Al-Jabiri
memulai mengkesplorasi konsep-konsep etika yang berkembang
dari zaman ke zaman di dunia Arab Islam, bahan atau lahan
eksplorasi tersebut adalah teks-teks yang selama ini kita kategorikan
sebagai teks-teks keislaman. Eksplorasi pertama adalah menyangkut konsep utama
dari etika yaitu nilai (al-qimah), adab (al-adab),
dan etika (al-ahlaq). Untuk menelusuri ketiga
konsep tersebut, al-Jabiri menggunakan rujukan-rujukan
kamus, kitab-kitab ensklopedis, dan juga sumber-sumber
dari syair Arab pra Islam. al-Jabiri menjelaskan bahwa konsep
adab merupakan sebuah konsep yang diwariskan kepada tradisi
Arab. Konsep ini banyak ditemukan dalam wacana sufsitik, tradisi
Persia, dan sebagian dalam wacana fiqh, Sementara konsep
akhlaq berkembang dari tradisi keislaman hanya terbatas dalam
ruang lingkup akhlaq sebagai sebuah attitude, bukan akhlaq
sebagai konsep nilai. Padahal, persoalan utama diskursus etika
adalah persoalan nilai itu sendiri. Ketika diskursus etika Arab-Islam
dikaitakan dengan persoalan nilai maka satu hal yang menjadi
titik tekan al-Jabiri adalah proses eksplorasi sejarah teks secara
meyeluruh.
Eksplorasi sejarah teks yang dikehendaki oleh al-Jabiri berangkat dari dua asumsi dasar yang ia gunakan. Pertama
bahwa wacana etika Arab-Islam sebagai sebuah diskurus
adalah wacana etika yang berkembang pada masa dimana
diskursus tersebut berkembang bukan dengan tata lisan (al-tsaqafah
al-syafawiyyah) namun dengan tata-tulis (al-tsaqafah
al-maktubah). Kedua, perkembangan diskursus dalam
tata tulis tersebut memiliki kurun waktu yang jelas.
Kurun waktu tersebut adalah pada era atau masa
al-tadwin yang berlangung sekitar tahun 140 H. sampai kira-kira
abad ke-6 hijriah.
Peradaban
tata tulis tidak tumbuh tanpa latar sebelumnya. Faktor
mekanisme pengetahuan menjadi salah satu peran penting
yang menumbuh kembangkan tradisi tulis. Bahkan, diskursus
sosial dan keagamaan muncul seiring perkembangan Islam.
Fenomena ini dapat dibaca dalam karya al-Jabiri sebelumnya.
Takwin al-‘aql al-Siyasi, dimana al-Jabiri sendiri menggunakan
data tersebut untuk menopang atau menjadikan sebagai
latar bagi proses awal terbentuknya suatu tata nilai (al-qiyam)
yang tidak disadari sepenuhnya oleh pemerhati etika Arab-Islam
yang hidup pada masa al-tadwin. Untuk itu, yang perlu diperhatikan
dalam mengamati proses pembentuk struktur tata nilai
yang menjustifikasi suatu tindakan apakah itu baik atau buruk (akhlaq
dalam arti teknis) dalam peradaban Islam, menurut al-Jabiri,
adalah sejarah perkembangan wacana yang menyatu dengan
wacana sosial-keagamaan baik dalam konteks politik mapun
teologis.
Dari wacana
di atas, al-Jabiri menyimpulkan bahwa persoalan
mendasar yang menjadi sumber munculnya justifikasi-justifikasi
baik dalam konteks fiqh maupun teologis adalah persoalan
kebebasan manusia. Persoalan kebebasan manusia substansinya
adalah persoalan etika atau tata nilai. Namun, pada akhirnya
persoalan ini mengambil porsi terbesar dalam diskurus teologis
dan terdokumentasi dalam karya-karya klasik tentang Kalam.
Persoalannya adalah mengapa terjadi alih wacana dari yang
sebelumnya diidentifikasi sebagai persoalan etika menjadi persoalan
metafisika dan/atau persoalan teologis metafisis?
Jawaban atas
persoalan di atas mesti dikembalikan kepada fakta
historis yang menunjukkan bahwa ujung persoalan kebebasan
manusia terdapat pada diskursus kapasitas syara’ dan akal
yang menjadi tolok ukur dan referensinya. Contoh sederhana terdapat
dalam buku ajar tentang teologi Islam. Harun Nasution, misalnya,
dalam bukunya Teologi Islam terdapat bab yang menjelaskan
tentang Akal dan Wahyu dalam kaitannya dengan kapasitas
manusia untuk mengetahui hal yang baik dan hal yang buruk. Perdebatan atas peran dan fungsi akal dan wahyu selalu berujung pada “perebutan wilayah” otoritas agama dan
otoritas manusia, di sisi sisi dan fakta masuknya
tradisi pemikiran Yunani, di sisi lain. Hal ini lah
yang menunjukkan bahwa sesungguhnya persentuhan suatu
pemikiran dengan pemikiran lain dapat menimbulkan
resistensi baik dalam bentuk alienasi maupun dalam bentuk
konfrontatif dan dapat pula menimbulkan reformasi.
Yang jelas,
menurut al-Jabiri perdebatan di atas masih menyisakan
persoalan bahwa apa yang disebut sebagai ilm al-akhlaq,
mashadir al-akhlaq, asas al-akhlaq susah ditemukan padanannya
dalam konteks diskurus etika Islam. Yang ada mungkin
hukm al-akhlaq, namun konsep ini kembali pada wacana induknya
yaitu fiqh. Untuk itu, al-Jabiri berusaha mencari jawaban di
atas dengan mengambil konsep al-dhamir konsep ini sepadan dengan
istilah conscience dalam bahasa Inggris. Tentu konsep ini dipertanyakan
kapasitasnya. Namun konsep ini menurut al-Jabiri tepat
untuk merumuskan manba’ al-akhlaq sebagaimana pengetahuan
membutuhkan rasio. Persoalan awal kembali muncul,
bagaimana menemukan manba’ al-akhlaq tersebut yang disebut
sebagai al-dhamir .
Nalar Etika I: Etika Persia :
akhlaq al-tha’ah.
Usaha yang dilakukan
oleh al-Jabiri untuk menemukan pola-pola yang
membentuk tata nilai dalam nalar etika Arab-Islam, sesuai
dengan ancangan metodologi di atas, adalah dengan menelaah
dokuman tertulis klasik dalam khazanah peradaban Islam
yaitu: dokumen-dokumen dalam bentuk risalah (surat-surat) dan
teks-teks orasi pada era Mua’wiyah, khususnya pada era kepemimpinan
Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H.). Simpulan al-Jabiri
menunjukkan bahwa konsep adab (al-adab), kepasrahan (al-Jabr),
dan kepatuhan secara politik (al-Tha’ah) menjadi kosakata-kosaka
etis-politis yang sedang menemukan momentumnya. konsep-konsep
di atas, menurut al-Jabiri, muncul oleh karena pengaruh
tradisi Persia. Fakta demikian, menurut al-Jabiri terus berlangsung
ketika kekhalifahan Islam dipegang oleh Abbasiyah. Jika
di era Muawiyah, banyak sekretaris negara, seperti Salim dan Abd
al-Hamid, berpendidikan dengan tradisi pendidikan Persia, di era
Abbasiyah berlangsung proses penerjemahan teks-teks Persia
ke dalam bahasa arab dan kemudian menjadi rujukan bagi tata
nilai yang mendasari etika sosial dan politik. penerjemahan dokumen-dokumen
kerajaan Sasania , khususnya raja Ardsyira (w. 241
M.) pada abad ke-3 M. dan penerjemahaman kitab kalilah wa dimnah
oleh Ibn al-Muqaffa’, dan karya-karya Ibn al-Muqaffa’ sendiri
menjadi referensi utama pembentukan tata nilai di atas.
Fakta di atas lebih tepat jika ditempatkan pada etika sosial dalam
arti makro, etika sosial dalam arti yang sempit seperti etiket-etiket yang berlaku untuk kehidupan sehari-hari baik untuk perorangan maupun sosial juga berkembang. Etika dalam arti etiket ini justru banyak ditemukan dalam hadits-hadits
nabawi yang juga menjadi acuan di istana maupun di
masyarakat. Tidak adanya pergesekan ide-ide yang
berarti antara etika dalam arti etiket dengan
sumber-sumber hadits nabawi dengan etika politik yang bersumber
dari tradisi Persia di atas oleh karena memang wilayahnya
yang berbeda.
Sepeninggal
Ibn al-Muqaffa, tradisi tulis di era Abbasyiah mulai
benar-benar tumbuh. Pada era ini, intelektual ensiklopedis Ibn
Qutaibah merupakan pioneer bagi perumusan tata nilai etika Islam.
Di samping merujuk pada karya-karya Ibn al-Muqaffa’ dan tradisi
Persia yang melatarinya, Ibn Qutaibah mumpuni dalam berbagai
keilmuan Islam yang dikategorikan asli oleh al-Jabiri., seperti
al-Qur’an, al-hadits, dan al-fiqh. Tentu bukan hanya Ibn Qutaibah,
sosok yang merepresenatasikan fiqh, seperti al-Syafi’I (w.
150 H.), kalam, seperti al-Jahid (w.255 H.), filsafat, seperti al-Kindi (w.252), hadits, seperti al-Bukhari (w. 256 H.),
tasawwuf, seperti al-Karkhi (w. 200 H.), sejarah,
seperti al-Thabari (w. 310), dan tokoh lainnya
memberikan kontribusi bagi membanjirnya wacana
berbagai keilmuan yang berbasis islami. Kondisi di atas tentu
memberikan kontribusi penting bagi proses perkembangan tolok
ukur tata nilai (al-qiyam) yang mendasari nalar etika Arab-Islam
yang berlangsung mulai abad kedua hijri.
Dari karya Ibn Qutaibah (‘uyun al-akhbar) dan Ibn Abdi Rabbah
(al-‘aqd al-farid) , al-Jabiri dengan jelas menyimpulkan
bahwa tata nilai yang dapat dibaca dari kedua tokoh
tersebut adalah tata nilai yang mendasari munculnya
akhlaq kepatuhan (al-akhlaq al-tha’ah). Akhlaq
kepatuhan ada dua; (1) politis (akhlaq al-lisan) dan
(2) biologis (akhlaq al-nafs) (makanan dan perempuan). Intinya,
kedua karya tesebut sangat kental dengan tradisi Persia.
Di samping kedua karya di atas, sosok intelektual lain seperti al-Mawardi (w. 450 H). dalam al-ahkam al-sulthaniyyah, al-Ibsyihi/al-Absyaihi (w. 850 H.) dalam al-mustathrif , dan
al-Qalqasyandi (w. 821 H.) dalam shubh al-‘a’sya fi
shina’ah al-insya tidak bisa dikesampingkan karena
dapat diposisikan sebagai “pembanding” dari dua karya
di atas. Baik al-Mawardi maupun al-Absyihi dapat
dikatakan lebih “islami” dalam merumuskan tata nilai meskipun
untuk referensi yang sama sebagai pijakan bagi akhlaq kepatuhan.
Nalar etika kepatuhan berangkat dari asumsi kepatuhan kolektif
untuk kekuatan individu (Sulthan). Etika kepatuhan mensyaratkan
tidak adanya konsep nilai yang bersifat individual (al-qimah
al-fardiah). Nilai-nilai individual justru berkembang dari warisan
Yunani dengan konsep al-sa’adah.
Nalar Etika II: Etika Yunani
: akhlaq al-sa’adah/al-khuluq al-fadil.
Penjelasan di atas
selalu berasumsi bahwa konsep kepatuhan yang
diorientasikan pada penguasa akan membawa kebahagiaan
bagi rakyatnya. Dalam tradisi Yunani justru sebaliknya.
Konsep kepatuhan selalu diorientasikan pada rakyat. Oleh
karena itu yang dicita-citakan oleh tradisi filsafat Yunani bukanlah
al-Sulthan/ the King tapi justru republic (Plato), The Polity (Aristoteles),
dan al-madinah al-fadilah (al-Farabi).
Untuk
menelusuri labirin pemikiran filsafat di era ini kiranya cukup
dengan memahami pola dikotomis yang memang menjadi pola
nalar tradisi ini. Salah satu karakter dikotomis yang sering didengar
sampai hari ini adalah konsep jiwa (soul) dan badan (physic).
Dalam jiwa terdapat intelligence (al-nafs/al-quwwah al-‘aqilah)
dan emotion (al-nafs/al-quwwah al-syahwaniyyah). Konsep al-Sa’adah
tidak saja bersifat psikis (non-fisik/immaterial) namun juga
bersifat fisis (fisik/materiil). Olah karena itu, al-Sa’adah hanya didapatkan dengan menggunakan keduanya dan untuk keduanya.
Tradisi filsafat Yunani secara nyata ikut
serta dalam mempengaruhi konstruksi wacana etika
Arab-Islam. Hal itu dapat dilihat dari pengaruh Galen
pada sosok al-Kindi (w. 252 H.) di mana Galen sendiri
sesungguhnya mendapat banyak inspirasi dari filsafat
Plato terutama dalam konteks kajian fisika atau kedokteranya.
Oleh karena itu tidak aneh jika kemudian al-Kindi merumuskan
apa yang ia sebut sebagai al-tibb al-ruhani. Hal yang sama
juga ditulis oleh al-Razi (w. 320 H.) dengan judul yang sama meskipun
ia tidak secara langsung merujuk pada Galen, sebagaiamana
dilakukan oleh al-Kindi. Di samping kedua filosof di atas
nama lain yang juga banyak mewarnai corak ini adalah Tsabit bin
Sinan (w. 380-an H.) dalam karyanya tahdzib al-akhlaq.
Simpulan sementara
dari pemikiran etika Arab-Islam ketiga tokoh di atas
adalah bahwa tata nilai yang membangun karakteristik
manusia bermoral adalah interaksi aktif antara kekuatan
fisik dan mental. Keduanya saling berinteraksi secara moderat
(al-fadilah) dalam membentuk keperibadian sehingga sampai
pada orientasi yang dituju: al-sa’adah.
Tentang tahdzib al-akhlaq dalam tradisi intelektual klasik memang
menjadi nama favorit sehingga muncul nama kitab dengan
isi yang sama namun nama pengarangnya masih dipersoalkan
sampai sekarang. Di samping karya Tsabit, kitab dengan
judul yang sama juga ditulis Ibn Miskawaih. Ada kitab tahdzib
al-akhalq lain yang ditulis al-Jahidh namun di lain percetakan
kitab tersebut disebutkan ditulis oleh Yahya bin Adi, kebetulan
yang penulis memiliki adalah karya al-Jahid. Oleh al-Jabiri
justru karya al-Jahid itu sebenarnya ditulis oleh Ibn al-Haitsam
(w. 432 H.), sebagaimana juga diakui oleh para filolog orientalis.
Lepas dari perbedaan pendapat yang ada, kitab ini secara umum
masih corak yang sama dalam kategiri di atas, kategori ethic-scientific
. Bagaimana tentang karya Ibn Miskawaih? Ternyata
al-Jabiri tidak menyinggung sama sekali tokoh yang satu ini
dalam satu ruang kategori ethic-scientific. Al-Jabiri justru menempatkan
Miskawaih dalam kategori ethic-eclectic. Sebelum menjelaskan
kategori ethic-eclectic ada kategori yang lain yaitu philosophical
ethic (falsafah al-akhlaq).
Inti kategori
ethic-scientific adalah bahwa etika itu berbasis individual.
Oleh karena orientasi pembangunan etika terletak pada setiap
individu. Individu-individu ada yang sehat dan ada yang sakit
baik secara fisik maupun psikis. Mereka yang sehata secara fisik
dan psikis adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk keseimbangban
(al-fadilah/ al-khuluq al-fadil) di antara batas atas dan
batas bawah. Bagaimana dengan katgoeri philosophical ethic?
Etika yang berbasis filosofis pada dasarnya sama memelikii genealogi
keilmuan dari tradisi filsafat Yunani. Bedanya ethic-scientific
dari Galen, sedangkan philosophical ethic dari Plato (427-347
SM) dan Aristoteles. Representasi wacana etika Arab-Islam
dengan kategori philosophical ethic adalah sosok filosof al-Farabi,
Ibn Bajah, dan Ibn Sina. Ethic-scientific sama sekali tidak menyinggung
etika kepatuhan sementara philosophical ethic berusaha
membongkar etika kepatuhan sampai keakar-akarnya. Untuk
itulah al-Farabi menulis al-madinah al-fadilah. Sebuah karya yang
merepresantasikan kesatuan antara Plato (al-madinah) dan Aristoteles
(al-fadilah).
Selain
al-Farabi, filosof Ibn Bajah (w. 533 H.) juga menggunakan
kerangka metodologi yang sama (Philosophical ethic).
Menurut Ibn Bajah kekuatan psikis (al-quwah al-nafsiah) dan
kekuatan fisik (al-quwwah al-thabi’iyyah) harus disatukan oleh karena keduanya memang bekerja dalam ketergantungan satu sama sama lainnya. Untuk itulah Ibn Bajah merumuskan apa
yang ia sebut sebagai Tadbir al-Mutawwahid (united
empowering). Suatu rumusan yang nampaknya susah untuk
ditemukan dalam al-Najat-nya Ibn Sina yang lebih
menitikberatkan pada dimensi psikis meskpun berangkat
dari kondisi fisik. Juga susah untuk diemukan dalam
Mukhtasar Jumhuriyyah-nya Ibn Rushd. Bahkan ada kemungkinan,
menurut hemat penulis, bahwa upaya Ibn Rushd untuk
meringkas Republic-nya Plato itu lebih dititikberatkan pada realitas
Andalusia yang sedang menuju kemundurannya. Ataukah ending
dari philosophical ethic itu justru kembali pada Republic versi
Ibn Rushd itu? wa allahu ‘a’lam..
Bolak-balik dalam pola nalar dikotomis yang mewarnai diskursus
di atas (mungkin, menurut penulis) mengilhami banyak intelektual
muslim pada era-era berikutnya untuk mengambil yang terbaik
darimanapun asal pijaknya. Itulah yang oleh al-Jabiri diistilahkan
dengan eclectic ethic. Dalam satu hal eclectic ethic mungkin
diasumsikan sebagai suatu sikap yang dianggap negative.
Namun dalam suatu alasan tertentu sikap eklektik dapat dimaklumi,
termasuk di antaranya dalam konteks keilmuan.
Secara umum
karakter eklektik ini menjadi label bagi beberapa
karya intelektual Muslim di bidang etika oleh karena keputusan
penulis dalam mengambil berbagai sumber pandangan dan
sekaligus menjadi mainstream dalam karyanya sehingga konstruk
etika yang mereka bangun tidak mencerminkan satu karakter
tertentu. Meski demikian, kelompok ini oleh al-Jabiri digolongkan
sebagai philosophical ethic.
Salah satu referensi
etika Arab-Islam yang mencerminkan karakter eclectic
ethic adalah kitab al-sa’adah wa is’ad karya al-‘Amiri
dan tahdzib al-akhlaq karya Ibn Miskawaih. al-Sa’adah masuk
dalam kategori tersebut oleh karena judul karya tersebut mencerminkan
dua konsep yang mencerminkan dua konsep yang memiliki
perbedaan basis tradisi. Sebagaimana diketahui bahwa etika
Aristoteles (Nichomachean ethics) berujung pada konsep happiness.
Kebahagiaan (al-sa’adah) menurut Aristoteles bersifat otonom
dalam diri manusia (teoritik/ ‘ilmi). Artinya, manusia sendirilah
yang mampu menemukan kebahagiaan tersebut dengan kekuatan
rasionalnya. Akan tetapi pada saat yang sama al-‘Amiri menyandingkannya
dengan konsep al-is’ad, is’ad al-ghair au is’ad al-sulthan
(politik dan praksis/’amali).
Karakter
eklektik ini berkembang oleh karena berbagai faktor.
Faktor utama adalah realitas adanya “sauq al-mashadir wa al-qiyam”
baik dari karya-karya terjemahan, forum-forum pengkajian,
karya-karya asli dari intelektual muslim pada waktu itu. Faktor
lain adalah kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkarya
yang diusung oleh para penguasa Abasiyyah pada waktu
itu dengan catatan karya-karya tersebut tidak menyinggung atau
mengusik rezim yang berkuasa.
Al-‘Amiri dalam
menulis al-sa’adah tidak saja menggunakan referensi
dari filosof Yunani tapi juga dari rujukan-rujukan dari Persia.
Sumber-sumber dari al-Qur’an dan hadits serta pendapat-pendapat
ulama juga digunakan. Itulah yang mencerminkan sikap eklektik
al-Amiri. Di samping itu, sebagaimana telah disinggung di atas
polarisasi antara Aristotelian yang individual dan Platonian yang
komunal merupakan unsur lain yang membikin karakter tersebut.
Tokoh lain yang juga mencerminka karakter eklektik adalah Ibn
Miskawaih (w. 421 H.), sosok yang juga merupakan murid al-‘Amiri
ini menulis kitab tahzdib al-ahlaq dan al-hikmah al-khalidah. Kitab
kedua ini menurut beberapa sumber ditulis dalam bahasa Persia
dengan judul Javidan Khiraj (artinya al-hikmah al-khalidah). Kitab
ini menurut al-Jabiri sangat Persian oriented dengan mengikuti
pola nalar yang dikembangkan oleh Ibn Qutaibah dalam ‘uyun
al-akhbar. Sementara dalam kitab yang pertama terdapat dua
konstruksi pemikiran yaitu Platonian dan Aristotelian yang diambil
secara tertib tanpa ada keterangan yang memadai. Terlepas
dari eklektisme yang diasumsikan kepada tokoh-tokoh di atas,
pola sinkretis (al-talfif) sebenarnya lebih tepat dalam konteks sosial pada waktu itu, atau dalam bahasa sekarang sebagai integrasi-interkoneksi (sinkretisme abad 21).
Yang jelas, jika
ditelusuri lebih dalam konsep al-sa’adah al-‘udhma,
sebagaimana dicita-citakan oleh para filosof Yunani yang kemudian
ditransfer oleh para penerjemah dan intelektual ke dalam
diskursus etika Arab-Islam, belum lah selesai. Di katakan belum
selesai oleh karena al-sa’adah (al-‘udhma) bukan merupakan
kata akhir dalam khazanah etika Arab-Islam. Yang terakhir
justru adalah hilangnya rasa bahagia itu sendiri oleh karena
kebersartuan manusia dengan sumber dari segala sumber kebahagiaan,
Tuhan. Itulah al-akhlaq al-fana’ ‘(perishable ethic).
Nalar Etika III: Etika
Sufistik : min al-akhlaq al-fana ila fana’ al-akhlaq.
Al-Jabiri
berpendapat bahwa konsep fana tidak ditemukan dalam
warisan Islam dan Arab “asli”. Oleh karena itu ada kemungkinan
bahwa konsep fana itu berasal dari tradisi Yunani atau
Persia. Pandangan al-Jabiri ini merupakan pendahuluan dari apa
yang ia kehendaki sebagai awal penelusuran atas konsep di atas.
Yang jelas untuk menelusuri konsep di atas ada baiknya jika pembaca
terlebih dahulu karya al-Jabiri sebelumnya (al-binyah al-‘Aql
al-‘Arabi) khususnya dalam bab al-irfan.
Secara historis
al-Jabiri menyimpulkan bahwa diskursus tasawwuf pada
awalnya merupakan aktifitas individual untuk menanggalkan
sikap berlebih-lebihan, kekuasaan, dan melaksanakan
sikap zuhud yang secara konseptual terinspirasi dari
tradisi Persia. Sikap seperti di atas tercermin
dalam sosok Ibrahim bin Adham (w. 161 H.), sosok yang
secara kultural sangat dengan Persia, ia dilahirkan di
Khurasan. Namun, adapula tokoh Hasan al-Basri (w. 110
H.) yang memiliki genealogi budaya dan pengetahuan
yang asli Arab-Islam. Sosok Hasan al-Basri ini nampaknya
sangat tepat dijadikan sebagai tokoh utama oleh kelompok-kelompok
kontra syi’ah. Dari awal Syi’ah memiliki ikatan kultural
kuat dengan tradisi sufistik, bahkan tradisi tasawwuf dalam
Islam tidak bisa dilepaskan dari peran ulama-ulama syi’ah-persia
seperrti Jabir bin Khayyan al-Shufi dan Abu Hasyim al-Shufi, keduanya
juga dari Khurasan. Meskipun para punggawa Syi’ah, seperti
Ja’far al-Shadiq, mencela sikap berlebihan mereka.
Pasca Hasan al-Basri (di pihak Sunni) maupun Ibrahim bin Adham, tradisi sufistik mulai masuk pada ke dalam tradisi
tulis. Artinya muncul tulisan-tulisan yang berkaitan
dengan tasawwuf. Hal ini terjadi mulai abad ketiga
hijri. Al-Jabiri menjelaskan bahwa pada era ini ada
peralihan konsep tasawwuf dari yang secara literal
sangat bathini menuju ke arah yang bersifat etis (adab). Hal
itu terjadi baik di kalangan sunni maupun syi’i. al-Hujwairi, penulis
kasyf al-mahjub, menguatkan hal itu dengan mengambil pandangan
Abu al-Khasan al-Nuri (w. 295 H.). al-Qusyairi (w. 465 H.)
dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah bahkan menyimpulkan bahwa konsep
adab merupakan kata kunci pada diskurus tasawwuf pasca
generasi pertama tersebut.
Jika adab merupakan kata kunci maka persoalannya adalah oleh siapa dan kepada siapa adab ini diterapkan? Ketika yang
dimaksud dengan adab adalah adab seorang hamba kepada Tuhannya maka dalam konteks Islam tentu sudah memiliki
wacana tersendiri yaitu fiqh. Oleh karena itu, bisa
jadi adab yang dimaksud adalah suatu kriteria tertentu
yang dirumuskan oleh seorang sufi dalam konteks
beribadah secara individual dan kriteria tertentu yang
dirumuskan untuk seorang murid dalam konteks
hubunganya dengan al-syaikh/al-mursyid dalam konteks yang
sama. Dengan prasyarat-prasyarat itulah konsep al-wali (sunni)
dan al-wilayah (syi’i) mulai menemukan momentumnya untuk
berkembang.
Dalam ranah
itulah sesungguhnya etika sufistik menunjukkan suatu
orientasi agar manusia sampai pada derajatnya yang
paling tinggi yaitu bersatu berama sang khaliq itulah
akhlaq al-fana. Namun demikian, kefanaan diri bukanlah suatu
tujuan utama tasawwuf. Kefanaan hanya sebuah metode untuk
mencapai suatu tujuan tertentu oleh karena itu pada akhirnya
konstruksi al-akhlaq al-fana menjadi fana’ al-akhlaq. Kefanaan
kriteria etis tertentu ini muncul dalam diri seorang sufi dalam
kondisi tertentu. Di situlah konsep maqam, hal, dzauq, atau dalam
bahasa pesantren dikenal dengan istilah zadab menemukan peran
dan posisinya.
Nalar Etika IV: Etika Arab:
al-akhlaq al-muru’ah.
Al-Jabiri menyadari
bahwa merumuskan sebuah konsep etik yang bersumber
dari Arab bukanlah perkara mudah. Kesulitan muncul
oleh karena sebagai sebuah sumber etika Arab atau etika yang
bersumber dari gagasan-gagasan orisinil bangsa atau masyarakat
Arab tanpa terpengaruh atau masuk dalam latar agama
apapun ternyata tidak memiliki referensi yang memadai. Data
yang dapat ditemukan dari sumber etika Arab hanyalah berupa
sya’ir atau maqalah-maqalah yang terekam dan terabadikan
dalam tulisan-tulisan yang berpayung Islam atau tradisi
lain seperti al-‘aqd al-farid karya Ibn Abd Rabbah. Salah satu
rujukan sya’ir-sya’ir Arab yang cukup terkenal adalah sya’ir-sya’ir
karya al-Mutanbbi. Sementara dari maqalah-maqalah yang cukup
terkenal adalah maqalahnya Aktsam bin Shaifi. Maqalah-maqalah
dari Aktsam tersebut kemudian dikenal dengan istilah al-hikmah
al-nadzari, sementara dari al-Akhaf bin Qais dikenal dengan
al-hikmah al-‘amali..
Konsep
muru’ah atau harga diri dalam bahasa sederhana sesungguhnya
terkait dengan realitas kultural dan politis bangsa Arab
dengan struktur sosial bersuku-suku (qabilah). Kondisi demikian
memberikan pengaruh pada munculnya tolok ukur tertentu
yang berfungsi untuk memperkuat, mempertahankan, atau
mengembangkan qabilah atau klan yang dimilikinya. Itulah yang
kemudian diwarisi oleh kekhalifahan Umayyah maupun Abasiyyah
sebagai moralitas artsitokrat yang melulu beriorentasi pada
moralitas dalam kehidupan. Konsep ini kemudian ditransormasikan
ke dalam konsep keagamaan oleh Hasan al-Basri seperti
tercemin dalam statemennya “la dina illa bi muru’atin”.
Sebagai konsep untuk
membangun harga diri dengan mengupayakan secara
maksimal dalam melaksanakan apa yang baik atau terpuji
dan menjauhi seluruh yang tercela, muru’ah sesungguhnya
masih debatable. Pemahaman di atas mungkin sama dengan
konsep kemuliaan, sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an
(innahu la qur’an karim fi kitab maknun). Akan tetapi konsep
muru’ah lebih dari sekedar watak kemuliaan. Orang yang lemah
secara fisik dan kemudian dihina dan tanpa mampu mempertahankan
harga dirinya ia mungkin disebut tidak memiliki muru’ah.
Artinya dimensi jasmani juga masuk dalam konsep muru’ah.
Atau justru sebaliknya bahwa konsep karim merupakan kesatuan
konsep muru’ah secara fisik maupun nonfisik? Yang jelas konsep
muru’ah memiliki varian makna yang sangat banyak baik yang
bersumber dari khazanah Arab pra Islam, Islam maupun tradisi
lain.
Konsep
muru’ah ini kemudian dijelaskan secara panjang oleh
al-Mawaradi dalam adab al-dunya wa al-din. Secara ringkas al-Jabiri
menyimpulkan bahwa penjelasan al-Mawardi dan beberapa referensi
lain menunjukkan bahwa konsep muru’ah merupakan rumusan
moralitas dalam konteks kemasyarakatan. Oleh karena itu
ukurannya bukan dengan dasar-dasar rasonlitas semata melainkan
juga tolok ukur yang mengatasnamakan kebenaran dan kuasa
bi al-jama’ah.. Berangkat dari hipotesis inilah al-Jabiri menegaskan
bahwa konsep etika yang berbasis harga diri tidak berasal
dari konsep keagamaan (Islam). Kalau demikian halnya konsep
etika apa saja yang murni berasal dari agama (Islam)?
Nalar Etika V: Etika Islam:
akhlaq al-dini li maslahat al-dunya wa al-akhirah.
Sebagaimana
disinggung di awal tulisan ini, Islam dengan tegas
menyebutkan bahwa etika keagamaan yang ia suguhkan untuk
manusia adalah etika Qur’ani atau etika profetik. Kedua konsep
di atas tentu terlalu longgar karena menyangkut konsep-konsep
keagamaan secara umum. Untuk itu, al-Jabiri berpendapat
bahwa konsep etika yang murni berasal dari wacana keislaman
adalah konsep yang muncul dan merupakan reperesentasi
dari realitas sosial Islam. Konsep ini muncul di tangan
al-Kharis al-Muhasabi (w. 243 H.), sosok yang begitu perihatin
atas kondisi umat Islam pada waktu dan sekaligus prihatin
atas jauhnya dimensi-dimensi etik dalam dinamika diskurus
keilmuan Islam.
Al-Jabiri menggunakan
Haris al-Muhasabi sebagai permulaan tolok ukur
lahirnya nalar etika Islam sesungguhnya menimbulkan
tanda tanya besar bagi pembaca. Namun, sosok yang oleh
al-Ghazali disebut sebagai aliran yang telah ia hapus (naskh)
dengan kitab Ihya Ulum al-Din ini memiliki penilaian tersendiri
di mata al-Jabiri. Menurut al-Jabiri kritik pedas al-Muhasabi
terhadap diskurus keilmuan Islam pada abad ketiga hijri disebabkan
oleh keringnya dimensi akhlak religius (al-akhlaq al-dini).
Adapun yang dimaksud dengan etika religius, menurut al-Muhasabi,
adalah ilmu tentang hukum-hukum ukhrawi atau al-‘ilm al-bathin
yang memayungi ibadah al-dhahirah yang mendasarkan pada
fiqh dan ilmu pendukungnya. Lebih lanjut al-Muhasabi merumuskan
bahwa yang dimaksud dengan ilmu al-bathin bukan lah
ilmu dengan basis epistemologis irfani, sebagaimana terdapat dalam
wacana sufistik. Ilm al-bathin bagi al-Muhasabi tetapi memiliki
anasir-anasir rasionalitas yaitu dengan mengambil konsep-konsep
pemahaman yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Yang jelas,
bagi al-Jabiri, sosok al-Muhasabi benar-benar merupakan
sosok pioneer bagi konsep etika Islam orisinil. Konsep etika
Islam orisinil ini terbagi menjadi dua kajian pokok. Pertama, akhlaq
al-din sebagaimana dirumuskan oleh al-Muhasabi dalam ri’ayah
huquqillah . Kedua, akhlaq al-dunya, sebagaimana dirumuskan
oleh al-Mawardi dalam adab al-dunya wa al-din. Kedua kajian
tersebut kemudian dipertajam oleh al-Ragib al-Isfahani (w. 502
H.) lewat al-dari’ah ila makarim al-akhlaq. Bahkan dapat dikatakan
bahwa al-Isfahani telah melakukan islamisasi etika Yunani
dengan cara memberikan referensi keagamaan atas nalar-nalar
etika Yunani sehingga benar-benar menjadi sebuah etika Islami.
Namun
demikian, secara konseptual etika dengan basis kegamaan
ini sesungguhnya dirumuskan oleh al-Ghazali (w. 505 H.)
lewat karya besarnya ihya ulum al-din. Karya al-Ghazali tentang
etika, di samping al-ihya, adalah mizan al-‘amal. Karya kedua
ini secara metodologis dan epistemologis sesungguhnya masih
menggunakan kerangka filosofis. Sementara untuk kitab yang
pertama di atas, al-Ghazali benar-benar merumuskan konsep-konsep
dasar bagi etika Islam. Intinya, membaca al-ihya sama
dengan al-mustasfa. Artinya keduanya berfungsi sama yaitu sebagai
al-ushul . Ada indikasi bahwa al-Ghazali banyak terinspirasi
dari al-Isfahani. Namun, perbedaan dalam epistemik bagi
keduanya cukup tajam. Epistemologi al-Isfahani berbasis bayani,
sementara epistemologi al-Ghazali berbasis ‘irfani.
Konsep etika
Islam ini lebih lanjut dikembangkan oleh Izz al-din
bin Abd al-Salam (w.639), seorang ahl fiqh generasi ketiga dari madzhab Syafi’i. Bagaimanapun latar al-‘izz sebagai seorang
faqih tidak bisa diabaikan. Dengan latar itu ia
merumuskan bahwa dasar pijak etika keagamaan (Islam)
adalah al-maslahah. Hal itu sebagaimana tercermin
dalam karya-karya etiknya yang berjudul qawa’id
al-ahkam fi masalih al-anam dan syajarah al-ma’arif wa al-ahwal
wa salih al-aqwal wa al-af’al. dalam telaah atas kedua kitab tersebut,
al-Jabiri menyimpulkan bahwa al-Izz sama sekali tidak memahami
konsep etika Yunani maupun Persia. Oleh karena itu, rumusan
etika keagamaan al-Izz benar-benar bersumber dari referensi
keagamaan.
Konsep maslaha hampir tidak ada bedanya dengan konsep konsekwensionalisme
dalam diskursus etik modern. Artinya sebuah tindakan
selalu diukur dengan akibat-akibat yang akan terjadi.
Maslaha tidak bersandar masa lampau tapi berorentasi ke depan.
Dalam wacana fiqh, basis orientasi ke depan itu dikenal dengan
maqasid al-syari’ah. Al-Jabiri menempatkan al-Izz sebagai kelompok
al-maqasid pertama yang kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi
sebagai generasi kedua. Namun demikian, konsep maslaha sebenarnya
bukan konsep akhir. Al-Izz menegaskan bahwa dalam maslaha
terdapat spirit al-ihsan, sebuah spirit yang selalu integral dalam
tindakan untuk lebih baik (kaifiah al-akhsan). Gagasan al-Izz ini
memberikan inspirasi banyak bagi sosok Ibn Taimiah (w. 728 H.) meskipun di kemudian hari Ibn Taimiah banyak menemui tantangan karena usahanya mencerabut dimensi-dimensi irfani dalam tradisi keilmuan dan kemasyarakatan Islam pada waktu.
Catatan atas Nalar Etik
al-Jabiri
Kiranya patut
untuk diakui bahwa proyek kritik nalar Arab al-Jabiri
adalah proyek presitisus dalam diskursus pemikiran Islam modern.
Kritik nalar etika Arab yang merupakan proyek ke empat ini,
menurut hemat penulis, lebih tepat jika ditempatkan sebagai proyek
penjelajahan untuk membikin “peta jalan” (road map) yang sangat
membantu bagi para pembacanya untuk menggunakan peta
tersebut meski untuk tujuan yang berbeda. Road map karya al-Jabiri
di atas berhasil dibuat dengan dukungan basis epistemologi
dan metodologi yang kuat. Namun, dari basis itu pula letak
keringkihan “bangunanan” nalar etika Arab al-jabiri.
Secara epistemologis persoalan mendasar yang perlu ditelaah
lebih lanjut adalah distingsi dan sekaligus konsep “nalar teks”
di satu pihak dan “nalar konteks” (nalar sejarah), di pihak lain.
Artinya, Kedua wilayah itu nampaknya belum dipahami dan diposisikan
secara jelas oleh al-Jabiri. Nalar teks tidak secara otomatis
merupakan reperesentasi dari nalar konteks, atau sebaliknya.
Persoalan ini sesungguhnya bisa di atasi jika al-Jabiri tidak
menggunakan metodologi sistematika teks, sebagaimana yang
telah gunakan dalam menulis nalar etika arab, tetapi justru menggunakan
pendekatan sejarah penalaran secara lebih memadai
sebagaimana dikembangkan oleh Foucault. Dikatakan lebih
memadai oleh karena al-Jabiri sendiri menggunakan al-tahlil al-tarikhi
namun dalam prakteknya simpulan-simpulan al-Jabiri lebih
banyak didapatkan dari pembacaan atas sistematika teks-teks
di atas.
Solusi di atas memang belum menyelesaikan persoalan mendasar di atas. Untuk itu, pandangan Hisyam Gushaib di
bawah ini mungkin dapat membantu. Persoalan nalar teks
dan nalar konteks di atas, dalam bahasa Hisyam,
mestinya dikembalikan kepada persoalan kesadaran
(al-syu’uri/al-wa’y/consciousness) dan ketidaksadaran
(al-la syu’uri/al-la wa’yu/ unconsciusness), atau
dalam bahasa Najib Mahfud sebagai al-ma’qul wa al-la ma’qul.
Konteks sosial berkembang kadang tanpa ada kesadaran apapun
(bahkan oleh Marx ketidaksadaran ini terus dipelihara untuk
kepentingan sosial tertentu; borjuis/pemilik modal).
Etika dalam masyarakat bersumber dari kesadaran dan
penalaran sosial. Sementara konsep-konsep etika dalam
nalar teks dibangun di atas meja tulis. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya kesalahpahaman antara persepsi
penulis dan persepsi masyarakat secara umum. Oleh
karena itu, persoalannya apa nalar etika yang
dipaparkan al-Jabiri di atas merupakan repersentasi
dari nalar etika sosial yang berkembang di masyarakat
Arab-Islam? Kalau memang betul bagaimana membuktikannya?
Kalau memang tidak terus nalar etika yang dipaparkan
al-jabiri di atas mewakili nalar etika siapa?
Kiranya
pemikiran Hegel dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan
persoalan di atas. Bagi Hegel, sejarah selalu berjalan
dalam proses dialektik antara dimensi being yang merupakan
absolute idea or truth itself dan dimensi becoming yang
merupakan determinate being dan memiliki karakteristik temporal. Teks-teks etika Islam adalah konseptualisasi being yang berposisi sebagai becoming. Teks bukanlah being tapi merupakan usaha tertinggi yang dicapai untuk sampai ke
drajat being . Namun pada saat yang sama, teks kembali
menjadi determinate being. Hal yang sama juga terjadi
pada fakta sosial kesejarahan etika manusia.
Rumusan-rumusan konsep nilai dan tindakan bagi sebuah
peradaban adalah proses becoming yang selalu menuju ke
arah being. Dengan mengambil gagasan Hegel di atas
nampaknya kedua-duanya baik “nalar teks” maupun “nalar konteks”
sama menempati posisi dan usaha yang sama untuk sampai
pada absolute idea meskipun tidak akan pernah sampai.
Kant, sang
inspirator Hegel, justru lebih membumi dalam memahami
absolute idea. Bagi Kant, idea atau concept of reason adalah
“a concept formed from nations and transcending the possibility
of experience”. Idea-idea itu bersifat transenden
dan berasal dari diri, dunia, dan Tuhan (melalui
agama?) Persoalannya, bagaimana menyatukan ketiga
transcendental ideas tersebut? Di situlah makna dan
peran akal mulai muncul. Menurut Kant, “just as understanding
unifies the manifold in the object of concepts by means
of concept, so reason unifies the manifold of concept by means
of ideas”. Oleh karena peran akal yang demikian itu,
kinerja pada awalnya merupakan kerja subjetif. Ia baru
menjadi kekuatan objektif ketika ia menggunakan sebuah
logika (baca: metodologi) untuk membentuk sebuah
sajian pengetahuan.
Dalam konteks
nalar-nalar etika yang dipresentasikan oleh pemikir
etika Arab-Islam pada awalnya merupakan pemikiran subjektif.
Ia kemudian menjadi kekuatan objektif atau bahkan kebenaran
objektif bukan oleh kerangka logika yang mapan tetapi lebih
oleh karena justifkasi sosialnya. Oleh karena itu, bagi penulis, nalar etika Arab akan jatuh pada subjektivitasnya jika tidak
dikaji dari dimensi logika atau metodologinya.
Artinya, untuk konteks sekarang warisan nalar etika di
atas perlu untuk dirumus ulang secara logis dengan
kerangka metodologi yang jelas sehingga menjadi sebuah
pengetahuan tentang etika Islam baik secara teoritik
maupun untuk kepentingan-kepentingan praksis.
Bicara tentang
transcendental ideas di atas, persolan atas Arab dan
Islam juga masih problematik. Kenapa al-Jabiri menggunakan
al-aql al-arabi bukan al-aql al-Islami. Arab bukan sekedar
konsep demografis, sosiologis, politis, antropologis tapi juga
historis. Aneka konsep ini ditambah lagi dengan al-‘arabi al-muashir
dan al-arabi al-madhi nampaknya menjadi titik persoalan yang
belum terpecahkan secara tuntas oleh al-Jabiri dalam proyek naqd
al-aql al-‘arabi-nya. Untuk itu, al-Jabiri berusaha merumuskan
secara tuntas persoalan di atas dalam wijhah nadhr: nahwu
I’adah bina qadhaya al-fikr al-arabi al-mu’ashir. Menurut al-Jabiri
persoalan arab dan Islam memang akan selalu ditemukan dimensi-dimensi
kontradiktifnya namun yang menjadi titik persoalan
bukanlah atas keduanya dijadikan sebagai suatu perspektif
atau sudut pandang (wijhah nadhr). Baik arab maupun Islam
hendakanya ditempatkan sebagai titik tolak pandang (I’adah al-nadhri).
Untuk itu, menurutnya, dalam konteks penyelesaian segela
persoalan yang ada sekarang ini, tidak pada tempatnya untuk
membedakan atau membandingkan antara arab dan Islam. Keduanya
merupakan dasar pijak bagi kepentingan keduanya. Namun,
al-Jabiri juga mengingatkan bahwa Islam dan Arab adalah dua
hal yang berbeda.
Namun, fakta perbedaan tentu bukan sekedar dari sisi Islam dan
arab semata, batasan-batasan atas nudhum al-qiyam untuk konteks
yang berbeda juga merupakan fakta lain atas perbedaan tersebut.
Sebagai contoh ukuran muru’ah bagi masyarakat muslim Arab
tentu akan berbeda dengan ukuran muru’ah muslim Jawa. Begitu
juga dengan yang lain. Fakta demikian (konsep universal value
untuk seluruh umat manusia) itu belum penulis temukan solusinya
dalam pemkiran al-Jabiri karena memang bukan itu yang dicari
oleh al-Jabiri. Yang dipresentasikan oleh al-Jabiri adalah value
construction peradaban Arab-Islam era lampau untuk kepentingan
value reconstruction demi kemajuan bangsa Arab sekarang
ini, dan mungkin Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu
tugas kita sekarang adalah belajar dari al-Jabiri dan belajar dari bagaimana al-Jabiri mempelajari etika suatu masyarakat
dan/atau agama tertentu.
Anjuran Daftar Bacaan Pokok
Al-Jabiri, Muhammad Abid.
al-turats wa al-hadatsah, Bairut: markaz dirasat
al-wahdah al-arabiyah, 1994.
——————–. takwin al-‘aql al-‘arabi, Bairut: markaz
dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1989.
——————–. bunyah al-‘aql al-arabi, Bairut: markaz
dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1993.
——————–. al-‘aql al-siyasi al-arabi, Bairut: markaz
dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1991.
——————–. Arab-Islamic Philosophy: A Contemporary
Critique, Austin: The University of Texas Press, 1996.
——————–. al-‘aql al-akhlaqi al-‘arabi, Bairut: markaz
dirasat al-wahdah al-arabiyah, 2001.
——————–. wijhah nadhr: nahwu I’adah bina qadhaya
al-fikr al-arabi al-mu’ashir (Bairut: markaz dirasat
al-wahdah al-arabiyah, 1994.