Rabu, 08 Mei 2013

Informasi Beasiswa Universitas Al Ahgaff Yaman Tahun 2013



SYARAT PENDAFTARAN

  1. Mengisi formulir pendaftaran
  2. Menyerahkan photo copy ijazah SMU/MA/Sederajat, sebanyak 3 lembar dengan nilai rata-rata komulasi minimal 7.5
  3. Ijazah tidak lebih dari tiga tahun
  4. Menyerahkan pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 4 lembar (background putih)
  5. Membawa surat pengantar dari pondok pesantren/sekolah
  6. Bagi yang ijazahnya belum keluar, maka dapat menyerahkan photo copy raport kelas X, XI, dan XII yang telah dilegalisir dari sekolah SMU/MA/Sederajat.

MEKANISME PENDAFTARAN
Pendaftaran dibuka mulai pada awal bulan April 2013 dan berkas harus sudah diterima Kantor Pusat Universitas Al-Ahgaff di Indonesia yaitu Jl. Jagasatru No.56 Cirebon Jawa Barat 45115.
Telp : (0231) 203157 melalui POS, JASA TITIPAN KILAT atau email: ahgaff_indonesia@yahoo.com, paling lambat 7 hari sebelum masa ujian dimulai.
Pengumuman hasil tes dapat dilihat di website : www.ahgaff.edu atau di group fb : YAYASAN AL-AHGAFF INDONESIA selambat-lambatnya tanggal 20 juni 2013.

JADWAL DAN LOKASI TES SELEKSI
  1.  05 Mei 2013 (Putra & Putri). PONPES ALKHAIRAT Kampus Madinatul Ilmi Dolo Jl. Tras Palu Kulawi Km.11 Sulawesi Tengah. Telp. (0451) 483807 Fax : 482534 CP : Ust. Citrawalan, Lc = 085256380038; Ust. Asghar Korona, Lc = 085216662307.
  2. 15 Mei 2013 (Putra & putri) PONPES ARRIYADH No. 59, 13 Ulu Palembang-Sumatera Selatan CP : Hb. Zein Alhabsyi = 081367712320; Ust. Mustamiruddin, M.H.I, Lc = 081373957681.
  3. 09 Mei 2013 (Putra & putri) PONPES AL KAUTSAR AL AKBAR Medan Sumatera Utara CP : Ust. Muhyiddin = 08126532221.
  4.  19 Mei 2013 (Putra & putri) LOMBOK NTB (Lokasi Tes Menyusul) CP : Ust. Drs. Abdillah Hasan Assegaff = 08123712561 / 081547100100 Ust. Abdul Aziz Bin Agil = 081803705558.
  5. 29 Mei 2013 (Putra) & 30 Mei 2013 (Putri) PONPES DARULLUGHAH WADDA’WAH Raci bangil Pasuruan Jawa Timur CP : Ust. Muh. Ali Alatas, Lc = 087885812057; Ust. Adnan Khassogi = 085350553189
  6. 26-27 Mei 2013 (Putra-Putri) PONPES KAUMAN Lasem Rembang Jawa Tengah CP : KH. M. Za’im Ahmad Ma’shoem = 081325650650; Ust. Munawwir = 081575564395
  7. 04 Juni 2013 (Putra-Putri) PONPES DARUL ILMI Jl. Jendral Ahmad Yani Km. 19,2 Kec. Lianganggang Kota Banjarbaru Kode Pos :70722 Kalimantan Selatan Telp. (0511) 7526293, 4705430 CP : Ust. Hamdani Thayyib, MA = 081348720313, (0511) 6298972 Ust. Irhami, Lc = 081351460004 
  8. 11 s/d 15 Juni 2013 (Setiap hari jam 08.00-12.00) Kantor Pusat Universitas Al-Ahgaff di Indonesia Jl. Jagasatru No. 56/193 Cirebon Jawa Barat CP = Ust. Fakhruddin Jamal : 081282175322/085724072348/087878955507/083823044230 Email = fahrudinj@yahoo.com 

MATERI UJIAN 
  1. Ujian Tahriri : Bahasa Arab
  2. Ujian Syafahi : Muhadatsah dan membaca kitab setingkat Fathul Qarib Syarh Taqrib.

BEASISWA YANG DIBERIKAN 
 Beasiswa bagi mahasiswa/i Indonesia hanya diberikan khusus untuk study :
  1. Fakultas Syari’ah bagi Putra
  2. Fakultas Tarbiyah Khusus Wanita Jurusan Kajian Islam bagi Putri.

BEASISWA YANG DIBERIKAN
Bagi mereka yang telah dinyatakan LULUS tes dan memenuhi syarat, akan mendapatkan beasiswa Penuh (pendidikan, asrama, dan makan) tidak termasuk ijin tinggal dan uang saku. Untuk biaya keberangkatan, jaminan tiket kepulangan, visa, terjemah ijazah dan lain-lain, calon mahasiswa dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 25.000.000,-

Minggu, 05 Mei 2013

Nalar Etika Abid al-Jabiri


Al-Jabiri memulai mengkesplorasi konsep-konsep etika yang berkembang dari zaman ke zaman di dunia Arab Islam, bahan atau lahan eksplorasi tersebut adalah teks-teks yang selama ini kita kategorikan sebagai teks-teks keislaman. Eksplorasi pertama adalah menyangkut konsep utama dari etika yaitu nilai (al-qimah), adab (al-adab), dan etika (al-ahlaq). Untuk menelusuri ketiga konsep tersebut, al-Jabiri menggunakan rujukan-rujukan kamus, kitab-kitab ensklopedis, dan juga sumber-sumber dari syair Arab pra Islam. al-Jabiri menjelaskan bahwa konsep adab merupakan sebuah konsep yang diwariskan kepada tradisi Arab. Konsep ini banyak ditemukan dalam wacana sufsitik, tradisi Persia, dan sebagian dalam wacana fiqh, Sementara konsep akhlaq berkembang dari tradisi keislaman hanya terbatas dalam ruang lingkup akhlaq sebagai sebuah attitude, bukan akhlaq sebagai konsep nilai. Padahal, persoalan utama diskursus etika adalah persoalan nilai itu sendiri. Ketika diskursus etika Arab-Islam dikaitakan dengan persoalan nilai maka satu hal yang menjadi titik tekan al-Jabiri adalah proses eksplorasi sejarah teks secara meyeluruh.
Eksplorasi sejarah teks yang dikehendaki oleh al-Jabiri berangkat dari dua asumsi dasar yang ia gunakan. Pertama bahwa wacana etika Arab-Islam sebagai sebuah diskurus adalah wacana etika yang berkembang pada masa dimana diskursus tersebut berkembang bukan dengan tata lisan (al-tsaqafah al-syafawiyyah) namun dengan tata-tulis (al-tsaqafah al-maktubah). Kedua, perkembangan diskursus dalam tata tulis tersebut memiliki kurun waktu yang jelas. Kurun waktu tersebut adalah pada era atau masa al-tadwin yang berlangung sekitar tahun 140 H. sampai kira-kira abad ke-6 hijriah.
Peradaban tata tulis tidak tumbuh tanpa latar sebelumnya. Faktor mekanisme pengetahuan menjadi salah satu peran penting yang menumbuh kembangkan tradisi tulis. Bahkan, diskursus sosial dan keagamaan muncul seiring perkembangan Islam. Fenomena ini dapat dibaca dalam karya al-Jabiri sebelumnya. Takwin al-‘aql al-Siyasi, dimana al-Jabiri sendiri menggunakan data tersebut untuk menopang atau menjadikan sebagai latar bagi proses awal terbentuknya suatu tata nilai (al-qiyam) yang tidak disadari sepenuhnya oleh pemerhati etika Arab-Islam yang hidup pada masa al-tadwin. Untuk itu, yang perlu diperhatikan dalam mengamati proses pembentuk struktur tata nilai yang menjustifikasi suatu tindakan apakah itu baik atau buruk ‎‎(akhlaq dalam arti teknis) dalam peradaban Islam, menurut al-Jabiri, adalah sejarah perkembangan wacana yang menyatu dengan wacana sosial-keagamaan baik dalam konteks politik mapun teologis.
Dari wacana di atas, al-Jabiri menyimpulkan bahwa persoalan mendasar yang menjadi sumber munculnya justifikasi-justifikasi baik dalam konteks fiqh maupun teologis adalah persoalan kebebasan manusia. Persoalan kebebasan manusia substansinya adalah persoalan etika atau tata nilai. Namun, pada akhirnya persoalan ini mengambil porsi terbesar dalam diskurus teologis dan terdokumentasi dalam karya-karya klasik tentang Kalam. Persoalannya adalah mengapa terjadi alih wacana dari yang sebelumnya diidentifikasi sebagai persoalan etika menjadi persoalan metafisika dan/atau persoalan teologis metafisis?
 Jawaban atas persoalan di atas mesti dikembalikan kepada fakta historis yang menunjukkan bahwa ujung persoalan kebebasan manusia terdapat pada diskursus kapasitas syara’ dan akal yang menjadi tolok ukur dan referensinya. Contoh sederhana terdapat dalam buku ajar tentang teologi Islam. Harun Nasution, misalnya, dalam bukunya Teologi Islam terdapat bab yang menjelaskan tentang Akal dan Wahyu dalam kaitannya dengan kapasitas manusia untuk mengetahui hal yang baik dan hal yang buruk.‎ ‎ Perdebatan atas peran dan fungsi akal dan wahyu selalu berujung pada “perebutan wilayah” otoritas agama dan otoritas manusia, di sisi sisi dan fakta masuknya tradisi pemikiran Yunani, di sisi lain. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa sesungguhnya persentuhan suatu pemikiran dengan pemikiran lain dapat menimbulkan resistensi baik dalam bentuk alienasi maupun dalam bentuk konfrontatif dan dapat pula menimbulkan reformasi.
Yang jelas, menurut al-Jabiri perdebatan di atas masih menyisakan persoalan bahwa apa yang disebut sebagai ilm al-akhlaq, mashadir al-akhlaq, asas al-akhlaq susah ditemukan padanannya dalam konteks diskurus etika Islam. Yang ada mungkin hukm al-akhlaq, namun konsep ini kembali pada wacana induknya yaitu fiqh. Untuk itu, al-Jabiri berusaha mencari jawaban di atas dengan mengambil konsep al-dhamir konsep ini sepadan dengan istilah conscience dalam bahasa Inggris. Tentu konsep ini dipertanyakan kapasitasnya. Namun konsep ini menurut al-Jabiri tepat untuk merumuskan manba’ al-akhlaq sebagaimana pengetahuan membutuhkan rasio. Persoalan awal kembali muncul, bagaimana menemukan manba’ al-akhlaq tersebut yang disebut sebagai al-dhamir .
Nalar Etika I: Etika Persia : akhlaq al-tha’ah.
 Usaha yang dilakukan oleh al-Jabiri untuk menemukan pola-pola yang membentuk tata nilai dalam nalar etika Arab-Islam, sesuai dengan ancangan metodologi di atas, adalah dengan menelaah dokuman tertulis klasik dalam khazanah peradaban Islam yaitu: dokumen-dokumen dalam bentuk risalah (surat-surat) dan teks-teks orasi pada era Mua’wiyah, khususnya pada era kepemimpinan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H.). Simpulan al-Jabiri menunjukkan bahwa konsep adab (al-adab), kepasrahan (al-Jabr), dan kepatuhan secara politik (al-Tha’ah) menjadi kosakata-kosaka etis-politis yang sedang menemukan momentumnya. ‎ ‎ ‎konsep-konsep di atas, menurut al-Jabiri, muncul oleh karena pengaruh tradisi Persia. Fakta demikian, menurut al-Jabiri terus berlangsung ketika kekhalifahan Islam dipegang oleh Abbasiyah. Jika di era Muawiyah, banyak sekretaris negara, seperti Salim dan Abd al-Hamid, berpendidikan dengan tradisi pendidikan Persia, di era Abbasiyah berlangsung proses penerjemahan teks-teks Persia ke dalam bahasa arab dan kemudian menjadi rujukan bagi tata nilai yang mendasari etika sosial dan politik. penerjemahan dokumen-dokumen kerajaan Sasania , khususnya raja Ardsyira (w. ‎‎241 M.) pada abad ke-3 M. dan penerjemahaman kitab kalilah wa dimnah oleh Ibn al-Muqaffa’, dan karya-karya Ibn al-Muqaffa’ sendiri menjadi referensi utama pembentukan tata nilai di atas. ‎ ‎
Fakta di atas lebih tepat jika ditempatkan pada etika sosial dalam arti makro, etika sosial dalam arti yang sempit seperti etiket-etiket yang berlaku untuk kehidupan sehari-hari baik untuk perorangan maupun sosial juga berkembang. Etika dalam arti etiket ini justru banyak ditemukan dalam hadits-hadits nabawi yang juga menjadi acuan di istana maupun di masyarakat. Tidak adanya pergesekan ide-ide yang berarti antara etika dalam arti etiket dengan sumber-sumber hadits nabawi dengan etika politik yang bersumber dari tradisi Persia di atas oleh karena memang wilayahnya yang berbeda.
Sepeninggal Ibn al-Muqaffa, tradisi tulis di era Abbasyiah mulai benar-benar tumbuh. Pada era ini, intelektual ensiklopedis Ibn Qutaibah merupakan pioneer bagi perumusan tata nilai etika Islam. Di samping merujuk pada karya-karya Ibn al-Muqaffa’ dan tradisi Persia yang melatarinya, Ibn Qutaibah mumpuni dalam berbagai keilmuan Islam yang dikategorikan asli oleh al-Jabiri., seperti al-Qur’an, al-hadits, dan al-fiqh. Tentu bukan hanya Ibn Qutaibah, sosok yang merepresenatasikan fiqh, seperti al-Syafi’I ‎‎(w. 150 H.), kalam, seperti al-Jahid (w.255 H.), filsafat, seperti al-Kindi (w.252), hadits, seperti al-Bukhari (w. 256 H.), tasawwuf, seperti al-Karkhi (w. 200 H.), sejarah, seperti al-Thabari (w. 310), dan tokoh lainnya memberikan kontribusi bagi membanjirnya wacana berbagai keilmuan yang berbasis islami. Kondisi di atas tentu memberikan kontribusi penting bagi proses perkembangan tolok ukur tata nilai (al-qiyam) yang mendasari nalar etika Arab-Islam yang berlangsung mulai abad kedua hijri.
Dari karya Ibn Qutaibah (‘uyun al-akhbar) dan Ibn Abdi Rabbah (al-‘aqd al-farid)‎ ‎, al-Jabiri dengan jelas menyimpulkan bahwa tata nilai yang dapat dibaca dari kedua tokoh tersebut adalah tata nilai yang mendasari munculnya akhlaq kepatuhan (al-akhlaq al-tha’ah). Akhlaq kepatuhan ada dua; (1) politis (akhlaq al-lisan) dan (2) biologis (akhlaq al-nafs) (makanan dan perempuan). Intinya, kedua karya tesebut sangat kental dengan tradisi Persia.
Di samping kedua karya di atas, sosok intelektual lain seperti al-Mawardi (w. 450 H). dalam al-ahkam al-sulthaniyyah, al-Ibsyihi/al-Absyaihi (w. 850 H.) dalam al-mustathrif , dan al-Qalqasyandi (w. 821 H.) dalam shubh al-‘a’sya fi shina’ah al-insya tidak bisa dikesampingkan karena dapat diposisikan sebagai ‎‎“pembanding” dari dua karya di atas. Baik al-Mawardi maupun al-Absyihi dapat dikatakan lebih “islami” dalam merumuskan tata nilai meskipun untuk referensi yang sama sebagai pijakan bagi akhlaq kepatuhan.
Nalar etika kepatuhan berangkat dari asumsi kepatuhan kolektif untuk kekuatan individu (Sulthan). Etika kepatuhan mensyaratkan tidak adanya konsep nilai yang bersifat individual ‎‎(al-qimah al-fardiah). Nilai-nilai individual justru berkembang dari warisan Yunani dengan konsep al-sa’adah.
Nalar Etika II: Etika Yunani : akhlaq al-sa’adah/al-khuluq al-fadil.
 Penjelasan di atas selalu berasumsi bahwa konsep kepatuhan yang diorientasikan pada penguasa akan membawa kebahagiaan bagi rakyatnya. Dalam tradisi Yunani justru sebaliknya. Konsep kepatuhan selalu diorientasikan pada rakyat. Oleh karena itu yang dicita-citakan oleh tradisi filsafat Yunani bukanlah al-Sulthan/ the King tapi justru republic (Plato), The Polity ‎‎(Aristoteles), dan al-madinah al-fadilah (al-Farabi).
Untuk menelusuri labirin pemikiran filsafat di era ini kiranya cukup dengan memahami pola dikotomis yang memang menjadi pola nalar tradisi ini. Salah satu karakter dikotomis yang sering didengar sampai hari ini adalah konsep jiwa (soul) dan badan ‎‎(physic). Dalam jiwa terdapat intelligence (al-nafs/al-quwwah al-‎‎‘aqilah) dan emotion (al-nafs/al-quwwah al-syahwaniyyah). Konsep al-Sa’adah tidak saja bersifat psikis (non-fisik/immaterial) namun juga bersifat fisis (fisik/materiil). Olah karena itu, al-Sa’adah hanya didapatkan dengan menggunakan keduanya dan untuk keduanya.
 Tradisi filsafat Yunani secara nyata ikut serta dalam mempengaruhi konstruksi wacana etika Arab-Islam. Hal itu dapat dilihat dari pengaruh Galen pada sosok al-Kindi (w. 252 H.) di mana Galen sendiri sesungguhnya mendapat banyak inspirasi dari filsafat Plato terutama dalam konteks kajian fisika atau kedokteranya. Oleh karena itu tidak aneh jika kemudian al-Kindi merumuskan apa yang ia sebut sebagai al-tibb al-ruhani. Hal yang sama juga ditulis oleh al-Razi (w. 320 H.) dengan judul yang sama meskipun ia tidak secara langsung merujuk pada Galen, sebagaiamana dilakukan oleh al-Kindi. Di samping kedua filosof di atas nama lain yang juga banyak mewarnai corak ini adalah Tsabit bin Sinan (w. 380-an H.) dalam karyanya tahdzib al-akhlaq.
 Simpulan sementara dari pemikiran etika Arab-Islam ketiga tokoh di atas adalah bahwa tata nilai yang membangun karakteristik manusia bermoral adalah interaksi aktif antara kekuatan fisik dan mental. Keduanya saling berinteraksi secara moderat (al-fadilah) dalam membentuk keperibadian sehingga sampai pada orientasi yang dituju: al-sa’adah.
Tentang tahdzib al-akhlaq dalam tradisi intelektual klasik memang menjadi nama favorit sehingga muncul nama kitab dengan isi yang sama namun nama pengarangnya masih dipersoalkan sampai sekarang. Di samping karya Tsabit, kitab dengan judul yang sama juga ditulis Ibn Miskawaih. Ada kitab tahdzib al-akhalq lain yang ditulis al-Jahidh namun di lain percetakan kitab tersebut disebutkan ditulis oleh Yahya bin Adi, kebetulan yang penulis memiliki adalah karya al-Jahid. Oleh al-Jabiri justru karya al-Jahid itu sebenarnya ditulis oleh Ibn al-Haitsam (w. 432 H.), sebagaimana juga diakui oleh para filolog orientalis.
Lepas dari perbedaan pendapat yang ada, kitab ini secara umum masih corak yang sama dalam kategiri di atas, kategori ethic-scientific . Bagaimana tentang karya Ibn Miskawaih? Ternyata al-Jabiri tidak menyinggung sama sekali tokoh yang satu ini dalam satu ruang kategori ethic-scientific. Al-Jabiri justru menempatkan Miskawaih dalam kategori ethic-eclectic. Sebelum menjelaskan kategori ethic-eclectic ada kategori yang lain yaitu philosophical ethic (falsafah al-akhlaq).
Inti kategori ethic-scientific adalah bahwa etika itu berbasis individual. Oleh karena orientasi pembangunan etika terletak pada setiap individu. Individu-individu ada yang sehat dan ada yang sakit baik secara fisik maupun psikis. Mereka yang sehata secara fisik dan psikis adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk keseimbangban (al-fadilah/ al-khuluq al-fadil) di antara batas atas dan batas bawah. Bagaimana dengan katgoeri philosophical ethic?
Etika yang berbasis filosofis pada dasarnya sama memelikii genealogi keilmuan dari tradisi filsafat Yunani. Bedanya ethic-scientific dari Galen, sedangkan philosophical ethic dari Plato ‎‎(427-347 SM) dan Aristoteles. Representasi wacana etika Arab-Islam dengan kategori philosophical ethic adalah sosok filosof al-Farabi, Ibn Bajah, dan Ibn Sina. Ethic-scientific sama sekali tidak menyinggung etika kepatuhan sementara philosophical ethic berusaha membongkar etika kepatuhan sampai keakar-akarnya. Untuk itulah al-Farabi menulis al-madinah al-fadilah. Sebuah karya yang merepresantasikan kesatuan antara Plato (al-madinah) dan Aristoteles (al-fadilah).
Selain al-Farabi, filosof Ibn Bajah (w. 533 H.) juga menggunakan kerangka metodologi yang sama (Philosophical ethic). Menurut Ibn Bajah kekuatan psikis (al-quwah al-nafsiah) dan kekuatan fisik (al-quwwah al-thabi’iyyah) harus disatukan oleh karena keduanya memang bekerja dalam ketergantungan satu sama sama lainnya. Untuk itulah Ibn Bajah merumuskan apa yang ia sebut sebagai Tadbir al-Mutawwahid (united empowering). Suatu rumusan yang nampaknya susah untuk ditemukan dalam al-Najat-nya Ibn Sina yang lebih menitikberatkan pada dimensi psikis meskpun berangkat dari kondisi fisik. Juga susah untuk diemukan dalam Mukhtasar Jumhuriyyah-nya Ibn Rushd. Bahkan ada kemungkinan, menurut hemat penulis, bahwa upaya Ibn Rushd untuk meringkas Republic-nya Plato itu lebih dititikberatkan pada realitas Andalusia yang sedang menuju kemundurannya. Ataukah ending dari philosophical ethic itu justru kembali pada Republic versi Ibn Rushd itu? wa allahu ‘a’lam..
Bolak-balik dalam pola nalar dikotomis yang mewarnai diskursus di atas (mungkin, menurut penulis) mengilhami banyak intelektual muslim pada era-era berikutnya untuk mengambil yang terbaik darimanapun asal pijaknya. Itulah yang oleh al-Jabiri diistilahkan dengan eclectic ethic. Dalam satu hal eclectic ethic mungkin diasumsikan sebagai suatu sikap yang dianggap negative. Namun dalam suatu alasan tertentu sikap eklektik dapat dimaklumi, termasuk di antaranya dalam konteks keilmuan.
Secara umum karakter eklektik ini menjadi label bagi beberapa karya intelektual Muslim di bidang etika oleh karena keputusan penulis dalam mengambil berbagai sumber pandangan dan sekaligus menjadi mainstream dalam karyanya sehingga konstruk etika yang mereka bangun tidak mencerminkan satu karakter tertentu. Meski demikian, kelompok ini oleh al-Jabiri digolongkan sebagai philosophical ethic.
 Salah satu referensi etika Arab-Islam yang mencerminkan karakter eclectic ethic adalah kitab al-sa’adah wa is’ad karya al-‎‎‘Amiri dan tahdzib al-akhlaq karya Ibn Miskawaih. al-Sa’adah masuk dalam kategori tersebut oleh karena judul karya tersebut mencerminkan dua konsep yang mencerminkan dua konsep yang memiliki perbedaan basis tradisi. Sebagaimana diketahui bahwa etika Aristoteles (Nichomachean ethics) berujung pada konsep happiness. Kebahagiaan (al-sa’adah) menurut Aristoteles bersifat otonom dalam diri manusia (teoritik/ ‘ilmi). Artinya, manusia sendirilah yang mampu menemukan kebahagiaan tersebut dengan kekuatan rasionalnya. Akan tetapi pada saat yang sama al-‘Amiri menyandingkannya dengan konsep al-is’ad, is’ad al-ghair au is’ad al-sulthan (politik dan praksis/’amali).
Karakter eklektik ini berkembang oleh karena berbagai faktor. Faktor utama adalah realitas adanya “sauq al-mashadir wa al-qiyam” baik dari karya-karya terjemahan, forum-forum pengkajian, karya-karya asli dari intelektual muslim pada waktu itu. Faktor lain adalah kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkarya yang diusung oleh para penguasa Abasiyyah pada waktu itu dengan catatan karya-karya tersebut tidak menyinggung atau mengusik rezim yang berkuasa.
 Al-‘Amiri dalam menulis al-sa’adah tidak saja menggunakan referensi dari filosof Yunani tapi juga dari rujukan-rujukan dari Persia. Sumber-sumber dari al-Qur’an dan hadits serta pendapat-pendapat ulama juga digunakan. Itulah yang mencerminkan sikap eklektik al-Amiri. Di samping itu, sebagaimana telah disinggung di atas polarisasi antara Aristotelian yang individual dan Platonian yang komunal merupakan unsur lain yang membikin karakter tersebut.
Tokoh lain yang juga mencerminka karakter eklektik adalah Ibn Miskawaih (w. 421 H.), sosok yang juga merupakan murid al-‎‎‘Amiri ini menulis kitab tahzdib al-ahlaq dan al-hikmah al-khalidah. Kitab kedua ini menurut beberapa sumber ditulis dalam bahasa Persia dengan judul Javidan Khiraj (artinya al-hikmah al-khalidah). Kitab ini menurut al-Jabiri sangat Persian oriented dengan mengikuti pola nalar yang dikembangkan oleh Ibn Qutaibah dalam ‎‎‘uyun al-akhbar. Sementara dalam kitab yang pertama terdapat dua konstruksi pemikiran yaitu Platonian dan Aristotelian yang diambil secara tertib tanpa ada keterangan yang memadai. Terlepas dari eklektisme yang diasumsikan kepada tokoh-tokoh di atas, pola sinkretis (al-talfif) sebenarnya lebih tepat dalam konteks sosial pada waktu itu, atau dalam bahasa sekarang sebagai integrasi-interkoneksi (sinkretisme abad 21).
  Yang jelas, jika ditelusuri lebih dalam konsep al-sa’adah al-‎‎‘udhma, sebagaimana dicita-citakan oleh para filosof Yunani yang kemudian ditransfer oleh para penerjemah dan intelektual ke dalam diskursus etika Arab-Islam, belum lah selesai. Di katakan belum selesai oleh karena al-sa’adah (al-‘udhma) bukan merupakan kata akhir dalam khazanah etika Arab-Islam. Yang terakhir justru adalah hilangnya rasa bahagia itu sendiri oleh karena kebersartuan manusia dengan sumber dari segala sumber kebahagiaan, Tuhan. Itulah al-akhlaq al-fana’ ‘(perishable ethic).
Nalar Etika III: Etika Sufistik : min al-akhlaq al-fana ila fana’ al-akhlaq.
Al-Jabiri berpendapat bahwa konsep fana tidak ditemukan dalam warisan Islam dan Arab “asli”. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa konsep fana itu berasal dari tradisi Yunani atau Persia. Pandangan al-Jabiri ini merupakan pendahuluan dari apa yang ia kehendaki sebagai awal penelusuran atas konsep di atas. Yang jelas untuk menelusuri konsep di atas ada baiknya jika pembaca terlebih dahulu karya al-Jabiri sebelumnya (al-binyah al-‎‎‘Aql al-‘Arabi) khususnya dalam bab al-irfan.
 Secara historis al-Jabiri menyimpulkan bahwa diskursus tasawwuf pada awalnya merupakan aktifitas individual untuk menanggalkan sikap berlebih-lebihan, kekuasaan, dan melaksanakan sikap zuhud yang secara konseptual terinspirasi dari tradisi Persia.‎ ‎ Sikap seperti di atas tercermin dalam sosok Ibrahim bin Adham (w. 161 H.), sosok yang secara kultural sangat dengan Persia, ia dilahirkan di Khurasan. Namun, adapula tokoh Hasan al-Basri (w. 110 H.) yang memiliki genealogi budaya dan pengetahuan yang asli Arab-Islam. Sosok Hasan al-Basri ini nampaknya sangat tepat dijadikan sebagai tokoh utama oleh kelompok-kelompok kontra syi’ah. Dari awal Syi’ah memiliki ikatan kultural kuat dengan tradisi sufistik, bahkan tradisi tasawwuf dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari peran ulama-ulama syi’ah-persia seperrti Jabir bin Khayyan al-Shufi dan Abu Hasyim al-Shufi, keduanya juga dari Khurasan. Meskipun para punggawa Syi’ah, seperti Ja’far al-Shadiq, mencela sikap berlebihan mereka.
Pasca Hasan al-Basri (di pihak Sunni) maupun Ibrahim bin Adham, tradisi sufistik mulai masuk pada ke dalam tradisi tulis. Artinya muncul tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tasawwuf. Hal ini terjadi mulai abad ketiga hijri. Al-Jabiri menjelaskan bahwa pada era ini ada peralihan konsep tasawwuf dari yang secara literal sangat bathini menuju ke arah yang bersifat etis (adab).‎ ‎ ‎Hal itu terjadi baik di kalangan sunni maupun syi’i. al-Hujwairi, penulis kasyf al-mahjub, menguatkan hal itu dengan mengambil pandangan Abu al-Khasan al-Nuri (w. 295 H.). al-Qusyairi (w. 465 H.) dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah bahkan menyimpulkan bahwa konsep adab merupakan kata kunci pada diskurus tasawwuf pasca generasi pertama tersebut.
Jika adab merupakan kata kunci maka persoalannya adalah oleh siapa dan kepada siapa adab ini diterapkan? Ketika yang dimaksud dengan adab adalah adab seorang hamba kepada Tuhannya maka dalam konteks Islam tentu sudah memiliki wacana tersendiri yaitu fiqh. Oleh karena itu, bisa jadi adab yang dimaksud adalah suatu kriteria tertentu yang dirumuskan oleh seorang sufi dalam konteks beribadah secara individual dan kriteria tertentu yang dirumuskan untuk seorang murid dalam konteks hubunganya dengan al-syaikh/al-mursyid dalam konteks yang sama. Dengan prasyarat-prasyarat itulah konsep al-wali ‎‎(sunni) dan al-wilayah (syi’i) mulai menemukan momentumnya untuk berkembang.
 ‎ ‎Dalam ranah itulah sesungguhnya etika sufistik menunjukkan suatu orientasi agar manusia sampai pada derajatnya yang paling tinggi yaitu bersatu berama sang khaliq itulah akhlaq al-fana. Namun demikian, kefanaan diri bukanlah suatu tujuan utama tasawwuf. Kefanaan hanya sebuah metode untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh karena itu pada akhirnya konstruksi al-akhlaq al-fana menjadi fana’ al-akhlaq. Kefanaan kriteria etis tertentu ini muncul dalam diri seorang sufi dalam kondisi tertentu. Di situlah konsep maqam, hal, dzauq, atau dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah zadab menemukan peran dan posisinya.
Nalar Etika IV: Etika Arab: al-akhlaq al-muru’ah.
  Al-Jabiri menyadari bahwa merumuskan sebuah konsep etik yang bersumber dari Arab bukanlah perkara mudah. Kesulitan muncul oleh karena sebagai sebuah sumber etika Arab atau etika yang bersumber dari gagasan-gagasan orisinil bangsa atau masyarakat Arab tanpa terpengaruh atau masuk dalam latar agama apapun ternyata tidak memiliki referensi yang memadai. Data yang dapat ditemukan dari sumber etika Arab hanyalah berupa sya’ir atau maqalah-maqalah yang terekam dan terabadikan dalam tulisan-tulisan yang berpayung Islam atau tradisi lain seperti al-‘aqd al-farid karya Ibn Abd Rabbah. Salah satu rujukan sya’ir-sya’ir Arab yang cukup terkenal adalah sya’ir-sya’ir karya al-Mutanbbi. Sementara dari maqalah-maqalah yang cukup terkenal adalah maqalahnya Aktsam bin Shaifi. Maqalah-maqalah dari Aktsam tersebut kemudian dikenal dengan istilah al-hikmah al-nadzari, sementara dari al-Akhaf bin Qais dikenal dengan al-hikmah al-‘amali..
Konsep muru’ah atau harga diri dalam bahasa sederhana sesungguhnya terkait dengan realitas kultural dan politis bangsa Arab dengan struktur sosial bersuku-suku (qabilah). Kondisi demikian memberikan pengaruh pada munculnya tolok ukur tertentu yang berfungsi untuk memperkuat, mempertahankan, atau mengembangkan qabilah atau klan yang dimilikinya. Itulah yang kemudian diwarisi oleh kekhalifahan Umayyah maupun Abasiyyah sebagai moralitas artsitokrat yang melulu beriorentasi pada moralitas dalam kehidupan. Konsep ini kemudian ditransormasikan ke dalam konsep keagamaan oleh Hasan al-Basri seperti tercemin dalam statemennya “la dina illa bi muru’atin”.
 Sebagai konsep untuk membangun harga diri dengan mengupayakan secara maksimal dalam melaksanakan apa yang baik atau terpuji dan menjauhi seluruh yang tercela, muru’ah sesungguhnya masih debatable. Pemahaman di atas mungkin sama dengan konsep kemuliaan, sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an (innahu la qur’an karim fi kitab maknun). Akan tetapi konsep muru’ah lebih dari sekedar watak kemuliaan. Orang yang lemah secara fisik dan kemudian dihina dan tanpa mampu mempertahankan harga dirinya ia mungkin disebut tidak memiliki muru’ah. Artinya dimensi jasmani juga masuk dalam konsep muru’ah. Atau justru sebaliknya bahwa konsep karim merupakan kesatuan konsep muru’ah secara fisik maupun nonfisik? Yang jelas konsep muru’ah memiliki varian makna yang sangat banyak baik yang bersumber dari khazanah Arab pra Islam, Islam maupun tradisi lain.
Konsep muru’ah ini kemudian dijelaskan secara panjang oleh al-Mawaradi dalam adab al-dunya wa al-din. Secara ringkas al-Jabiri menyimpulkan bahwa penjelasan al-Mawardi dan beberapa referensi lain menunjukkan bahwa konsep muru’ah merupakan rumusan moralitas dalam konteks kemasyarakatan. Oleh karena itu ukurannya bukan dengan dasar-dasar rasonlitas semata melainkan juga tolok ukur yang mengatasnamakan kebenaran dan kuasa bi al-jama’ah.. Berangkat dari hipotesis inilah al-Jabiri menegaskan bahwa konsep etika yang berbasis harga diri tidak berasal dari konsep keagamaan (Islam). Kalau demikian halnya konsep etika apa saja yang murni berasal dari agama (Islam)?
Nalar Etika V: Etika Islam: akhlaq al-dini li maslahat al-dunya wa al-akhirah.
Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, Islam dengan tegas menyebutkan bahwa etika keagamaan yang ia suguhkan untuk manusia adalah etika Qur’ani atau etika profetik. Kedua konsep di atas tentu terlalu longgar karena menyangkut konsep-konsep keagamaan secara umum. Untuk itu, al-Jabiri berpendapat bahwa konsep etika yang murni berasal dari wacana keislaman adalah konsep yang muncul dan merupakan reperesentasi dari realitas sosial Islam. Konsep ini muncul di tangan al-Kharis al-Muhasabi (w. 243 H.), sosok yang begitu perihatin atas kondisi umat Islam pada waktu dan sekaligus prihatin atas jauhnya dimensi-dimensi etik dalam dinamika diskurus keilmuan Islam.
 Al-Jabiri menggunakan Haris al-Muhasabi sebagai permulaan tolok ukur lahirnya nalar etika Islam sesungguhnya menimbulkan tanda tanya besar bagi pembaca. Namun, sosok yang oleh al-Ghazali disebut sebagai aliran yang telah ia hapus ‎‎(naskh) dengan kitab Ihya Ulum al-Din ini memiliki penilaian tersendiri di mata al-Jabiri. Menurut al-Jabiri kritik pedas al-Muhasabi terhadap diskurus keilmuan Islam pada abad ketiga hijri disebabkan oleh keringnya dimensi akhlak religius (al-akhlaq al-dini). Adapun yang dimaksud dengan etika religius, menurut al-Muhasabi, adalah ilmu tentang hukum-hukum ukhrawi atau al-‘ilm al-bathin yang memayungi ibadah al-dhahirah yang mendasarkan pada fiqh dan ilmu pendukungnya. Lebih lanjut al-Muhasabi merumuskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu al-bathin bukan lah ilmu dengan basis epistemologis irfani, sebagaimana terdapat dalam wacana sufistik. Ilm al-bathin bagi al-Muhasabi tetapi memiliki anasir-anasir rasionalitas yaitu dengan mengambil konsep-konsep pemahaman yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Yang jelas, bagi al-Jabiri, sosok al-Muhasabi benar-benar merupakan sosok pioneer bagi konsep etika Islam orisinil. Konsep etika Islam orisinil ini terbagi menjadi dua kajian pokok. Pertama, akhlaq al-din sebagaimana dirumuskan oleh al-Muhasabi dalam ri’ayah huquqillah . Kedua, akhlaq al-dunya, sebagaimana dirumuskan oleh al-Mawardi dalam adab al-dunya wa al-din. Kedua kajian tersebut kemudian dipertajam oleh al-Ragib al-Isfahani (w. ‎‎502 H.) lewat al-dari’ah ila makarim al-akhlaq. Bahkan dapat dikatakan bahwa al-Isfahani telah melakukan islamisasi etika Yunani dengan cara memberikan referensi keagamaan atas nalar-nalar etika Yunani sehingga benar-benar menjadi sebuah etika Islami.
Namun demikian, secara konseptual etika dengan basis kegamaan ini sesungguhnya dirumuskan oleh al-Ghazali (w. 505 H.) lewat karya besarnya ihya ulum al-din. Karya al-Ghazali tentang etika, di samping al-ihya, adalah mizan al-‘amal. Karya kedua ini secara metodologis dan epistemologis sesungguhnya masih menggunakan kerangka filosofis. Sementara untuk kitab yang pertama di atas, al-Ghazali benar-benar merumuskan konsep-konsep dasar bagi etika Islam. Intinya, membaca al-ihya sama dengan al-mustasfa. Artinya keduanya berfungsi sama yaitu sebagai al-ushul . Ada indikasi bahwa al-Ghazali banyak terinspirasi dari al-Isfahani. Namun, perbedaan dalam epistemik bagi keduanya cukup tajam. Epistemologi al-Isfahani berbasis bayani, sementara epistemologi al-Ghazali berbasis ‘irfani.
Konsep etika Islam ini lebih lanjut dikembangkan oleh Izz al-din bin Abd al-Salam (w.639), seorang ahl fiqh generasi ketiga dari madzhab Syafi’i. Bagaimanapun latar al-‘izz sebagai seorang faqih tidak bisa diabaikan. Dengan latar itu ia merumuskan bahwa dasar pijak etika keagamaan (Islam) adalah al-maslahah. Hal itu sebagaimana tercermin dalam karya-karya etiknya yang berjudul qawa’id al-ahkam fi masalih al-anam dan syajarah al-ma’arif wa al-ahwal wa salih al-aqwal wa al-af’al. dalam telaah atas kedua kitab tersebut, al-Jabiri menyimpulkan bahwa al-Izz sama sekali tidak memahami konsep etika Yunani maupun Persia. Oleh karena itu, rumusan etika keagamaan al-Izz benar-benar bersumber dari referensi keagamaan.
Konsep maslaha hampir tidak ada bedanya dengan konsep konsekwensionalisme dalam diskursus etik modern. Artinya sebuah tindakan selalu diukur dengan akibat-akibat yang akan terjadi. Maslaha tidak bersandar masa lampau tapi berorentasi ke depan. Dalam wacana fiqh, basis orientasi ke depan itu dikenal dengan maqasid al-syari’ah. Al-Jabiri menempatkan al-Izz sebagai kelompok al-maqasid pertama yang kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi sebagai generasi kedua. Namun demikian, konsep maslaha sebenarnya bukan konsep akhir. Al-Izz menegaskan bahwa dalam maslaha terdapat spirit al-ihsan, sebuah spirit yang selalu integral dalam tindakan untuk lebih baik (kaifiah al-akhsan). Gagasan al-Izz ini memberikan inspirasi banyak bagi sosok Ibn Taimiah (w. 728 H.) meskipun di kemudian hari Ibn Taimiah banyak menemui tantangan karena usahanya mencerabut dimensi-dimensi irfani dalam tradisi keilmuan dan kemasyarakatan Islam pada waktu.
Catatan atas Nalar Etik al-Jabiri
Kiranya patut untuk diakui bahwa proyek kritik nalar Arab al-Jabiri adalah proyek presitisus dalam diskursus pemikiran Islam modern. Kritik nalar etika Arab yang merupakan proyek ke empat ini, menurut hemat penulis, lebih tepat jika ditempatkan sebagai proyek penjelajahan untuk membikin “peta jalan” (road map) yang sangat membantu bagi para pembacanya untuk menggunakan peta tersebut meski untuk tujuan yang berbeda. Road map karya al-Jabiri di atas berhasil dibuat dengan dukungan basis epistemologi dan metodologi yang kuat. Namun, dari basis itu pula letak keringkihan “bangunanan” nalar etika Arab al-jabiri.
Secara epistemologis persoalan mendasar yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah distingsi dan sekaligus konsep “nalar teks” di satu pihak dan “nalar konteks” (nalar sejarah), di pihak lain. Artinya, Kedua wilayah itu nampaknya belum dipahami dan diposisikan secara jelas oleh al-Jabiri. Nalar teks tidak secara otomatis merupakan reperesentasi dari nalar konteks, atau sebaliknya. Persoalan ini sesungguhnya bisa di atasi jika al-Jabiri tidak menggunakan metodologi sistematika teks, sebagaimana yang telah gunakan dalam menulis nalar etika arab, tetapi justru menggunakan pendekatan sejarah penalaran secara lebih memadai sebagaimana dikembangkan oleh Foucault. Dikatakan lebih memadai oleh karena al-Jabiri sendiri menggunakan al-tahlil al-tarikhi namun dalam prakteknya simpulan-simpulan al-Jabiri lebih banyak didapatkan dari pembacaan atas sistematika teks-teks di atas.
Solusi di atas memang belum menyelesaikan persoalan mendasar di atas. Untuk itu, pandangan Hisyam Gushaib di bawah ini mungkin dapat membantu. Persoalan nalar teks dan nalar konteks di atas, dalam bahasa Hisyam, mestinya dikembalikan kepada persoalan kesadaran (al-syu’uri/al-wa’y/consciousness) dan ketidaksadaran (al-la syu’uri/al-la wa’yu/ unconsciusness), atau dalam bahasa Najib Mahfud sebagai al-ma’qul wa al-la ma’qul. Konteks sosial berkembang kadang tanpa ada kesadaran apapun (bahkan oleh Marx ketidaksadaran ini terus dipelihara untuk kepentingan sosial tertentu; borjuis/pemilik modal).‎ ‎ Etika dalam masyarakat bersumber dari kesadaran dan penalaran sosial. Sementara konsep-konsep etika dalam nalar teks dibangun di atas meja tulis. Kondisi ini memungkinkan terjadinya kesalahpahaman antara persepsi penulis dan persepsi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, persoalannya apa nalar etika yang dipaparkan al-Jabiri di atas merupakan repersentasi dari nalar etika sosial yang berkembang di masyarakat Arab-Islam? Kalau memang betul bagaimana membuktikannya? Kalau memang tidak terus nalar etika yang dipaparkan al-jabiri di atas mewakili nalar etika siapa?
Kiranya pemikiran Hegel dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan persoalan di atas. Bagi Hegel, sejarah selalu berjalan dalam proses dialektik antara dimensi being yang merupakan absolute idea or truth itself dan dimensi becoming yang merupakan determinate being dan memiliki karakteristik temporal.‎ ‎ Teks-teks etika Islam adalah konseptualisasi being yang berposisi sebagai becoming. Teks bukanlah being tapi merupakan usaha tertinggi yang dicapai untuk sampai ke drajat being . Namun pada saat yang sama, teks kembali menjadi determinate being. Hal yang sama juga terjadi pada fakta sosial kesejarahan etika manusia. Rumusan-rumusan konsep nilai dan tindakan bagi sebuah peradaban adalah proses becoming yang selalu menuju ke arah being. Dengan mengambil gagasan Hegel di atas nampaknya kedua-duanya baik “nalar teks” maupun “nalar konteks” sama menempati posisi dan usaha yang sama untuk sampai pada absolute idea meskipun tidak akan pernah sampai.
Kant, sang inspirator Hegel, justru lebih membumi dalam memahami absolute idea. Bagi Kant, idea atau concept of reason adalah “a concept formed from nations and transcending the possibility of experience”.‎ ‎ Idea-idea itu bersifat transenden dan berasal dari diri, dunia, dan Tuhan (melalui agama?) Persoalannya, bagaimana menyatukan ketiga transcendental ideas tersebut? Di situlah makna dan peran akal mulai muncul. Menurut Kant, “just as understanding unifies the manifold in the object of concepts by means of concept, so reason unifies the manifold of concept by means of ideas”.‎ ‎ Oleh karena peran akal yang demikian itu, kinerja pada awalnya merupakan kerja subjetif. Ia baru menjadi kekuatan objektif ketika ia menggunakan sebuah logika (baca: metodologi) untuk membentuk sebuah sajian pengetahuan.
 Dalam konteks nalar-nalar etika yang dipresentasikan oleh pemikir etika Arab-Islam pada awalnya merupakan pemikiran subjektif. Ia kemudian menjadi kekuatan objektif atau bahkan kebenaran objektif bukan oleh kerangka logika yang mapan tetapi lebih oleh karena justifkasi sosialnya. Oleh karena itu, bagi penulis, nalar etika Arab akan jatuh pada subjektivitasnya jika tidak dikaji dari dimensi logika atau metodologinya. Artinya, untuk konteks sekarang warisan nalar etika di atas perlu untuk dirumus ulang secara logis dengan kerangka metodologi yang jelas sehingga menjadi sebuah pengetahuan tentang etika Islam baik secara teoritik maupun untuk kepentingan-kepentingan praksis.
 Bicara tentang transcendental ideas di atas, persolan atas Arab dan Islam juga masih problematik. Kenapa al-Jabiri menggunakan al-aql al-arabi bukan al-aql al-Islami. Arab bukan sekedar konsep demografis, sosiologis, politis, antropologis tapi juga historis. Aneka konsep ini ditambah lagi dengan al-‘arabi al-muashir dan al-arabi al-madhi nampaknya menjadi titik persoalan yang belum terpecahkan secara tuntas oleh al-Jabiri dalam proyek naqd al-aql al-‘arabi-nya. Untuk itu, al-Jabiri berusaha merumuskan secara tuntas persoalan di atas dalam wijhah nadhr: nahwu I’adah bina qadhaya al-fikr al-arabi al-mu’ashir. Menurut al-Jabiri persoalan arab dan Islam memang akan selalu ditemukan dimensi-dimensi kontradiktifnya namun yang menjadi titik persoalan bukanlah atas keduanya dijadikan sebagai suatu perspektif atau sudut pandang (wijhah nadhr). Baik arab maupun Islam hendakanya ditempatkan sebagai titik tolak pandang (I’adah al-nadhri). Untuk itu, menurutnya, dalam konteks penyelesaian segela persoalan yang ada sekarang ini, tidak pada tempatnya untuk membedakan atau membandingkan antara arab dan Islam. Keduanya merupakan dasar pijak bagi kepentingan keduanya. Namun, al-Jabiri juga mengingatkan bahwa Islam dan Arab adalah dua hal yang berbeda.
Namun, fakta perbedaan tentu bukan sekedar dari sisi Islam dan arab semata, batasan-batasan atas nudhum al-qiyam untuk konteks yang berbeda juga merupakan fakta lain atas perbedaan tersebut. Sebagai contoh ukuran muru’ah bagi masyarakat muslim Arab tentu akan berbeda dengan ukuran muru’ah muslim Jawa. Begitu juga dengan yang lain. Fakta demikian (konsep universal value untuk seluruh umat manusia) itu belum penulis temukan solusinya dalam pemkiran al-Jabiri karena memang bukan itu yang dicari oleh al-Jabiri. Yang dipresentasikan oleh al-Jabiri adalah value construction peradaban Arab-Islam era lampau untuk kepentingan value reconstruction demi kemajuan bangsa Arab sekarang ini, dan mungkin Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu tugas kita sekarang adalah belajar dari al-Jabiri dan belajar dari bagaimana al-Jabiri mempelajari etika suatu masyarakat dan/atau agama tertentu.

Anjuran Daftar Bacaan Pokok
Al-Jabiri, Muhammad Abid. al-turats wa al-hadatsah, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1994.
——————–. takwin al-‘aql al-‘arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1989.
——————–. bunyah al-‘aql al-arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1993.
——————–. al-‘aql al-siyasi al-arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1991.
——————–. Arab-Islamic Philosophy: A Contemporary Critique, Austin: The University of Texas Press, 1996.
——————–. al-‘aql al-akhlaqi al-‘arabi, Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 2001.
——————–. wijhah nadhr: nahwu I’adah bina qadhaya al-fikr al-arabi al-mu’ashir (Bairut: markaz dirasat al-wahdah al-arabiyah, 1994.


Kamis, 02 Mei 2013

AL-KASYSYAF ‘AN HAQAIQ AL-TANZIL WA ‘UYUN AL-AQAWIL FI WUJUH AL-TA’WIL




Disusun oleh:
1.      Ahmad Saerozi  :  309052




 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
USHULUDDIN/TH
2011
Al-Kasysy
a
f ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
(Al-Zamakhsyari)

A.      Pendahuluan
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam. Akan tetapi isi, kandungan, dan pesan yang ada di dalamnya bersifat universal. Hal ini tentunya menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda, antara satu generasi dengan generasi yang berikutnya, kelompok atau aliran yang satu dengan yang lain. Banyak faktor yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut.
Al-Kasysyaf ’An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil adalah satu kitab karya al-Zamakhsyari yang di dalamnya memperlihatkan kecenderungan perbedaan penafsiran antar kelompok atau aliran. Terkait cengan hal itu, pemakalah ingin membahas tentang biografi al-Zamakhsyari dan seputar kitabnya mulai dari kronologi mengarang kitab, contoh penafsiran, pertentangannya dengan ahlu al-sunnah sampai penilaian ulama lain terhadap kitabnya.

B.       Permasalahan
  1. Siapakah al-Zamakhsyari itu?
  2. Bagaimana kronologi al-Zamakhsyari mengarang al-Kasysyaf?
  3. Bagaimana metode dan corak penafsiran kitab al-Kasysyaf?
4.      Bagaimana Perhatian Penafsiran al-Zamakhsyari Terhadap Aspek Balaghah dan Keutamaan al-Kasysyaf serta Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari?
  1. Bagaimana sikap al-Zamakhsyari terhadap riwayat israiliyyat dan pertentangannya dengan ahlu al-sunnah?
  2. Bagaimana Penilaian ulama lain terhadap kitab al-Kasysyaf?

C.      Pembahasan
1.      Biografi al-Zamakhsyari
Nama aslinya Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari, seorang imam besar di bidang tafsir, hadis, nahwu, lughat, dan ilmu bayan. tak bisa dipungkiri bahwa dialah imam pada zamannya.[1] Beliau lahir di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khawarizm.[2]
Al-Zamakhsyari memiliki cacat fisik yakni kehilangan satu kakinya. Sewaktu ia bertemu paraahli fiqih madzhab hanafi di Baghdad, ia ditanya “bagaimana kakinya bisa dipotong?” ia menjawab, “Karena ‘sabdo ibuku. Sewaktu aku kecil aku pernah menangkap seekor burung. Lalu kakinya aku ikat dengan tali dan aku pegangi tali itu. Ternyata ia mencoba melawan. Lalu talinya ku tarik dan kakinya pun putus. Ibuku begitu sedih melihatnya dan kemudian berkata ‘Allah sungguh akan memotong kakimu sebagaimana kamu memotong kakinya!’. Suatu ketika saat usiaku menginjak usia pelajar aku berangkat ke Bukhara. Di tengah perjalanan, aku terjatuh dari kendaraan dan kakiku pun retak/patah dan mengharuskanku untuk memotongnya”.[3]
2.      Kronologi al-Zamakhsyari mengarang kitab al-Kasysyaf
Dalam muqoddimah kitabnya, al-Zamakhsyari menceritakan latar belakang dia mengarang kitab, dia mengatakan: "Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya.  Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".[4]
Selanjutnya al-Zamakhsyari mengatakan bahwa dia menyelesaikan mengarang kitab selama 3 tahun yaitu dimulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Dengan ungkapan lain beliau membutuhkan waktu sama dengan kepemimpinan Abu Bakar dalam mengarang kitabnya.
3.      Metode dan Corak Penafsiran
Dalam menafsirkan al-Quran, al-Zamakhsyari lebih dahulu menuliskan ayat al-Quran yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil riwayat (hadits) atau ayat  al-Quran, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat  yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya, dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya.
Jika diteliti dengan cermat, maka nampaklah jelas bahwa metode yang digunakan al-Zamakhsyari dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap aspek munasabah sesuai dengan tertib susunan surat-surat dalam mushaf Usmani. Untuk membantu mengungkapkan makna ayat-ayat, ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari para sahabat dan para tabi’in, dan kemudian mengambil konklusi dengan pandangan atau pemikirannya sendiri. Karena penafsirannya berorientasi kepada rasio, maka tafsir ini bisa dikategorikan tafsir bi al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql.[5]
Mengenai corak tafsir al-Kasysyaf, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Al-Zamakhsyari terkenal sebagai seorang yang ahli bahasa Arab. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau bidang-bidang keahlian itu juga sangat mewarnai hasil penafsirannya.
b.      Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog sekaligus seorang tokoh muktazilah, sehingga tafsir tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus lagi corak muktazilah.[6]
4.      Perhatian Penafsiran al-Zamakhsyari Terhadap Aspek Balaghah dan Keutamaan al-Kasysyaf serta Contoh Penafsiran al-Zamakhsyari
Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan al-Quran sangat memperhatikan aspek Balaghah, terbukti banyak ayat-ayat yang diurai dari segi isti’arah, majaz dan bentuk-bentuk balaghah yang lain. Hal ini menunjukkkan bahwa beliau sangat memerhatikan tafsirnya agar tersusun dengan gaya bahasa yang indah dan runtut susunannya.
Kontibusi penafsiran al-Zamakhsyari terhadap segi balaghah sangat besar sekali, terbukti para mufassirin setelahnya juga banyak yag merujuk kepada penafsirannya dalam segi balaghah tak terkecuali mufassir ahli as-sunnah. Di samping itu penafsirannya juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap negara Timur shingga bisa melebihi negara Barat dalam segi balaghahnya. [7]
Sementara itu, keutamaan/nilai ilmu dari tafsir al-Kasysyaf adalah tafsir ini merupakan tafsir bercorak muktazilah yang pertama, tidak ada satupun ulama sebelum al-Zamakhsyari yang mampu membuka/menerangkan ayat-ayat yang masih global dalam al-Quran dan menguak segi balaghohnya lebih-lebih yang berhubungan dengan segi bahasa Arab dan syi’ir-syi’irnya. Keutamaan yang lain yaitu al-Kasysyaf mencakup beberapa ilmu di antaranya: ilmu balaghoh, bayan, adab, dan i’rob sehingga beberapa ulama sangat terkesima dan hatinya bergantung pada kitab ini.
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa bagi seorang yang menafsirkan al-Quran harus paham lebih dahulu mengenai ilmu ma’ani dan bayan sebelum mengetahui ilmu yang lain. Beliau sendiri menyertakan ilmu tersebut dalam tafsirnya di samping menyertakan beberapa ilmu yang berfaidah, yang tidak akan ditemukan kecuali dalam kitab ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila beliau memuji terhadap karyanya sendiri dengan mengucapkan syi’ir:
Tafsir di dunia ini jumlahnya tidak terhitung
Namun tidak ada yang seperti al-Kasysyaf
Jika kamu menginginkan petunjuk maka bacalah kitab ini
Bodoh itu ibarat penyakit dan al-Kasysyaflah penawarnya.[8]

Apabila al-Zamakhsyari menemukan kontradiksi antara nash al-Quran dengan prinsip-prinsip madzhabnya, maka beliau akan mengusahakan penyesuaian antara keduanya, sekalipun untuk itu beliau harus melakukan penyimpangan dan manipulasi. Ini adalah prinsip beliau. Prinsip ini dapat disimpulkan sebagai berikut: apabila beliau menjumpai sebuah ayat yang berlawanan dengan pandangan madzhabnya dan sebuah ayat lain yang pada lahirnya menguatkan pandangan madzhabnya itu, maka beliau akan menyatakan bahwa ayat yang pertama bersifat mutasyabih dan yang kedua muhkam, kemudian mentolokukurkan ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat.
Mentolokukurkan ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat memang merupakan prinsip yang shahih, sebagian ulama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah yang terkemuka juga melakukan prinsip ini. Namun al-Zamakhsyari pun menerapkan prinsip ini pada ayat-ayat yang tidak sejalan dengan pandangan-pandangan madzhabnya. Contohnya adalah ketika beliau dihadapkan pada firman Allah surat al-A’raf ayat 28:
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آَبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Dan juga firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 16:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Pada kedua ayat di atas, al-Zamakhsyari menerapkan prinsipnya tersebut dan menetapkan bahwa ayat yang pertama adalah muhkam, sedangkan yang kedua mutasyabih. Al-Zamakhsyari membela madzhabnya dengan segala kemampuan penjelasnya dan melancarkan serangan-serangan permusuhan terhadap kaum Ahlu as-Sunnah.[9] Beliau sangat fanatik terhadap madzhabnya sendiri, hingga pada tingkat kefanatikan yang dibenci. Beliau menyerukan sekeras-kerasnya agar mengambil dari ayat-ayat al-Quran apa yang sesuai dengan kebenaran yang diyakini oleh madzhabnya dan agar menta’wilkan setiap ayat al-Quran yang nampak bertentangan, semisal ketika beliau menafsirkan al-Quran surat al-An’am ayat 158:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آَيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آَمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu Sesungguhnya kamipun menunggu (pula)”.
Beliau berpegang pada ayat ini dan menjadikannya sebagai dalil bagi salah satu pokok kepercayaan madzhabnya, yaitu al-manzilah baina al-manzilatain. Dalam tafsirnya beliau menafsirkan: “Apabila tanda-tanda kiamat itu telah datang, maka lenyaplah segala ketenangan hati orang yang menghadapinya. Maka ketika itu tidak ada gunanya iman seseorang bagi dirinya sendiri, jika sebelum datangnya tanda-tanda tersebut ia tidak beriman atau ia beriman tapi tanpa melakukan perbuatan yang baik dengan imannya itu. Maka seperti anda lihat, tidak ada bedanya antara seorang kafir yang beriman setelah terlambat dan seorang yang beriman pada waktunya, namun tidak melakukan perbuatan yang baik”.[10]
5.      Sikap al-Zamakhsyari terhadap Riwayat Israiliyyat dan Pertentangannya dengan Ahl al-Sunnah
Zamakhsyari cukup sedikit mencantumkan kisah-kisa Israliyyat di dalam tafsirnya. Salah satu ciri khas Zamakhsyari ketika menceritakan israliyyat ialah dengan menggunakan kata “ruwiya” yang mana menunjukkan bahwa kisah itu lemah. Zamakhsyari dalam menanggapi riwayat israiliyyat ada dua macam:
1)      Menyerahkan kebenarannya kepada Allah swt, biasanya ketika riwayat tersebut tidak ada persinggungannya dengan persoalan agama.
2)      Memberi peringatan tentang derajat riwayat tersebut baik itu sahih ataupun dlaif, meskipun secara global. Biasanya ketika riwayat tersebut ada persinggungannya dengan persoalan agama.[11]
Misalnya pada Ayat 35 surat an-Naml berikut ini:
وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
Dan Sesungguhnya Aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu".

Zamakhsyari mencantumkan sebuah riwayat israilyyat di bawah ini:
“Diceritakan bahwasanya Ratu Balqis 500 pemuda yang memakai pakaian pelayan wanita, gelang, kalung, anting-anting, mengendairi kuda berkenakan sutera, dengan kekang dan sadel dari emas bertatahkan permata, dan 500 pemudi di atas kuda dengan gaya berbusana layaknya pemuda, dan 1000 batu bata dari emas dan perak, dan mahkota berhias mutiara, batu mulia, misik, dan wadah berisi mutiara gadis dan wadah labu. Dia pula mengirim dua orang terbaik dari kaumnya, yaitu al-Mundzir bin Amr, dan satunya orang yang pandai. Ratu Balqis berkata, ‘Jika ia benar seorang Nabi tentu bisa membedakan mana pemuda dan mana pemudi, mampu melubangi permata dengan seimbang, menyusupkan benang ke tasbih.’ Dia berkata kepada al-Mundzir, ‘Jika ia menatapmu dengan tatapan yang kurang menyenangkan, maka ia adalah raja, jadi, tidak menakutkan. Namun bila ia menatapmu dengan tatapan yang lembut, maka ia adalah Nabi.’ Kemudian Hudhud menghadap Nabi Sulaiman dan memberitahu beliau. Nabi Sulaiman lalu memerintahkan jin membuat batu bata dari emas dan perak dan membentangkannya jarak antara depan mata sampai 7 farsakh. Di sekelilingnya ada tanah lapang yang berandanya dari emas dan perak, dan memerintahkan reptil-reptil untuk berjajar di sisi kanan dan kiri tanah lapang tadi sehingga menyatukannya dengan batu bata. Lalu keturunan jin dijajarkan di sisi kanan dan kiri bata tersebut. Lalu setan-setan mengisi barisan 1 farsakh, manusia, hewan ternak, hewan buas, hewan kecil, burung juga demikian. Saat delegasi Ratu Balqis sudah dekat dan melihatnya, mereka terkejut. Mereka melihat hewan reptil membuang kotoran. Mereka lalu menahan nafas dan melamparkan apa yang ada di sekitar mereka. Ketika mereka sampai, Nabi Sulaiman menyambutnya dan bertanya, ‘Ada apa di belakangmu? Dimana wadahmu tadi?’ Jibril sudah memberitahu isinya kepada Nabi Sulaiman, beliau lalu berkata kepada mereka, ‘Di dalamnya ada begini dan begini.’ Lalu beliau mengundang cacing kayu, ia mengambil sehelai rambut dan rizkinya ditentukan di pohon. Dan ulat buah mengambil benang dengan mulutnya dan ditentukan rizkinya di buah-buahan. Beliau mengambil air, lalu pemudi-pemudi tadi mengambilnya dan mengusapkannya ke wajahnya, pemuda-pemuda juga demikian. Kemudian beliau mengembalikan hadiahnya, dan berkata kepada al-Mundzir, ‘Kembalilah!’ ketika sudah kembali, ratu balqis berkata, ‘Dia memang benar seorang Nabi, kita tidak mungkin bisa mengalahkannya.’ Lalu ia memandangnya dalam 12.000 qoil, setiap qoil ada 1000.”[12]
Al-Zamakhsyari adalah ulama yang begitu fanatik terhadap paham Mu’tazilah. Saking fanatiknya, sampai-sampai ‘hampir’ - kalau tidak dikatakan ‘memang’ - menganggap Sunni itu keluar dari rel Islam. Berikut adalah argumen yang beliau paparkan dalam menafsirkan Ali Imran 3:18:
{شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ اله إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ اِله إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ}: "فإن قلت: ما المراد بـ "أُولى العلم" الذين عظَّمهم هذا التعظيم، حيث جمعهم معه ومع الملائكة فى الشهادة على وحدانيته وعدله؟ قلت: هم الذين يُثبتون وحدانيته وعدله بالحجج والبراهين القاطعة، وهم علماء العدل والتوحيد - يريد أهل مذهبه - فإن قلت: ما فائدة هذا التوكيد؟ - يعنى فى قوله: {إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ}..قلت: فائدته أن قوله: {لاَ اله إِلاَّ هُوَ} توحيد. وقوله: {قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ} تعديل، فإذا أردفه قوله: {إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ} فقد آذن أن الإسلام هو العدل والتوحيد، وهو الدين عند الله، وما عداه فليس عنده فى شئ من الدين. وفيه أن مَن ذهب إلى تشبيه أو ما يؤدى إليه كإجازة الرؤية، أو ذهب إلى الجبر الذى هو محض الجَوْر، لم يكن على دين الله الذى هو الإسلام. وهذا بيَّنٌ جَلِىٌ كما ترى".[13]
6.      Penilaian Ulama
a.       Imam Busykual
Setelah mengadakan penelitian terhadap dua tafsir, yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir al-Zamakhsyari, Busykual berkesimpulan bahwa: Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedang tafsir al-Zamakhsyari lebih ringkas dan lebih mendalam. Hanya saja al-Zamakhsyari sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca untuk memahaminya, dan sering menyerang madzhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab mu’tazilah. Semoga ia mendapat pengampunan dari Allah swt.[14]
b.      Haidar al-Harawi
Haidar al-harawi menilai bahwa tafsir al-Kasysyaf merupakan kitab tafsir yang sangat tinggi nilainya. Tafsir-tafsir sesudahnya, menurut Haidar, tiada satu pun yang dapat menandinginya, baik dalam keindahan maupun kedalamannya. Kalaupun ada, maka penyusunannya hanya mengutip apa adanya, tanpa mengubah sedikitpun baik susunan kata maupun kalimatnya.
Tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal di berbagai negara dan menaburkan makna dan kandungan al-Quran dalam setiap kalbu insan, bagaikan matahari di siang hari menyinari seluruh daratan bahari. Namun bukan berarti bahwa al-Kasysyaf adalah sempurna tanpa kekurangan. Menurut Haidar, kekurangan yang terdapat pada al-Kasysyaf antara lain:
1)        Sering melakukan penyimpangan makna lafaz tanpa dipikirkan lebih mendalam; dan menafsirkan ayat dengan panjang lebar, seakan-akan untuk menutupi kelemahannya, serta penuh dengan pemikiran Mu’tazilah.
2)        Kurang menghormati ulama lainnya, sehingga al-Razi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah (5):54 menunjukkanya pada penyusun al-Kasysyaf, karena al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama yang dicintai Allah swt.
3)        Terlalu banyak menghadirkan syair-syair dan peribahasa yang penuh dengan kejenakaan, yang jauh dari tuntunan syariat.
4)        Sering menyebut Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dengan sebutan yang tidak sopan. Bahkan kadang-kadang mengkafirkan mereka dengan sindiran. Ini adalah suatu perilaku yang tidak layak disandang oleh ulama yang baik.[15]
c.       Ibn khaldun
Ketika membahas pentingnya lughah, i’rab, dan balaghah dalam memahami al-Quran, Ibn Khladun mengatakan bahwa di antara tafsir yang baik dan paling mampu mengungkapkan makna al-Quran dengan pendekatan bahasa dan balaghah, adalah tafsir al-Kasysyaf. Hanya saja penyusunnya bermadzhab Mu’tazilah dalam masalah aqidah. Dengan balaghah, ia membela madzhabnya dalam menafsirkan al-Quran. Karena itu, sebagian ulama menentangnya dengan balaghah dalam pengertian Ahl al-Sunnah, bukan menurut pengertian Mu’tazilah.[16]
d.      Al-Taj al-Subuki
Beliau berpendapat dalam kitabnya “mu’id al-niam wa mubid al-niqam”, yang dikutip oleh al-Dzahabi, bahwa al-Kasysyaf adalah kitab yang bagus sekali. Pengarangnya pun memang ulama yang handal di bidangnya, hanya saja ia adalah pembuat bid’ah yang eksploiter. Ia banyak sekali merendahkan derajat kenabian, pun juga berperilaku kurang baik terhadap ahl al-sunnah. Ini semua harus dikritisi. Syeikh Taqiyuddin al-Subki (ayah dari syeikh al-Taj al-Subki) pernah membaca al-Kasyaf. Namun kemudian berhenti ketika sampai surat al-Takwir ayat 19. Kemudian beliau berpaling dan menulis di secarik kertas yang beliau namai “sebab berhenti membacakan al-Kasyaf”. Dalam kertas tersebut, beliau menyatakan, “menurutku, pendapat al-Zamakhsyari dalam menafisiri lafal “عفا الله عنك”, pendapat di surat al-Tahrim, dan lain sebagainya itu termasuk perilaku yang tercela terhadap Rasulullah. Karena itu aku berhenti membacakannya karena aku merasa malu terhadap Rasulullah, meskipun termuat berbagi faedah-faedah dan goresan yang indah di dalam kitab tersebut.[17]
e.       Muhammad Husain al-Dzahabî
Ia berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang paling lengkap menyingkap balaghah al-Quran. Karena al-Zamakhsyari begitu kental dengan aliran mu’tazilah, maka ia cenderung kepada ayat-ayat yang mendukung madzhabnya atau at least mentakwilnya agar tidak saling kontradiksi. Namun, implikasi dari aliran mu’tazilahnya itu tidak seberapa dibandingkan keobyektifitasannya dalam penafsiran. Oleh karena itu, kita, sebagai sunni, tidak boleh “menutup mata” pada al-kasysyaf hanya karena pengarangnya seorang mu’tazilah.[18]
f.       Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Fauzan Naif menuliskan pendapat Mustafa al-Sawi al-Juwaini dalam bukunya “Studi Kitab Tafsir”. Mustafa mengatakan bahwa al-Zamakhsyari adalah seorang ulama mu’tazilah yang sangat fanatik dalam membela paham Mu’tazilah, sehingga penafsiran-penafsirannya sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Mu’tazilah. Oleh karena itu, tafsirannya seakan-akan merupakan pembelaan Madzhab Mu’tazilah.[19]

D.      Simpulan
Al-Zamakhsyari adalah seorang ulama besar di bidang sastra dan sangat fanatik terhadap paham Mu’tazilah. Beliau telah menelurkan sebuah kitab tafsir yang diberi nama “Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil”. Kitab tersebut mampu mengungkap rahasia-rahasia al-Quran dari segi sastranya. Meskipun begitu, di dalamnya terdapat banyak sekali muatan paham Mu’tazilah. Bahkan karena fanatiknya, beliau sampai menyebut golongan Ahl al-Sunnah dengan sebutan yang tak layak (sesekali malah menganggap Ahl al-Sunnah sudah keluar dari Islam).
Para ulama dan pemerhati tafsir menilai kitab “Al-Kasysyaf” ini sebagai sebuah kitab tafsir yang banyak memberi kontribusi bagi dunia tafsir itu sendiri. Sebuah kitab yang mampu mengungkap keindahan al-Quran. Segi sastra adalah keunggulan kitab ini. Akan tetapi, kitab ini menjadi kontroversial karena begitu kental akan paham-paham Mu’tazilah, sebagaimana kita ketahui dari background Sang Mu’allif.

Daftar Pustaka
Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman, Maktabah Shamela 3,42
Yaqut al-Hamawi, mu’jam al-Baldan, Maktabah Shamela 3,42
Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Syamilah 3,42
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jilid IV
Fauzan Naif, Studi Kitab Tafsir
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka: Bandung
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Maktabah Shamela 3,42


[1] Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman, Maktabah Shamela 3,42, 5/168
[2] Yaqut al-Hamawi, mu’jam al-Baldan, Maktabah Shamela 3,42, 2/399
[3] Abu al-Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khallikan, Op. cit., 5/169-170
[4] Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Syamilah 3,42, j. 4 hlm. 104
[5] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, jilid IV, hlm. 25.
[6] Fauzan Naif, Studi Kitab Tafsir, Teras: Yogyakarta, 2004, hlm. 43
[7]  Ibid, hlm. 108
[8] Muhammad Husain ad-Dzahabi, Op. cit., hlm. 105.
[9] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Pustaka: Bandung, hlm. 117.
[10] Az-Zamakhsyari, Op.Cit, Juz 2, hlm. 194.
[11]  Muhammad Husain ad-Dzahabi, Op. cit., hlm. 121.
[12]  Az-Zamakhsyari, Op.Cit, Juz 5, hlm. 79.
[13] Muhammad Husain ad-Dzahabi, op. cit., 4/117
[14] Ibid., 4/105
[15] Ibid., 4/106
[16] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Maktabah Shamela 3,42, h. 252
[17] Muhammad Husain ad-Dzahabi, op. cit., 4/107
[18] Ibid., 4/108
[19] Fauzan Naif, op. cit., h. 58