A. Iftitah
Tidak bisa dipungkiri popularitas dan
pengaruh Imam Syafi’i di benua Asia hingga benua Afrika demikian besar. Indonesia yang notabene
sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, mayoritas dalam muamalah yaumiyahnya mengikuti ajaran Imam Syafi’i yang
terangkum dalam madzhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i merupakan satu di antara empat mazhab fikih yang
keberadaannya masih diakui
hingga saat ini selain Maliki, Hanafi dan Hanbali. Pengakuan keberadaan mazhab ini dalam wujud masih ada pengikut yang setia mengamalkan dan
berpedoman pada formula
ijtihad yang dihasilkan oleh sang imam.
Demikian penting dan berpengaruhnya Syafi’i
dalam khazanah pemikiran hukum
Islam, khususnya di Indonesia, selain menjadikan karya-karya dari mazhab ini sebagai rujukan penting (mu’tabarah) dalam
berbagai forum kajian, juga menjadikannya
sebagai pertimbangan utama dalam memutus atau menentukan sebuah kebijakan (hukum) oleh institusi yang
berwenang untuk itu seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan atau organisasi
kemasyarakatan dan keagamaan
lainnya.
Selain itu, sempat muncul kecaman yang kuat
bahkan tudingan kafir terhadap
sekelompok masyarakat peduli keadilan (gender) yang melakukan kajian kritis. Kajian kritis berupa counter legal drafting (CLD) terhadap
pasal-pasal Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang otoritarian. Kecaman dan tudingan kafir itu juga diperkuat permintaan Menteri Agama Republik Indonesia untuk
menghentikan kajian kritis
tersebut. Hal itu menjadi bukti bagaimana berpengaruhnya mazhab Syafi’i di
tanah air. Tidak itu saja, lolosnya undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dianggap (oleh
penentangnya) sebagai sebuah kecolongan bagi umat Islam dan patut disesali, juga memperkuat asumsi di atas.
Masih hangat dalam ingatan umat Islam. Fatwa
MUI yang menyatakan bahwa
Jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan. Akibat dari fatwa tersebut adalah munculnya
tindakan anarkis dan brutal berupa pendudukan dan penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung
Bogor. Tindakan itu dilakukan
oleh umat atas nama Islam, meski kemudian MUI “meralat” dengan menyatakan bahwa MUI tidak
menganjurkan cara-cara kekerasan dan anarkhis dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.
.Nashr Hamid Abu Zayd (seorang pemikir kritis dari Mesir yang
dikeluarkan dari almamaternya,
Universitas Kairo, dan dijatuhi hukuman murtad karena dianggap melampaui batas dalam melakukan kritik pada
Syafi’i) juga mengakui bahwa Syafi’i adalah satu di antara tiga figur penting
dalam sejarah peradaban Islam, khususnya pemikiran Arab. Sebenarnya siapakah Syafi’I itu?
B. Mengenal Syafi’i
Syafi’i dilahirkan
di Ghuzzah, Syam pada tahun 150 H/767 M dan wafat di Mesir
pada 240 H/819 M. Dia dikenal
sebagai peletak dasar ushul fikih lewat karyanya, al-Risalah. Imam Syafi’i yang saat berusia 7 tahun
sudah menghafal 30 juz al-Qur`an memang memiliki berbagai kelebihan. Pada usia 10 tahun ia sudah
hafal kitab al-Muwattha` karya
Imam Malik bin Anas sebelum dia berguru pada imam Malik dan lima tahun kemudian ia dipercaya sebagai
mufti termuda di Masjid al-Haram Makkah menggantikan gurunya Muslim bin Khalid al-Zanji.
Imam al-Syāfi’ī tergolong orang yang suka
mengembara dan menimba ilmu. Bahkan
sampai ke luar negeri. Terbukti, hanya Imam Syafi’i yang memiliki pengalaman bepergian ke luar negeri
dibanding ketiga imam mazhab lainnya. Pengalaman ini semakin memperkaya wawasan dan menambah kematangan
serta kedewasaannya dalam
mengambil sebuah keputusan hukum.
Qaul qadim dan qaul jadid adalah bukti
kedewasaan dan kematangan tersebut.
Selain itu, banyaknya orang yang dijadikan gurunya adalah bukti lain dari kegemaran imam Syafi’i menuntut ilmu.
Setiap mendengar ada orang alim, dia datangi dan berguru padanya. Tidak itu saja, bahkan imam Syafi’i
juga nyantri di kabilah
Hudzail guna memperdalam dan menambah peka taste of arabic languagenya.
Kabilah Hudzail adalah sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang-orang pedalaman yang belum banyak berinteraksi
dengan komunitas luar sehingga bahasa arab yang digunakan sehari-hari masih murni belum banyak
menyerap atau terpengaruh
bahasa lain.
C. Otoritarianisme: Problem Epistemologis
Teori kebenaran otoritaritarianisme
sebenarnya relatif baru dikenal dalam diskursus filsafat. Istilah otoritarianisme yang berasal dari kata
otoritas (authority) adalah
term yang pada awalnya dipergunakan dalam wacana politik/pemerintahan , moral dan hukum . Otoritas yang berasal dari kata authority
berarti kekuatan atau hak
untuk memerintah atau berbuat. Sementara authoritarian diartikan sebagai favoring the principle of authority as opposed to that of individual
freedom (prinsip yang
mengutamakan kekuasaan sebagai lawan dari kebebasan individu).
Menurut John Rawls, seperti yang dijelaskan oleh Ronald Dworkins, otoritas politik itu ada dua, yaitu:
1. Otoritas politik sebagai pernyataan normatif atau otoritas yang sah secara moral (morally legitimate authority). Maksudnya adalah bahwa suatu negara dikatakan mempunyai otoritas secara normatif apabila ada hubungan antara negara dan penguasa.
Menurut John Rawls, seperti yang dijelaskan oleh Ronald Dworkins, otoritas politik itu ada dua, yaitu:
1. Otoritas politik sebagai pernyataan normatif atau otoritas yang sah secara moral (morally legitimate authority). Maksudnya adalah bahwa suatu negara dikatakan mempunyai otoritas secara normatif apabila ada hubungan antara negara dan penguasa.
2. Otoritas politik
sebagai suatu pernyataan yang non normatif, kewenangan bersifat kenyataan (de facto authority). Otoritas
kedua ini melekat pada
seseorang yang secara de facto memiliki kekuasaan, tetapi tidak memiliki jabatan yang sah.
Penjelasan di atas sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Khaled
Abou El Fadl yang membedakan
otoritas pada dua hal, yaitu:
1. Otoritas yang
bersifat koersif.
2. Otoritas yang
bersifat persuasif.
Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk
mengarahkan perilaku orang lain
dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan
berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Otoritas
persuasif melibatkan kekuasaan
yang bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar
kepercayaan.
Dalam menjelaskan teori otoritas, Khaled
berangkat dari penjelasan Friedman
mengenai pembedaan antara being in authority (memangku otoritas) dan being an authority (memegang otoritas).
Memangku otoritas dimaksudkan sebagai kekuasaan untuk mengeluarkan instruksi atau arahan karena faktor
posisi struktural dalam suatu
instutusi resmi. Dalam kasus ini, seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan pemangku otoritas, namun tidak
mempunyai alternatif lain kecuali mematuhinya. Dengan kata lain, kepatuhan terhadap pemangku otoritas
lebih merupakan kepatuhan
terhadap jabatan atau kapasitas resmi seseorang.
Berbeda dengan pemangku otoritas (being in
authority), kepatuhan terhadap pemegang otoritas (being an authority) merupakan kepatuhan terhadap
seseorang yang memiliki
keahlian khusus. Kepatuhan di sini dipahami sebagai pelimpahan wewenang kepada seorang yang memang ahli
dalam bidang tertentu. Dalam kasus ini, seseorang meninggalkan pendapat pribadinya karena patuh pada
pemegang otoritas yang
dipandang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, atau pemahaman yang lebih baik, meskipun yang menerima otoritas
tidak memahami dasar argumentasi dari pemegang otoritas. Kepatuhan semacam ini mengandung arti bahwa
seseorang menyerahkan nalarnya
kepada kehendak dan keputusan orang lain, yakni pada pemegang otoritas. Dengan kata lain, ia telah melimpahkan dan
memberikan kepercayaan kepada
pemegang otoritas untuk menguji dan mengkaji nilai sesuatu yang harus ia yakini dan jalankan.
D. Membaca Data
Mencari Fakta
Meski al-Syafi’i memiliki backgraund
genealogis yang di atas rata-rata, namun hal itu tidak lalu menjadikannya sosok yang sempurna. Sebagai
manusia, Syafi’i memiliki juga kelemahan. Kelemahan itu kemudian yang menjadi
bahasan menarik dalam dunia
akademik. Sebagai seorang imam mujtahid mutlak, tidak ada seorangpun yang meragukan aspek moral dan
spiritual Syafi’i. Demikian juga dalam hal kualitas keilmuannya.
Namun sebagai watak dasar dari ilmu yang
bersifat dinamis dan progresif serta inovatif, wajar kemudian bila bangunan keilmuan yang dibangun
oleh Syafi’i mulai
memperlihatkan titik kelemahannya. Syafi’i yang wafat pada 240 H/819 M hingga kini sudah terbentang jarak waktu
1189 tahun. Sebuah rentang masa yang lebih dari wajar bahkan memang seharusnya terjadi suatu perubahan.
Justru yang patut
dipertanyakan adalah bila dalam rentang waktu yang demikian panjang itu, tidak terlalu banyak perubahan yang
terjadi. Hal itu menandakan bahwa progresifitas keilmuan menunjukkan grafik menurun, kalau tidak boleh disebut
stagnan.
Ada beberapa kritikan tajam yang disampaikan
pada Imam Syafi’i yang mengarah
pada kesimpulan bahwa Imam Syafi’i adalah imam mazhab yang otoriter. Kritikan yang dimunculkan oleh
cendekiawan muslim kontemporer seperti yang dilontarkan Nashr Hamid Abu Zayd itu mendasarkan pada
dasar-dasar epistemologis yang
dibangun oleh Syafi’i sebagai kerangka manhaj hukumnya. Kerangka itu sebagaimana terdapat dalam
kitab al-Risalah. Berikut
poin-poin kritikan yang dialamatkan pada imam Syafi’i:
- Ijtihad adalah qiyas dan qiyas adalah ijtihad. Ini memang berangkat dari statemen imam Syafi’i sendiri dalam kitab al-Risalahnya. Beliau berulang kali menegaskan bahwa bila tidak terdapat dalam al-Qur`an dan al-Sunnah maka silakan berijtihad. Ijtihad yang dimaksud tiada lain adalah qiyas. Sebagaimana yang beliau tegaskan dalam al-Risalah:
قال : فما القياس ؟ أهو الاجتهاد ؟ أم هما مفترقان ؟
قلت : هما اسمان لمعنىً واحد قال :
فما جِماعهما ؟ قلت : كل ما نزل بمسلم فقيه حكم لازم أو على سبيل الحقِّ فيه
دلالةٌ موجودة وعليه إذا كان فيه بعينه حكمٌ : اتباعُه وإذا لم يكن فيه بعينه
طُلِب الدلالة على سبيل الحق فيه بالاجتهاد . والاجتهادُ القياسُ.
2.
Istihsan
sama dengan membuat syariat baru. Statemen imam Syafi’i yang keras dan terkenal soal ini adalah man
istahsana faqad syarra`a, barangsiapa
menggunakan istihsan maka sama halnya dengan membuat syariat baru.
3.
Penguasaan
bahasa arab adalah yang utama dan mutlak adanya bagi mujtahid. Imam Syafi’i dikenal sangat ketat dalam memberikan persyaratan seorang mujtahid dalam
melakukan istinbath hukum. Syarat utama dari 9 syarat yang diajukan Syafi’i adalah penguasaan yang
baik terhadap bahasa arab
sebagai bahasa nash.
4.
Tekstualis-empiris
adalah kesan yang menonjol dari Syafi’i meski tidak sepenuhnya benar. Syafi’i dikenal kuat memahami ajaran berdasarkan atas redaksi nash selama memungkinkan.
Karena sikapnya yang demikian kemudian
ia dikecam sebagai yang mematikan kreatifitas berfikir dan penyebab dari kejumudan dan kemunduran
Islam.
Dari keempat hal itulah (paling tidak), Imam
Syafi’i kemudian dengan mempergunakan
perspektif otoritarianisme Khaled dimasukkan dalam kategori otoriter. Otoritarianisme Imam Syafi’i,
seperti yang dituduhkan, tidak terlepas dari kepemilikan otoritas persuasif (being an authority) pada diri
Imam Syafi’i. Sebuah otoritas
yang melekat atas keluasan dan penguasaan ilmunya yang demikian mendalam dan komprehensif (al-‘amiq wa
al-mutabahhar fil furu wal ushul) bukan karena faktor jabatan yang terletak di pundaknya.
Kepemilikan otoritas persuasif (de facto
authority) ini memang sangat rentan melahirkan prilaku otoritarianisme makna sekaligus sosial, terlebih
bila ditopang oleh kepemilikan
otoritas koersif (de jure authority). Seperti yang statement yang disampaikan seorang moralis yang juga
historian, John Emerich Edward Dalberg (Lord) Acton (834-1902): “The Power tends to corrupt and the
absolute power corrupts
absolutely. Great men are almost always bad men!”.
Benarkah seorang Imam al-Syafi’i
seperti itu?
E. Ikhtitam
Nampaknya tulisan ini memang tidak untuk
dituntaskan, karena kalau dituntaskan
penulis juga akan terjerat oleh pasal otoritarianisme sebagaimana yang dituduhkan pada Imam al-Syafi’i. Oleh
karena itu, melalui forum ini diharapkan akan bermunculan bacaan, analisa, kritikan ataupun komentar dan pertanyaan
yang darinya akan tersimpulkan
pada sebuah jawaban yang membuat nalar kita bisa menerimanya bersama, benarkah Imam al-Syafi’i otoriter?
Demikian, mohon maaf dan semoga bermanfaat..
Demikian, mohon maaf dan semoga bermanfaat..