apa di belakangmu? Dimana wadahmu tadi?’ Jibril sudah memberitahu isinya kepada Nabi Sulaiman, beliau lalu berkata kepada mereka, ‘Di dalamnya ada begini dan begini.’ Lalu beliau mengundang cacing kayu, ia mengambil sehelai rambut dan rizkinya ditentukan di pohon. Dan ulat buah mengambil benang dengan mulutnya dan ditentukan rizkinya di buah-buahan. Beliau mengambil air, lalu pemudi-pemudi tadi mengambilnya dan mengusapkannya ke wajahnya, pemuda-pemuda juga demikian. Kemudian beliau mengembalikan hadiahnya, dan berkata kepada al-Mundzir, ‘Kembalilah!’ ketika sudah kembali, ratu balqis berkata, ‘Dia memang benar seorang Nabi, kita tidak mungkin bisa mengalahkannya.’ Lalu ia memandangnya dalam 12.000 qoil, setiap qoil ada 1000.”[12]
Al-Zamakhsyari adalah ulama yang begitu fanatik terhadap paham Mu’tazilah. Saking fanatiknya, sampai-sampai ‘hampir’ - kalau tidak dikatakan ‘memang’ - menganggap Sunni itu keluar dari rel Islam. Berikut adalah argumen yang beliau paparkan dalam menafsirkan Ali Imran 3:18:
{شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ اله إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ اِله إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ}: "فإن قلت: ما المراد بـ "أُولى العلم" الذين عظَّمهم هذا التعظيم، حيث جمعهم معه ومع الملائكة فى الشهادة على وحدانيته وعدله؟ قلت: هم الذين يُثبتون وحدانيته وعدله بالحجج والبراهين القاطعة، وهم علماء العدل والتوحيد - يريد أهل مذهبه - فإن قلت: ما فائدة هذا التوكيد؟ - يعنى فى قوله: {إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ}..قلت: فائدته أن قوله: {لاَ اله إِلاَّ هُوَ} توحيد. وقوله: {قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ} تعديل، فإذا أردفه قوله: {إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ} فقد آذن أن الإسلام هو العدل والتوحيد، وهو الدين عند الله، وما عداه فليس عنده فى شئ من الدين. وفيه أن مَن ذهب إلى تشبيه أو ما يؤدى إليه كإجازة الرؤية، أو ذهب إلى الجبر الذى هو محض الجَوْر، لم يكن على دين الله الذى هو الإسلام. وهذا بيَّنٌ جَلِىٌ كما ترى".[13]
6.      Penilaian Ulama
a.       Imam Busykual
Setelah mengadakan penelitian terhadap dua tafsir, yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir al-Zamakhsyari, Busykual berkesimpulan bahwa: Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedang tafsir al-Zamakhsyari lebih ringkas dan lebih mendalam. Hanya saja al-Zamakhsyari sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca untuk memahaminya, dan sering menyerang madzhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab mu’tazilah. Semoga ia mendapat pengampunan dari Allah swt.[14]
b.      Haidar al-Harawi
Haidar al-harawi menilai bahwa tafsir al-Kasysyaf merupakan kitab tafsir yang sangat tinggi nilainya. Tafsir-tafsir sesudahnya, menurut Haidar, tiada satu pun yang dapat menandinginya, baik dalam keindahan maupun kedalamannya. Kalaupun ada, maka penyusunannya hanya mengutip apa adanya, tanpa mengubah sedikitpun baik susunan kata maupun kalimatnya.
Tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal di berbagai negara dan menaburkan makna dan kandungan al-Quran dalam setiap kalbu insan, bagaikan matahari di siang hari menyinari seluruh daratan bahari. Namun bukan berarti bahwa al-Kasysyaf adalah sempurna tanpa kekurangan. Menurut Haidar, kekurangan yang terdapat pada al-Kasysyaf antara lain:
1)        Sering melakukan penyimpangan makna lafaz tanpa dipikirkan lebih mendalam; dan menafsirkan ayat dengan panjang lebar, seakan-akan untuk menutupi kelemahannya, serta penuh dengan pemikiran Mu’tazilah.
2)        Kurang menghormati ulama lainnya, sehingga al-Razi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah (5):54 menunjukkanya pada penyusun al-Kasysyaf, karena al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama yang dicintai Allah swt.
3)        Terlalu banyak menghadirkan syair-syair dan peribahasa yang penuh dengan kejenakaan, yang jauh dari tuntunan syariat.
4)        Sering menyebut Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dengan sebutan yang tidak sopan. Bahkan kadang-kadang mengkafirkan mereka dengan sindiran. Ini adalah suatu perilaku yang tidak layak disandang oleh ulama yang baik.[15]
c.       Ibn khaldun
Ketika membahas pentingnya lughah, i’rab, dan balaghah dalam memahami al-Quran, Ibn Khladun mengatakan bahwa di antara tafsir yang baik dan paling mampu mengungkapkan makna al-Quran dengan pendekatan bahasa dan balaghah, adalah tafsir al-Kasysyaf. Hanya saja penyusunnya bermadzhab Mu’tazilah dalam masalah aqidah. Dengan balaghah, ia membela madzhabnya dalam menafsirkan al-Quran. Karena itu, sebagian ulama menentangnya dengan balaghah dalam pengertian Ahl al-Sunnah, bukan menurut pengertian Mu’tazilah.[16]
d.      Al-Taj al-Subuki
Beliau berpendapat dalam kitabnya “mu’id al-niam wa mubid al-niqam”, yang dikutip oleh al-Dzahabi, bahwa al-Kasysyaf adalah kitab yang bagus sekali. Pengarangnya pun memang ulama yang handal di bidangnya, hanya saja ia adalah pembuat bid’ah yang eksploiter. Ia banyak sekali merendahkan derajat kenabian, pun juga berperilaku kurang baik terhadap ahl al-sunnah. Ini semua harus dikritisi. Syeikh Taqiyuddin al-Subki (ayah dari syeikh al-Taj al-Subki) pernah membaca al-Kasyaf. Namun kemudian berhenti ketika sampai surat al-Takwir ayat 19. Kemudian beliau berpaling dan menulis di secarik kertas yang beliau namai “sebab berhenti membacakan al-Kasyaf”. Dalam kertas tersebut, beliau menyatakan, “menurutku, pendapat al-Zamakhsyari dalam menafisiri lafal “عفا الله عنك”, pendapat di surat al-Tahrim, dan lain sebagainya itu termasuk perilaku yang tercela terhadap Rasulullah. Karena itu aku berhenti membacakannya karena aku merasa malu terhadap Rasulullah, meskipun termuat berbagi faedah-faedah dan goresan yang indah di dalam kitab tersebut.[17]
e.       Muhammad Husain al-Dzahabî
Ia berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang paling lengkap menyingkap balaghah al-Quran. Karena al-Zamakhsyari begitu kental dengan aliran mu’tazilah, maka ia cenderung kepada ayat-ayat yang mendukung madzhabnya atau at least mentakwilnya agar tidak saling kontradiksi. Namun, implikasi dari aliran mu’tazilahnya itu tidak seberapa dibandingkan keobyektifitasannya dalam penafsiran. Oleh karena itu, kita, sebagai sunni, tidak boleh “menutup mata” pada al-kasysyaf hanya karena pengarangnya seorang mu’tazilah.[18]
f.       Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Fauzan Naif menuliskan pendapat Mustafa al-Sawi al-Juwaini dalam bukunya “Studi Kitab Tafsir”. Mustafa mengatakan bahwa al-Zamakhsyari adalah seorang ulama mu’tazilah yang sangat fanatik dalam membela paham Mu’tazilah, sehingga penafsiran-penafsirannya sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Mu’tazilah. Oleh karena itu, tafsirannya seakan-akan merupakan pembelaan Madzhab Mu’tazilah.[19]

D.      Simpulan
Al-Zamakhsyari adalah seorang ulama besar di bidang sastra dan sangat fanatik terhadap paham Mu’tazilah. Beliau telah menelurkan sebuah kitab tafsir yang diberi nama “Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil”. Kitab tersebut mampu mengungkap rahasia-rahasia al-Quran dari segi sastranya. Meskipun begitu, di dalamnya terdapat banyak sekali muatan paham Mu’tazilah. Bahkan karena fanatiknya, beliau sampai menyebut golongan Ahl al-Sunnah dengan sebutan yang tak layak (sesekali malah menganggap Ahl al-Sunnah sudah keluar dari Islam).
Para ulama dan pemerhati tafsir menilai kitab “Al-Kasysyaf” ini sebagai sebuah kitab tafsir yang banyak memberi kontribusi bagi dunia tafsir itu sendiri. Sebuah kitab yang mampu mengungkap keindahan al-Quran. Segi sastra adalah keunggulan kitab ini. Akan tetapi, kitab ini menjadi kontroversial karena begitu kental akan paham-paham Mu’tazilah, sebagaimana kita ketahui dari background Sang Mu’allif.

Daftar Pustaka
Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman, Maktabah Shamela 3,42
Yaqut al-Hamawi, mu’jam al-Baldan, Maktabah Shamela 3,42
Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Syamilah 3,42
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jilid IV
Fauzan Naif, Studi Kitab Tafsir
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka: Bandung
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Maktabah Shamela 3,42


[1] Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman, Maktabah Shamela 3,42, 5/168
[2] Yaqut al-Hamawi, mu’jam al-Baldan, Maktabah Shamela 3,42, 2/399
[3] Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, Op. cit., 5/169-170
[4] Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Syamilah 3,42, j. 4 hlm. 104
[5] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jilid IV, hlm. 25.
[6] Fauzan Naif, Studi Kitab Tafsir, Teras: Yogyakarta, 2004, hlm. 43
[7]  Ibid, hlm. 108
[8] Muhammad Husain ad-Dzahabi, Op. cit., hlm. 105.
[9] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka: Bandung, hlm. 117.
[10] Az-Zamakhsyari, Op.Cit, Juz 2, hlm. 194.
[11]  Muhammad Husain ad-Dzahabi, Op. cit., hlm. 121.
[12]  Az-Zamakhsyari, Op.Cit, Juz 5, hlm. 79.
[13] Muhammad Husain ad-Dzahabi, op. cit., 4/117
[14] Ibid., 4/105
[15] Ibid., 4/106
[16] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Maktabah Shamela 3,42, h. 252
[17] Muhammad Husain ad-Dzahabi, op. cit., 4/107
[18] Ibid., 4/108
[19] Fauzan Naif, op. cit., h. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar