Jumat, 16 November 2012

Mini Research



PEMAHAMAN MASYARAKAT DESA TEGALSAMBI JEPARA TERHADAP HADIS TIDURNYA ORANG BERPUASA ADALAH IBADAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKTIVITAS HARIAN MEREKA

Penelitian Living Hadis
Mata Kuliah : Praktikum Penelitian
Dosen Pengampu : Ibu Hj. Nur Mahmudah, MA.


Penyusun

Ahmad Saerozi
NIM: 309052

                                                           
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURUSAN USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADIS
KUDUS
2011
 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................
HALAMAN DAFTAR ISI ...............................................................................        1
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .................................................................................        3
B.     Fokus Masalah ................................................................................         5
C.     Rumusan Masalah .......................................................................             6
D.    Tujuan Penelitian .............................................................................        6
E.     Manfaat Penelitian ...........................................................................        6

BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A.    Penelitian Terdahulu ........................................................................        7.
B.     Landasan Teori .................................................................................        8

BAB III: METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian................................................................................          16
B.     Sifat Penelitian ...................................................................................      16
C.     Locus Penelitian ...............................................................................        16
D.    Responden dan Teknik Sampling ......................................................      16
E.     Pendekatan ......................................................................................        17
F.      Teknik Pengumpulan Data ...................................................................    17
G.    Teknik Analisis Data............................................................................     18
H.    Sistematika Penulisan..........................................................................     19

BAB IV: PEMBAHASAN
A.      Kevalidan Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah ................. 20
B.       Pendapat Masyarakat Tegalsambi tentang Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah      ............................................................................................................ 26
C.       Implikasi Pemahaman Masyarakat Tegalsambi Terhadap Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah dengan Aktivitas Harian Mereka.............................................. 30

BAB V : ANALISIS
A.     Ketidakotentikan Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah..... 32
B.     Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Tegalsambi Mempunyai Pemahaman Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah......................................................................... 33
BAB VI: PENUTUP
A.    Kesimpulan............................................................................................. 34
B.     Penutup................................................................................................... 34
C.     Kritik dan Saran..................................................................................... 35
D.    Lampiran Kuesioner............................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................   39

BAB I

PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Puasa merupakan salah satu di antara rukun Islam di samping syahadat, shalat, zakat dan haji. Al-Quran pun menyebut secara eksplisit kewajiban berpuasa pada hari-hari tertentu (bulan Ramadlan). Adapun ayat yang mewajibkan untuk berpuasa adalah surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Ungkapan لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ merupakan alasan diwajibkannya puasa, sekaligus mengisyaratkan hikmah yang paling penting yaitu puasa berpotensi menyiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk bertaqwa kepada Allah. Orang yang bertaqwa adalah orang yang mengendalikan amarahnya.[1] Di saat puasa kita dianjurkan untuk mengendalikan amarah, seumpama ada orang yang mencaci maki kita, kita hanya boleh menjawab “Saya sedang puasa”.[2]
       Dalam Islam, puasa diharapkan mampu menghentikan dari kebiasaan buruk yang biasa dilakukan. Puasa juga diharapkan dapat mengikis habis sifat egoisme dan mempersempit ruang gerak hawa nafsu. Selama berpuasa seseorang diharapkan merasakan penderitaan orang-orang fakir, sehingga ia tersentuh untuk berbelas kasih kepada mereka.[3]
            Hadis sebagai pijakan kedua umat Islam juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting dari al-Quran. Dalam hadis banyak ditemukan keistimewaan-keistimewaan yang akan diperoleh orang yang berpuasa di antaranya: pahala berpuasanya akan dibalas oleh Allah sendiri, besok di hari qiyamah diberi pintu untuk masuk ke surga yang dinamakan bab al-Rayyan yang mana pintu tersebut khusus dimasuki oleh orang yang berpuasa,[4] sampai-sampai dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Tekstual hadis tersebut berbunyi:
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا علي بن عيسى نا علي بن محمد بن العلاء نا سختويه بن نا معروف بن حسان نا زياد الأعلم عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله بن أبي أوفى الأسلمي قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : نوم الصائم عبادة و صمته تسبيح و دعاؤه مستجاب و عمله مضاعف. [5]
Telah memberikan kabar kepada kita Abu Abdillah al-Hafidz telah memberikan kabar kepada kita Ali bin Isa telah menceritakan kepada kita Ali bin Muhammad bin al-Ala’ telah menceritakan kepada kita Sakhtuwaih bin Mazyar telah menceritakan kepada kita Ma’ruf bin Hisan telah menceritakan kepada kita Ziyad al-A’lam dari Abdul Malik bin Umair dari Abdullah bin Abi Aufa al-Aslami berkata: Rasulullah Saw bersabda: “ Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah , diamnya adalah tasbih, doanya akan dikabulkan dan perbuatannya akan dilipatgandakan”.
Berkaitan dengan hadis tersebut, dari segi otentisitasnya belum jelas, sebab dalam matannya ada kejanggalan yaitu bertentangan dengan tujuan utama berpuasa yaitu membentuk pribadi mukmin supaya bertaqwa, di samping itu dari segi sanadnya juga bermasalah karena salah satu sanadnya ada Ma’ruf bin Hisan padahal dia adalah dikenal sebagai mudallis (orang yang menyembunyikan cacat) hadis Tidak hanya itu saja, beberapa ahli hadis pun menganggap hadis tersebut kualitasnya dha’if jiddan, di antaranya yaitu Nuruddin al-Mala Ali al-Qari dalam kitabnya “al-Maudhuat al-Kubra” yang mengatakan hadis ini adalah laa ashla lahu.[6] Ibnu Hajar al-Asqalani dan Muhammad Nashiruddin al-Albani.[7]
Namun dalam kenyataannya, hadis tersebut telah menyatu dalam pemahaman masyarakat, termasuk masyarakat Tegalsambi yang kebanyakan berupa masyarakat awam. Kondisi geografis Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara jawa Tengah ini termasuk wilayah bagian utara. Daerah ini digunakan masyarakat sebagai tempat pemukiman, pertanian, tegalan, industri kayu ukir, dan lain-lain. Pendidikan masyarakat Tegalsambi terbilang masih rendah kualitas dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.[8]
Peneliti memilih obyek penelitian Desa Tegalsambi dikarenakan masyarakatnya semuanya beragama Islam sebagaimana catatan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010[9], ketaatan beragama mereka juga terbilang tinggi dengan bukti banyaknya masyarakat yang mengikuti pengajian yang dilakukan baik rutinan setiap minggu sekali di berbagai mushalla maupun pengajian tahunan peringatan hari besar Islam. Hal tesebut juga didukung oleh kontribusi dua pondok pesantren yang ada yang selalu memberikan pengajaran masalah agama baik kepada santri dalam maupun masyarakat sekitar.
Di samping itu, dari aspek ekonomi masyarakat di sana mata pencahariannya bermacam-macam, ada yang bertani, mebel, tukang kayu, tukang ukir, nelayan dan lain-lain. Oleh karena itu hal tersebut menarik hati peneliti untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul “PEMAHAMAN MASYARAKAT DESA TEGALSAMBI TAHUNAN JEPARA TERHADAP HADIS TIDURNYA ORANG BERPUASA ADALAH IBADAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKTIVITAS HARIAN MEREKA”.

2.    Fokus Masalah
Berpijak dari latar belakang di atas, fokus masalah pokok yang akan diteliti oleh peneliti adalah pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah dan implikasinya terhadap aktivitas harian mereka. Adapun sub fokus masalahnya adalah:
a.       Keotentikan hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
b.      Keadaan sosio-geografis masyarakat Tegalsambi Tahunan Jepara.
c.       Faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tegalsambi mempunyai pemahaman tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.


3.    Rumusan Masalah
Dari fokus masalah tesebut, masalah pokok yang akan diteliti peneliti yaitu bagaimana Bagaimana pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah dan implikasinya terhadap aktivitas harian mereka? Adapun pertanyaan penelitiannya antara lain:
a.       Bagaimana keotentikan hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah?
b.      Bagaimana keadaan sosio-geografis masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara?
c.       Apa saja faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tegalsambi mempunyai pemahaman tidurnya orang bepuasa adalah ibadah?

4.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin peneliti capai dalam penelitian ini mencakup 2 hal, yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya yaitu: Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara terhadap hadis tidurnya orang berpuasa dan implikasinya terhadap aktivitas harian mereka. Adapun tujuan secara khususnya yaitu:
a.       Untuk mengetahui keotentikan hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
b.      Untuk mengetahui keadaan sosio-geografis masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara.
c.       Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Tegalsambi mempunyai pemahaman tidurnya orang puasa adalah ibadah.

5.    Manfaat Penelitian
Setelah menentukan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis berharap penelitian ini mempunyai manfaat  secara praktis yaitu penelitian ini diharapkan agar penulis dan masyarakat luas mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah serta implikasinya terhadap aktivitas harian mereka.




BAB II

KAJIAN TEORITIK
1.    Kajian Pustaka
Penelitian ini bukan pertama kali yang dilakukan, sebab penulis pernah menemukan penelitian sebelumnya yang memiliki tema hampir mirip dengan penelitian ini, di antaranya: penelitian yang dilakukan oleh Bapak Ali Mustafa Ya’kub, seorang pakar hadis dari Indonesia dalam karyanya yang berjudul Hadis-Hadis Bermasalah tahun 2003. Penelitian tersebut bertujuan untuk menjelaskan hadis-hadis yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat awam namun sebenarnya hadis tersebut mempunyai masalah dalam segi sanad dan matannya. Penelitian ini masih bersifat umum karena luang lingkup hadis yang diteliti kurang spesifik, hal tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yang lebih bersifat spesifik.
Penelitian juga pernah dilakukan oleh Muhammad Amin Sholeh dalam skripsinya  yang berjudul Kritik Sanad Hadis Tentang Tidurnya Orang Puasa adalah Ibadah pada tahun 2008. Namun jenis penelitian tersebut berupa library research (penelitian pustaka) untuk mengetahui kredibilitas seluruh sanad yang ada dalam hadis tersebut, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis ini disamping melakukan penelitian pustaka juga melakukan penelitian langsung ke lapangan.
Penelitian yang lain juga pernah dilakukan oleh Muhammad Islahuddin dengan judul Pemahaman Santri Pondok Pesantren Nurul Ulum Kedung Jepara Terhadap Hadis-hadis Dha’if  Tentang Masalah Puasa pada tahun 2007. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui pemahaman santri Pondok Pesantren Nurul Ulum terhadap hadis-hadis dhai’f tentang masalah puasa.
Penelitian juga pernah dilakukan oleh Ahmad Musthofa dalam penelitiannya yang berjudul Cerita Rakyat Dan Upacara Tradisional Perang Obor Di Desa Tegalsambi. Penelitian ini menjelaskan tentang tradisi budaya tahunan yang dilakukan di masyarakat Tegalsambi. Meskipun Tempat penelitiannya sama namun topik yang dibahas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti ini.
Adapun buku yang dijadikan penelitian pustaka oleh penulis adalah buku karangan Nashiruddin al-Albani dengan judul al-Silsilah al-Dha’ifat penerbit Maktabah al-Ma’arif yang mencakup 5500 hadis yang sudah mentradisi di masyarakat luas padahal kualitasnya tidak ada satu pun yang berkualitas shahih karena semuanya bertentangan dengan sejarah, isi kandungan al-Quran maupun bertentangan dengan akal sehat. Adapun hadis tentang tidurnya orang berpuasa adalah ibadah  ditaruhnya pada urutan ke 4696 dengan kualitas dhaif jiddan.
Buku lain yang dijadikan rujukan penelitian pustaka oleh penulis adalah kitab yang berjudul Shahih Wa Dhaif al-Jami’ as-Shaghir yang juga merupakan karangan Nashiruddin al-Albani, dalam kitab tersebut beliau meneliti kualitas hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul al-Jami’ as-Shaghir. Beliau (al-Albani) mengatakan hadis tentang tidurnya orang berpuasa merupakan hadis yang dhaif jiddan.
Berhubung penelitian-penelitian terdahulu terlalu luas cakupannya serta kurang spesifik pada satu penelitian, di samping itu juga tempat penelitian yang berbeda, sehingga penulis ingin melaksanakan penelitian yang lebih spesifik dan bertempat di ruang lingkup yang lebih sempit yaitu di Desa Tegalsambi Jepara.

2.    Landasan Teori
a.    Masyarakat
1)   Pengertian Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris masyarakat disebut  Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat”  sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu Musytarak yang artinya “bergaul”. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Berikut ini akan dijelaskan pengertian masyarakat dari beberapa pakar sosiologi.
a)    Menurut Selo Sumardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b)   Menurut Karl Marx, masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
c)    Menurut Emile Durkheim, masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
d)   Menurut Paul B. Horton & C. Hunt,  masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
2)   Unsur-unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
a)    Beranggotakan minimal dua orang.
b)   Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
c)    Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
d)   Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
3)   Ciri / Kriteria Masyarakat yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan/disebut sebagai masyarakat yang baik, yaitu:
a)    Ada sistem tindakan utama.
b)   Saling setia pada sistem tindakan utama.
c)    Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
d)   Sebagian atau seluruh anggota baru didapat dari kelahiran/reproduksi manusia.[10]

b.   Desa
1)   Pengertian Desa
Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Sedangkan, menurut Bintaro desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
a)    Ciri-ciri Desa dan Masyarakatnya
Ciri Desa menurut Paul H. Landis adalah daerah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Adapun ciri-ciri masyarakatnya yaitu:
1)    Afektifitas, yaitu masyarakatnya mempunyai perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan  tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain  dan menolongnya tanpa pamrih.
2)    Orientasi kolektif, sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
3)    Partikularisme, pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.
4)    Askripsi, yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.[11]

c.    Hadis
1)   Pengertian Hadis
Hadis secara etimologi berarti sesuatu yang baru. Sedangkan secara terminologi hadis sering disamakan dengan sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah baik dari ucapan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah. Namun sebagian ulama ada yang membedakan antara hadis dengan sunnah, kalau hadis lebih spesifik setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, kalau sunnah berlaku general (umum) baik setelah diangkat menjadi Rasul atau sebelumnya.[12]
2)   Macam-Macam Hadis
Klasifikasi hadis dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: dari segi kuantitas sanadnya dan kualitas hadisnyanya. Jika hadis dilihat dari segi kuantitas maka dapat digolongkan menjadi:
a)    Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap thabaqah (tingkatan) dari awal sanad sampai akhir sanad yang mana mereka mustahil untuk sepakat berbohong.
b)   Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang belum memenuhi kriteria hadis mutawatir. Hadis ini dibagi 3, yaitu:
1)   Hadis Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari 2 orang dari setiap tingkatan namun belum mencapai tingkatan mutawatir.
2)   Hadis Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang dari setiap tingkatan.
3)   Hadis Ghorib, yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang dalam setiap tingkatan.
Jika dilihat dari kualitas hadis, maka hadis dapat dibagi menjadi:
a)    Hadis Shahih, yaitu hadis yang memenuhi 5 kriteria dibawah ini, yaitu:
1)   Sanad bersambung, maksudnya setiap perawi telah mengambil hadis secara langsung dari gurunya mulai dari awal sampai akhir sanad.
2)   Perawi yang adil, maksudnya setiap perawi harus seorang muslim, baligh, berakal, tidak fasik (bermaksiat/tidak taat), dan berperangai baik. Tentang baligh, para ulama mensyaratkan baligh ketika meriwayatkan hadis. Adapun ketika mendengar/menerima hadisnya, tidak disyaratkan perawi tersebut sudah baligh, namun cukup dengan tamyiz (bisa membedakan, memahami perkataan orang).
3)   Dhabt yang sempurna, maksudnya setiap perawi harus sempurna hafalannya. Terbagi dua, yaitu dhabt shadr, dan dhabt kitab.
Dhabt shadr adalah apabila seorang perawi benar-benar menghafalnya dalam dadanya (shadr), dan mampu mengungkapkannya kapan saja
.         Dhabt kitab adalah apabila seorang perawi menjaga hadis yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
4)   Tidak ada syudzudz (kejanggalan), maksudnya adalah perawinya tidak menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah (terpercaya) darinya.
5)   Tidak ada `illat yang berat, maksudnya tidak ada cacat pada hadis tersebut. `illat adalah sebab tersembunyi yang dapat merusak status keshahihan hadis meskipun zhahirnya tidak nampak cacat. [13]
b)   Hadis Hasan, yaitu hadis yang memenuhi kriteria shahih namun kedhabitan rawi dan keadilannya lebih rendah dari rawi hadis shahih.
c)    Hadis Dhaif, yaitu hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis hasan dan shahih, yang disebabkan karena sanadnya tidak bersambung atau sebab lainnya seperti ada keterbalikan redaksi matan antara rawi satu dengan rawi lainnya, perbedaan kualitas matan antara satu rawi dengan rawi lainnya, dan lain-lain .
3)   Hukum Menggunakan Hujjah dengan  Hadis Shahih, Hasan dan Dha’if
a)    Hadis shahih bisa dibuat hujjah secara mutlaq.
b)   Hadis hasan, Di dalam berhujjah dengannya, hukumnya sama dengan hadis Shahih sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadis Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadis dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidun) seperti Yahya bin Ma’in. Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasahilun) mencantumkannya ke dalam jenis hadis Shahih seperti al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih.[14]
c)    Hadis dhaif, Ulama berbeda pendapat dalam masalah penggunaan hujjah dengan hadis dhaif, yaitu:
1)   Pendapat pertama: tidak boleh digunakan secara mutlaq, baik dalam masalah fadhail (keutamaan) maupun ahkam (hukum). Ini adalah pendapat Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Ma’in, begitu juga pendapat Abu Bakar bin Arabi, al-Bukhari dan Muslim.
2)   Boleh digunakan secara mutlaq, ini adalah pendapat Abu Dawud dan Ahmad.
3)   Boleh digunakan dalam masalah fadhail (keutamaan-keutamaan) dan mawa’id (nasihat-nasihat), namun harus memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mengatakan syaratnya yaitu:
a.    Dhai’fnya tidak terlalu parah.
b.   Ketika menggunakan hadis dha’if tidak mempunyai keyakinan bahwa hal tersebut diperintahkan agama.[15] 

d.   Puasa
1)   Pengertian Puasa
Secara etimologi puasa berarti menahan, sedangkan secara terminologi puasa berarti menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan syarat-syarat tertentu.[16] Sedangkan Yusuf Qardhawi mendefinisikan puasa adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri dan yang semisalnya sehari penuh dari terbitnya fajar shadiq, hingga terbenamnya matahari dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah.[17]
2)      Rukun Puasa
a)      Orang yang berpuasa
b)      Niat
c)      Menahan dari hal yang membatalkan puasa
3)      Hal-hal yang Membatalkan Puasa
a)      Makan, minum, jima’
b)      bersetubuh
c)      Mengeluarkan mani dengan perantara
d)     Muntah dengan disengaja
e)      Memasukkan sesuatu ke dalam lubang anggota tubuh
f)       Memasukkan obat melalui otak.[18]
4)      Kesunnahan Puasa
a)      Meninggalkan ucapan yang jelek
b)      Menyegerakan berbuka
c)      Mengakhirkan sahur.[19]

e.    Ibadah
1)   Pengertian Ibadah
Secara etimologi ibadah berarti sikap hina dan rendah diri. Sedangkan secara terminologi ada beberapa pendapat dari para ahlinya, di antaranya yaitu:
a)    Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridoinya baik berupa ucapan perbuatan dhohir maupun perbuatan bathin.
b)   Menurut Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, ibadah adalah kesempurnaan kecintaan dan kehinaan kita kepada Allah.
c)    Menurut Ibnu Sa’di, ibadah adalah cinta sejati dan tunduk kepada Allah. [20]
d)    Ibadah adalah penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan jalan tunduk dan merendahkan diri serendah-rendahnya, yang dilakukan dengan hati yang ikhlas menurut cara-cara yang ditentukan oleh agama.[21]
2)   Syarat-syarat Diterimanya Ibadah
a)    Ikhlash
b)   Mengikuti Rasul
3)   Rukun Ibadah
a)    Al-Hubb (Cinta kepada Allah)
b)   Al-Khauf  (takut siksa Allah)
c)    Al-Raja’ (berharap rahmat Allah)
d)   Al-Ta’dzim (mengagungkan Allah) 
4)   Macam-macam Ibadah
a)    Ibadah qauli, seperti membaca syahadat.
b)   Ibadah fi’li (perbuatan), seperti jihad di jalan Allah, menghilangkan sesuatu yang membahayakan di jalan.
c)    Ibadah qalbi (hati), seperti khauf (takut siksa Allah), raja’ (berharap rahmat Allah) dan lain-lain.
d)   Ibadah musytarak (mencakup semuanya), seperti shalat.[22]

BAB III

METODE PENELITIAN
1.    Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan atau field research, yaitu penelitian yang mengambil data primer dari lapangan untuk lokasi tertentu.[1] Dalam hal ini lokasi tempat pengambilan data primer untuk penelitian adalah Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Jepara.
2.    Sifat Penelitian
Karena penelitian ini berupa penelitian lapangan, maka sifat penelitian ini bersifat deskriptif. Deskriptif yaitu data yang diperoleh penulis di jelaskan secara terperinci dan jelas (deskriptif) dari hasil pengamatan/observasi, wawancara, penyebaran angket kepada sejumlah responden dan lain sebagainya.[2]
3.    Locus Penelitian
Adapun locus penelitian yang dilakukan peneliti adalah Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara.
4.    Responden dan Teknik Sampling
Adapun responden yang diambil dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Tegalsambi Tahunan Jepara yang dispesifikasikan masyarakat yang ikut beberapa pengajian di majlis ta’lim, semisal Majlis Ta’lim Sabilul Huda, Majlis Ta’lim at-Taubah serta beberapa santri pondok pesantren, yaitu pondok pesantren Matholiul Huda dan Nurul Huda. Sedangkan teknik sampling yang digunakan peneliti yaitu  probability sampling yakni teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.[3]





5.    Pendekatan
Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif, data-data yang disajikan dalam bentuk kata verbal dan tidak dalam bentuk angka. Penelitian dalam hal ini menggunakan metode etnografi.[4]
6.    Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan dan penulisan penelitian  ini, penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1.    Metode Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dilakukan secara sistematis mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki[5]. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang implikasi penafsiran M. Ali as-Shabuni terhadap konsep jihad.
2.    Metode Interview
Interview adalah proses tanya jawab dalam penelitian dan berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih dengan bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan[6]. Metod.e ini digunakan untuk mendapatkan informasi tentang implikasi pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi Jepara terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah serta implikasinya dalam aktivitas harian mereka.
3.    Metode Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, artikel, artefac, foto dan yang lainnya[7]. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kualitas hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.
Sumber data dokumentasi  yang akan diambil adalah:
a)    Sumber data permasalahan pertama dengan mengambil data dari kitab Syuab al-Iman.
b)   Sumber data permasalahan yang kedua dengan mengambil data dari buku atau kitab-kitab seperti kamus hadis Jami’ as-Shaghir, Mu’jam al-Mufahras serta kitab syarah dan literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan dipandang representatif.[8]
7.    Teknik Analisis Data
Dalam penelitian field research menggunakan deskriptif analisis, yaitu apa yang dilakukan oleh informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.[9] Adapun analisis dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a)    Reduksi Data
Data yang telah diperoleh di lapangan disusun dalam bentuk uraian yang lengkap dan banyak. Data tersebut direduksi, dirangkum, dipilih pilih hal hal yang pokok dan difokuskan pada hal hal penting dan berkaitan dngan masalah. Reduksi dapat membantu penulis dalam memberikan kode untuk aspek aspek yang dibutuhkan[10].
b)   Display Data
Analisis ini mengingat data yang terkumpul begitu banayak, kerusakan ini dapat diatasi dengan cara membuat matriks atau grafik sehingga keseluruhan data bagian bagian detailnya dapat dipetakan dengan jelas.
c)    Kesimpulan dan Verifikasi
Data yang sudah dipolakan kemudian difokuskan dan disusun secara sistematis, baik melalui penentuan tema maupun model grafik atau juga matriks, kemudian melalui induksi, data tersebut disimpulkan sehingga makna data dapat ditemukan. Namun kesimpulan ini baru bersifat sementara dan masih bersifat umum. Supaya sifat diperoleh  secara mendalam, maka perlu dicari data lain yang baru. Data ini berfungsi melakukan pengujian terhadap berbagai kesismpulan tentative tadi.[11]


8.    Sistematika Penulisan
Untuk memberikan arah yang jelas dalam rangkaian penulisan penelitiani ini, maka penulis akan memberikan gambaran sistematika penulisan penelitian:
BAB I        :  Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah, fokus masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
BAB II       : Kajian Teoritik
Berisi tentang landasan teori dan kajian pustaka.
BAB III     : Metode Penelitian
Berisi tentang jenis penelitian, sifat penelitian, locus penelitian, responden dan teknik sampling, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sistematika penelitian.  
BAB IV    : Pembahasan
Berisi pembahasan yang meliputi pembahasan kevaliditasan hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, pendapat masyarakat Desa Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, implikasi masyarakat Tegalsambi terhadap aktivitas harian mereka.
BAB V       : Analisis
Berisi analisis peneliti terhadap pemahaman masyarakat Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah serta implikasinya terhadap aktivitas harian mereka.
BAB VI     : Penutup
Berisi kesimpulan dan penutup serta saran dan kritikan yang membangun.         







BAB IV
PEMBAHASAN
1.    Kevalidan Hadis Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
a.    Takhrij Hadis
Dalam studi hadis, untuk mengetahui kevalidan sebuah yang diteliti maka dibutuhkan cara mentakhrij sebuah hadis. Takhrij sendiri yaitu penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Metode ini dimaksudkan untuk memperjelas keadaan dan hadis dengan banyak riwayat.[12]
Cara mentakhrij sendiri ada beberapa hal, di antaranya yaitu dengan mencari hadis dari para perawinya, dari awal matan, dari maudhu’ (judul) dan dari kata-kata hadis. Peneliti sendiri dalam mentakhrij hadis ini menggunakan metode awal matan yaitu mencari dari kitab Jami’ as-Shagir karya Jalaluddin as-Suyuthi. Dan hadis ini dianggap dha’if oleh beliau. Kemudian langkah selanjutnya peneliti melakukan i’tibar terhadap hadis.
*      Redaksi Hadis
Hadis tersebut setelah dicari oleh peneliti, ternyata hanya ada dalam kitab Syu’ab al-Iman karangan al-Baihaqi. Namun terdapat 3 sanad yang berbeda tentang matan hadis tersebut. Adapun semua redaksi beserta sanadnya adalah sebagai berikut:
أخبرنا أبو الحسين علي بن محمد بن علي بن الحسين الكاشاني الهروي قدم علينا نا أبو عبد الله محمد بن العباس العصمي املاء نا أبو علي أحمد بن محمد بن علي بن رزين فيما انتخب عليه أبو الفضل الشهيد أن إدريس بن موسى حدثهم نا سهيل بن حاقان نا خلف بن يحيى العبدي عن عنبسة بن عبد الواحد القرشي نا عبد الملك بن عمير عن عبد الله ابن أبي أوفى قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : نوم الصائم عبادة و صمته تسبيح و عمله مضاعف و دعاؤه مستجاب و ذنبه مغفور
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ نا أبو عبد الله الصفار إملاء نا أحمد بن مهران بن خالد الأصبهاني نا الفضل بن جبير نا سليمان بن عمرو ح و أخبرنا علي بن أحمد بن عبدان أنا أحمد بن عبيد الصفار نا أحمد بن الهيثم الشعراني نا شريج بن يونس نا سليمان بن عمرو عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله بن أبي أوفى : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : نوم الصائم عبادة و سكوته تسبيح و دعاؤه مستجاب و عمله متقبل.

 أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا علي بن عيسى نا علي بن محمد بن العلاء نا سختويه بن مازيار نا معروف بن حسان نا زياد الأعلم عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله بن أبي أوفى الأسلمي قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : نوم الصائم عبادة و صمته تسبيح و دعاؤه مستجاب و عمله مضاعف ـ معروف بن حسان ضعيف و سليمان بن عمرو النخعي أضعف منه[13]
*      I’tibar dan Studi Sanad
I’tibar menurut bahasa adalah masdar dari kata i’tabara, sedangkan makna i’tibar adalah memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui sesuatu jenis lainnya. Menurut ilmu hadis, i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.[14]
Untuk menjelaskan dan mempermudah proses kegiatan i’tibar, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni:
1. Jalur seluruh sanad.
2. Nama-nama periwayat seluruh sanad.
3. Metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat.

            Adapun i’tibar dari hadis di atas adalah:

Rasulullah
 


Abdullah bin Abi Aufa
Abdul Malik bin Umair
Ziyad al’A’lam
Ma’ruf bin Hisan
Sakhtuwaih
Ali bin Muhammad
Ali bin Isa
Sulaiman bin Amr
Fudhail bin Jubair
Ahmad bin Mihran
Abu Abdillah as-Shaffar
Abu Abdillah al-Hafidz
Syuraij bin Yunus
Ahmad bin Haitsam
Ahmad bin Ubaid
Ali bin Ahmad bin Abdan
Anbasah
Khalaf bin Yahya
Suhail bin Khaqan
Idris bin Musa
Abu al-Hasan
Abu Abdillah
Abu Ali
Baihaqi
 





























            Melihat seluruh sanad di atas, dapat disimpulkan bahwa seluruhnya bersumber pada mukharrij satu yaitu Imam Baihaqy. Adapun rawi-rawinya setelah peneliti kaji dan teliti dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab, ternyata beberapa rawi tidak tercantum di dalamnya.
            Dengan demikian, menurut hemat peneliti rawi yang tidak tercantum bisa jadi bermasalah atau tidak dikenal di kalangan ahli hadis. Akan tetapi keterangan-keterangan ulama yang dapat peneliti temukan dari kitab-kitab tersebut sudah cukup untuk menetapkan tentang kualitas hadis ini. Adapun Rawi-Rawinya adalah sebagai berikut:
  1. Imam Baihaqy
Nama lengkapnya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Abdillah bin Musa al-Baihaqy. Beliau lahir di Baihaq tahun 384 H, dan wafat pada tahun 458 H.[15] 
Di antara guru-gurunya adalah: Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah, Abu Abdurrahman as-Salamy, Abu Ishaq at-Tusy. Sedangkan muridnya yaitu: Abu Ali Ismail Ahmad bin al-Husain, Hafidhah Abu al-Hasan Ubaidillah bin Muhammad, Zahir.
  1. Abu Abdillah al-Hafidh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Hammad at-Tahrani Abu Abdillah al-Hafidh ar-Razi, beliau wafat tahun 271 H. Gurunya antara lain: Abdurrazzaq, Ya’la bin Ubaid, Affan dan lain-lain. Sedangkan muridnya: Ibnu Majah, Ibnu Abi ad-Dunya, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain.[16]
            Komentar Ulama:
1)      Ibnu Khirasy: Dia adalah adil dan tsiqah.
2)      Imam Daruquthni: Dia tsiqah.
3)      Muhammad bin YA’kub: Siapa saja yang ingin melihat Ahmad bin Hambal dan Ishaq pada tingkat derajatnya maka lihat saja Abu Abdillah al-Hafidh.[17]


  1. Ali bin Isa
Nama lengkapnya adalah: Ali bin Isa bin Yazid al-Baghdady al-Karajakiy. Beliau wafat pada tahun 247 H. Guru-gurunya antara lain: Ruh bin Ubadah, Sayababah, al-Waqidy, Abdullah bin Bakar. Sedangkan muridnya: Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan lain-lain.
Komentar Ulama
Al-Khatib mengatakan: Tidak ditemukan pada sifatnya Ali bin Isa kecuali baik.
  1. Ali bin Muhammad bin al-A’la dan Sahtuwaih bin Maziyad, rawi ini tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib dan Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
  2. Ma’ruf bin Hisan
Nama lengkapnya adalah: MA’ruf bin Hisan Abu Muadz as-Samarqandi.
Komentar Ulama
1)      Ibnu Adiy: MA’ruf diingkari hadisnya.[18]
2)      Imam Baihaqy: MA’ruf adalah perawi yang Dha’if.[19]
  1. Ziyad al-A’lam
Nama lengkapnya Ziyad bin Hisan bin Qarrah al-Bahily al-Bashriy. Guru-gurunya antara lain: Anas, Hasan al-Bashry, Ibnu Sirin. Sedangkan muridnya antara lain: Ibnu Aun, Said bin Abi Arubah, Hamam bin Yahya.
Komentar Ulama
1)      Ahmad: dia tsiqah tsiqah
2)      Ibnu MA’in, Abu Dawud dan an-Nasa’i: Dia tsiqah
3)      Abu Zur’ah: Dia syaikh
4)      Daruquthni: dia sedikit periwayatan hadisnya.[20]
  1. Abdul Malik bin Umair
Nama lengkapnya Abdul Malik bin Umair bin Suwaid bin Haritsah al-Qarasy, Kunyahnya Abu Amr, Abu Umar al-Kufy dikenal juga Abu Umar al-Qibtiy. Guru-gurunya: Jabir bin Samurah, Jarir, Jundab. Muridnya: Zaidah, Musa, Sulaiman at-Taimiy.
Komentar Ulama:
1)      Ali bin Hasan: Dia adalah Mudltarib al-hadis karena sedikit periwayatanya dan banyak kesalahannya.
2)        Al-‘Ajali: Dia waktu di Kufah baik hadisnya, namaun pada hampir kematiannya mengalami perubahan tentang hafalan.
3)      An-Nasa’i: Dia laisa bihi ba’s.[21]
  1. Abdullah bin Abi Aufa al-Aslamiy
Namanya al-Qamah bin Khalid al-Haris bin Asad bin Rifa’ah bin Tsa’lahbah bin Hawazin bin Aslam bin Afso bin Haritsah bin Amr bin Amir. Beliau sahabat yang mengikuti perjanjian Hudaibiyah dan perang Khaibar. Beliau hidup di Madinah sampai Rasulullah wafat, kemudian pindah ke Kufah dan wafat pada tahun 87 H.[22] Murid-muridnya: Ibrahim bin Abdurrahman, Ibrahim bin Muslim, al-A’masy dan lain-lain.
Abu Abdullah as-Shifar, Nama lengkapnya: Ahmad bin Asykab al-Hadhramiy Abu Abdillah as-Shifar al-Kufiy. Gurunya antara lain: Muhammad bin Fudhail, Abu Bakar bin Iyasy, Syarik. Sedangkan muridnya antara lain: al-Bukhari, Abu Hatim, Abu Umayyah, YA’kub bin Sufyan
Komentar para ulama:
1)      Abu Hatim: Diua tsiqah.
2)      Al-Ajali: dia tsiqah
Adapun Ahmad bin Mihran dan Fudhail bin Jubair, biografi mereka tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib dan Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
Sulaiman bin Amr Abu Dawud an-Nakha’i al-Kadzab
Komentar para ulama
1)      Abu Thalib: Dia adalah pemalsu hadis
2)      Ahmad bin Abi Maryam: Dia dikenal sebagai pemalsu hadis
3)      Imam Bukhari: Dia matruk.
4)      Ibnu Adiy: Para ulama sepakat dia pemalsu hadis.[23]
5)      Ibnu Hibban: Dia secara lahiriyah adalah orangh shalih, tetapi pemalsu hadis.[24]
2.    Pendapat Masyarakat Tegalsambi tentang Hadis Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
a.    Informasi Umum Tentang Desa Tegalsambi
Desa Tegalsambi adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Desa ini berbatasan dengan Desa Mantingan di sebelah timur, Desa Teluk Awur di sebelah barat, Desa Krapyak di sebelah Utara, dan Desa Petekeyan dan Demangan di sebelah Selatan.[25]
Desa ini sendiri terdiri dari 10 dusun, 2 RW, dan 12 RT. Adapun jumlah penduduknya, terhitung pada Maret tahun 2011 berjumlah 1.199 KK, 4.283 jiwa yang terperinci dari 3.590 orang dewasa, 480 anak-anak, dan 213 orang lanjut usia, atau secara umum terdiri dari 3.092 orang perempuan dan 1.191 laki-laki.[26]
Daerah ini digunakan masyarakat sebagai tempat pemukiman, pertanian, tegalan, industri kayu ukir, dan lain-lain. Pendidikan masyarakat Tegalsambi terbilang masih rendah kualitas dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.[27]
Satu lagi kebudayaan unik Indonesia dari daerah Jepara, persisnya di desa Tegalsambi kecamatan Tahunan. Perang Obor sebuah tradisi di Jepara yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat sekitar. Selain sebagai daya tarik wisatawan untuk datang ke daerah ini, tradisi perang obor ini ternyata bertujuan sebagai ritual tolak bala dan ucapan syukur masyarakat Tegalsambi atas panen yang melimpah. Tradisi ini dianggap sebagai doa kepada yang Maha Kuasa agar tetap dilimpahkan rejeki dan keselamatan masyarakat sekitar.[28]
Adapun struktur organisasi pemerintahan Desa Tegalsambi sesuai dengan keputusan Bupati Jepara nomor 061.I/758 tahun 2006 bahwa pemerintahan Desa Tegalsambi adalah sebagai berikut[29]:

Kepala Desa
Sumarno, S.H.
Sekretaris
H. M. Kasinin, BA.
Kasi Pemerintahan
M. Akrim, S.H.
Kasi Perekonomian & Sosial
Nur Afidah, S.E.
Staff
H. Listiyono, S.Ag.
Staff
H. Nur Syafiq
 














b.   Keadaan Sosial Keagamaan dan Pendidikan
Di desa Tegalsambi semua masyarakat aslinya berpenduduk Islam, hanya saja ada beberapa pendatang yang tidak berapa Islam seperti para turis yang datang ke Desa Tegalsambi karena memang desa ini dekat dengan laut yang biasanya dijadikan tempat wisata oleh para turis.
Di desa ini banyak sarana dan prasarana untuk pendidikan keagamaan semisal Madrasah Diniyah (ula, wustho, ulya) ada 1, TPQ ada 1, pondok pesantren ada 2, majlis pengajian ada 2, mushalla ada 15, dan masjid ada 3.
Tingkat pendidikan masyarakat Tegalsambi sangat beragam, ini terbukti dengan tabel sebagai berikut:[30]
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah Penduduk
1.
Belum sekolah
193 orang
2.
Tidak tamat SD
90 orang
3.
Tamat SD/MI
330 orang
4.
SLTP/MTs
761 orang
5.
SMA/MA
1.197 orang
6.
D1
29 orang
7.
D2
43 orang
8.
D3
53 orang
9.
S1
48 orang
10.
S2
4 orang
 
c.    Pendapat Masyarakat Tegalsambi Terhadap Hadis Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah
Dalam upaya untuk mengetahui pendapat masyarakat Tegalsambi terhadap hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, peneliti menggunakan metode wawancara dan menyebarkan kuesioner. Adapun obyek yang dijadikan penelitian adalah para anggota jama’ah pengajian Sabilul Huda dan at-Taubah serta beberapa santri pondok pesantren Nurul Huda dan Matholi’ul Huda.
Ternyata penelitian yang dilakukan peneliti mendapatkan jawaban beraneka ragam. Kebanyakan dari mereka ada yang tidak mengetahui kualitas sebenarnya hadis tersebut, meskipun dari semua obyek penelitian mengaku pernah mendengar hadis tersebut. Hal tersebut berdampak pada jawaban mereka terhadap soal yang peneliti ajukan dengan seringnya aktivitas mereka gunakan untuk tidur pada waktu puasa karena doktrin hadis tersebut lebih-lebih yang menyampaikan adalah tokoh masyarakat yang dipandang banyak mengetahui tentang masalah agama.
Kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini yaitu dari semua obyek penelitian ternyata pernah mendengar bahkan sering mendengar terhadap hadis. Adapun darimana mendengarnya pertama kali, dari sekitar 100  koresponden 60 % menjawab dari pengajian, 25 % dari guru, dan 15 % dari teman. Namun kebanyakan dari mereka tidak mengrtahui kualitas hadis tersebut apalagi sampai melakukan usaha untuk mengetahui kualitasnya, meskipun sebagian dari mereka ada yang telah pernah melakukan pencarian lewat metode takhrij, baik itu yang lewat manual maupun lewat digital.
Salah satu hal yang menarik menurut peneliti adalah ketika peneliti mencoba mewawancarai salah seorang anggota pengajian at-Taubah yang berinisial MK, yang dapat peneliti simpulkan bahwa MK sangat senang ketika mendengar hadis ini dan sangat mempercayainya akan kevalidan hadis ini karena pertama kali dia mendengarnya dari gurunya yang menurutnya faham betul akan masalah agama. Berikut petikan wawancara antara peneliti dengan MK.
Peneliti (P): Apakah Bapak pernah mendengar hadis hadits  نوم الصائم عبادة                      (tidurnya orang berpuasa adalah ibadah)?
MK        : ya pernah, bahkan sering mendengar saya.
P                        : Darimanakah Bapak pertama kali mendengarnya?
MK        : Oh, saya mendengar pertama kalinya dari guru saya waktu di MTs dulu, dan sekarang juga sering mendengarnya dari para khatib.
P            : Bagaimana sikap Bapak pertama kali ketika mendengar hadis ini?
MK        : Pertama kalinya sih agak terkejut masak tidur dihitung ibadah, tapi saya tetap yakin kebenaran itu karena yang menyampaikan adalah para ustadz.
P            : Pernahkah Bapak mencari informasi tentang rujukan hadis ini (sehingga Bapak berani meyakini kebenaran hadis ini)?
MK        : Saya belum pernah karena saya orang awam, ya bisanya hanya sendiko dawuh apa yang diucapkan para ustadz nak, tidak berani bertanya lebih lanjut apalagi menentangnya, takut kalau su’ul adab nak. Apa yang diucapkan ustadz tidaklah salah karena saya yakin mereka berkata seperti itu juga bukan dari diri mereka sendiri.
P            : Lalu bagaimana Bapak memahami kandungan hadis ini?
MK        : Kalau menurut saya sich, syariat islam itu mudah ya, tidurnya orang berpuasa saja dinilai ibadah apalagi kalau digunakan hal-hal yang positif itu pasti pahalanya lebih banyak. Bukan berarti ketika puasa kita disuruh untuk tidur terus, namun ini adalah sebuah basyir (memberikan kabar gembira) kepada orang yang mau berpuasa.[31]
Peneliti dapat menyimpulkan bahwa MK terlalu mengkultuskan apa yang telah dikatakan oleh ustadz sehingga menganggap semuanya benar ceramah yang disampaikannya. Hal itu juga dialami oleh beberapa masyarakat, sebagaimana jawaban mereka terhadap kuesioner yang peneliti sebarkan.[32]
Meskipun tidak semua berkesimpulan seperti itu, sebagaimana wawancara peneliti dengan salah seorang pemuka agama yang berinisial NH, NH menjelaskan bahwa hadis tersebut adalah dhaif sebagaimana yang dijelaskan as-Suyuti dalam Jami’ as-Shaghir. Meskipun demikian, menurutnya hadis dhaif itu tidak masalah diamalkan dalam masalah mawa’id dan fadhail. Hadis ini menjelaskan tentang fadhilah orang berpuasa, yang tidurnya saja sudah dianggap ibadah apalagi mau beribadah secara serius dalam artian iman dan hanya mengharap ridha Allah, maka dosa (kecil) yang dilakukan sebelumnya diampuni sebagaimana disebutkan hadis shahih (pen: man shama ramadhana imanan...). Lagipula, ada sebagian ulama yang lebih menyukai untuk mengamalkan hadis dhaif daripada mengamalkan ungkapan orang (pen: tidak hadis).[33]
3.    Implikasi Pemahaman Masyarakat Desa Tegalsambi terhadap Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah Terhadap Aktivitas Harian Mereka.
a.    Implikasi Terhadap Pekerjaan
Pemahaman masyarakat Tegalsambi sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata mempunyai implikasi yang sangat signifikan. Berdasarkan pengamatan langsung serta wawancara dengan sejumlah masyarakat membuktikan bahwa ketika Bulan Ramadlan tiba biasanya etos bekerja seseorang rendah, dari hari-hari biasanya yang masuk kerja jam setengah delapan ketika puasa diundur sampai jam delapan. Kejadian semacam ini terjadi hampir pada semua jenis pekerjaan baik yang tukang kayu, guru, tukang ukir, ataupun lainnya.
Realita yang terjadi, sebagaimana peneliti wawancara dengan seorang nelayan SR yang menjelaskan bahwa ketika bulan Ramadhan, pada siang hari mereka tidak pergi melaut. Alasannya di samping karena faktor puasa yang menguras tenaga, dia juga mengatakan bahwa lebih baik tidur di rumah pada waktu siang hari dengan alasan tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, dan memilih pergi ke laut pada saat malam, biasanya setelah isya’ kalau sempat ya ikut shalat tarawih kalau ga’ ya tidak, ungkapnya.[34] 
Namun tidak semuanya seperti itu, salah seorang tukang kayu yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa dia tidak terpengaruh sama sekali terhadap hadis ini, baik ketika puasa ataupun tidak dia tetap bekerja penuh. Karena dia pernah mendapat keterangan dari anaknya sendiri bahwa hadis tersebut adalah dhaif bahkan ada yang mengatakan laa ashla lahu, jadi tidak patut untuk dijadikan pedoman.   
b.   Implikasi Terhadap Aktivitas Belajar
Selain berpengaruh pada sektor pekerjaan, ternyata juga berpengaruh pada aktivitas belajar. Peneliti sendiri menyaksikan peristiwa ini dengan mata kepala sendiri saat peneliti mengikuti pengajian posonan di Pondok Pesantren Matholi’ul Huda Tegalsambi di tahun 2002. Pada suatu hari, salah seorang pengurus keamanan membangunkan santri yang tiduran untuk mengikuti pengajian. “Ngaji-ngaji sudah ditunggu pak Kyai” ungkapnya sambil membawa penjalin (sejenis rotan), lalu jawab santri yang tiduran “Alah kang aku tidak ngaji tidurnya orang berpuasa kan dihitung ibadah”, satu santri lainnya ikut mengaji namun dalam pengajiannya dia malah tidur tidak ikut maknani dan tidak memerhatikan keterangan sang Kyai. Ketika selesai pengajian dia ditanya oleh santri lain: “Kang, sampeyan ngaji kok turu ae” ora melu maknani? Lalu dia menjawab: Lha turune wong poso kan ibadah kang.
Itulah realita yang disaksikan oleh peneliti sendiri, setidaknya memberikan gambaran ternyata penyebaran hadis ini mempunyai dampak yang signifikan dan dijadikan senjata utama untuk tidak melakukan aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari. Hal serupa juga dilakukan oleh banyak santri yang melakukan riyadhah puasa dalail di pondok yang sama, sepengamatan peneliti mereka lebih banyak tidurnya pada waktu siang daripada muthala’ah kitab.


[1] Suharismi Arikunto, 1993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 202.
[2] Ibid., hlm. 204
[3] Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta: Bandung, hlm. 52.
[4] Etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphein yang berarti tulisan atau uraian. Jadi etnografi adalah tulisan yang menceritakan kebudayaan suatu suku bangsa atau suatu masyarakat. Lihat dalam Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 250.
[5] Sutrisno Hadi, 1993,  Metodologi Research II, Andi Offset: Yogyakarta, hlm. 136
[6] Chalid Narbuka dan Abu Ahmadi, 1999, Metode Penelitian, Bumi Askara: Jakarta, hlm.83
[7] Lexy J Moeloeng, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung, hlm. 190.
[8]Sutrisno Hadi, Op.Cit., hlm. 192.  
[9] Cik Hasan dan Eva Rufaidah, 2002, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 132-133.
[10]  Dadang Kahmad, 1998, Metodologi Penelitian Agama Persepektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia: Bandung, hlm. 103
[11]  Ibid., hlm. 104
[12] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Bulan Bintang: Jakarta, 1999, hlm. 43.
[13] Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Loc.Cit.
[14] Mahmud Thahhan, 1997, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, terj. Zainul Muttaqin, Titian Ilahi Press: Yogyakarta, hlm. 149.
[15] Totok Jumantoro, 2002, Kamus Ilmu Hadis, Bumi Aksara: Jakarta, hlm. 29.
[16] Al-Baihaqy, Op.Cit., Juz 1, hlm. 11.
[17] Ibnu Hajar al-Asqalani, 1984, Tahdzib at-Tahdzib, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 109.
[18] M. Husain Ad-Dzahabi, T.t., Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Juz 2, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 143
[19]  Al-Baihaqy, Loc.Cit.
[20] Ibnu Hajar al-Asqalany, Op.Cit, hlm. 313.
[21] Ibid, hlm. 364.
[22] Abu Umar bin Abdillah bin Muhammad Abd al-Bar al-Qurthubiy, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashhab, Juz 3, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 7-8
[23] Ibnu Hajar al-Asqalany, Op.Cit., Juz 1, hlm. 14.
[24] M. Husain ad-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Op.Cit., hlm. 216.
[25] Tim Penyusun Buku Panduan Letak Geografis Desa Tegalsambi, Op.Cit., hlm. 1
[26] Sistem Informasi Manajemen (Sim) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Tegalsambi dalam http://116.90.165.170/pnpm/report/profilpmdesa.php?idkel=33201214&id=1104. Diakses pada 19/11/2011.
[27] Tim Penyusun Buku Panduan Letak Geografis Desa Tegalsambi, Loc.Cit.
[28] Agus Cahyo, Tradisi Unik Desa Tegalsambi, http://palingindonesia.com/perang-obor-tradisi-unik-dan-menantang-dari-tegalsambi-jepara/. Diakses pada tanggal 21/11/2011.

[29] Sebagaimana yang terdapat dalam Struktur pemerintahan Desa Tegalsambi di Balai Desa tegalsambi.
[30] Sesuai catatan sekretaris desa pada akhir tahun 2010.
[31] Hasil wawancara peneliti dengan MK, anggota jam’iyyah pengajian at-Taubah di rumahnya Desa Tegalsambi RT. 06 RW. 2, pada tanggal 21 November 2011 pada pukul 20.00.
[32] Pertanyaan yang diajukan peneliti dalam kuesioner sama dengan pertanyaan wawancara, hanya saja dalam pertanyaan kuesioner terdapat pertanyakan implikasi dari pemahaman mereka terhadap aktivitasnya ketika berpuasa. Lebih jelasnya angket penelitian dapat dilihat di halaman terakhir dari penelitian ini.  
[33] Wawancara denga NH di kediamannya pada tanggal 22 November 2011 pukul 16.00
[34] Hasil wawancara dengan SR pada tanggal 27/11/2011.
 
BAB V
ANALISIS
1.    Ketidakotentikan Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah
Menurut Imam Suyuthi, kualitas hadis ini adalah dha’if.[1] Bagi orang yang kurang mengetahui ilmu hadis, pernyataan as-Suyuthi dapat menimbulkan salah paham, sebab hadis maudhu’ secara umum masih dapat dipertimbangkan untuk diamalkan.kesalahpahaman itu akan segera hilang manakala diketahui bahwa hadis maudhu’ itu merupakan bagian dari hadis dha’if.
Walau bagaimanapun Imam as-Suyuthi akhirnya menuai kritik dari para ulama atas pernyataannya karena beliau dianggap tasahul (mempermudah) dalam menetapkan kualitas hadis. Al-Minawi menyatakan bahwa pernyataan as-Suyuthi memberikan kesan bahwa al-Baihaqi menilai hadis tersebut  dha’if. Padahal al-Baihaqi telah memberikan komentar atas beberapa rawi yang terdapat dalam sanadnya namun tidak dinukil oleh Imam as-Suyuthi.
Menurut al-Baihaqi, di dalam sanad hadis ituterdapat nama-nama seperti Ma’ruf bin Hisan, seorang rawi yang dha’if, dan Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang rawi yang lebih dha’if daripada Ma’ruf. Bahkan menurut kritikus hadis al-Iraqi, Sulaiman adalah seorang pendusta sebagaimana nyang dikatakan oleh al-Minawi.[2]
Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal, Sulaiman bin Amr an-Nakha’i adalah pemalsu hadis. Yahya bin Ma’in mengatakan: Sulaiman dikenal pemalsu hadis. Imam al-Bukhari mengatakan: Sulaiman bin Amr adalah matruk. Sementara Yazid bin Harun mengatakan: Siapapun tidak halal meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr, sedangkan al-Hakim tidak meragukan lagi bahwa Sulaiman bin Amr adalah pemalsu hadis.[3]


2.    Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Tegalsambi Terhadap Pemahaman Hadis Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah
Setelah melakukan penelitian lapangan terhadap masyarakat Tegalsambi, ternyata banyak faktor yang mempengaruhi terhadap pemahaman hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat penulis simpulkan:
*      Bagi masyarakat yang mengamalkan hadis ini dan terpengaruh untuk mengimplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sesuai analisis penulis dikarenakan mereka tidak tahu kualitas hadis ini dan juga mereka terlalu mengkultuskan para ustadz sehingga apa yang disampaikan menurut mereka adalah sesuai dengan ajaran agama. Di samping itu mereka juga tidak pernah melakukan penelitian hadis ini sehingga menganggapnya sebagai hadis yang shahih.
*      Bagi masyarakat yang tidak terpengaruh dengan hadis ini terhadap aktivitasnya ketika berpuasa, dapat peneliti simpulkan karena mereka tahu kualitas sebenarnya hadis ini dan juga mereka tahu akan tujuan berpuasa yaitu ikut merasakan lapar, haus, dan menahan hawa nafsu. Bagaimana bisa melakukan itu semua apabila ditinggal tidur seharian? Hal itu sama sekali tidak mengamalkan alasan disyariatkannya berpuasa.














BAB VI

PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berpijak dari penelitian yang dilakukan peneliti, amka dapat disimpulkan:
  1. Hadis tidurnya orang berpuasa adalah ibadah kualitasnya adalah dha’if karena rawinya ada Ma’ruf bin Hisanb yang dinilai sebagai rawi yang dha’if, dan Sulaiman bin Amr an-Nakha’i seorang rawi yang lebih dha’if daripada Ma’ruf.
  2. Banyak faktor yang mempengaruhi pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Di antaranya: karena disampaikan oleh tokoh masyarakat, banyak disampaikan oleh para khatib, da’i, serta banyak ditemukan di buku-buku bacaan sekunder.
  3. Pemahaman masyarakat Desa Tegalsambi tentang tidurnya orang berpuasa adalah ibadah mempunyai dampak pada segala aspek, baik aspek pendidikan, aspek ekonomi, serta aspek sosial kemasyarakatan.
  4. Implementasi dari pemahaman hadis ini, mereka pada waktu puasa lebih suka tidur daripada beraktivitas seperti hari-hari biasanya, hal tersebut dilakukan oleh orang yang menduga kevalidan hadis ini. Bagi yang tidak, puasa tidak terlalu mempengaruhi terhadap aktivitas harian ketika puasa, karena mereka tahu ada hadis shahih yang intinya disuruh untuk berpuasa  dengan keimanan dan hanya mencari ridha Allah, dan hal itu dikejewantahkan dengan memperbanyak aktivitas yang substansinya ibadah kepada Allah.
B.  Penutup
Puji Syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan semesta alam, yang menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga peneliti tujukan kepada dosen mata kuliah Praktikum Penelitian Hadis Ibu Hj. Nur Mahmudah, MA, yang telah mengarahkan peneliti untuk melaksanakan penelitian ini, juga tak lupa kepada para perangkat Desa Tegalsambi, serta masyarakatnya yang telah banyak membantu terlaksanakannya penelitian ini. The last but not least, kedua orangtua yang tiada henti-hentinya mendoakan ananda demi kesuksesan ananda memperoleh ilmu yang nafi’ yang bisa mendekatkan diri kepada sang khaliq.
C.  Kritik dan Saran
Tiada gading yang tidak retak, peneliti sadar bahwa meskipun penelitian ini sukses dilaksanakan, namun bukan berarti nihil dari kekurangan. Tentunya masih banyak kekurangan di sana-sini yang perlu dibenahi, seperti kata pepatah arab, idza tamma al-amru bada naqshuhu. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan demi tercapainya penelitian berikutnya yang lebih baik dari ini.
Akhirnya, semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi peneliti sendiri pada khususnya dan para pembaca yang tersentuh hatinya untuk melakukan sebuah penelitian yang ada hubungannnya dengan penelitian ini.   


Daftar Pustaka
Dari Literatur
Abu Ahmadi, 2003, Ilmu Sosial Dasar, Rineke Cipta: Jakarta,.
Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Syu’b al-Iman, Juz 3, Maktabah Syamilah.
Abu Umar bin Abdillah bin Muhammad Abd al-Bar al-Qurthubiy, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashhab, Juz 3, Dar al-Fikr: Beirut
Chalid Narbuka dan Abu Ahmadi, 1999, Metode Penelitian, Bumi Askara: Jakarta.
Cik Hasan dan Eva Rufaidah, 2002, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Dadang Kahmad, 1998, Metodologi Penelitian Agama Persepektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia: Bandung.
Ibnu Hajar al-Asqalani, 1984, Tahdzib at-Tahdzib, Dar al-Fikr: Beirut
Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rowi, Juz 1, Maktabah Syamilah.
................................., T.t., Jami’ as-Shaghir, Dar al-Fikr: Beirut.
Jalaluddin Rahmat, 1998, Membuka Tirai Kegaiban; Renungan-renungan Sufistik, Mizan: Bandung.
Lexy J Moeloeng, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung.
M. Husain Ad-Dzahabi, T.t., Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Juz 2, Dar al-Fikr: Beirut.
Mahmud Thahhan, 1997, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, terj. Zainul Muttaqin, Titian Ilahi Press: Yogyakarta
Marwanto, Sosiologi Umum 3 SMU, Yudhistira: Jakarta, 1994.
Muhammad Abd ar-Rauf al-Minawi, T.t., Faidh al-Qadir, Juz 6, Dar al-Fikr: Beirut.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Dar al-Fikr: Beirut, T.t.
Muhammad bin Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin wa ad-Dhu’afa wa al-Matrukin, Juz 1, Maktabah Syamilah
Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi, Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi fi al-Aqidah, Juz 2, Maktabah Syamilah.
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 6, Maktabah Syamilah.
Muhammad Khatib as-Syirbini, T.t., Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr: Beirut.
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if Jami’ as-Shaghir wa Ziyadatuhu, Juz 1, Maktabah Syamilah.
Muslim A. Kadir, 2004, Buku Daros Pendidikan Islam Terapan, Proyek Peningkatan Perguruan Agama: STAIN Kudus.
Nawawi Rif’at Syauqi, 2002, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Paramadina: Jakarta.
Nuruddin al-Mala Ali al-Qari, 1971, al-Maudhuat al-Kubra, Mu’assasah ar-Risalah: Beirut.
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta: Bandung.
Suharismi Arikunto, 1993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta: Jakarta.
Sutrisno Hadi, 1993,  Metodologi Research II, Andi Offset: Yogyakarta.
Syarif Hadi Masyah, 2004, Puasa Sebagai Terapi Penyembuhan Berbagai Penyakit, Mizan: Bandung.
Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, T.t., Syarh Matn Minhaj at-Thalibin, Juz 13, Mauqi’ Islam: Maktabah Syamilah.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Bulan Bintang: Jakarta, 1999.
Tim Penyusun Buku Panduan Letak Geografis Desa Tegalsambi, 2010, Letak Geografis Desa Tegalsambi, Agus Press: Jepara.
Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, terj. Ma’ruf Abdul Jalil, 2007, Era Intermedia: Yogyakarta.
Zakariya al-Anshari, T.t., Asna al-Mathalib Syuruh Raudhah at-Thalib, juz 5, Mauqi’ al-Islam: Maktabah Syamilah.  

Dari Website
Agus Cahyo, Tradisi Unik Desa Tegalsambi, http://palingindonesia.com/perang-obor-tradisi-unik-dan-menantang-dari-tegalsambi-jepara/. Diakses pada tanggal 21/11/2011.
Sistem Informasi Manajemen (Sim) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Tegalsambi dalam http://116.90.165.170/ pnpm /report/ profilpmdesa. php? idkel= 33201214 &id=1104. Diakses pada 19/11/2011.

Dari Wawancara dan pengamatan langsung
Catatan sekretaris desa pada akhir tahun 2010.
Wawancara peneliti dengan MK, anggota jam’iyyah pengajian at-Taubah di rumahnya Desa Tegalsambi RT. 06 RW. 2, pada tanggal 21 November 2011 pada pukul 20.00.
Wawancara dengan Kepala Desa Tegalsambi, Bapak Sumarno, SH., di kediamannya pada 22 November pukul 20.00
Wawancara dengan salah seorang pencatat sensus penduduk pada 18/11/2011.
Wawancara denga NH di kediamannya pada tanggal 22 November 2011 pukul 16.00
Wawancara dengan SR pada tanggal 27/11/2011.


[1] As-Suyuthi, T.t., Jami’ as-Shaghir, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 678.
[2] Muhammad Abd ar-Rauf al-Minawi, T.t., Faidh al-Qadir, Juz 6, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 29
[3] Muhammad bin Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin wa ad-Dhu’afa wa al-Matrukin, Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 333.




[1] Nawawi Rif’at Syauqi, 2002, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Paramadina: Jakarta, hlm. 170.
[2] Jalaluddin Rahmat, 1998, Membuka Tirai Kegaiban; Renungan-renungan Sufistik, Mizan: Bandung, hlm. 51.
[3] Syarif Hadi Masyah, 2004, Puasa Sebagai Terapi Penyembuhan Berbagai Penyakit, Mizan: Bandung, hlm. 50.
[4] Bandingkan dengan Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 6, Maktabah Syamilah, hlm. 462.
[5]  Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Syua’b al-Iman, Juz 3, Maktabah Syamilah, hlm. 415.
[6]  Nuruddin al-Mala Ali al-Qari, 1971, al-Maudhuat al-Kubra, Mu’assasah ar-Risalah: Beirut, hlm. 374.
[7] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if Jami’ as-Shaghir wa Ziyadatuhu, Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 1274.  Al-Albani juga mengatakan hal senada (hadis ini dhaif) dalam kitabnya yang lain yaitu Silsilah al-Ahadis ad-Dha’ifah, Juz 10, hlm. 230, Maktabah Syamilah.
[8] Tim Penyusun Buku Panduan Letak Geografis Desa Tegalsambi, 2010, Letak Geografis Desa Tegalsambi, Agus Press: Jepara, hlm. 3
[9] Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan salah seorang pencatat sensus penduduk pada 18/11/2011.
[10]  Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Rineke Cipta: Jakarta, 2003, hlm. 241
[11]  Marwanto, Sosiologi Umum 3 SMU, Yudhistira: Jakarta, 1994, hlm. 70-72.
[12]  Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Dar al-Fikr: Beirut, T.t, hlm. 27-28.
[13]  Ibid., hlm. 305.
[14]  Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rowi, Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 100
[15]  M. ‘Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., hlm. 351.
[16] Muhammad Khatib as-Syirbini, T.t., Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr: Beirut, hlm. 234.
[17] Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, terj. Ma’ruf Abdul Jalil, 2007, Era Intermedia: Yogyakarta, hlm. 133.
[18] Zakariya al-Anshari, T.t., Asna al-Mathalib Syuruh Raudhah at-Thalib, juz 5, Mauqi’ al-Islam: Maktabah Syamilah, hlm. 299  
[19] Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, T.t., Syarh Matn Minhaj at-Thalibin, Juz 13, Mauqi’ Islam: Maktabah Syamilah, hlm.  417.
[20] Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi, Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamdi fi al-Aqidah, Juz 2, Maktabah Syamilah, hlm. 8.
[21] Muslim A. Kadir, 2004, Buku Daros Pendidikan Islam Terapan, Proyek Peningkatan Perguruan Agama: STAIN Kudus, hlm. 389.
[22] Ibid., hlm. 13-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar