Metode Memahami Hadits
terhadap Isu-isu Aktual dan Kontemporer
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
kuliah : Ma’anil Hadits
Dosen
Pengampu : Bapak H. Ahmad Atabik, Lc, M.A.
Disusun
Oleh:
Ahmad
Saerozi NIM: 309052
Sriyanto NIM: 309047
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURUSAN
USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADIS
KUDUS
2011
Metode Memahami Hadits
terhadap Isu-isu Aktual dan Kontemporer
A. Pendahuluan
Aktivitas memahami hadits
sesungguhnya sudah muncul sejak kehadiran Nabi Muhammad Saw, terutama sejak
beliau diangkat menjadi rasul dan dijadikan panutan para sahabat. Dengan
kemahiran bahasa Arab yang dimiliki para sahabat dan intensitas pergaulan
mereka dengan Nabi, secara umum mereka bisa langsung mrnangkap maksud dari sabda-sabda
yang disampaikan oleh Nabi. Ketika ada kesulitan para sahabat langsung
melakukan konfirmasi dan menanyakan kepada Nabi.
Problem memahami hadits muncul
semakin kompleks ketika Islam mulai tersebar di berbagai daerah non-Arab.
Mereka yang tidak mengetahui dengan baik tentang stilistika bahasa Arab yang
dipakai Nabi, jelas akan menemui kesulitan dalam memahami sebagian
hadits-hadits Nabi. Belum lagi paradigm dan asumsi dasar yang dipakai dalam
memandang sosok Nabi Muhammad Saw, seperti teori al-Qorofi yang membedakan
kedudukan Nabi Saw apakah beliau sebagai rasul atau sebagai mufti, atau sebagai
pemimpin perang atau sebagai manusia biasa.[1]
Kajian dan telaah secara
konprehensif sangat diperlukan dalam konteks memahami dan menangkap maksud
kandungan sebuah hadits. Aspek lain di luar teks ikut menentukan hasil
pembacaan terhadap makna hadits. Jika seseorang ingin memahami secara mendalam
dan memperoleh maksud yang tepat terhadap perkataan orang, maka ia harus
melihat situasi dan konteks pembicaraan pada orang yang mengatakan dan untuk
siapa pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, kalau pemahaman terhadap
perkataan orang hanya terpaku pada bunyi teks tanpa memperhatikan keadaan, maka
dipastikan pemahamannya akan terjebak dalam kesesatan dan salah paham terhadap
kandungan makna pesannya.
Seiring dengan perkembangann zaman,
ditambah lagi dengan banyaknya cendekiawan muslim di abad kontemporer masa
kini, mereka membuat metode untuk memahami hadits terhadap isu-isu yang santer
beredar di saat ini. Lalu metode apa saja yang digunakan cendekiawan
kontemporer untuk memahami ma’ani al-hadits? Bagaimana memahami ide dasar
hadits? Bagaimana prosedur membedakan hadits yang tekstual dan kontekstual?
B. Permasalahan
1. Apa
kaidah dan metode yang digunakan para cendekiawan kontemporer dalam memahami hadits
terhadap isu-isu aktual?
2. Bagaimana
memahami ide dasar hadits?
3. Bagaimana
prosedur membedakan hadits yang tekstual dan tekstual?
C. Pembahasan
1. Kaidah
dan Metode yang digunakan dalam Memahami Hadits
Tatkala seorang
muslim berhadapan dengan hadits-hadits Rasul dan bermaksud menjadikannya
sebagai landasan peribadahan kepada Allah, sebelum mengamalkannya dia
berkewajiban memahami beberapa hal, yang sejatinya merupakan aturan dalam
memahami sunnah dan mengamalkannya; agar pemahaman dia benar dan tepat. Di antara
kaidah tersebut antara lain:
a. Memahai
Hadits berdasarkan al-Quran
Hadits nabawi
merupakan landasan kedua dalam syari'at Islam. Posisinya adalah penjabar dan
penjelas dari apa yang ada dalam Kitabullah. Sebab itu, tidak mungkin akan ada
kontradiksi antara penjabar dan yang dijabarkannya. Andaikan ada sesuatu yang
terlihat saling bertentangan, maka bisa jadi dikarenakan haditsnya lemah atau
bersumber dari kekurangpahaman kita akan hadits tersebut.
Di antara contoh terjelas yang menunjukkan bahwa hadits lemah atau
palsulah yang bertentangan dengan al-Qur'an, bukan hadits sahih, adalah kisah ghoroniq
(berhala-berhala). Konon diriwayatkan bahwa tatkala Nabi membaca firman
Allah: أفرأيتم اللات والعزى ومناة الثالثة الأخرى
Apakah
patut kalian (kaum musyrikin) menganggap (berhala) Lata, Uzza, dan yang ketiga;
Manat (sebagai anak perempuan Allah?).
Setelah
ayat tersebut dibaca Nabi, syaitan menggerakkan lisan Nabi untuk mengucapkan تلك
الغرانيق العُلى وإنْ شفاعتهم لترجى
(inilah dewa-dewa yang mulya, dan syafaaatnya akan di harapkan),
ketika syetan menggerakkan lisan nabi untuk mengucapkan kalimat ini sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ibnu Abdissalam Nabi dalam keadaan mengantuk, atau Nabi
tidak sadar mengucapkan kalimat tersebut, atau yang mengucapkan kalimat tersebut
orang munafik tapi disangka perkataan Nabi.[2] Tidak
diragukan lagi bahwa hadits di atas adalah batil, sebagaimana ditegaskan Imam
Ibnu Khuzaimah: "Hadits ini merupakan karangan orang-orang zindiq.
b.
Menghimpun Hadits-hadits
yang berbicara tentang suatu permasalahan yang sama di suatu tempat.
Mengumpulkan hadits-hadits shahih yang membahas suatu permasalahan
yang sama merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin memahami sunnah
dengan benar. Agar hadits yang isinya masih global bisa dirinci hadits yang lain,
hadits yang masih kurang jelas bisa dijabarkan hadits lain, sehingga jelaslah
maknanya dan tidak saling dipertentangkan. Sebagaimana telah maklum bahwa
hadits merupakan penjelas dari al-Quran, begitu pula hadits-hadits Nabi saling
menjelaskan satu sama lainnya.[3]
Andaikan hal tersebut tidak dilakukan, peluang untuk keliru dalam
memahami sunnah Nabi akan terbuka lebar. Contohnya: Hadits Abu Umamah tatkala
melihat cangkul, beliau berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
لَا يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ
قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ
"Tidaklah alat ini
masuk ke rumah suatu kaum; melainkan Allah akan menimpakan kehinaan ke
dalamnya."[4]
Zhohir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi membenci pertanian dan
cocok tanam. Namun, andaikan seseorang mengumpulkan keseluruhan hadits yang
berbicara tentang pertanian; niscaya ia akan mendapatkan bahwa dalam hadits
lain, ternyata Nabi memperbolehkannya, bahkan memotivasi umatnya untuk bercocok
tanam. Semisal sabda beliau:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ
أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
"Tidaklah seorang
muslim menanam pohon atau bercocok tanam, lalu ada burung, manusia atau hewan
yang memakan buahnya; niscaya itu dianggap sebagai suatu shodaqoh (yang
pahalanya akan mengalir) untuknya." [5]
Hadits terakhir ini amat jelas memotivasi kita untuk bercocok
tanam dan bertani. Lalu bagaimanakah
para ulama memadukan antara dua hadits di atas yang zhohirnya saling
kontradiksi? Bagaimana pula pemahaman yang benar dalam masalah ini?
Ibnu Hajar menagatakan: Imam Bukhori berusaha mengisyaratkan
bagaimana cara memadukan antara hadits Abu Umamah dengan hadits yang berisi
motivasi untuk bercocok tanam. Caranya ada dua: (1) Maksud hadits larangan
adalah untuk mereka yang menyibukkan diri dengan pertanian. (2) Jika pertanian
tidak sampai melalaikan dari kewajiban-kewajiban agama; maka maksudnya adalah:
mereka yang melampaui batas.
c.
Memadukan antara hadits-hadits yang lahirnya bertentangan atau
menguatkan salah satunya.
Para ulama telah
mengumpulkan dalil-dalil yang lahiriahnya saling bertentangan, lalu mereka
membantah adanya kontradiksi tersebut, dengan cara memadukan antara dalil-dalil
tersebut atau menguatkan salah satunya, tanpa adanya unsur pemaksaan makna. Di
antara hadits-hadits yang zhohirnya saling bertentangan: hadits yang berisikan
larangan menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil dan hadits yang memperbolehkannya.
Di antara cara yang
ditempuh para ulama untuk memadukan antara dua hadits di atas adalah dengan
mengatakan bahwa yang terlarang jika dilakukan di tempat terbuka, adapun jika
di tempat yang tertutup maka dipebolehkan.[6]
d.
Memahami hadits
sesuai dengan pemahaman para sahabat
Aturan ini merupakan
salah satu aturan terpenting, karena inilah jalan yang mengantarkan seorang
muslim menuju pengamalan sunnah yang benar tanpa tambahan atau pun pengurangan.
Metode terbaik dalam menjabarkan hadits adalah dengan sesama hadits, lalu
dengan perkataan para sahabat Nabi sebab mereka menyaksikan langsung turunnya
wahyu. Andaikan ada kekeliruan dalam memahami hadits nabawi, niscaya Malaikat
Jibril akan
turun kepada Nabi guna membenarkan kekeliruan tersebut. Karena itulah, para
pakar hadits mengategorikan perkataan sahabat: "Pada zaman Rasulullah kami memandang
ini atau itu" sebagai suatu hadits. Sebagaimana
dijelaskan al-Hafizh al-Iraqi.
Andaikan orang-orang bersilang pendapat dalam memahami suatu
hadits, maka pemahaman yang paling berhak dikedepankan adalah pemahaman para
sahabat. Contohnya: permasalahan menghadap kiblat atau membelakanginya ketika
buang air besar dan kecil. Kita telah menyampaikan salah satu pendapat terkuat
dalam masalah ini di pembahasan aturan ketiga. Di antara yang menguatkan
pendapat tersebut: perkataan salah satu sahabat, Ibnu Umar "Perbuatan
tersebut terlarang jika dilakukan di alam terbuka, namun jika ada sesuatu yang
menghalangi antara dirimu dengan kiblat maka tidak masalah”.[7]
Hadits tidak bisa diaplikasikan secara
langsung tanpa dukungan ilmu lain. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa
metode yang digunakan untuk memahami sebuah hadits, Abdul Mustaqim mengatakan
untuk memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui metode-metode yang
digunakan, di antaranya:
a. Ilmu
Asbabul Wurud
Ilmu ini sangat penting untuk
memahami sebuah hadit, sehingga Syekh Mahfudz at-Tirmisi menyatakan: “Memahami
sebab turunnya hadits merupakan cara yang kuat untuk memahami hadits”. Di
antara pentingnya ilmu asbabul wurud adalah untuk menjelaskan makna hadits, di
samping itu, untuk menjelaskan aspek hikmah di balik pensyariatan suatu hukum.
b. Ilmu Tawarikh al-Mutun
Ilmu ini adalah ilmu yang mengkaji
tentang sejarah matan hadits. Termasuk dalam konteks ilmu tawarikh al-mutun sebenarnya
perlu dikembangkan teori kategori hadits-hadits makkiyah dan madaniyyah, sebab
boleh jadi masing-masing redaksi akan memiliki kekhasan redaksional maupun isi
kandungannya. Di samping itu, pengetahuan hadits makkiyyah dan madaniyyah juga
akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syariat Islam.
c. Ilmu
al-Lughah
Ilmu lughah dengan berbagai
cabangnya jelas sangat penting, sebab teks-teks hadits itu menggunakan bahasa
Arab, sementara bahasa itu memiliki unsur dan aspeks-aspeks yang sangat
kompleks, sehingga jelas bahwa dalam memahami sebuah hadits harus bisa ilmu
bahasa Arab secara memadai.[8]
d. Hermeneutik
Hermeneutika secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani, hermenia yang disetarakan dengan exegesis,
penafsiran atau hermeneuin yang berarti menafsirkan. Sedangkan, secara
terminology berarti penafsiran terhadap teks tertulis yang memiliki waktu yang
panjang dengan audiensinya.
Hermeneutika terhadap teks hadits
menuntut diperlakukannya teks hadits sebagai produk lama dapat berbicara secara
komunikatif . dengan demikian dengan pendekatan ini tidak menafikan kedinamisan
masyarakat serta tidak menafikan keberadaan teks-teks hadits sebagai produk
masa lalu. Oleh karenanya, upaya mempertemukan horison masa lalu dan horizon
masa kini dengan dialog triadic diharapkan dapat melahirkan wacana pemahaman
yang lebih bermakna dan fungsional bagi manusia. Hermeneutika dapat dilihat
dari berbagai pendekatan, di antaranya:
1) Menekankan
pada gramatik bahasa
Penelitian matan hadits ditinjau
dari sudut pendekatan bahasa mencakup dua hal. Pertama, penelitian terhadap
keaslian kata ditinjau dari sudut dikenal tidaknya kata itu pada kurun masa
kenabian dan sahabat. Kedua, ketepatan kata yang digunakan oleh periwayat yang
meyakinkan sesuai dengan kejadian di masa Nabi.
2) Pendekatan
konteks historis
Pendekatan ini dilakukan sebagai
satu usaha dalam mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadits
dimunculkan. Pendekatan semacam ini telah diperkenalkan oleh ulama hadits sejak
dahulu dengan nama ilmu asbabul wurud.
3) Pendekatan
sosiologis dan antropologis
Pendekatan sosiologis menyoroti
sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan
antropologis adalah analisa yang dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya
pola-pola perilaku dalam sebuah tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan
manusia.
4) Pendekatan
falsafi
Pendekatan ini berdasarkan logika
dan rasio. Model ini dikembangkan oleh ulama yang menolak hadits yang
bertentangan dengan akal.[9]
2. Memahami
Ide Dasar Hadits
Memahami sunnah Nabi dari teks-teks
hadits Nabi secara tekstual an-sich merupakan sesuatu yang sangat berat
untuk dilakukan, karena konsistensi merealisasikan semua itu mustahil untuk
dilakukan. Dalam beberapa hal, misalnya; bahasa, makanan, tradisi persusuan,
alat transportasi haruskah berkendaraan unta dan meninggalkan segala kemudahan
fasilitas transportasi modern?
Apa kita tidak diperkenankan
mempergunakan fasilitas komputer, internet, televisi, hand phone, karena
semua itu tidak ada pada Nabi dan tidak dilakukan Nabi? Bagaimanapun juga, umat
Islam yang tersebar di berbagai belahan bumi memiliki perbedaan kultur,
kondisi, geografis, dan geologis. Perkembangan zaman dan perkembangan IPTEK
menuntut solusi terhadap berbagai problema yang bersinggungan maupun tidak
disinggung oleh teks-teks hadits.
Tawaran ibadah adalah wilayah
tekstual dan mu’amalah adalah kontekstual, sebagaimana yang dipegangi para
ulama belum memberikan batasan yang tegas masing-masing wilayah tersebut,
karena dalam dataran realitas semua aspek kehidupan terkait dan bisa dikaitkan
dengan ibadah begitu juga sebaliknya.[10]
3. Prosedur
Membedakan Tekstual dan Kontekstual
Beberapa tawaran dari para pemikir
Islam kontemporer sangat membantu untuk membedakan wilayah
tekstual-kontekstual, di antara mereka adalah:
a. Abdullah
Ahmad an-Na’im yang merunut pandangan sang guru Mahmud Taha dengan konsep makkiyyah-madaniyyahnya.
b. Syuhudi
Ismail dengan tekstual dan kontekstualnya.
c. Yusuf
al-Qardhawi dengan ghayah dan washilahnya.
d. Fazlur
Rahman dengan ide moral-nilai legisnya.
e. Asghar
Ali Engineer denga sosio-teologis dengan dialektika normative historis.
f. Masdar
F. Mas’udi dengan qath’iy zhanninya.
Dengan mensistesakan berbagai pandangan
yang mengemuka, batasan wilayah tekstual/normatif dan historis/kontekstual
dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Tekstual,
mencakup:
1) Menyangkut
ide moral/ide dasar/tujuan (makna di balik teks).
2) Bersifat
absolute, prinsipil, universal, fundamental.
3) Mempunyai
visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bi al-ma’ruf.
b. Kontekstual,
mencakup:
1) Menyangkut
sarana/bentuk (yang tertuang secara tekstual).
2) Mengatur
hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis.
3) Mengatur
hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya.
4) Terkait
persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan teknologi.
5) Kontradiktif
secara tekstual.
6) Menganalisa
pemahaman teks-teks hadits dengan teori sosial/politik/ekonomi/sains terkait.[11]
D. Simpulan
Kaidah dan Metode yang digunakan dalam
Memahami Hadits meliputi: memahai hadits berdasarkan al-Quran, menghimpun
Hadits-hadits yang berbicara tentang suatu permasalahan yang sama di suatu
tempat, memadukan antara hadits-hadits
yang lahirnya bertentangan atau menguatkan salah satunya. memahami hadits sesuai dengan pemahaman para sahabat,
Abdul Mustaqim mengatakan untuk memahami
sebuah hadits seseorang harus mengetahui metode-metode yang digunakan, di
antaranya: ilmu Asbabul Wurud, ilmu Tawarikh al-Mutun, ilmu lughah, dan hermeneutika.
Batasan wilayah tekstual/normatif dan
historis/kontekstual dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Tekstual,
mencakup: Menyangkut ide moral/ide dasar/tujuan (makna di balik teks), bersifat
absolut, prinsipil, universal, fundamental, mempunyai visi keadilan,
kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bi al-ma’ruf.
b. Kontekstual,
mencakup: Menyangkut sarana/bentuk (yang tertuang secara tekstual), mengatur
hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis, mengatur hubungan
dengan sesama makhluk dan alam seisinya, terkait persoalan politik, sosial,
ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan teknologi, kontradiktif secara tekstual,
menganalisa pemahaman teks-teks hadits dengan teori
sosial/politik/ekonomi/sains terkait
Daftar Pustaka
Abdul
Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press:
Yogyakarta, 2008.
Abdullah
Zaen, Agar Tidak Keliru Memahami Hadits,
al-Furqon: Gresik, 2010
Izzuddin
Ibn Abd as-Salam, Tafsir Ibn Abd as-Salam, Juz 5, Maktabah Syamilah,
Ishdar
3,35, T.t.
Kurdi dkk, Hermeneutika
al-Quran & Hadits, Elsaq Press: Yogyakarta, 2010.
Muhammad
Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhori, Shahih Bukhari, Juz 3, Maktabah
Syamilah, Ishdar 3,35, T.t.
Nurun Najwah, Ilmu
Ma’anil Hadis, Cahaya Pustaka: Yogyakarta, 2008.
Sulaiman
Ibn Asy’ats, Sunan Abu Dawud, Juz 1, Maktabah Syamilah, Ishdar 3,35,
T.t.
Yusuf
al-Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dar
as-Syuruq: Mesir, 2002.
[1]
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea
Press: Yogyakarta, 2008, hal. xv
[2]
Izzuddin Ibn Abd as-Salam, Tafsir Ibn Abd as-Salam, Juz 5,
MAktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t, hlm.5.
[3]
Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah,
Dar as-Syuruq: Mesir, hlm. 103.
[4]
Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhori, Shahih Bukhari, Juz
3, Maktabah Syamilah, Ishdar 3,35, T.t, hlm. 388.
[5]
Ibid, Juz 8, hlm. 385.
[6]
Abdullah Zaen, Agar Tidak Keliru Memahami Hadits, al-Furqon: Gresik, 2010, hlm. 8.
[7]
Sulaiman Ibn Asyats, Sunan Abu Dawud, Juz 1, Maktabah Syamilah,
Ishdar 3,35, T.t, hlm. 16.
[8]
Abdul Mustaqim, Op.Cit, hlm. 18.
[9]
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran & Hadits, Elsaq Press:
Yogyakarta, 2010, hlm. 375.
[10]
Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis, Cahaya Pustaka: Yogyakarta,
2008, hlm. 22.
[11]
Ibid, hlm. 22-27.
mantab bung
BalasHapus