Kamis, 02 Mei 2013

Metode Memahami Hadits terhadap Isu-isu Aktual dan Kontemporer



Metode Memahami Hadits terhadap Isu-isu Aktual dan Kontemporer
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Ma’anil Hadits
Dosen Pengampu : Bapak H. Ahmad Atabik, Lc, M.A.



Disusun Oleh:

Ahmad Saerozi          NIM: 309052
Sriyanto                                 NIM: 309047





                                                           

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURUSAN USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADIS
KUDUS
2011
Metode Memahami Hadits terhadap Isu-isu Aktual dan Kontemporer
A.    Pendahuluan
Aktivitas memahami hadits sesungguhnya sudah muncul sejak kehadiran Nabi Muhammad Saw, terutama sejak beliau diangkat menjadi rasul dan dijadikan panutan para sahabat. Dengan kemahiran bahasa Arab yang dimiliki para sahabat dan intensitas pergaulan mereka dengan Nabi, secara umum mereka bisa langsung mrnangkap maksud dari sabda-sabda yang disampaikan oleh Nabi. Ketika ada kesulitan para sahabat langsung melakukan konfirmasi dan menanyakan kepada Nabi.
Problem memahami hadits muncul semakin kompleks ketika Islam mulai tersebar di berbagai daerah non-Arab. Mereka yang tidak mengetahui dengan baik tentang stilistika bahasa Arab yang dipakai Nabi, jelas akan menemui kesulitan dalam memahami sebagian hadits-hadits Nabi. Belum lagi paradigm dan asumsi dasar yang dipakai dalam memandang sosok Nabi Muhammad Saw, seperti teori al-Qorofi yang membedakan kedudukan Nabi Saw apakah beliau sebagai rasul atau sebagai mufti, atau sebagai pemimpin perang atau sebagai manusia biasa.[1]
Kajian dan telaah secara konprehensif sangat diperlukan dalam konteks memahami dan menangkap maksud kandungan sebuah hadits. Aspek lain di luar teks ikut menentukan hasil pembacaan terhadap makna hadits. Jika seseorang ingin memahami secara mendalam dan memperoleh maksud yang tepat terhadap perkataan orang, maka ia harus melihat situasi dan konteks pembicaraan pada orang yang mengatakan dan untuk siapa pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, kalau pemahaman terhadap perkataan orang hanya terpaku pada bunyi teks tanpa memperhatikan keadaan, maka dipastikan pemahamannya akan terjebak dalam kesesatan dan salah paham terhadap kandungan makna pesannya.
Seiring dengan perkembangann zaman, ditambah lagi dengan banyaknya cendekiawan muslim di abad kontemporer masa kini, mereka membuat metode untuk memahami hadits terhadap isu-isu yang santer beredar di saat ini. Lalu metode apa saja yang digunakan cendekiawan kontemporer untuk memahami ma’ani al-hadits? Bagaimana memahami ide dasar hadits? Bagaimana prosedur membedakan hadits yang tekstual dan kontekstual?

B.     Permasalahan
1.      Apa kaidah dan metode yang digunakan para cendekiawan kontemporer dalam memahami hadits terhadap isu-isu aktual?
2.      Bagaimana memahami ide dasar hadits?
3.      Bagaimana prosedur membedakan hadits yang tekstual dan tekstual?

C.    Pembahasan
1.      Kaidah dan Metode yang digunakan dalam Memahami Hadits
Tatkala seorang muslim berhadapan dengan hadits-hadits Rasul dan bermaksud menjadikannya sebagai landasan peribadahan kepada Allah, sebelum mengamalkannya dia berkewajiban memahami beberapa hal, yang sejatinya merupakan aturan dalam memahami sunnah dan mengamalkannya; agar pemahaman dia benar dan tepat. Di antara kaidah tersebut antara lain:
a.       Memahai Hadits berdasarkan al-Quran
Hadits nabawi merupakan landasan kedua dalam syari'at Islam. Posisinya adalah penjabar dan penjelas dari apa yang ada dalam Kitabullah. Sebab itu, tidak mungkin akan ada kontradiksi antara penjabar dan yang dijabarkannya. Andaikan ada sesuatu yang terlihat saling bertentangan, maka bisa jadi dikarenakan haditsnya lemah atau bersumber dari kekurangpahaman kita akan hadits tersebut.
Di antara contoh terjelas yang menunjukkan bahwa hadits lemah atau palsulah yang bertentangan dengan al-Qur'an, bukan hadits sahih, adalah kisah ghoroniq (berhala-berhala). Konon diriwayatkan bahwa tatkala Nabi  membaca firman Allah: أفرأيتم اللات والعزى ومناة الثالثة الأخرى  
Apakah patut kalian (kaum musyrikin) menganggap (berhala) Lata, Uzza, dan yang ketiga; Manat (sebagai anak perempuan Allah?).
            Setelah ayat tersebut dibaca Nabi, syaitan menggerakkan lisan Nabi untuk mengucapkan تلك الغرانيق العُلى وإنْ شفاعتهم لترجى (inilah dewa-dewa yang mulya, dan syafaaatnya akan di harapkan), ketika syetan menggerakkan lisan nabi untuk mengucapkan kalimat ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Abdissalam Nabi dalam keadaan mengantuk, atau Nabi tidak sadar mengucapkan kalimat tersebut, atau yang mengucapkan kalimat tersebut orang munafik tapi disangka perkataan Nabi.[2] Tidak diragukan lagi bahwa hadits di atas adalah batil, sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Khuzaimah: "Hadits ini merupakan karangan orang-orang zindiq.
b.      Menghimpun Hadits-hadits yang berbicara tentang suatu permasalahan yang sama di suatu tempat.
Mengumpulkan hadits-hadits shahih yang membahas suatu permasalahan yang sama merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin memahami sunnah dengan benar. Agar hadits yang isinya masih global bisa dirinci hadits yang lain, hadits yang masih kurang jelas bisa dijabarkan hadits lain, sehingga jelaslah maknanya dan tidak saling dipertentangkan. Sebagaimana telah maklum bahwa hadits merupakan penjelas dari al-Quran, begitu pula hadits-hadits Nabi saling menjelaskan satu sama lainnya.[3]
Andaikan hal tersebut tidak dilakukan, peluang untuk keliru dalam memahami sunnah Nabi akan terbuka lebar. Contohnya: Hadits Abu Umamah tatkala melihat cangkul, beliau berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
لَا يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ
"Tidaklah alat ini masuk ke rumah suatu kaum; melainkan Allah akan menimpakan kehinaan ke dalamnya."[4]
Zhohir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi membenci pertanian dan cocok tanam. Namun, andaikan seseorang mengumpulkan keseluruhan hadits yang berbicara tentang pertanian; niscaya ia akan mendapatkan bahwa dalam hadits lain, ternyata Nabi memperbolehkannya, bahkan memotivasi umatnya untuk bercocok tanam. Semisal sabda beliau:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
"Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau bercocok tanam, lalu ada burung, manusia atau hewan yang memakan buahnya; niscaya itu dianggap sebagai suatu shodaqoh (yang pahalanya akan mengalir) untuknya." [5]
Hadits terakhir ini amat jelas memotivasi kita untuk bercocok tanam dan  bertani. Lalu bagaimanakah para ulama memadukan antara dua hadits di atas yang zhohirnya saling kontradiksi? Bagaimana pula pemahaman yang benar dalam masalah ini?
Ibnu Hajar menagatakan: Imam Bukhori berusaha mengisyaratkan bagaimana cara memadukan antara hadits Abu Umamah dengan hadits yang berisi motivasi untuk bercocok tanam. Caranya ada dua: (1) Maksud hadits larangan adalah untuk mereka yang menyibukkan diri dengan pertanian. (2) Jika pertanian tidak sampai melalaikan dari kewajiban-kewajiban agama; maka maksudnya adalah: mereka yang melampaui batas.
c.       Memadukan antara hadits-hadits yang lahirnya bertentangan atau menguatkan salah satunya.
Para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil yang lahiriahnya saling bertentangan, lalu mereka membantah adanya kontradiksi tersebut, dengan cara memadukan antara dalil-dalil tersebut atau menguatkan salah satunya, tanpa adanya unsur pemaksaan makna. Di antara hadits-hadits yang zhohirnya saling bertentangan: hadits yang berisikan larangan menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil dan hadits yang memperbolehkannya.
Di antara cara yang ditempuh para ulama untuk memadukan antara dua hadits di atas adalah dengan mengatakan bahwa yang terlarang jika dilakukan di tempat terbuka, adapun jika di tempat yang tertutup maka dipebolehkan.[6]
d.      Memahami hadits sesuai dengan pemahaman para sahabat
Aturan ini merupakan salah satu aturan terpenting, karena inilah jalan yang mengantarkan seorang muslim menuju pengamalan sunnah yang benar tanpa tambahan atau pun pengurangan. Metode terbaik dalam menjabarkan hadits adalah dengan sesama hadits, lalu dengan perkataan para sahabat Nabi sebab mereka menyaksikan langsung turunnya wahyu. Andaikan ada kekeliruan dalam memahami hadits nabawi, niscaya Malaikat Jibril akan turun kepada Nabi guna membenarkan kekeliruan tersebut. Karena itulah, para pakar hadits mengategorikan perkataan sahabat: "Pada zaman Rasulullah kami memandang ini atau itu" sebagai suatu hadits. Sebagaimana dijelaskan al-Hafizh al-Iraqi.
Andaikan orang-orang bersilang pendapat dalam memahami suatu hadits, maka pemahaman yang paling berhak dikedepankan adalah pemahaman para sahabat. Contohnya: permasalahan menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar dan kecil. Kita telah menyampaikan salah satu pendapat terkuat dalam masalah ini di pembahasan aturan ketiga. Di antara yang menguatkan pendapat tersebut: perkataan salah satu sahabat, Ibnu Umar "Perbuatan tersebut terlarang jika dilakukan di alam terbuka, namun jika ada sesuatu yang menghalangi antara dirimu dengan kiblat maka tidak masalah”.[7]
Hadits tidak bisa diaplikasikan secara langsung tanpa dukungan ilmu lain. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa metode yang digunakan untuk memahami sebuah hadits, Abdul Mustaqim mengatakan untuk memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui metode-metode yang digunakan, di antaranya:
a.       Ilmu Asbabul Wurud
Ilmu ini sangat penting untuk memahami sebuah hadit, sehingga Syekh Mahfudz at-Tirmisi menyatakan: “Memahami sebab turunnya hadits merupakan cara yang kuat untuk memahami hadits”. Di antara pentingnya ilmu asbabul wurud adalah untuk menjelaskan makna hadits, di samping itu, untuk menjelaskan aspek hikmah di balik pensyariatan suatu hukum.
b.       Ilmu Tawarikh al-Mutun
Ilmu ini adalah ilmu yang mengkaji tentang sejarah matan hadits. Termasuk dalam konteks  ilmu tawarikh al-mutun sebenarnya perlu dikembangkan teori kategori hadits-hadits makkiyah dan madaniyyah, sebab boleh jadi masing-masing redaksi akan memiliki kekhasan redaksional maupun isi kandungannya. Di samping itu, pengetahuan hadits makkiyyah dan madaniyyah juga akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syariat Islam.
c.       Ilmu al-Lughah
Ilmu lughah dengan berbagai cabangnya jelas sangat penting, sebab teks-teks hadits itu menggunakan bahasa Arab, sementara bahasa itu memiliki unsur dan aspeks-aspeks yang sangat kompleks, sehingga jelas bahwa dalam memahami sebuah hadits harus bisa ilmu bahasa Arab secara memadai.[8]
d.      Hermeneutik
Hermeneutika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, hermenia yang disetarakan dengan exegesis, penafsiran atau hermeneuin yang berarti menafsirkan. Sedangkan, secara terminology berarti penafsiran terhadap teks tertulis yang memiliki waktu yang panjang dengan audiensinya.
Hermeneutika terhadap teks hadits menuntut diperlakukannya teks hadits sebagai produk lama dapat berbicara secara komunikatif . dengan demikian dengan pendekatan ini tidak menafikan kedinamisan masyarakat serta tidak menafikan keberadaan teks-teks hadits sebagai produk masa lalu. Oleh karenanya, upaya mempertemukan horison masa lalu dan horizon masa kini dengan dialog triadic diharapkan dapat melahirkan wacana pemahaman yang lebih bermakna dan fungsional bagi manusia. Hermeneutika dapat dilihat dari berbagai pendekatan, di antaranya:
1)      Menekankan pada gramatik bahasa
Penelitian matan hadits ditinjau dari sudut pendekatan bahasa mencakup dua hal. Pertama, penelitian terhadap keaslian kata ditinjau dari sudut dikenal tidaknya kata itu pada kurun masa kenabian dan sahabat. Kedua, ketepatan kata yang digunakan oleh periwayat yang meyakinkan sesuai dengan kejadian di masa Nabi.
2)      Pendekatan konteks historis
Pendekatan ini dilakukan sebagai satu usaha dalam mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadits dimunculkan. Pendekatan semacam ini telah diperkenalkan oleh ulama hadits sejak dahulu dengan nama ilmu asbabul wurud.
3)      Pendekatan sosiologis dan antropologis
Pendekatan sosiologis menyoroti sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan antropologis adalah analisa yang dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku dalam sebuah tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan manusia.
4)      Pendekatan falsafi
Pendekatan ini berdasarkan logika dan rasio. Model ini dikembangkan oleh ulama yang menolak hadits yang bertentangan dengan akal.[9]
2.      Memahami Ide Dasar Hadits
Memahami sunnah Nabi dari teks-teks hadits Nabi secara tekstual an-sich merupakan sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, karena konsistensi merealisasikan semua itu mustahil untuk dilakukan. Dalam beberapa hal, misalnya; bahasa, makanan, tradisi persusuan, alat transportasi haruskah berkendaraan unta dan meninggalkan segala kemudahan fasilitas transportasi modern?
Apa kita tidak diperkenankan mempergunakan fasilitas komputer, internet, televisi, hand phone, karena semua itu tidak ada pada Nabi dan tidak dilakukan Nabi? Bagaimanapun juga, umat Islam yang tersebar di berbagai belahan bumi memiliki perbedaan kultur, kondisi, geografis, dan geologis. Perkembangan zaman dan perkembangan IPTEK menuntut solusi terhadap berbagai problema yang bersinggungan maupun tidak disinggung oleh teks-teks hadits.
Tawaran ibadah adalah wilayah tekstual dan mu’amalah adalah kontekstual, sebagaimana yang dipegangi para ulama belum memberikan batasan yang tegas masing-masing wilayah tersebut, karena dalam dataran realitas semua aspek kehidupan terkait dan bisa dikaitkan dengan ibadah begitu juga sebaliknya.[10]
3.      Prosedur Membedakan Tekstual dan Kontekstual
Beberapa tawaran dari para pemikir Islam kontemporer sangat membantu untuk membedakan wilayah tekstual-kontekstual, di antara mereka adalah:
a.       Abdullah Ahmad an-Na’im yang merunut pandangan sang guru Mahmud Taha dengan konsep makkiyyah-madaniyyahnya.
b.      Syuhudi Ismail dengan tekstual dan kontekstualnya.
c.       Yusuf al-Qardhawi dengan ghayah dan washilahnya.
d.      Fazlur Rahman dengan ide moral-nilai legisnya.
e.       Asghar Ali Engineer denga sosio-teologis dengan dialektika normative historis.
f.       Masdar F. Mas’udi dengan qath’iy zhanninya.
Dengan mensistesakan berbagai pandangan yang mengemuka, batasan wilayah tekstual/normatif dan historis/kontekstual dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Tekstual, mencakup:
1)      Menyangkut ide moral/ide dasar/tujuan (makna di balik teks).
2)      Bersifat absolute, prinsipil, universal, fundamental.
3)      Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bi al-ma’ruf.
b.      Kontekstual, mencakup:
1)      Menyangkut sarana/bentuk (yang tertuang secara tekstual).
2)      Mengatur hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis.
3)      Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya.
4)      Terkait persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan teknologi.
5)      Kontradiktif secara tekstual.
6)      Menganalisa pemahaman teks-teks hadits dengan teori sosial/politik/ekonomi/sains terkait.[11]
D.    Simpulan
Kaidah dan Metode yang digunakan dalam Memahami Hadits meliputi: memahai hadits berdasarkan al-Quran, menghimpun Hadits-hadits yang berbicara tentang suatu permasalahan yang sama di suatu tempat, memadukan antara hadits-hadits yang lahirnya bertentangan atau menguatkan salah satunya. memahami hadits sesuai dengan pemahaman para sahabat,
Abdul Mustaqim mengatakan untuk memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui metode-metode yang digunakan, di antaranya: ilmu Asbabul Wurud, ilmu Tawarikh al-Mutun, ilmu lughah, dan hermeneutika.
Batasan wilayah tekstual/normatif dan historis/kontekstual dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Tekstual, mencakup: Menyangkut ide moral/ide dasar/tujuan (makna di balik teks), bersifat absolut, prinsipil, universal, fundamental, mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bi al-ma’ruf.
b.      Kontekstual, mencakup: Menyangkut sarana/bentuk (yang tertuang secara tekstual), mengatur hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis, mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya, terkait persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan teknologi, kontradiktif secara tekstual, menganalisa pemahaman teks-teks hadits dengan teori sosial/politik/ekonomi/sains terkait
Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press: Yogyakarta, 2008.
Abdullah Zaen, Agar Tidak Keliru Memahami Hadits,  al-Furqon: Gresik, 2010
Izzuddin Ibn Abd as-Salam, Tafsir Ibn Abd as-Salam, Juz 5, Maktabah Syamilah,
Ishdar 3,35, T.t.
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran & Hadits, Elsaq Press: Yogyakarta, 2010.
Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhori, Shahih Bukhari, Juz 3, Maktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t.
Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis, Cahaya Pustaka: Yogyakarta, 2008.
Sulaiman Ibn Asy’ats, Sunan Abu Dawud, Juz 1, Maktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t.
Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dar as-Syuruq: Mesir, 2002.












[1]  Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press: Yogyakarta, 2008, hal. xv 
[2]  Izzuddin Ibn Abd as-Salam, Tafsir Ibn Abd as-Salam, Juz 5, MAktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t, hlm.5.
[3]  Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dar as-Syuruq: Mesir, hlm. 103.
[4]  Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhori, Shahih Bukhari, Juz 3, Maktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t, hlm. 388.
[5]  Ibid, Juz 8, hlm. 385.
[6]  Abdullah Zaen, Agar Tidak Keliru Memahami Hadits,  al-Furqon: Gresik, 2010, hlm. 8.
[7]  Sulaiman Ibn Asyats, Sunan Abu Dawud, Juz 1, Maktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t, hlm. 16.
[8]  Abdul Mustaqim, Op.Cit, hlm. 18.
[9]  Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran & Hadits, Elsaq Press: Yogyakarta, 2010, hlm. 375.
[10]  Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis, Cahaya Pustaka: Yogyakarta, 2008, hlm. 22.
[11]  Ibid, hlm. 22-27.

1 komentar: