PEMAHAMAN MASYARAKAT DESA TEGALSAMBI JEPARA TERHADAP HADIS
TIDURNYA ORANG BERPUASA ADALAH IBADAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKTIVITAS
HARIAN MEREKA
Penelitian Living Hadis
Mata
Kuliah : Praktikum Penelitian
Dosen
Pengampu : Ibu Hj. Nur Mahmudah, MA.
Penyusun
Ahmad Saerozi
NIM: 309052
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURUSAN
USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADIS
KUDUS
2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
................................................................................................
HALAMAN DAFTAR
ISI ............................................................................... 1
BAB I:
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
................................................................................. 3
B.
Fokus Masalah
................................................................................
5
C.
Rumusan Masalah
....................................................................... 6
D.
Tujuan Penelitian
............................................................................. 6
E.
Manfaat Penelitian
........................................................................... 6
BAB II: KAJIAN
PUSTAKA
A.
Penelitian
Terdahulu ........................................................................ 7.
B.
Landasan Teori
................................................................................. 8
BAB III:
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian................................................................................ 16
B.
Sifat Penelitian
................................................................................... 16
C.
Locus Penelitian
............................................................................... 16
D.
Responden dan
Teknik Sampling ...................................................... 16
E.
Pendekatan
...................................................................................... 17
F.
Teknik Pengumpulan
Data ................................................................... 17
G.
Teknik Analisis
Data............................................................................ 18
H.
Sistematika
Penulisan.......................................................................... 19
BAB IV:
PEMBAHASAN
A.
Kevalidan Hadis
Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah ................. 20
B.
Pendapat Masyarakat
Tegalsambi tentang Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah ............................................................................................................ 26
C.
Implikasi Pemahaman
Masyarakat Tegalsambi Terhadap Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah dengan
Aktivitas Harian Mereka.............................................. 30
BAB V : ANALISIS
A.
Ketidakotentikan Hadis Tidurnya Orang Berpuasa
adalah Ibadah..... 32
B.
Faktor yang
Mempengaruhi Masyarakat Tegalsambi Mempunyai Pemahaman Tidurnya Orang Berpuasa
adalah Ibadah......................................................................... 33
BAB VI: PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................. 34
B.
Penutup................................................................................................... 34
C.
Kritik dan Saran..................................................................................... 35
D.
Lampiran Kuesioner............................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
39
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Puasa merupakan salah satu di antara
rukun Islam di samping syahadat, shalat, zakat dan haji. Al-Quran pun menyebut
secara eksplisit kewajiban berpuasa pada hari-hari tertentu (bulan Ramadlan).
Adapun ayat yang mewajibkan untuk berpuasa adalah surat al-Baqarah ayat 183
yang berbunyi
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.
Ungkapan لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ merupakan
alasan diwajibkannya puasa, sekaligus mengisyaratkan hikmah yang paling penting
yaitu puasa berpotensi menyiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk bertaqwa
kepada Allah. Orang yang bertaqwa adalah orang yang mengendalikan amarahnya.[1] Di saat puasa kita dianjurkan untuk mengendalikan
amarah, seumpama ada orang yang mencaci maki kita, kita hanya boleh menjawab “Saya
sedang puasa”.[2]
Dalam
Islam, puasa diharapkan mampu menghentikan dari kebiasaan buruk yang biasa
dilakukan. Puasa juga diharapkan dapat mengikis habis sifat egoisme dan
mempersempit ruang gerak hawa nafsu. Selama berpuasa seseorang diharapkan
merasakan penderitaan orang-orang fakir, sehingga ia tersentuh untuk berbelas
kasih kepada mereka.[3]
Hadis
sebagai pijakan kedua umat Islam juga mempunyai peranan yang tidak kalah
penting dari al-Quran. Dalam hadis banyak ditemukan keistimewaan-keistimewaan
yang akan diperoleh orang yang berpuasa di antaranya: pahala berpuasanya akan
dibalas oleh Allah sendiri, besok di hari qiyamah diberi pintu untuk masuk ke surga yang
dinamakan bab al-Rayyan yang mana pintu tersebut khusus dimasuki oleh
orang yang berpuasa,[4]
sampai-sampai dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa tidurnya orang berpuasa
adalah ibadah. Tekstual hadis tersebut berbunyi:
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا
علي بن عيسى نا علي بن محمد بن العلاء نا سختويه بن نا معروف بن حسان نا زياد
الأعلم عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله بن أبي أوفى الأسلمي قال : قال رسول الله
صلى الله عليه و سلم : نوم
الصائم عبادة و صمته تسبيح و دعاؤه مستجاب و عمله مضاعف. [5]
Telah memberikan kabar kepada kita Abu Abdillah al-Hafidz
telah memberikan kabar kepada kita Ali bin Isa telah menceritakan kepada kita
Ali bin Muhammad bin al-Ala’ telah menceritakan kepada kita Sakhtuwaih bin
Mazyar telah menceritakan kepada kita Ma’ruf bin Hisan telah menceritakan
kepada kita Ziyad al-A’lam dari Abdul Malik bin Umair dari Abdullah bin Abi
Aufa al-Aslami berkata: Rasulullah Saw bersabda: “ Tidurnya orang yang berpuasa
adalah ibadah , diamnya adalah tasbih, doanya akan dikabulkan dan perbuatannya
akan dilipatgandakan”.
Berkaitan dengan hadis
tersebut, dari segi otentisitasnya belum jelas, sebab dalam matannya ada
kejanggalan yaitu bertentangan dengan tujuan utama berpuasa yaitu membentuk
pribadi mukmin supaya bertaqwa, di samping itu dari segi sanadnya juga
bermasalah karena salah satu sanadnya ada Ma’ruf bin Hisan padahal dia adalah
dikenal sebagai mudallis (orang yang menyembunyikan cacat) hadis Tidak
hanya itu saja, beberapa ahli hadis pun menganggap hadis tersebut kualitasnya dha’if
jiddan, di antaranya yaitu Nuruddin al-Mala Ali al-Qari dalam kitabnya “al-Maudhuat
al-Kubra” yang mengatakan hadis ini adalah laa ashla lahu.[6]
Ibnu Hajar al-Asqalani dan Muhammad Nashiruddin
al-Albani.[7]
Namun dalam kenyataannya, hadis
tersebut telah menyatu dalam pemahaman masyarakat, termasuk masyarakat
Tegalsambi yang kebanyakan berupa masyarakat awam. Kondisi
geografis Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara jawa Tengah ini
termasuk wilayah bagian utara. Daerah ini digunakan masyarakat sebagai tempat
pemukiman, pertanian, tegalan, industri kayu ukir, dan lain-lain. Pendidikan
masyarakat Tegalsambi terbilang masih rendah kualitas dan partisipasi
masyarakat dalam pendidikan.[8]
Peneliti memilih obyek
penelitian Desa Tegalsambi dikarenakan masyarakatnya semuanya beragama Islam sebagaimana
catatan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010[9],
ketaatan beragama mereka juga terbilang tinggi dengan bukti banyaknya
masyarakat yang mengikuti pengajian yang dilakukan baik rutinan setiap minggu
sekali di berbagai mushalla maupun pengajian tahunan peringatan hari besar
Islam. Hal tesebut juga didukung oleh kontribusi dua pondok pesantren yang ada
yang selalu memberikan pengajaran masalah agama baik kepada santri dalam maupun
masyarakat sekitar.
Di samping itu, dari aspek
ekonomi masyarakat di sana mata pencahariannya bermacam-macam, ada yang
bertani, mebel, tukang kayu, tukang ukir, nelayan dan lain-lain. Oleh karena
itu hal tersebut menarik hati peneliti untuk melakukan sebuah penelitian dengan
judul “PEMAHAMAN MASYARAKAT DESA TEGALSAMBI TAHUNAN JEPARA TERHADAP HADIS
TIDURNYA ORANG BERPUASA ADALAH IBADAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKTIVITAS
HARIAN MEREKA”.
2. Fokus
Masalah
Berpijak dari latar belakang di
atas, fokus masalah pokok yang akan diteliti oleh peneliti adalah pemahaman
masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara terhadap hadis tidurnya orang
berpuasa adalah ibadah dan implikasinya terhadap aktivitas harian mereka.
Adapun sub fokus masalahnya adalah:
a. Keotentikan hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
b. Keadaan sosio-geografis masyarakat Tegalsambi Tahunan
Jepara.
c. Faktor
yang menyebabkan masyarakat Desa Tegalsambi mempunyai pemahaman tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
3. Rumusan
Masalah
Dari fokus masalah tesebut, masalah pokok yang akan
diteliti peneliti yaitu bagaimana Bagaimana pemahaman masyarakat Desa
Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah dan
implikasinya terhadap aktivitas harian mereka? Adapun pertanyaan penelitiannya antara
lain:
a. Bagaimana keotentikan hadis tidurnya orang berpuasa
adalah ibadah?
b. Bagaimana keadaan sosio-geografis masyarakat Desa
Tegalsambi Tahunan Jepara?
c. Apa saja faktor yang menyebabkan
masyarakat Desa Tegalsambi mempunyai pemahaman tidurnya orang bepuasa adalah ibadah?
4. Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan yang ingin peneliti capai dalam penelitian ini mencakup 2 hal, yaitu:
tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya yaitu: Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara
terhadap hadis tidurnya orang berpuasa dan implikasinya terhadap aktivitas
harian mereka. Adapun tujuan secara khususnya yaitu:
a.
Untuk mengetahui keotentikan
hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
b.
Untuk mengetahui
keadaan sosio-geografis masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara.
c.
Untuk mengetahui
faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tegalsambi mempunyai pemahaman tidurnya
orang puasa adalah ibadah.
5. Manfaat
Penelitian
Setelah menentukan rumusan masalah dan tujuan penelitian,
maka penulis berharap penelitian ini mempunyai manfaat secara praktis yaitu penelitian ini
diharapkan agar penulis dan masyarakat luas mengetahui bagaimana pemahaman
masyarakat Desa Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah
serta implikasinya terhadap aktivitas harian mereka.
BAB II
KAJIAN TEORITIK
1. Kajian
Pustaka
Penelitian
ini bukan pertama kali yang dilakukan, sebab penulis pernah menemukan
penelitian sebelumnya yang memiliki tema hampir mirip dengan penelitian ini, di
antaranya: penelitian yang dilakukan oleh Bapak Ali Mustafa Ya’kub, seorang
pakar hadis dari Indonesia dalam karyanya yang berjudul Hadis-Hadis
Bermasalah tahun 2003. Penelitian tersebut bertujuan untuk menjelaskan
hadis-hadis yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat awam namun sebenarnya
hadis tersebut mempunyai masalah dalam segi sanad dan matannya. Penelitian ini
masih bersifat umum karena luang lingkup hadis yang diteliti kurang spesifik,
hal tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yang
lebih bersifat spesifik.
Penelitian
juga pernah dilakukan oleh Muhammad Amin Sholeh dalam skripsinya yang berjudul Kritik Sanad Hadis Tentang
Tidurnya Orang Puasa adalah Ibadah pada tahun 2008. Namun jenis penelitian
tersebut berupa library research (penelitian pustaka) untuk mengetahui
kredibilitas seluruh sanad yang ada dalam hadis tersebut, sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh penulis ini disamping melakukan penelitian pustaka juga
melakukan penelitian langsung ke lapangan.
Penelitian
yang lain juga pernah dilakukan oleh Muhammad Islahuddin dengan judul Pemahaman
Santri Pondok Pesantren Nurul Ulum Kedung Jepara Terhadap Hadis-hadis
Dha’if Tentang Masalah Puasa pada
tahun 2007. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui pemahaman santri
Pondok Pesantren Nurul Ulum terhadap hadis-hadis dhai’f tentang masalah puasa.
Penelitian juga pernah dilakukan oleh Ahmad Musthofa
dalam penelitiannya yang berjudul Cerita Rakyat Dan Upacara
Tradisional Perang Obor Di Desa Tegalsambi. Penelitian ini menjelaskan tentang tradisi budaya tahunan yang dilakukan
di masyarakat Tegalsambi. Meskipun Tempat penelitiannya sama namun topik yang
dibahas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti ini.
Adapun
buku yang dijadikan penelitian pustaka oleh penulis adalah buku karangan
Nashiruddin al-Albani dengan judul al-Silsilah al-Dha’ifat penerbit
Maktabah al-Ma’arif yang mencakup 5500 hadis yang sudah mentradisi di
masyarakat luas padahal kualitasnya tidak ada satu pun yang berkualitas shahih
karena semuanya bertentangan dengan sejarah, isi kandungan al-Quran maupun
bertentangan dengan akal sehat. Adapun hadis tentang tidurnya orang berpuasa
adalah ibadah ditaruhnya pada urutan ke
4696 dengan kualitas dhaif jiddan.
Buku lain yang dijadikan rujukan penelitian pustaka oleh
penulis adalah kitab yang berjudul Shahih Wa Dhaif al-Jami’ as-Shaghir yang
juga merupakan karangan Nashiruddin al-Albani, dalam kitab tersebut beliau
meneliti kualitas hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi
dalam kitabnya yang berjudul al-Jami’ as-Shaghir. Beliau
(al-Albani) mengatakan hadis tentang tidurnya orang berpuasa merupakan hadis
yang dhaif jiddan.
Berhubung
penelitian-penelitian terdahulu terlalu luas cakupannya serta kurang spesifik
pada satu penelitian, di samping itu juga tempat penelitian yang berbeda,
sehingga penulis ingin melaksanakan penelitian yang lebih spesifik dan
bertempat di ruang lingkup yang lebih sempit yaitu di Desa Tegalsambi Jepara.
2. Landasan
Teori
a. Masyarakat
1) Pengertian
Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris masyarakat disebut Society, asal
katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu Musytarak yang artinya “bergaul”. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen
(saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Berikut ini akan dijelaskan pengertian masyarakat dari beberapa pakar
sosiologi.
a)
Menurut Selo Sumardjan,
masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b)
Menurut Karl Marx, masyarakat
adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau
perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi
secara ekonomi.
c)
Menurut Emile Durkheim,
masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan
anggotanya.
d)
Menurut Paul B. Horton & C.
Hunt, masyarakat merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama,
tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan
sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
2) Unsur-unsur
Masyarakat
Menurut
Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
a) Beranggotakan
minimal dua orang.
b) Anggotanya
sadar sebagai satu kesatuan.
c) Berhubungan
dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling
berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
d) Menjadi
sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama
lain sebagai anggota masyarakat.
3)
Ciri / Kriteria Masyarakat yang
Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi
agar sekumpulan manusia bisa dikatakan/disebut sebagai masyarakat yang baik,
yaitu:
a)
Ada sistem tindakan utama.
b)
Saling setia pada sistem
tindakan utama.
c)
Mampu bertahan lebih dari masa
hidup seorang anggota.
d)
Sebagian atau seluruh anggota
baru didapat dari kelahiran/reproduksi manusia.[10]
b.
Desa
1)
Pengertian Desa
Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat
tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Sedangkan, menurut Bintaro desa merupakan perwujudan
atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu
(suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan
daerah lain.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
a)
Ciri-ciri Desa dan
Masyarakatnya
Ciri Desa menurut Paul H. Landis adalah daerah yang penduduknya
kurang dari 2.500 jiwa. Adapun ciri-ciri masyarakatnya yaitu:
1) Afektifitas, yaitu masyarakatnya
mempunyai perasaan kasih sayang,
cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan
tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang
lain dan menolongnya tanpa pamrih.
2) Orientasi kolektif, sifat
ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu mereka mementingkan
kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda
pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
3)
Partikularisme, pada dasarnya adalah semua hal yang
ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah
tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya
berlaku untuk kelompok tertentu saja.
4)
Askripsi, yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak
diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu
keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.[11]
c. Hadis
1) Pengertian
Hadis
Hadis secara etimologi berarti
sesuatu yang baru. Sedangkan secara terminologi hadis sering disamakan dengan
sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah baik dari ucapan,
perbuatan atau ketetapan Rasulullah. Namun sebagian ulama ada yang membedakan
antara hadis dengan sunnah, kalau hadis lebih spesifik setelah Nabi Muhammad
diangkat menjadi Rasul, kalau sunnah berlaku general (umum) baik setelah
diangkat menjadi Rasul atau sebelumnya.[12]
2) Macam-Macam
Hadis
Klasifikasi hadis dapat dilihat
dari dua sudut pandang, yaitu: dari segi kuantitas sanadnya dan kualitas
hadisnyanya. Jika hadis dilihat dari segi kuantitas maka dapat digolongkan
menjadi:
a) Hadis
Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap
thabaqah (tingkatan) dari awal sanad sampai akhir sanad yang mana mereka
mustahil untuk sepakat berbohong.
b) Hadis
Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang belum memenuhi
kriteria hadis mutawatir. Hadis ini dibagi 3, yaitu:
1)
Hadis Masyhur,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari 2 orang dari setiap tingkatan
namun belum mencapai tingkatan mutawatir.
2)
Hadis Aziz,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang dari setiap tingkatan.
3)
Hadis Ghorib,
yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang dalam setiap tingkatan.
Jika
dilihat dari kualitas hadis, maka hadis dapat dibagi menjadi:
a) Hadis
Shahih, yaitu hadis yang memenuhi 5 kriteria dibawah ini, yaitu:
1) Sanad
bersambung, maksudnya setiap perawi telah mengambil hadis secara langsung dari
gurunya mulai dari awal sampai akhir sanad.
2) Perawi
yang adil, maksudnya setiap perawi harus seorang muslim, baligh, berakal, tidak
fasik (bermaksiat/tidak taat), dan berperangai baik. Tentang baligh, para ulama
mensyaratkan baligh ketika meriwayatkan hadis. Adapun ketika mendengar/menerima
hadisnya, tidak disyaratkan perawi tersebut sudah baligh, namun cukup dengan tamyiz
(bisa membedakan, memahami perkataan orang).
3)
Dhabt
yang sempurna, maksudnya setiap perawi harus sempurna hafalannya. Terbagi dua,
yaitu dhabt shadr, dan dhabt kitab.
Dhabt shadr adalah apabila seorang perawi benar-benar menghafalnya dalam dadanya (shadr), dan mampu mengungkapkannya kapan saja. Dhabt kitab adalah apabila seorang perawi menjaga hadis yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
Dhabt shadr adalah apabila seorang perawi benar-benar menghafalnya dalam dadanya (shadr), dan mampu mengungkapkannya kapan saja. Dhabt kitab adalah apabila seorang perawi menjaga hadis yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
4)
Tidak ada syudzudz
(kejanggalan), maksudnya adalah perawinya tidak menyelisihi riwayat perawi yang
lebih tsiqah (terpercaya) darinya.
5)
Tidak ada `illat
yang berat, maksudnya tidak ada cacat pada hadis tersebut. `illat
adalah sebab tersembunyi yang dapat merusak status keshahihan hadis meskipun
zhahirnya tidak nampak cacat. [13]
b)
Hadis Hasan,
yaitu hadis yang memenuhi kriteria shahih namun kedhabitan rawi dan keadilannya
lebih rendah dari rawi hadis shahih.
c)
Hadis Dhaif, yaitu
hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis hasan dan shahih, yang disebabkan
karena sanadnya tidak bersambung atau sebab lainnya seperti ada keterbalikan
redaksi matan antara rawi satu dengan rawi lainnya, perbedaan kualitas matan
antara satu rawi dengan rawi lainnya, dan lain-lain .
3) Hukum
Menggunakan Hujjah dengan Hadis Shahih,
Hasan dan Dha’if
a) Hadis
shahih bisa dibuat hujjah secara mutlaq.
b) Hadis
hasan, Di dalam berhujjah dengannya, hukumnya sama dengan hadis Shahih
sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadis Shahih. Oleh karena
itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya.
Demikian juga, mayoritas ulama hadis dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah
kecuali pendapat dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidun) seperti
Yahya bin Ma’in. Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasahilun)
mencantumkannya ke dalam jenis hadis Shahih seperti al-Hakim, Ibn Hibban
dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas
Shahih.[14]
c) Hadis
dhaif, Ulama berbeda pendapat dalam masalah penggunaan hujjah dengan hadis
dhaif, yaitu:
1) Pendapat
pertama: tidak boleh digunakan secara mutlaq, baik dalam masalah fadhail
(keutamaan) maupun ahkam (hukum). Ini adalah pendapat Ibnu Sayyid an-Nas
dari Yahya bin Ma’in, begitu juga pendapat Abu Bakar bin Arabi, al-Bukhari dan
Muslim.
2) Boleh
digunakan secara mutlaq, ini adalah pendapat Abu Dawud dan Ahmad.
3) Boleh digunakan dalam masalah fadhail
(keutamaan-keutamaan) dan mawa’id (nasihat-nasihat), namun harus memenuhi
beberapa syarat. Ibnu Hajar mengatakan syaratnya yaitu:
a. Dhai’fnya
tidak terlalu parah.
b. Ketika
menggunakan hadis dha’if tidak mempunyai keyakinan bahwa hal tersebut
diperintahkan agama.[15]
d. Puasa
1) Pengertian Puasa
Secara etimologi
puasa berarti menahan, sedangkan secara terminologi puasa berarti menahan dari
hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari
dengan niat dan syarat-syarat tertentu.[16]
Sedangkan Yusuf Qardhawi mendefinisikan puasa adalah menahan dan mencegah
kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri dan yang semisalnya sehari
penuh dari terbitnya fajar shadiq, hingga terbenamnya matahari dengan niat
tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah.[17]
2)
Rukun Puasa
a)
Orang yang berpuasa
b)
Niat
c)
Menahan dari hal
yang membatalkan puasa
3)
Hal-hal yang
Membatalkan Puasa
a)
Makan, minum, jima’
b)
bersetubuh
c)
Mengeluarkan mani
dengan perantara
d)
Muntah dengan
disengaja
e)
Memasukkan sesuatu
ke dalam lubang anggota tubuh
f)
Memasukkan obat
melalui otak.[18]
4)
Kesunnahan Puasa
a)
Meninggalkan ucapan
yang jelek
b)
Menyegerakan
berbuka
c)
Mengakhirkan sahur.[19]
e. Ibadah
1) Pengertian
Ibadah
Secara etimologi ibadah berarti
sikap hina dan rendah diri. Sedangkan secara terminologi ada beberapa pendapat
dari para ahlinya, di antaranya yaitu:
a) Menurut
Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridoinya
baik berupa ucapan perbuatan dhohir maupun perbuatan bathin.
b) Menurut
Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, ibadah adalah kesempurnaan kecintaan dan kehinaan kita kepada
Allah.
c) Menurut
Ibnu Sa’di, ibadah adalah cinta sejati dan tunduk kepada Allah. [20]
d) Ibadah adalah penyembahan seorang hamba
terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan jalan tunduk dan merendahkan diri
serendah-rendahnya, yang dilakukan dengan hati yang ikhlas menurut cara-cara
yang ditentukan oleh agama.[21]
2) Syarat-syarat
Diterimanya Ibadah
a) Ikhlash
b) Mengikuti
Rasul
3) Rukun
Ibadah
a) Al-Hubb
(Cinta kepada Allah)
b) Al-Khauf (takut siksa Allah)
c) Al-Raja’
(berharap rahmat Allah)
d) Al-Ta’dzim
(mengagungkan Allah)
4) Macam-macam
Ibadah
a) Ibadah
qauli, seperti membaca syahadat.
b) Ibadah
fi’li (perbuatan), seperti jihad di jalan Allah, menghilangkan sesuatu
yang membahayakan di jalan.
c) Ibadah
qalbi (hati), seperti khauf (takut siksa Allah), raja’ (berharap rahmat
Allah) dan lain-lain.
d) Ibadah
musytarak (mencakup semuanya), seperti shalat.[22]
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Jenis
penelitian
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian lapangan atau field research, yaitu penelitian yang mengambil
data primer dari lapangan untuk lokasi tertentu.[1]
Dalam hal ini lokasi tempat pengambilan data primer untuk penelitian adalah Desa Tegalsambi
Kecamatan Tahunan Jepara.
2.
Sifat
Penelitian
Karena penelitian ini berupa penelitian lapangan, maka
sifat penelitian ini bersifat deskriptif. Deskriptif yaitu data yang diperoleh
penulis di jelaskan secara terperinci dan jelas (deskriptif) dari hasil
pengamatan/observasi, wawancara, penyebaran angket kepada sejumlah responden
dan lain sebagainya.[2]
3.
Locus
Penelitian
Adapun locus
penelitian yang dilakukan peneliti adalah Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan
Kabupaten Jepara.
4.
Responden dan
Teknik Sampling
Adapun responden
yang diambil dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan
Jepara yang dispesifikasikan masyarakat yang ikut beberapa pengajian di majlis
ta’lim, semisal Majlis Ta’lim Sabilul Huda, Majlis Ta’lim at-Taubah serta
beberapa santri pondok pesantren, yaitu pondok pesantren Matholiul Huda dan
Nurul Huda. Sedangkan teknik sampling yang digunakan peneliti yaitu probability sampling yakni teknik
pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur
(anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.[3]
5.
Pendekatan
Pendekatan
penelitian yang digunakan peneliti adalah
pendekatan kualitatif, data-data yang disajikan dalam bentuk kata verbal dan tidak dalam bentuk angka.
Penelitian dalam hal ini menggunakan metode etnografi.[4]
6.
Teknik
Pengumpulan Data
Untuk
memperoleh
data yang diperlukan dalam penyusunan dan penulisan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode
sebagai berikut:
1. Metode
Observasi
Observasi
adalah pengamatan dan pencatatan dilakukan secara sistematis mengenai
fenomena-fenomena yang diselidiki[5].
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang implikasi penafsiran M. Ali as-Shabuni terhadap konsep
jihad.
2. Metode
Interview
Interview
adalah proses tanya jawab dalam penelitian dan berlangsung secara lisan antara
dua orang atau lebih dengan bertatap muka dan mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan[6].
Metod.e ini digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang implikasi pemahaman
masyarakat Desa Tegalsambi Jepara terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah
ibadah serta implikasinya dalam aktivitas harian mereka.
3. Metode
Dokumentasi
Dokumentasi
adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, artikel,
artefac, foto dan yang lainnya[7].
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kualitas hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
Sumber data dokumentasi yang akan diambil adalah:
a) Sumber
data permasalahan pertama dengan mengambil data dari kitab Syuab al-Iman.
b) Sumber
data permasalahan yang kedua dengan mengambil data dari buku atau kitab-kitab
seperti kamus hadis Jami’ as-Shaghir, Mu’jam al-Mufahras serta
kitab syarah dan literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
dan dipandang representatif.[8]
7.
Teknik
Analisis Data
Dalam penelitian field
research menggunakan deskriptif analisis, yaitu apa yang dilakukan oleh
informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.[9]
Adapun analisis dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a) Reduksi
Data
Data
yang telah diperoleh di lapangan disusun dalam bentuk uraian yang lengkap dan
banyak. Data tersebut direduksi, dirangkum, dipilih pilih hal hal yang pokok
dan difokuskan pada hal hal penting dan berkaitan dngan masalah. Reduksi dapat
membantu penulis dalam memberikan kode untuk aspek aspek yang dibutuhkan[10].
b)
Display Data
Analisis ini mengingat data yang
terkumpul begitu banayak, kerusakan ini dapat diatasi dengan cara membuat
matriks atau grafik sehingga keseluruhan data bagian bagian detailnya dapat
dipetakan dengan jelas.
c) Kesimpulan
dan Verifikasi
Data yang sudah dipolakan kemudian
difokuskan dan disusun secara sistematis, baik melalui penentuan tema maupun
model grafik atau juga matriks, kemudian melalui induksi, data tersebut
disimpulkan sehingga makna data dapat ditemukan. Namun kesimpulan ini baru
bersifat sementara dan masih bersifat umum. Supaya sifat diperoleh secara mendalam, maka perlu dicari data lain
yang baru. Data ini berfungsi melakukan pengujian terhadap berbagai kesismpulan
tentative tadi.[11]
8.
Sistematika
Penulisan
Untuk memberikan arah yang jelas dalam rangkaian
penulisan penelitiani ini, maka penulis akan memberikan
gambaran sistematika penulisan penelitian:
BAB
I :
Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah, fokus masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian.
BAB II : Kajian
Teoritik
Berisi tentang landasan
teori dan kajian pustaka.
BAB III :
Metode Penelitian
Berisi tentang jenis
penelitian, sifat penelitian, locus penelitian, responden dan teknik sampling, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, dan sistematika penelitian.
BAB
IV : Pembahasan
Berisi pembahasan yang meliputi
pembahasan kevaliditasan hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, pendapat
masyarakat Desa Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah
ibadah, implikasi masyarakat Tegalsambi terhadap aktivitas harian mereka.
BAB
V : Analisis
Berisi analisis peneliti
terhadap pemahaman masyarakat Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa
adalah ibadah serta implikasinya terhadap aktivitas harian mereka.
BAB
VI : Penutup
Berisi kesimpulan dan penutup
serta saran dan kritikan yang membangun.
BAB IV
PEMBAHASAN
1.
Kevalidan
Hadis Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
a.
Takhrij Hadis
Dalam studi hadis, untuk mengetahui kevalidan sebuah yang
diteliti maka dibutuhkan cara mentakhrij sebuah hadis. Takhrij sendiri yaitu penelusuran
atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang
bersangkutan yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan
sanad hadis yang bersangkutan. Metode ini dimaksudkan
untuk memperjelas keadaan dan hadis dengan banyak riwayat.[12]
Cara mentakhrij sendiri ada beberapa hal, di antaranya
yaitu dengan mencari hadis dari para perawinya, dari awal matan, dari maudhu’
(judul) dan dari kata-kata hadis. Peneliti sendiri dalam mentakhrij hadis ini
menggunakan metode awal matan yaitu mencari dari kitab Jami’ as-Shagir karya
Jalaluddin as-Suyuthi. Dan hadis ini dianggap dha’if oleh beliau. Kemudian
langkah selanjutnya peneliti melakukan i’tibar terhadap hadis.

Hadis tersebut setelah dicari oleh peneliti, ternyata
hanya ada dalam kitab Syu’ab al-Iman karangan al-Baihaqi. Namun terdapat 3
sanad yang berbeda tentang matan hadis tersebut. Adapun semua redaksi beserta
sanadnya adalah sebagai berikut:
أخبرنا أبو الحسين علي بن
محمد بن علي بن الحسين الكاشاني الهروي قدم علينا نا أبو عبد الله محمد بن العباس
العصمي املاء نا أبو علي أحمد بن محمد بن علي بن رزين فيما انتخب عليه أبو الفضل
الشهيد أن إدريس بن موسى حدثهم نا سهيل بن حاقان نا خلف بن يحيى العبدي عن عنبسة
بن عبد الواحد القرشي نا عبد الملك بن عمير عن عبد الله ابن أبي أوفى قال : قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم : نوم الصائم عبادة و صمته تسبيح و عمله مضاعف و دعاؤه مستجاب
و ذنبه مغفور
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ نا
أبو عبد الله الصفار إملاء نا أحمد بن مهران بن خالد الأصبهاني نا الفضل بن جبير نا
سليمان بن عمرو ح و أخبرنا علي بن أحمد بن عبدان أنا أحمد بن عبيد الصفار نا أحمد بن
الهيثم الشعراني نا شريج بن يونس نا سليمان بن عمرو عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله
بن أبي أوفى : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : نوم الصائم عبادة و سكوته تسبيح
و دعاؤه مستجاب و عمله متقبل.
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا
علي بن عيسى نا علي بن محمد بن العلاء نا سختويه بن مازيار نا معروف بن حسان نا زياد
الأعلم عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله بن أبي أوفى الأسلمي قال : قال رسول الله
صلى الله عليه و سلم : نوم الصائم عبادة و صمته تسبيح و دعاؤه مستجاب و عمله مضاعف
ـ معروف بن حسان ضعيف و سليمان بن عمرو النخعي أضعف منه[13]

I’tibar menurut bahasa adalah masdar dari kata i’tabara,
sedangkan makna i’tibar adalah memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui
sesuatu jenis lainnya. Menurut ilmu hadis, i’tibar berarti menyertakan
sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian
sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan
sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang
lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.[14]
Untuk menjelaskan dan mempermudah proses kegiatan
i’tibar, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan
diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat
perhatian, yakni:
1. Jalur seluruh sanad.
2. Nama-nama periwayat seluruh sanad.
3. Metode periwayatan yang digunakan masing-masing
periwayat.
Adapun
i’tibar dari hadis di atas adalah:
Rasulullah
|
Abdullah bin
Abi Aufa
|
Abdul Malik bin
Umair
|
Ziyad al’A’lam
|
Ma’ruf bin
Hisan
|
Sakhtuwaih
|
Ali bin
Muhammad
|
Ali bin Isa
|
Sulaiman bin
Amr
|
Fudhail bin
Jubair
|
Ahmad bin Mihran
|
Abu Abdillah
as-Shaffar
|
Abu Abdillah
al-Hafidz
|
Syuraij bin
Yunus
|
Ahmad bin
Haitsam
|
Ahmad bin Ubaid
|
Ali bin Ahmad
bin Abdan
|
Anbasah
|
Khalaf bin
Yahya
|
Suhail bin
Khaqan
|
Idris bin Musa
|
Abu al-Hasan
|
Abu Abdillah
|
Abu Ali
|
Baihaqi
|
Melihat
seluruh sanad di atas, dapat disimpulkan bahwa seluruhnya bersumber pada
mukharrij satu yaitu Imam Baihaqy. Adapun rawi-rawinya setelah peneliti kaji
dan teliti dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Mizan al-I’tidal fi Naqd
ar-Rijal, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Isti’ab fi Ma’rifat
al-Ashab, ternyata beberapa rawi tidak tercantum di dalamnya.
Dengan
demikian, menurut hemat peneliti rawi yang tidak tercantum bisa jadi bermasalah
atau tidak dikenal di kalangan ahli hadis. Akan tetapi keterangan-keterangan
ulama yang dapat peneliti temukan dari kitab-kitab tersebut sudah cukup untuk
menetapkan tentang kualitas hadis ini. Adapun Rawi-Rawinya adalah sebagai
berikut:
- Imam Baihaqy
Nama
lengkapnya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Abdillah bin Musa
al-Baihaqy. Beliau lahir di Baihaq tahun 384 H, dan wafat pada tahun 458 H.[15]
Di
antara guru-gurunya adalah: Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah, Abu Abdurrahman
as-Salamy, Abu Ishaq at-Tusy. Sedangkan muridnya yaitu: Abu Ali Ismail Ahmad
bin al-Husain, Hafidhah Abu al-Hasan Ubaidillah bin Muhammad, Zahir.
- Abu Abdillah al-Hafidh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Hammad at-Tahrani Abu
Abdillah al-Hafidh ar-Razi, beliau wafat tahun 271 H. Gurunya antara lain:
Abdurrazzaq, Ya’la bin Ubaid, Affan dan lain-lain. Sedangkan muridnya: Ibnu
Majah, Ibnu Abi ad-Dunya, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain.[16]
Komentar
Ulama:
1) Ibnu Khirasy: Dia adalah adil dan tsiqah.
2) Imam Daruquthni: Dia tsiqah.
3) Muhammad bin YA’kub: Siapa saja yang ingin melihat Ahmad
bin Hambal dan Ishaq pada tingkat derajatnya maka lihat saja Abu Abdillah
al-Hafidh.[17]
- Ali bin Isa
Nama
lengkapnya adalah: Ali bin Isa bin Yazid al-Baghdady al-Karajakiy. Beliau wafat
pada tahun 247 H. Guru-gurunya antara lain: Ruh bin Ubadah, Sayababah,
al-Waqidy, Abdullah bin Bakar. Sedangkan muridnya: Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah,
dan lain-lain.
Komentar
Ulama
Al-Khatib
mengatakan: Tidak ditemukan pada sifatnya Ali bin Isa kecuali baik.
- Ali bin Muhammad bin al-A’la dan Sahtuwaih bin Maziyad, rawi ini tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib dan Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
- Ma’ruf bin Hisan
Nama
lengkapnya adalah: MA’ruf bin Hisan Abu Muadz as-Samarqandi.
Komentar
Ulama
1) Ibnu Adiy: MA’ruf diingkari hadisnya.[18]
2) Imam Baihaqy: MA’ruf adalah perawi yang Dha’if.[19]
- Ziyad al-A’lam
Nama
lengkapnya Ziyad bin Hisan bin Qarrah al-Bahily al-Bashriy. Guru-gurunya antara
lain: Anas, Hasan al-Bashry, Ibnu Sirin. Sedangkan muridnya antara lain: Ibnu
Aun, Said bin Abi Arubah, Hamam bin Yahya.
Komentar
Ulama
1) Ahmad: dia tsiqah tsiqah
2) Ibnu MA’in, Abu Dawud dan an-Nasa’i: Dia tsiqah
3) Abu Zur’ah: Dia syaikh
4) Daruquthni: dia sedikit periwayatan hadisnya.[20]
- Abdul Malik bin Umair
Nama
lengkapnya Abdul Malik bin Umair bin Suwaid bin Haritsah al-Qarasy, Kunyahnya
Abu Amr, Abu Umar al-Kufy dikenal juga Abu Umar al-Qibtiy. Guru-gurunya: Jabir
bin Samurah, Jarir, Jundab. Muridnya: Zaidah, Musa, Sulaiman at-Taimiy.
Komentar
Ulama:
1) Ali bin Hasan: Dia adalah Mudltarib al-hadis karena
sedikit periwayatanya dan banyak kesalahannya.
2) Al-‘Ajali: Dia waktu di Kufah baik hadisnya,
namaun pada hampir kematiannya mengalami perubahan tentang hafalan.
3) An-Nasa’i: Dia laisa bihi ba’s.[21]
- Abdullah bin Abi Aufa al-Aslamiy
Namanya
al-Qamah bin Khalid al-Haris bin Asad bin Rifa’ah bin Tsa’lahbah bin Hawazin
bin Aslam bin Afso bin Haritsah bin Amr bin Amir. Beliau sahabat yang mengikuti
perjanjian Hudaibiyah dan perang Khaibar. Beliau hidup di Madinah sampai
Rasulullah wafat, kemudian pindah ke Kufah dan wafat pada tahun 87 H.[22]
Murid-muridnya: Ibrahim bin Abdurrahman, Ibrahim bin Muslim, al-A’masy dan
lain-lain.
Abu
Abdullah as-Shifar, Nama lengkapnya: Ahmad bin Asykab al-Hadhramiy Abu Abdillah
as-Shifar al-Kufiy. Gurunya antara lain: Muhammad bin Fudhail, Abu Bakar bin
Iyasy, Syarik. Sedangkan muridnya antara lain: al-Bukhari, Abu Hatim, Abu
Umayyah, YA’kub bin Sufyan
Komentar
para ulama:
1) Abu Hatim: Diua tsiqah.
2) Al-Ajali: dia tsiqah
Adapun
Ahmad bin Mihran dan Fudhail bin Jubair, biografi mereka tidak ditemukan dalam
kitab Tahdzib at-Tahdzib dan Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
Sulaiman
bin Amr Abu Dawud an-Nakha’i al-Kadzab
Komentar
para ulama
1) Abu Thalib: Dia adalah pemalsu hadis
2) Ahmad bin Abi Maryam: Dia dikenal sebagai pemalsu hadis
3) Imam Bukhari: Dia matruk.
4) Ibnu Adiy: Para ulama sepakat dia pemalsu hadis.[23]
5) Ibnu Hibban: Dia secara lahiriyah adalah orangh shalih,
tetapi pemalsu hadis.[24]
2.
Pendapat
Masyarakat Tegalsambi tentang Hadis Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
a. Informasi Umum Tentang Desa Tegalsambi
Desa Tegalsambi adalah sebuah desa yang terletak di
Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Desa ini berbatasan dengan Desa
Mantingan di sebelah timur, Desa Teluk Awur di sebelah barat, Desa Krapyak di
sebelah Utara, dan Desa Petekeyan dan Demangan di sebelah Selatan.[25]
Desa ini sendiri terdiri dari 10 dusun, 2 RW, dan 12 RT.
Adapun jumlah penduduknya, terhitung pada Maret tahun 2011 berjumlah 1.199 KK,
4.283 jiwa yang terperinci dari 3.590 orang dewasa, 480 anak-anak, dan 213
orang lanjut usia, atau secara umum terdiri dari 3.092 orang perempuan dan
1.191 laki-laki.[26]
Daerah ini digunakan masyarakat sebagai
tempat pemukiman, pertanian, tegalan, industri kayu ukir, dan lain-lain.
Pendidikan masyarakat Tegalsambi terbilang masih rendah kualitas dan
partisipasi masyarakat dalam pendidikan.[27]
Satu lagi kebudayaan unik Indonesia dari daerah Jepara, persisnya di
desa Tegalsambi kecamatan Tahunan. Perang Obor sebuah tradisi di Jepara yang
sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat sekitar. Selain sebagai daya
tarik wisatawan untuk datang ke daerah ini, tradisi perang obor ini ternyata
bertujuan sebagai ritual tolak bala dan ucapan syukur masyarakat Tegalsambi
atas panen yang melimpah. Tradisi ini dianggap sebagai doa kepada yang Maha
Kuasa agar tetap dilimpahkan rejeki dan keselamatan masyarakat sekitar.[28]
Adapun struktur organisasi
pemerintahan Desa Tegalsambi sesuai dengan keputusan Bupati Jepara nomor
061.I/758 tahun 2006 bahwa pemerintahan Desa Tegalsambi adalah sebagai berikut[29]:
Kepala
Desa
Sumarno, S.H.
|
Sekretaris
H. M. Kasinin,
BA.
|
Kasi
Pemerintahan
M. Akrim, S.H.
|
Kasi
Perekonomian & Sosial
Nur Afidah,
S.E.
|
Staff
H. Listiyono,
S.Ag.
|
Staff
H. Nur Syafiq
|
b.
Keadaan Sosial
Keagamaan dan Pendidikan
Di desa Tegalsambi semua
masyarakat aslinya berpenduduk Islam, hanya saja ada beberapa pendatang yang
tidak berapa Islam seperti para turis yang datang ke Desa Tegalsambi karena
memang desa ini dekat dengan laut yang biasanya dijadikan tempat wisata oleh
para turis.
Di desa ini banyak sarana dan
prasarana untuk pendidikan keagamaan semisal Madrasah Diniyah (ula, wustho,
ulya) ada 1, TPQ ada 1, pondok pesantren ada 2, majlis pengajian ada 2,
mushalla ada 15, dan masjid ada 3.
Tingkat pendidikan masyarakat
Tegalsambi sangat beragam, ini terbukti dengan tabel sebagai berikut:[30]
No
|
Tingkat
Pendidikan
|
Jumlah Penduduk
|
1.
|
Belum sekolah
|
193 orang
|
2.
|
Tidak tamat SD
|
90 orang
|
3.
|
Tamat SD/MI
|
330 orang
|
4.
|
SLTP/MTs
|
761 orang
|
5.
|
SMA/MA
|
1.197 orang
|
6.
|
D1
|
29 orang
|
7.
|
D2
|
43 orang
|
8.
|
D3
|
53 orang
|
9.
|
S1
|
48 orang
|
10.
|
S2
|
4 orang
|
c.
Pendapat Masyarakat
Tegalsambi Terhadap Hadis Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
Dalam upaya untuk mengetahui
pendapat masyarakat Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah
ibadah, peneliti menggunakan metode wawancara dan menyebarkan kuesioner. Adapun
obyek yang dijadikan penelitian adalah para anggota jama’ah pengajian Sabilul
Huda dan at-Taubah serta beberapa santri pondok pesantren Nurul Huda dan
Matholi’ul Huda.
Ternyata penelitian yang
dilakukan peneliti mendapatkan jawaban beraneka ragam. Kebanyakan dari mereka
ada yang tidak mengetahui kualitas sebenarnya hadis tersebut, meskipun dari
semua obyek penelitian mengaku pernah mendengar hadis tersebut. Hal tersebut
berdampak pada jawaban mereka terhadap soal yang peneliti ajukan dengan
seringnya aktivitas mereka gunakan untuk tidur pada waktu puasa karena doktrin
hadis tersebut lebih-lebih yang menyampaikan adalah tokoh masyarakat yang
dipandang banyak mengetahui tentang masalah agama.
Kesimpulan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti ini yaitu dari semua obyek penelitian ternyata pernah
mendengar bahkan sering mendengar terhadap hadis. Adapun darimana mendengarnya
pertama kali, dari sekitar 100
koresponden 60 % menjawab dari pengajian, 25 % dari guru, dan 15 % dari
teman. Namun kebanyakan dari mereka tidak mengrtahui kualitas hadis tersebut
apalagi sampai melakukan usaha untuk mengetahui kualitasnya, meskipun sebagian
dari mereka ada yang telah pernah melakukan pencarian lewat metode takhrij,
baik itu yang lewat manual maupun lewat digital.
Salah satu hal yang menarik
menurut peneliti adalah ketika peneliti mencoba mewawancarai salah seorang
anggota pengajian at-Taubah yang berinisial MK, yang dapat peneliti simpulkan
bahwa MK sangat senang ketika mendengar hadis ini dan sangat mempercayainya
akan kevalidan hadis ini karena pertama kali dia mendengarnya dari gurunya yang
menurutnya faham betul akan masalah agama. Berikut petikan wawancara antara
peneliti dengan MK.
Peneliti (P): Apakah Bapak pernah mendengar hadis hadits نوم
الصائم عبادة (tidurnya
orang berpuasa adalah ibadah)?
MK : ya
pernah, bahkan sering mendengar saya.
P :
Darimanakah Bapak pertama kali mendengarnya?
MK : Oh, saya
mendengar pertama kalinya dari guru saya waktu di MTs dulu, dan sekarang juga
sering mendengarnya dari para khatib.
P :
Bagaimana sikap Bapak pertama kali ketika mendengar hadis ini?
MK : Pertama
kalinya sih agak terkejut masak tidur dihitung ibadah, tapi saya tetap yakin
kebenaran itu karena yang menyampaikan adalah para ustadz.
P :
Pernahkah Bapak mencari informasi tentang rujukan hadis ini (sehingga Bapak
berani meyakini kebenaran hadis ini)?
MK : Saya
belum pernah karena saya orang awam, ya bisanya hanya sendiko dawuh apa
yang diucapkan para ustadz nak, tidak berani bertanya lebih lanjut apalagi
menentangnya, takut kalau su’ul adab nak. Apa yang diucapkan ustadz
tidaklah salah karena saya yakin mereka berkata seperti itu juga bukan dari
diri mereka sendiri.
P : Lalu
bagaimana Bapak memahami kandungan hadis ini?
MK : Kalau
menurut saya sich, syariat islam itu mudah ya, tidurnya orang berpuasa saja
dinilai ibadah apalagi kalau digunakan hal-hal yang positif itu pasti pahalanya
lebih banyak. Bukan berarti ketika puasa kita disuruh untuk tidur terus, namun
ini adalah sebuah basyir (memberikan kabar gembira) kepada orang yang
mau berpuasa.[31]
Peneliti dapat menyimpulkan bahwa MK terlalu
mengkultuskan apa yang telah dikatakan oleh ustadz sehingga menganggap semuanya
benar ceramah yang disampaikannya. Hal itu juga dialami oleh beberapa
masyarakat, sebagaimana jawaban mereka terhadap kuesioner yang peneliti
sebarkan.[32]
Meskipun tidak semua berkesimpulan seperti itu,
sebagaimana wawancara peneliti dengan salah seorang pemuka agama yang
berinisial NH, NH menjelaskan bahwa hadis tersebut adalah dhaif sebagaimana
yang dijelaskan as-Suyuti dalam Jami’ as-Shaghir. Meskipun demikian, menurutnya
hadis dhaif itu tidak masalah diamalkan dalam masalah mawa’id dan fadhail.
Hadis ini menjelaskan tentang fadhilah orang berpuasa, yang tidurnya saja sudah
dianggap ibadah apalagi mau beribadah secara serius dalam artian iman dan hanya
mengharap ridha Allah, maka dosa (kecil) yang dilakukan sebelumnya diampuni
sebagaimana disebutkan hadis shahih (pen: man shama ramadhana imanan...).
Lagipula, ada sebagian ulama yang lebih menyukai untuk mengamalkan hadis dhaif
daripada mengamalkan ungkapan orang (pen: tidak hadis).[33]
3.
Implikasi
Pemahaman Masyarakat Desa Tegalsambi terhadap Hadis Tidurnya Orang Berpuasa
adalah Ibadah Terhadap Aktivitas Harian Mereka.
a.
Implikasi
Terhadap Pekerjaan
Pemahaman masyarakat Tegalsambi
sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata mempunyai implikasi yang sangat
signifikan. Berdasarkan pengamatan langsung serta wawancara dengan sejumlah
masyarakat membuktikan bahwa ketika Bulan Ramadlan tiba biasanya etos bekerja
seseorang rendah, dari hari-hari biasanya yang masuk kerja jam setengah delapan
ketika puasa diundur sampai jam delapan. Kejadian semacam ini terjadi hampir
pada semua jenis pekerjaan baik yang tukang kayu, guru, tukang ukir, ataupun
lainnya.
Realita yang terjadi, sebagaimana
peneliti wawancara dengan seorang nelayan SR yang menjelaskan bahwa ketika
bulan Ramadhan, pada siang hari mereka tidak pergi melaut. Alasannya di samping
karena faktor puasa yang menguras tenaga, dia juga mengatakan bahwa lebih baik
tidur di rumah pada waktu siang hari dengan alasan tidurnya orang berpuasa
adalah ibadah, dan memilih pergi ke laut pada saat malam, biasanya setelah
isya’ kalau sempat ya ikut shalat tarawih kalau ga’ ya tidak, ungkapnya.[34]
Namun tidak semuanya seperti
itu, salah seorang tukang kayu yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan
bahwa dia tidak terpengaruh sama sekali terhadap hadis ini, baik ketika puasa
ataupun tidak dia tetap bekerja penuh. Karena dia pernah mendapat keterangan
dari anaknya sendiri bahwa hadis tersebut adalah dhaif bahkan ada yang
mengatakan laa ashla lahu, jadi tidak patut untuk dijadikan
pedoman.
b.
Implikasi
Terhadap Aktivitas Belajar
Selain berpengaruh pada sektor
pekerjaan, ternyata juga berpengaruh pada aktivitas belajar. Peneliti sendiri
menyaksikan peristiwa ini dengan mata kepala sendiri saat peneliti mengikuti
pengajian posonan di Pondok Pesantren Matholi’ul Huda Tegalsambi di tahun 2002.
Pada suatu hari, salah seorang pengurus keamanan membangunkan santri yang
tiduran untuk mengikuti pengajian. “Ngaji-ngaji sudah ditunggu pak Kyai”
ungkapnya sambil membawa penjalin (sejenis rotan), lalu jawab santri
yang tiduran “Alah kang aku tidak ngaji tidurnya orang berpuasa kan
dihitung ibadah”, satu santri lainnya ikut mengaji namun dalam pengajiannya dia
malah tidur tidak ikut maknani dan tidak memerhatikan keterangan
sang Kyai. Ketika selesai pengajian dia ditanya oleh santri lain: “Kang,
sampeyan ngaji kok turu ae” ora melu maknani? Lalu dia menjawab: Lha
turune wong poso kan ibadah kang.
Itulah realita yang disaksikan
oleh peneliti sendiri, setidaknya memberikan gambaran ternyata penyebaran hadis
ini mempunyai dampak yang signifikan dan dijadikan senjata utama untuk tidak
melakukan aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari. Hal serupa juga dilakukan
oleh banyak santri yang melakukan riyadhah puasa dalail di pondok
yang sama, sepengamatan peneliti mereka lebih banyak tidurnya pada waktu siang
daripada muthala’ah kitab.
[1] Suharismi Arikunto, 1993, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 202.
[4] Etnografi berasal
dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphein yang berarti
tulisan atau uraian. Jadi etnografi adalah tulisan yang menceritakan kebudayaan
suatu suku bangsa atau suatu masyarakat. Lihat dalam Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi,
Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 250.
[9] Cik
Hasan dan Eva Rufaidah, 2002, Model Penelitian Agama dan
Dinamika Sosial, Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm.
132-133.
[10] Dadang Kahmad, 1998,
Metodologi Penelitian Agama Persepektif Ilmu Perbandingan
Agama, Pustaka Setia: Bandung, hlm. 103
[11] Ibid., hlm. 104
[12]
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Bulan Bintang: Jakarta,
1999, hlm. 43.
[14] Mahmud
Thahhan, 1997, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, terj.
Zainul Muttaqin, Titian Ilahi Press: Yogyakarta, hlm. 149.
[18] M. Husain Ad-Dzahabi,
T.t., Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Juz 2, Dar al-Fikr: Beirut,
hlm. 143
[22] Abu Umar
bin Abdillah bin Muhammad Abd al-Bar al-Qurthubiy, al-Isti’ab fi Ma’rifat
al-Ashhab, Juz 3, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 7-8
[26] Sistem Informasi
Manajemen (Sim) Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Tegalsambi dalam http://116.90.165.170/pnpm/report/profilpmdesa.php?idkel=33201214&id=1104. Diakses pada 19/11/2011.
[28] Agus Cahyo, Tradisi
Unik Desa Tegalsambi, http://palingindonesia.com/perang-obor-tradisi-unik-dan-menantang-dari-tegalsambi-jepara/. Diakses pada tanggal 21/11/2011.
[29] Sebagaimana
yang terdapat dalam Struktur pemerintahan Desa Tegalsambi di Balai Desa
tegalsambi.
[31] Hasil
wawancara peneliti dengan MK, anggota jam’iyyah pengajian at-Taubah di rumahnya
Desa Tegalsambi RT. 06 RW. 2, pada tanggal 21 November 2011 pada pukul 20.00.
[32] Pertanyaan
yang diajukan peneliti dalam kuesioner sama dengan pertanyaan wawancara, hanya
saja dalam pertanyaan kuesioner terdapat pertanyakan implikasi dari pemahaman
mereka terhadap aktivitasnya ketika berpuasa. Lebih jelasnya angket penelitian
dapat dilihat di halaman terakhir dari penelitian ini.
BAB V
ANALISIS
1.
Ketidakotentikan
Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah
Menurut Imam Suyuthi, kualitas
hadis ini adalah dha’if.[1]
Bagi orang yang kurang mengetahui ilmu hadis, pernyataan as-Suyuthi dapat
menimbulkan salah paham, sebab hadis maudhu’ secara umum masih dapat
dipertimbangkan untuk diamalkan.kesalahpahaman itu akan segera hilang manakala
diketahui bahwa hadis maudhu’ itu merupakan bagian dari hadis dha’if.
Walau bagaimanapun Imam
as-Suyuthi akhirnya menuai kritik dari para ulama atas pernyataannya karena
beliau dianggap tasahul (mempermudah) dalam menetapkan kualitas hadis. Al-Minawi
menyatakan bahwa pernyataan as-Suyuthi memberikan kesan bahwa al-Baihaqi
menilai hadis tersebut dha’if.
Padahal al-Baihaqi telah memberikan komentar atas beberapa rawi yang terdapat
dalam sanadnya namun tidak dinukil oleh Imam as-Suyuthi.
Menurut al-Baihaqi, di dalam
sanad hadis ituterdapat nama-nama seperti Ma’ruf bin Hisan, seorang rawi yang dha’if,
dan Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang rawi yang lebih dha’if daripada
Ma’ruf. Bahkan menurut kritikus hadis al-Iraqi, Sulaiman adalah seorang pendusta
sebagaimana nyang dikatakan oleh al-Minawi.[2]
Sedangkan menurut Ahmad bin
Hambal, Sulaiman bin Amr an-Nakha’i adalah pemalsu hadis. Yahya bin Ma’in
mengatakan: Sulaiman dikenal pemalsu hadis. Imam al-Bukhari mengatakan:
Sulaiman bin Amr adalah matruk. Sementara Yazid bin Harun mengatakan: Siapapun
tidak halal meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr, sedangkan al-Hakim tidak
meragukan lagi bahwa Sulaiman bin Amr adalah pemalsu hadis.[3]
2.
Faktor yang
Mempengaruhi Masyarakat Tegalsambi Terhadap Pemahaman Hadis Tidurnya Orang
Berpuasa adalah Ibadah
Setelah melakukan penelitian
lapangan terhadap masyarakat Tegalsambi, ternyata banyak faktor yang
mempengaruhi terhadap pemahaman hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat penulis simpulkan:


BAB
VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berpijak
dari penelitian yang dilakukan peneliti, amka dapat disimpulkan:
- Hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah kualitasnya adalah dha’if karena rawinya ada Ma’ruf bin Hisanb yang dinilai sebagai rawi yang dha’if, dan Sulaiman bin Amr an-Nakha’i seorang rawi yang lebih dha’if daripada Ma’ruf.
- Banyak faktor yang mempengaruhi pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Di antaranya: karena disampaikan oleh tokoh masyarakat, banyak disampaikan oleh para khatib, da’i, serta banyak ditemukan di buku-buku bacaan sekunder.
- Pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi tentang tidurnya orang berpuasa adalah ibadah mempunyai dampak pada segala aspek, baik aspek pendidikan, aspek ekonomi, serta aspek sosial kemasyarakatan.
- Implementasi dari pemahaman hadis ini, mereka pada waktu puasa lebih suka tidur daripada beraktivitas seperti hari-hari biasanya, hal tersebut dilakukan oleh orang yang menduga kevalidan hadis ini. Bagi yang tidak, puasa tidak terlalu mempengaruhi terhadap aktivitas harian ketika puasa, karena mereka tahu ada hadis shahih yang intinya disuruh untuk berpuasa dengan keimanan dan hanya mencari ridha Allah, dan hal itu dikejewantahkan dengan memperbanyak aktivitas yang substansinya ibadah kepada Allah.
B. Penutup
Puji Syukur peneliti panjatkan
kepada Tuhan semesta alam, yang menciptakan manusia dalam bentuk yang paling
sempurna, Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada peneliti untuk
melaksanakan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga
peneliti tujukan kepada dosen mata kuliah Praktikum Penelitian Hadis Ibu Hj.
Nur Mahmudah, MA, yang telah mengarahkan peneliti untuk melaksanakan penelitian
ini, juga tak lupa kepada para perangkat Desa Tegalsambi, serta masyarakatnya
yang telah banyak membantu terlaksanakannya penelitian ini. The last but not
least, kedua orangtua yang tiada henti-hentinya mendoakan ananda demi
kesuksesan ananda memperoleh ilmu yang nafi’ yang bisa mendekatkan diri
kepada sang khaliq.
C. Kritik dan Saran
Tiada gading yang tidak retak,
peneliti sadar bahwa meskipun penelitian ini sukses dilaksanakan, namun bukan
berarti nihil dari kekurangan. Tentunya masih banyak kekurangan di sana-sini
yang perlu dibenahi, seperti kata pepatah arab, idza tamma al-amru bada
naqshuhu. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan
demi tercapainya penelitian berikutnya yang lebih baik dari ini.
Akhirnya, semoga penelitian ini
bisa bermanfaat bagi peneliti sendiri pada khususnya dan para pembaca yang
tersentuh hatinya untuk melakukan sebuah penelitian yang ada hubungannnya
dengan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Dari Literatur
Abu Ahmadi, 2003, Ilmu Sosial Dasar, Rineke Cipta:
Jakarta,.
Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi,
Syu’b al-Iman, Juz 3, Maktabah Syamilah.
Abu
Umar bin Abdillah bin Muhammad Abd al-Bar al-Qurthubiy, al-Isti’ab fi Ma’rifat
al-Ashhab, Juz 3, Dar al-Fikr: Beirut
Chalid
Narbuka dan Abu Ahmadi, 1999, Metode
Penelitian, Bumi Askara: Jakarta.
Cik Hasan dan Eva Rufaidah, 2002, Model
Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Dadang Kahmad, 1998, Metodologi
Penelitian Agama Persepektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia: Bandung.
Ibnu
Hajar al-Asqalani, 1984, Tahdzib at-Tahdzib, Dar al-Fikr: Beirut
Jalaluddin
as-Suyuti, Tadrib ar-Rowi, Juz 1, Maktabah Syamilah.
................................., T.t., Jami’
as-Shaghir, Dar al-Fikr: Beirut.
Jalaluddin
Rahmat, 1998, Membuka Tirai Kegaiban; Renungan-renungan Sufistik, Mizan:
Bandung.
Lexy
J Moeloeng, 2002, Metode Penelitian
Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung.
M.
Husain Ad-Dzahabi, T.t., Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Juz 2, Dar
al-Fikr: Beirut.
Mahmud
Thahhan, 1997, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, terj.
Zainul Muttaqin, Titian Ilahi Press: Yogyakarta
Marwanto,
Sosiologi Umum 3 SMU, Yudhistira: Jakarta, 1994.
Muhammad Abd ar-Rauf al-Minawi, T.t., Faidh al-Qadir,
Juz 6, Dar al-Fikr: Beirut.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Dar al-Fikr:
Beirut, T.t.
Muhammad
bin Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin wa ad-Dhu’afa wa
al-Matrukin, Juz 1, Maktabah Syamilah
Muhammad
bin Ibrahim al-Hamdi, Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi fi
al-Aqidah, Juz 2, Maktabah Syamilah.
Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 6, Maktabah
Syamilah.
Muhammad
Khatib as-Syirbini, T.t., Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr:
Beirut.
Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if Jami’ as-Shaghir wa Ziyadatuhu,
Juz 1, Maktabah Syamilah.
Muslim
A. Kadir, 2004, Buku Daros Pendidikan Islam Terapan, Proyek
Peningkatan Perguruan Agama: STAIN Kudus.
Nawawi
Rif’at Syauqi, 2002, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah
Akidah dan Ibadah, Paramadina: Jakarta.
Nuruddin
al-Mala Ali al-Qari, 1971, al-Maudhuat al-Kubra, Mu’assasah ar-Risalah:
Beirut.
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif,
Alfabeta: Bandung.
Suharismi Arikunto, 1993, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta: Jakarta.
Sutrisno
Hadi, 1993, Metodologi Research II, Andi Offset: Yogyakarta.
Syarif
Hadi Masyah, 2004, Puasa Sebagai Terapi Penyembuhan Berbagai Penyakit,
Mizan: Bandung.
Syihabuddin
Ahmad bin Hajar al-Haitami, T.t., Syarh Matn Minhaj at-Thalibin,
Juz 13, Mauqi’ Islam: Maktabah Syamilah.
Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Bulan Bintang: Jakarta, 1999.
Tim
Penyusun Buku Panduan Letak Geografis Desa Tegalsambi, 2010, Letak Geografis
Desa Tegalsambi, Agus Press: Jepara.
Yusuf
Qardhawi, Fiqih Puasa, terj. Ma’ruf Abdul Jalil, 2007, Era Intermedia:
Yogyakarta.
Zakariya
al-Anshari, T.t., Asna al-Mathalib Syuruh Raudhah at-Thalib, juz 5,
Mauqi’ al-Islam: Maktabah Syamilah.
Dari Website
Agus Cahyo, Tradisi Unik Desa Tegalsambi,
http://palingindonesia.com/perang-obor-tradisi-unik-dan-menantang-dari-tegalsambi-jepara/. Diakses pada tanggal 21/11/2011.
Sistem Informasi Manajemen (Sim) Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Tegalsambi dalam http://116.90.165.170/ pnpm /report/ profilpmdesa. php? idkel= 33201214 &id=1104. Diakses pada
19/11/2011.
Dari Wawancara dan pengamatan langsung
Catatan sekretaris desa pada akhir tahun 2010.
Wawancara
peneliti dengan MK, anggota jam’iyyah pengajian at-Taubah di rumahnya Desa
Tegalsambi RT. 06 RW. 2, pada tanggal 21 November 2011 pada pukul 20.00.
Wawancara
dengan Kepala Desa Tegalsambi, Bapak Sumarno, SH., di kediamannya pada 22
November pukul 20.00
Wawancara dengan salah seorang pencatat sensus penduduk
pada 18/11/2011.
Wawancara denga NH di kediamannya pada tanggal 22
November 2011 pukul 16.00
Wawancara dengan SR pada tanggal 27/11/2011.
[3] Muhammad
bin Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin wa ad-Dhu’afa wa
al-Matrukin, Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 333.
[1] Nawawi
Rif’at Syauqi, 2002, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah
Akidah dan Ibadah, Paramadina: Jakarta, hlm. 170.
[2] Jalaluddin
Rahmat, 1998, Membuka Tirai Kegaiban; Renungan-renungan Sufistik, Mizan:
Bandung, hlm. 51.
[3] Syarif Hadi
Masyah, 2004, Puasa Sebagai Terapi Penyembuhan Berbagai Penyakit,
Mizan: Bandung, hlm. 50.
[4] Bandingkan
dengan Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz
6, Maktabah Syamilah, hlm. 462.
[6] Nuruddin al-Mala Ali al-Qari, 1971, al-Maudhuat
al-Kubra, Mu’assasah ar-Risalah: Beirut, hlm. 374.
[7] Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if Jami’ as-Shaghir wa Ziyadatuhu,
Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 1274. Al-Albani juga mengatakan hal senada (hadis ini dhaif)
dalam kitabnya yang lain yaitu Silsilah al-Ahadis ad-Dha’ifah, Juz 10,
hlm. 230, Maktabah Syamilah.
[8] Tim
Penyusun Buku Panduan Letak Geografis Desa Tegalsambi, 2010, Letak Geografis
Desa Tegalsambi, Agus Press: Jepara, hlm. 3
[9] Sebagaimana
hasil wawancara peneliti dengan salah seorang pencatat sensus penduduk pada
18/11/2011.
[10] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Rineke
Cipta: Jakarta, 2003, hlm. 241
[11] Marwanto, Sosiologi Umum 3 SMU,
Yudhistira: Jakarta, 1994, hlm. 70-72.
[12] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis,
Dar al-Fikr: Beirut, T.t, hlm. 27-28.
[13] Ibid., hlm. 305.
[14] Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rowi,
Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 100
[15] M. ‘Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., hlm.
351.
[16] Muhammad
Khatib as-Syirbini, T.t., Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr:
Beirut, hlm. 234.
[17] Yusuf
Qardhawi, Fiqih Puasa, terj. Ma’ruf Abdul Jalil, 2007, Era Intermedia:
Yogyakarta, hlm. 133.
[18] Zakariya
al-Anshari, T.t., Asna al-Mathalib Syuruh Raudhah at-Thalib, juz 5,
Mauqi’ al-Islam: Maktabah Syamilah, hlm. 299
[19] Syihabuddin
Ahmad bin Hajar al-Haitami, T.t., Syarh Matn Minhaj at-Thalibin,
Juz 13, Mauqi’ Islam: Maktabah Syamilah, hlm. 417.
[20] Muhammad bin Ibrahim
al-Hamdi, Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi fi al-Aqidah, Juz
2, Maktabah Syamilah, hlm. 8.
[21] Muslim A.
Kadir, 2004, Buku Daros Pendidikan Islam Terapan, Proyek
Peningkatan Perguruan Agama: STAIN Kudus, hlm. 389.
[22] Ibid., hlm.
13-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar