Kamis, 10 Januari 2013

Benarkah Imam Syafi’i Otoriter?


A. Iftitah
Tidak bisa dipungkiri popularitas dan pengaruh Imam Syafi’i di benua Asia hingga benua Afrika demikian besar. Indonesia yang notabene sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, mayoritas dalam muamalah yaumiyahnya mengikuti ajaran Imam Syafi’i yang terangkum dalam madzhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i merupakan satu di antara empat mazhab fikih yang keberadaannya masih diakui hingga saat ini selain Maliki, Hanafi dan Hanbali.‎ ‎ Pengakuan keberadaan mazhab ini dalam wujud masih ada pengikut yang setia mengamalkan dan berpedoman pada formula ijtihad yang dihasilkan oleh sang imam.
Demikian penting dan berpengaruhnya Syafi’i dalam khazanah pemikiran hukum Islam, khususnya di Indonesia, selain menjadikan karya-karya dari mazhab ini sebagai rujukan penting (mu’tabarah) dalam berbagai forum kajian, juga menjadikannya sebagai pertimbangan utama dalam memutus atau menentukan sebuah kebijakan (hukum) oleh institusi yang berwenang untuk itu seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan atau organisasi kemasyarakatan dan keagamaan lainnya.
Selain itu, sempat muncul kecaman yang kuat bahkan tudingan kafir terhadap sekelompok masyarakat peduli keadilan (gender)‎ ‎ yang melakukan kajian kritis. Kajian kritis berupa counter legal drafting (CLD) terhadap pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang otoritarian.‎ ‎ Kecaman dan tudingan kafir itu juga diperkuat permintaan Menteri Agama Republik Indonesia untuk menghentikan kajian kritis tersebut. Hal itu menjadi bukti bagaimana berpengaruhnya mazhab Syafi’i di tanah air. Tidak itu saja, lolosnya undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dianggap (oleh penentangnya) sebagai sebuah kecolongan bagi umat Islam dan patut disesali, juga memperkuat asumsi di atas.
Masih hangat dalam ingatan umat Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa Jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan. Akibat dari fatwa tersebut adalah munculnya tindakan anarkis dan brutal berupa pendudukan dan penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor. Tindakan itu dilakukan oleh umat atas nama Islam, meski kemudian MUI “meralat” dengan menyatakan bahwa MUI tidak menganjurkan cara-cara kekerasan dan anarkhis dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.
.‎‎Nashr Hamid Abu Zayd (seorang pemikir kritis dari Mesir yang dikeluarkan dari almamaternya, Universitas Kairo, dan dijatuhi hukuman murtad karena dianggap melampaui batas dalam melakukan kritik pada Syafi’i) juga mengakui bahwa Syafi’i adalah satu di antara tiga figur penting dalam sejarah peradaban Islam, khususnya pemikiran Arab. Sebenarnya siapakah Syafi’I itu?
B. Mengenal Syafi’i
Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah, Syam pada tahun 150 H/767 M dan wafat di Mesir pada 240 H/819 M. Dia dikenal sebagai peletak dasar ushul fikih lewat karyanya, al-Risalah. Imam Syafi’i yang saat berusia 7 tahun sudah menghafal 30 juz al-Qur`an memang memiliki berbagai kelebihan. Pada usia 10 tahun ia sudah hafal kitab al-Muwattha` karya Imam Malik bin Anas sebelum dia berguru pada imam Malik dan lima tahun kemudian ia dipercaya sebagai mufti termuda di Masjid al-Haram Makkah menggantikan gurunya Muslim bin Khalid al-Zanji.
Imam al-Syāfi’ī tergolong orang yang suka mengembara dan menimba ilmu. Bahkan sampai ke luar negeri. Terbukti, hanya Imam Syafi’i yang memiliki pengalaman bepergian ke luar negeri dibanding ketiga imam mazhab lainnya. Pengalaman ini semakin memperkaya wawasan dan menambah kematangan serta kedewasaannya dalam mengambil sebuah keputusan hukum.
 Qaul qadim dan qaul jadid adalah bukti kedewasaan dan kematangan tersebut. Selain itu, banyaknya orang yang dijadikan gurunya adalah bukti lain dari kegemaran imam Syafi’i menuntut ilmu. Setiap mendengar ada orang alim, dia datangi dan berguru padanya. Tidak itu saja, bahkan imam Syafi’i juga nyantri di kabilah Hudzail guna memperdalam dan menambah peka taste of arabic languagenya. Kabilah Hudzail adalah sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang-orang pedalaman yang belum banyak berinteraksi dengan komunitas luar sehingga bahasa arab yang digunakan sehari-hari masih murni belum banyak menyerap atau terpengaruh bahasa lain.

C.
Otoritarianisme: Problem Epistemologis
Teori kebenaran otoritaritarianisme sebenarnya relatif baru dikenal dalam diskursus filsafat. Istilah otoritarianisme yang berasal dari kata otoritas (authority) adalah term yang pada awalnya dipergunakan dalam wacana politik/pemerintahan , moral dan hukum . Otoritas yang berasal dari kata authority berarti kekuatan atau hak untuk memerintah atau berbuat.‎ ‎ Sementara authoritarian diartikan sebagai favoring the principle of authority as opposed to that of individual freedom (prinsip yang mengutamakan kekuasaan sebagai lawan dari kebebasan individu).
Menurut John Rawls, seperti yang dijelaskan oleh Ronald Dworkins,
otoritas politik itu ada dua, yaitu:
1. Otoritas politik sebagai pernyataan normatif atau otoritas yang sah secara moral (morally legitimate authority). Maksudnya adalah bahwa suatu negara dikatakan mempunyai otoritas secara normatif apabila ada hubungan antara negara dan penguasa.
2. Otoritas politik sebagai suatu pernyataan yang non normatif, kewenangan bersifat kenyataan (de facto authority). Otoritas kedua ini melekat pada seseorang yang secara de facto memiliki kekuasaan, tetapi tidak memiliki jabatan yang sah.
Penjelasan di atas sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Khaled Abou El Fadl yang membedakan otoritas pada dua hal, yaitu:
1.‎ ‎ Otoritas yang bersifat koersif.
2.‎ ‎ Otoritas yang bersifat persuasif.
Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan.
Dalam menjelaskan teori otoritas, Khaled berangkat dari penjelasan Friedman mengenai pembedaan antara being in authority (memangku otoritas) dan being an authority (memegang otoritas). Memangku otoritas dimaksudkan sebagai kekuasaan untuk mengeluarkan instruksi atau arahan karena faktor posisi struktural dalam suatu instutusi resmi. Dalam kasus ini, seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan pemangku otoritas, namun tidak mempunyai alternatif lain kecuali mematuhinya. Dengan kata lain, kepatuhan terhadap pemangku otoritas lebih merupakan kepatuhan terhadap jabatan atau kapasitas resmi seseorang.
Berbeda dengan pemangku otoritas (being in authority), kepatuhan terhadap pemegang otoritas (being an authority) merupakan kepatuhan terhadap seseorang yang memiliki keahlian khusus. Kepatuhan di sini dipahami sebagai pelimpahan wewenang kepada seorang yang memang ahli dalam bidang tertentu. Dalam kasus ini, seseorang meninggalkan pendapat pribadinya karena patuh pada pemegang otoritas yang dipandang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, atau pemahaman yang lebih baik, meskipun yang menerima otoritas tidak memahami dasar argumentasi dari pemegang otoritas. Kepatuhan semacam ini mengandung arti bahwa seseorang menyerahkan nalarnya kepada kehendak dan keputusan orang lain, yakni pada pemegang otoritas. Dengan kata lain, ia telah melimpahkan dan memberikan kepercayaan kepada pemegang otoritas untuk menguji dan mengkaji nilai sesuatu yang harus ia yakini dan jalankan.

D. Membaca Data Mencari Fakta
Meski al-Syafi’i memiliki backgraund genealogis yang di atas rata-rata, namun hal itu tidak lalu menjadikannya sosok yang sempurna. Sebagai manusia, Syafi’i memiliki juga kelemahan. Kelemahan itu kemudian yang menjadi bahasan menarik dalam dunia akademik. Sebagai seorang imam mujtahid mutlak, tidak ada seorangpun yang meragukan aspek moral dan spiritual Syafi’i. Demikian juga dalam hal kualitas keilmuannya.
 Namun sebagai watak dasar dari ilmu yang bersifat dinamis dan progresif serta inovatif, wajar kemudian bila bangunan keilmuan yang dibangun oleh Syafi’i mulai memperlihatkan titik kelemahannya. Syafi’i yang wafat pada 240 H/819 M hingga kini sudah terbentang jarak waktu 1189 tahun. Sebuah rentang masa yang lebih dari wajar bahkan memang seharusnya terjadi suatu perubahan. Justru yang patut dipertanyakan adalah bila dalam rentang waktu yang demikian panjang itu, tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi. Hal itu menandakan bahwa progresifitas keilmuan menunjukkan grafik menurun, kalau tidak boleh disebut stagnan.
Ada beberapa kritikan tajam yang disampaikan pada Imam Syafi’i yang mengarah pada kesimpulan bahwa Imam Syafi’i adalah imam mazhab yang otoriter. Kritikan yang dimunculkan oleh cendekiawan muslim kontemporer seperti yang dilontarkan Nashr Hamid Abu Zayd itu mendasarkan pada dasar-dasar epistemologis yang dibangun oleh Syafi’i sebagai kerangka manhaj hukumnya. Kerangka itu sebagaimana terdapat dalam kitab al-Risalah.Berikut poin-poin kritikan yang dialamatkan pada imam Syafi’i:
  1. Ijtihad adalah qiyas dan qiyas adalah ijtihad. Ini memang berangkat dari statemen imam Syafi’i sendiri dalam kitab al-Risalahnya. Beliau berulang kali menegaskan bahwa bila tidak terdapat dalam al-Qur`an dan al-Sunnah maka silakan berijtihad. Ijtihad yang dimaksud tiada lain adalah qiyas. Sebagaimana yang beliau tegaskan dalam al-Risalah:
  قال : فما القياس ؟ أهو الاجتهاد ؟ أم هما مفترقان ؟  قلت : هما اسمان لمعنىً واحد  قال : فما جِماعهما ؟ قلت : كل ما نزل بمسلم فقيه حكم لازم أو على سبيل الحقِّ فيه دلالةٌ موجودة وعليه إذا كان فيه بعينه حكمٌ : اتباعُه وإذا لم يكن فيه بعينه طُلِب الدلالة على سبيل الحق فيه بالاجتهاد . والاجتهادُ القياسُ.
2.      Istihsan sama dengan membuat syariat baru. Statemen imam Syafi’i yang keras dan terkenal soal ini adalah man istahsana faqad syarra`a, barangsiapa menggunakan istihsan maka sama halnya dengan membuat syariat baru.
3.      Penguasaan bahasa arab adalah yang utama dan mutlak adanya bagi mujtahid. Imam Syafi’i dikenal sangat ketat dalam memberikan persyaratan seorang mujtahid dalam melakukan istinbath hukum. Syarat utama dari 9 syarat yang diajukan Syafi’i adalah penguasaan yang baik terhadap bahasa arab sebagai bahasa nash.
4.      Tekstualis-empiris adalah kesan yang menonjol dari Syafi’i meski tidak sepenuhnya benar. Syafi’i dikenal kuat memahami ajaran berdasarkan atas redaksi nash selama memungkinkan. Karena sikapnya yang demikian kemudian ia dikecam sebagai yang mematikan kreatifitas berfikir dan penyebab dari kejumudan dan kemunduran Islam.
Dari keempat hal itulah (paling tidak), Imam Syafi’i kemudian dengan mempergunakan perspektif otoritarianisme Khaled dimasukkan dalam kategori otoriter. Otoritarianisme Imam Syafi’i, seperti yang dituduhkan, tidak terlepas dari kepemilikan otoritas persuasif (being an authority) pada diri Imam Syafi’i. Sebuah otoritas yang melekat atas keluasan dan penguasaan ilmunya yang demikian mendalam dan komprehensif (al-‘amiq wa al-mutabahhar fil furu wal ushul) bukan karena faktor jabatan yang terletak di pundaknya.
Kepemilikan otoritas persuasif (de facto authority) ini memang sangat rentan melahirkan prilaku otoritarianisme makna sekaligus sosial, terlebih bila ditopang oleh kepemilikan otoritas koersif (de jure authority). Seperti yang statement yang disampaikan seorang moralis yang juga historian, John Emerich Edward Dalberg ‎‎(Lord) Acton (834-1902): “The Power tends to corrupt and the absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men!”. Benarkah seorang Imam al-Syafi’i seperti itu?

E. Ikhtitam
Nampaknya tulisan ini memang tidak untuk dituntaskan, karena kalau dituntaskan penulis juga akan terjerat oleh pasal otoritarianisme sebagaimana yang dituduhkan pada Imam al-Syafi’i. Oleh karena itu, melalui forum ini diharapkan akan bermunculan bacaan, analisa, kritikan ataupun komentar dan pertanyaan yang darinya akan tersimpulkan pada sebuah jawaban yang membuat nalar kita bisa menerimanya bersama, benarkah Imam al-Syafi’i otoriter?
Demikian, mohon maaf dan semoga bermanfaat..

Kamis, 03 Januari 2013

Persembahan


Skrispsi ini Q persembahkan kepada:
*  Kedua orang tua Q yang selama ini memberikan cinta kasih yang tanpa ujung, mendoakanQ siang dan malam agar Q menjadi insan shalih.
*  Para Masyayikh yang pernah mendidik jiwa Q dan membentuk karakter diri Q, terkhusus Allah Yarham Syaikhina KH. Muhsin Ali dan KH. Darul Mahmud, S.P.
*  Civitas PP. An-Najah, terutama pengasuh Ustadz Edy Bachtiar, M.Ag dan Ibu Any Umi Maslahah, M.Pd, serta buah hati mereka. Juga teman-teman pondok semua, Muchlisin cs.
*  Saudara-saudara Q, mb’ roh dan mb’ umi, serta kakak ipar Q, maz Yankz dan maz didik. Juga kepada buah hati mereka, Tsabita, Kevin, dan Azzamy.
*  Seseorang yang selama ini menjadi penyejuk hati dan menjadi inspirator kala sepi, menjadi tempat berbagi dalam suka maupun duka.
*  Dan kepada seluruh insan yang mampu berbagi terhadap sesama